AMP - Satu persatu para petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) membelakangi Partai Aceh. Mereka memilih keluar dan membangun entitas politik baru. Pasca 2012, Teungku Nur Djuli, Sofyan Dawod, Irwandi Yusuf, Munawar Liza, dll, out dari “geunareh”. Kini deretan itu bertambah.
Irwandi Yusuf, pada 2012 adalah seorang pengkhianat yang tidak sedikitpun terlihat baik di mata kader Partai Aceh. Mulai dari level atas seperti Zaini Abdullah, Zakaria Saman, hingga kader dan simpatisan di akar rumput menyebut juru propaganda GAM itu sebagai ureung grop pageu yang dilakap pengkhianat.
Kala itu, Irwandi bukan hanya dibenci. Namun beberapa kali hendak dihabisi. Serangkaian aksi upaya pemboman, telah dirancang, namun Teungku Agam selalu lolos. Bukan karena ia hebat, tapi Tuhan masih belum berkehendak. Pun demikian, tidak sedikit orang-orang yang bersetia dengan dirinya, tewas di ujung senapan. Polisi memang berhasil menangkap eksekutor lapangan. Namun kasus tersebut tidak pernah ada tindak lanjut. Walau para pelaku sempat menyebut sejumlah nama, tapi hingga kini, polisi tak kunjung menindaklanjuti.
Ini belum lagi sederet tokoh GAM lainnya yang dilecehkan karena tidak sehaluan dengan petinggi PA. Mereka benar-benar dihina dengan lakap pengkhianat.
Pada Pilkada 2017, kisah yang sama kembali terulang dengan korban yang berbeda. Zaini Abdullah, Zakaria Saman, beberapa eks Libya dan yang terbaru Jufri Hasanuddin, kembali dicap sebagai pengkhianat. Dengan keluarnya Doto dan Apa Karya, Partai Aceh pun semakin sedikit dihuni oleh GAM senior yang terlibat dalam serangkaian dialog di Finlandia yang melahirkan MoU Helsinki. Nurdin Abdul Rahman, Nur Djuli, Munawarliza, Irwandi, Zaini Abdullah –sebagai juru runding dan support team– sudah di luar ring. Hanya tersisa Malik Mahmud Al Haytar. Sedangkan Bakhtiar Abdullah tetap sebagai GAM dan warga Swedia.
***
Apa yang terus menerus menjadi dinamika politik di tubuh Partai Aceh, mirip dengan apa yang terjadi di Indonesia pada awal kemerdekaan. Soekarno yang berhasil menjadi Presiden RI pertama, seiring perjalanan waktu tidak sejalan dengan rekan-rekan seperjuangan. Hingga akhirnya ia pun harus bermusuhan dengan Tan Malaka, Hatta, Syahrir, dll. Bahkan banyak teman-temannya di masa revolusi yang ia tangkap dan dijadikan sebagai tahanan. Mereka dihina dengan sehina-hinanya. Bahkan Tan Malaka pun harus dibunuh.
Soekarno, pada akhirnya pun merasakan karma. Ia diperlakukan dengan sangat sadis oleh anak kemarin sore, Soeharto, yang ketika Soekarno berjuang, Harto masih pasukan KNIL bentukan Belanda.
Menarik melihat apa yang menjadi dinamika di Aceh. PA yang melihat dirinya sebagai “amanah” MoU Helsinki dan satu-satunya representasi GAM, telah menerjemahkan kekuatan lokal dan nasional di luar mereka sebagai musuh dan lawan yang akan menghambat apa yang sedang mereka perjuangkan.
Tidak butuh waktu lama, penyakit megalomania yang diidap ini, telah membuat solidaritas internal menjadi rapuh. Rantai komando yang sangat dominan membuat nilai-nilai demokrasi tidak berjalan maksimal. Timbul kabilah-kabilah yang tidak sejalan, yang akhirnya bermuara pada pertarungan interen.
Di sisi lainnya, inkonsistensi terhadap janji pada masa kampanye pun terus menggerus dukungan dari rakyat. Nyaris tak ada janji yang ditunaikan. Di sisi yang lain, angka korupsi kian merajalela. Aceh yang seharusnya kaya raya, justru berada pada peringkat tiga besar daerah termiskin di Sumatera.
***
Kini, selain Malik Mahmud, tidak ada lagi tokoh kunci perundingan Helsinki di tubuh Partai Aceh. Di luar Wali Nanggroe itu, semuanya telah dianggap sebagai pengkhianat. Bahkan tidak sedikit muncul orang-orang baru yang berani mengklaim sebagai juru runding yang mewakili GAM di Helsinki sebelum ditandatangani pada 15 Agustus 2005.
Partai Aceh–apabila gagal menyadari– tentu akan menuju senjakala. Aceh terus berubah. Rakyatnya semakin hari semakin cerdas. Orang miskin yang sekian lama tertipu, kini sudah mulai sadar bahwa telah sekian lama tertipu. Jargon-jargon perjuangan kian tak dipercaya. Ancaman bila PA kalah, maka akan kembali perang, sudah tak mempan.
