PEROLEHAN suara Partai Aceh diproyeksikan terjun bebas di
pilkada kali ini. Konsekuensi yang hampir nyata, partai ini bakal
kehilangan kursi kepala daerah. Tak hanya di provinsi, tapi juga
kabupaten/kota. “Berakhirnya” dominasi partai mantan kombatan, boleh
jadi bakal menjadi kenyataan. Akankah berekses pada eksistensi Muzakir
Manaf?
***
Rabu malam,15 Februari 2017. Hanya
hitungan jam usai proses pemilihan, dua kubu calon kepala daerah
buru-buru menggelar jumpa pers. Mereka adalah pasangan calon
Gubernur-Wakil Gubernur Aceh Muzakir Manaf-TA Khalid dan Irwandi
Yusuf-Nova Iriansyah. Temu pers digunakan untuk menyebarkan klaim
serupa: unggul perolehan suara sementara.
Hitung mundur beberapa
jam, sebuah informasi palsu sempat beredar viral. Mencatut institusi
Kesbangpolinmas Aceh (saat ini bernama Badan Kesatuan Bangsa dan
Politik), informasi serupa hasil perhitungan suara itu menyatakan
pasangan Muzakir Manaf-TA Khalid unggul sementara. Ada media online lokal yang melahap informasi itu mentah-mentah. Suasana lantas menjadi “gaduh”.
Hingga
akhirnya Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Aceh Nasir Zalba
membatah informasi yang mencatut lembaganya tersebut. Resmilah berita
itu menyandang status: hoax.
Seiring waktu berjalan, klaim dua
kubu mulai menunjukkan kecondongannya. Perolehan suara Irwandi-Nova
pelan tapi pasti beranjak jauh meninggalkan pasangan Muzakir Manaf-TA
Khalid.
Jumat, 17 Februari 2017 lalu, Irwandi-Nova kembali menggelar temu pers untuk memaparkan hasil real count
yang dilakukan tim pemenangannya. Hasil perhitungan dan rekapitulasi
suara berdasarkan formulir C1 yang diperoleh langsung oleh saksi
Irwandi-Nova di masing-masing TPS menempatkan pasangan itu kokoh
memimpin perolehan suara sementara.
Dari total suara yang sudah
masuk ke Sekber Tim Irwandi-Nova sebanyak 2,166,475 suara atau 63.13
persen dari total Daftar Pemilih Tetap (DPT), Irwandi-Nova meraup
sebanyak 812,922 suara atau 37,52 persen.
Pasangan Irwandi-Nova
unggul sekitar 6 persen dari rival utama mereka pasangan Muzakir
Manaf-TA Khalid yang memperoleh 678,264 suara atau 31,31 persen.
Publik
semakin yakin tatkala informasi yang tertera dalam laman
pilkada2017.kpu.go.id juga menunjukkan tren yang sama: Irwandi-Nova
unggul.
Fakta-fakta ini tak lantas membuat Partai Aceh menerima
begitu saja. Mereka masih memiliki keyakinan jika pasangan yang mereka
usung bisa mengejar ketertinggalan.
Juru Bicara Partai Aceh Adi Laweung bahkan sampai meragukan data yang dipublikasi laman pilkada2017.kpu.go.id.
"Kami
meminta supaya KPU dan Komite Independen Pemilihan (KIP) Aceh
mengklarifikasi hal tersebut," katanya melalui pesan tertulis pada
BERITAKINI.CO, Kamis, 16 Februari 2017.
Dari
Aceh Utara, di hari yang sama, Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA) PA
Wilayah Pase Zulkarnaini Bin Hamzah alias Tgk Nie juga percaya diri
mengatakan jika dalam waktu beberapa jam ke depan, hasil perhitungan
suara calon Gubernur-Wakil Gubernur Aceh Muzakir Manaf-TA Khalid akan
naik signifikan.
“Kita harapkan kepada masyarakat, kader PA, dan
simpatisan untuk bersyukur kepada Allah SWT dan berdoa atas suksesnya
pilkada 2017 ini. Kemudian kita meminta kepada Allah semoga kita dapat
memenangkan pilkada di tingkat provinsi Aceh dan di wilayah pase,”
katanya dalam konferensi per di Kantor PA/KPA Wilayah Pase, Keude
Geuding, Samudera, Aceh Utara, Jumat, 17 Februari 2017.
Sayangnya,
hal itu belum juga terwujud. Hingga Minggu malam, 19 Februari 2017,
Muzakir Manaf-TA Khalid tak juga mempu mengejar ketertinggalan.
Pasangan
Irwandi-Nova unggul dengan perolehan 779.631 suara sah dari total
2.079.559 suara sah. Jauh meninggalkan pasangan Muzakir Manaf yang
memperoleh sebanyak 645.223 suara sah.
Suara-suara itu masuk
8.200 TPS dari total 9.592 TPS yang ada di Aceh. Sesuatu yang
mengkhawatirkan adalah tingkat partisipasi pemilih yang juga cenderung
rendah.
Pemilih yang terdaftar 8.200 TPS itu sesungguhnya
berjumlah 2.961.152 orang. Tapi hanya 2.179.196 orang di antaranya yang
menggunakan hak pilihnya atau 73,6 persen. Adapun total jumlah DPT Aceh
sebanyak 3.434.722 orang.
Kondisi inilah yang membuat banyak
kalangan yakin bahwa pasangan yang diusung Partai Aceh bakal tumbang
dalam kontestasi kali ini.
“Bahkan saya pikir PA harus menerima
kekalahan double yakni di tingkat provinsi dan kabupaten,” kata Pengamat
Politik Universitas Malikussaleh Teuku Kemal Pasya daat dimintai
tanggapannya, Minggu, (19/2/2017).
