Tim pemenangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh Muzakir Manaf-TA Khalid ketika menggelar konferensi pers. Foto: Fauzul Husni |
AMP - Tim Pemenangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh, Muzakir Manaf-TA Khalid meminta penyelenggara pilkada untuk menggelar pemilihan ulang di beberapa tempat pemungutan suara (TPS) di sejumlah daerah Se-Aceh.
Pernyataan itu disampaikan oleh Juru Bicara Tim Pemenangan Muzakir Manaf-TA Khalid, Nasir Djamil dalam konferensi pers yang gelar di balai pemenangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh, Muzakir Manaf-TA Khalid, Sabtu (25/2).
Menurut Nasir Djamil, pelaksanaan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh telah menyimpang dari ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pasalnya banyak terjadi kecurangan yang dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif.
Politisi Partai Keadilan Sejahtera itu menjelaskan berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) nomor 8 tahun 2016, tentang perubahan PKPU nomor 4 tahun 2015, bahwa tiap TPS paling banyak hanya boleh 800 orang. Tapi di beberapa daerah yang terjadi adalah dari jumlah pemilih 1.200 orang dibuat menjadi empat TPS. Dan ini diduga sengaja dilakukan untuk memudahkan terjadinya kecurangan saat pemungutan suara di TPS Se-Aceh.
"Kejadian ini dugaan kami sengaja dilakukan, padahal jelas-jelas melanggar PKPU," kata Nasir Djamil.
Selain itu, Nasir mengungkapkan berdasarkan Qanun Nomor 12 tahun 2016 tentang pemilihan gubernur, bupati dan wali kota, setiap pemilih diperkenankan bisa mnggunakan Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau identitas lainnya untuk memberikan hak suaranya. Namun faktanya penyelenggara hanya memperboleh masyarakat yang memilih harus menggunakan formulir C6 KWK dan E-KTP.
"Gara-gara peraturan itu, ada 25 hingga 30 persen masyarakat tidak bisa memilih karena tidak memiliki E-KTP. Ini luar biasa total jumlah pemilih yang tidak bisa memilih," kata Nasir.
Bahwa menurut ketentuan PKPU Nomor 15 tahun 2016, perubahan atas PKPU nomor 11 tahun 2015, pada pasal 4 ayat 1 huruf a menyebutkan, setelah menerima kotak suara yang tersegel dan salinan formulir C-KWK dan model C1-KWK lampirannya dari KPPS. Kemudian PPS mengumumkan hasil perhitungan dari seluruh TPS dengan menggunakan lampiran model C1 KWK dengan cara menempelkan pada sarana pengumuman di desa.
"Tapi itu juga tida dilakukan, hampir seluruh kab/kota Se Aceh tidak melaksanakan ketentuan itu, sehingga pelanggaran ini telah mengakibatkan cacat hukum terhadap seluruh tahapan pilkada di Aceh," kata Nasir.
Pelanggaran undang-undang yang dilakukan oleh penyelenggara bukan secara tiba-tiba disampaikan, tapi dari tingkat kab/kota pihaknya sudah menyampaikan pelanggaran itu kepada pihak penyelenggaran, namun tidak pernah ditindaklanjuti.
"Tadi pagi ketika rapat pleno rekapitulasi suara yang berlangsung di DPRA merupakan sikap klimak kami atas pelanggaran yang dilakukan, karena sudah jauh-jauh hari pelanggaran ini kami sampaikan, makanya kami mengambil sikap keluar dari sidang pleno," jelasnya.
Untuk itu, dirinya meminta kepada KIP dan Panwaslih Aceh untuk menindaklanjuti atas laporan pelanggaran yang terjadi, karena hingga kini pihaknya masih sangat percaya dengan kerja-kerja penyelenggaran pemilu di Aceh.
"Kami menginginkan ada pemungutan suara ulang. Bukan sesuatu yang luar biasa ketika meminta pemilihan ulang. Di Jakarta saja yang suhu politiknya tinggi bisa menggelar pemilihan ulang di beberapa TPS, apalagi Aceh yang damai tanpa konflik apapun, bukan hal yang luar biasa itu," kata Anggota DPR RI itu.
Dirinya juga meminta kepada panwaslih agar bisa menegakkan martabatnya. Sehingga panwaslih jangan menjadi macam ompong.