Pada akhirnya, Muzakkir Manaf pun harus menyadari. Bahwa suatu saat kelak, ia pun akan dicap pengkhianat oleh generasi yang lebih muda. Kelak ia akan disebut pengkhianat oleh orang-orang yang ketika Mualem berperang, mereka masih main pasir, atau bahkan tukang beli rokok serdadu BKO.(Sumber: acehtrend.co)
Irwandi Yusuf, pada 2012 adalah seorang pengkhianat yang tidak sedikitpun terlihat baik di mata kader Partai Aceh. Mulai dari level atas seperti Zaini Abdullah, Zakaria Saman, hingga kader dan simpatisan di akar rumput menyebut juru propaganda GAM itu sebagai ureung grop pageu yang dilakap pengkhianat.
Kala itu, Irwandi bukan hanya dibenci. Namun beberapa kali hendak dihabisi. Serangkaian aksi upaya pemboman, telah dirancang, namun Teungku Agam selalu lolos. Bukan karena ia hebat, tapi Tuhan masih belum berkehendak. Pun demikian, tidak sedikit orang-orang yang bersetia dengan dirinya, tewas di ujung senapan. Polisi memang berhasil menangkap eksekutor lapangan. Namun kasus tersebut tidak pernah ada tindak lanjut. Walau para pelaku sempat menyebut sejumlah nama, tapi hingga kini, polisi tak kunjung menindaklanjuti.
Ini belum lagi sederet tokoh GAM lainnya yang dilecehkan karena tidak sehaluan dengan petinggi PA. Mereka benar-benar dihina dengan lakap pengkhianat.
Pada Pilkada 2017, kisah yang sama kembali terulang dengan korban yang berbeda. Zaini Abdullah, Zakaria Saman, beberapa eks Libya dan yang terbaru Jufri Hasanuddin, kembali dicap sebagai pengkhianat. Dengan keluarnya Doto dan Apa Karya, Partai Aceh pun semakin sedikit dihuni oleh GAM senior yang terlibat dalam serangkaian dialog di Finlandia yang melahirkan MoU Helsinki. Nurdin Abdul Rahman, Nur Djuli, Munawarliza, Irwandi, Zaini Abdullah –sebagai juru runding dan support team– sudah di luar ring. Hanya tersisa Malik Mahmud Al Haytar. Sedangkan Bakhtiar Abdullah tetap sebagai GAM dan warga Swedia.
***
Apa yang terus menerus menjadi dinamika politik di tubuh Partai Aceh, mirip dengan apa yang terjadi di Indonesia pada awal kemerdekaan. Soekarno yang berhasil menjadi Presiden RI pertama, seiring perjalanan waktu tidak sejalan dengan rekan-rekan seperjuangan. Hingga akhirnya ia pun harus bermusuhan dengan Tan Malaka, Hatta, Syahrir, dll. Bahkan banyak teman-temannya di masa revolusi yang ia tangkap dan dijadikan sebagai tahanan. Mereka dihina dengan sehina-hinanya. Bahkan Tan Malaka pun harus dibunuh.
Soekarno, pada akhirnya pun merasakan karma. Ia diperlakukan dengan sangat sadis oleh anak kemarin sore, Soeharto, yang ketika Soekarno berjuang, Harto masih pasukan KNIL bentukan Belanda.
Menarik melihat apa yang menjadi dinamika di Aceh. PA yang melihat dirinya sebagai “amanah” MoU Helsinki dan satu-satunya representasi GAM, telah menerjemahkan kekuatan lokal dan nasional di luar mereka sebagai musuh dan lawan yang akan menghambat apa yang sedang mereka perjuangkan.
Tidak butuh waktu lama, penyakit megalomania yang diidap ini, telah membuat solidaritas internal menjadi rapuh. Rantai komando yang sangat dominan membuat nilai-nilai demokrasi tidak berjalan maksimal. Timbul kabilah-kabilah yang tidak sejalan, yang akhirnya bermuara pada pertarungan interen.
Di sisi lainnya, inkonsistensi terhadap janji pada masa kampanye pun terus menggerus dukungan dari rakyat. Nyaris tak ada janji yang ditunaikan. Di sisi yang lain, angka korupsi kian merajalela. Aceh yang seharusnya kaya raya, justru berada pada peringkat tiga besar daerah termiskin di Sumatera.
***
Kini, selain Malik Mahmud, tidak ada lagi tokoh kunci perundingan Helsinki di tubuh Partai Aceh. Di luar Wali Nanggroe itu, semuanya telah dianggap sebagai pengkhianat. Bahkan tidak sedikit muncul orang-orang baru yang berani mengklaim sebagai juru runding yang mewakili GAM di Helsinki sebelum ditandatangani pada 15 Agustus 2005.
Partai Aceh–apabila gagal menyadari– tentu akan menuju senjakala. Aceh terus berubah. Rakyatnya semakin hari semakin cerdas. Orang miskin yang sekian lama tertipu, kini sudah mulai sadar bahwa telah sekian lama tertipu. Jargon-jargon perjuangan kian tak dipercaya. Ancaman bila PA kalah, maka akan kembali perang, sudah tak mempan.
Pada akhirnya, Muzakkir Manaf pun harus menyadari. Bahwa suatu saat kelak, ia pun akan dicap pengkhianat oleh generasi yang lebih muda. Kelak ia akan disebut pengkhianat oleh orang-orang yang ketika Mualem berperang, mereka masih main pasir, atau bahkan tukang beli rokok serdadu BKO.(Sumber: acehtrend.co)
loading...
Post a Comment