Jumlah
suara Partai Aceh diproyeksikan akan menurun drastis jika dibanding
dengan perolehan pada Pilkada 2012 lalu. Saat mengusung Pasangan Zaini
Abdullah - Muzakkir Manaf, Partai Aceh berhasil meraup sebanyak
1,327,695 suara sah atau 55.78 persen dari total sebanyak 2,3 juta suara
sah pada pilkada 2012 lalu.
Klaim Kemenangan PA
Kemal
Pasya memiliki penilaian sendiri terhadap beberapa klaim kemenangan
yang dilontarkan sejumlah pengurus dan kader PA. “Itu hanya bentuk
kepanikan,” nilainya.
Menurut Kemal, Partai Aceh memang yang pertama mengklaim mereka menang dalam kontestasi.
Namun
klaim PA cenderung bersifat tunggal. Sedangkan beberapa kelompok lain
justru menunjukkan tren yang sama dengan persentase kemenangan ada di
kubu Irwandi-Nova.
“Survei Himasta itu memang menujukkan
persentase yang terlalu tinggi untuk Irwandi. Karena saya lihat memang
secara survei punya margin of error yang cukup parah juga di hampir 23 kabupaten kota.Tapi urutan-urutan pemenangnya Himasta cocok dengan real count yang lain,” jelasnya.
Merujuk
pada data KPU, kata Kemal, Irwandi juga sudah unggul sekitar 6 persen
dari Muzakir Manaf-TA Khalid. “Harapan mendongkrak suara dari Aceh Timur
juga tak cukup realistis. Kalau kita lihat populasi Aceh Timur kan
tidak mencapai 5 persen penduduk Aceh, tidak mungkin merubah peringkat,”
katanya.
Mengapa PA Rontok?
Rontoknya dominasi
Partai Aceh dalam kontestasi kali ini, nilai Kemal, sedikitnya berkaitan
dengan tiga hal. Pertama, sebagai kekuatan dominan, menurut Kemal
Pasya, selama ini Partai Aceh tak menunjukkan kerja-kerja yang
mencerminkan partai moderen. PA, kata Kemal, sangat minim memunculkan
kader-kader baru yang bisa mengisi pos-pos yang signifikan dalam
struktur partai.
“Kedua saya lihat juga hampir tidak ada upaya
untuk melakukan pendidikan politik bagi publik, jadi kita hanya mengenal
PA itu saat musim electoral (pemilihan) seperti sekarang, tapi di hari-hari di luar electoral itu apa kiprah Partai Aceh yang bisa dijadikan contoh bagi publik? Ini sangat kurang,” kata Kemal.
Ketiga,
kata Kemal, PA cenderung berperan antagonis dalam menyikapi isu-isu
yang berkembang. “Alih-alih mereka bersikap persuasif tapi mereka lebih
bersikap konfrontatif, isu bendera, wali naggroe, misalnya,” kata Kemal
mencontohkan.
“Tiga hal ini saya lihat kenapa PA ini tidak dipilih.”
Irwandi Menang dengan Gagasan Ketinggalan Jaman
Kemal
menilai, unggulnya Irwandi Yusuf-Nova Iriansyah dalam duel kali ini
bukan lantaran publik menilai gagasan pembaruan yang diusung pasangan
tersebut. Gagasan JKA yang didengung-dengungkan Irwandi misalnya, kata
Kemal, justru merupakan program yang sudah ketinggalan jaman.
Sayangnya, Muzakir Manaf-TA Khalid juga tidak memunculkan gagasan yang lebih maju dari Irwandi.
Karena
itu, Kemal mengibaratkan terpilihnya Irwandi bukan karena rakyat
memilih yang terbaik dari yang baik. “Tapi memilih yang baik di antara
yang terburuk, yaitu artinya tidak ada pilihan, sehingga terpaksalah
harus memilih Irwandi,” katanya.
Menurut Kemal, jika ada calon
yang memiliki gagasan yang lebih baik dalam kontestasi kali ini,
sesungguhnya Irwandi akan sulit terpilih.
Munculnya Tarmizi
Karim, sebetulnya sempat memberi nuasa baru bagi pemilih. Bahkan melihat
survei-survei di bulan November 2016, kata Kemal, Tarmizi sempat leading di sejumlah daerah termasuk Aceh Utara yang merupakan basis Partai Aceh.
“Tapi karena ada masalah internal, koalasi partai pendukung akhirnya kedodoran dan pecah suara,” katanya.
Dampak Terhadap Eksistensi Muzakir Manaf
Potensi
kekalahan Partai Aceh kali ini, kata Kemal, penting menjadi bahan
evaluasi. Tak kecuali untuk meninjau posisi ketua PA/KPA sebagai langkah
penyegaran partai.
Namun, kata Kemal, Muzakir Manaf masih memiliki karisma yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan rekan sebayanya di partai.
Tapi,
kata Kemal, Partai Aceh memang penting memberikan kesempatan bagi
kader-kader lain yang lebih visioner untuk membangun partai dan
memajukan Aceh.
“Mungkin bisa dengan menempatkan Muzakir Manaf
sebagai dewan pertimbangan atau majelis kehormatan dan memberikan
kepemimpinan kepada orang yang lebih mampu mengelola partai,” katanya.
Kemal
mengatakan, satu hal yang perlu diingat, Aceh saat ini sudah masuk di
era partai yang lebih disiplin menuju partai moderen. “Bukan lagi dengan
partai-partai tradisional yang hanya mengandalkan karisma,” katanya.(Sumber: beritakini.co)
loading...
Post a Comment