"Apakah nanti kasus ini akan sampai ke MK, kami belum berpikir, yang jelas kami masih sangat percaya kepada KIP dan Panwaslih. Mohon kepercayaan kami segera ditindaklanjuti," tegasnya.(AJNN)
Pernyataan itu disampaikan oleh Juru Bicara Tim Pemenangan Muzakir Manaf-TA Khalid, Nasir Djamil dalam konferensi pers yang gelar di balai pemenangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh, Muzakir Manaf-TA Khalid, Sabtu (25/2).
Menurut Nasir Djamil, pelaksanaan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh telah menyimpang dari ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pasalnya banyak terjadi kecurangan yang dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif.
Politisi Partai Keadilan Sejahtera itu menjelaskan berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) nomor 8 tahun 2016, tentang perubahan PKPU nomor 4 tahun 2015, bahwa tiap TPS paling banyak hanya boleh 800 orang. Tapi di beberapa daerah yang terjadi adalah dari jumlah pemilih 1.200 orang dibuat menjadi empat TPS. Dan ini diduga sengaja dilakukan untuk memudahkan terjadinya kecurangan saat pemungutan suara di TPS Se-Aceh.
"Kejadian ini dugaan kami sengaja dilakukan, padahal jelas-jelas melanggar PKPU," kata Nasir Djamil.
Selain itu, Nasir mengungkapkan berdasarkan Qanun Nomor 12 tahun 2016 tentang pemilihan gubernur, bupati dan wali kota, setiap pemilih diperkenankan bisa mnggunakan Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau identitas lainnya untuk memberikan hak suaranya. Namun faktanya penyelenggara hanya memperboleh masyarakat yang memilih harus menggunakan formulir C6 KWK dan E-KTP.
"Gara-gara peraturan itu, ada 25 hingga 30 persen masyarakat tidak bisa memilih karena tidak memiliki E-KTP. Ini luar biasa total jumlah pemilih yang tidak bisa memilih," kata Nasir.
Bahwa menurut ketentuan PKPU Nomor 15 tahun 2016, perubahan atas PKPU nomor 11 tahun 2015, pada pasal 4 ayat 1 huruf a menyebutkan, setelah menerima kotak suara yang tersegel dan salinan formulir C-KWK dan model C1-KWK lampirannya dari KPPS. Kemudian PPS mengumumkan hasil perhitungan dari seluruh TPS dengan menggunakan lampiran model C1 KWK dengan cara menempelkan pada sarana pengumuman di desa.
"Tapi itu juga tida dilakukan, hampir seluruh kab/kota Se Aceh tidak melaksanakan ketentuan itu, sehingga pelanggaran ini telah mengakibatkan cacat hukum terhadap seluruh tahapan pilkada di Aceh," kata Nasir.
Pelanggaran undang-undang yang dilakukan oleh penyelenggara bukan secara tiba-tiba disampaikan, tapi dari tingkat kab/kota pihaknya sudah menyampaikan pelanggaran itu kepada pihak penyelenggaran, namun tidak pernah ditindaklanjuti.
"Tadi pagi ketika rapat pleno rekapitulasi suara yang berlangsung di DPRA merupakan sikap klimak kami atas pelanggaran yang dilakukan, karena sudah jauh-jauh hari pelanggaran ini kami sampaikan, makanya kami mengambil sikap keluar dari sidang pleno," jelasnya.
Untuk itu, dirinya meminta kepada KIP dan Panwaslih Aceh untuk menindaklanjuti atas laporan pelanggaran yang terjadi, karena hingga kini pihaknya masih sangat percaya dengan kerja-kerja penyelenggaran pemilu di Aceh.
"Kami menginginkan ada pemungutan suara ulang. Bukan sesuatu yang luar biasa ketika meminta pemilihan ulang. Di Jakarta saja yang suhu politiknya tinggi bisa menggelar pemilihan ulang di beberapa TPS, apalagi Aceh yang damai tanpa konflik apapun, bukan hal yang luar biasa itu," kata Anggota DPR RI itu.
Dirinya juga meminta kepada panwaslih agar bisa menegakkan martabatnya. Sehingga panwaslih jangan menjadi macam ompong.
"Apakah nanti kasus ini akan sampai ke MK, kami belum berpikir, yang jelas kami masih sangat percaya kepada KIP dan Panwaslih. Mohon kepercayaan kami segera ditindaklanjuti," tegasnya.(AJNN)
loading...
Post a Comment