HARI ini 23 Juli, tepat 17 yang lalu peristiwa paling menyedihkan terjadi di Aceh. Tanpa perlawanan, Tgk. Bantaqiah, seorang ulama tradisional pimpinan pondok Pasantren Babul Mukarramah Desa Blang Marandeh, Beutong Ateuh, Kabupaten Nagan Raya dan 32 pengikutnya dibantai oleh pasukan bersenjata.
Pembantaian juga tidak berhenti disitu, sebanyak 20 orang lagi dibawa ke Takengon dengan alasan untuk diberi pengobatan, tetapi ketika sampai kilometer 7, mareka juga dibunuh semua. Keseluruan korban dalam peristiwa Tgk Bantaqiah berjumlah 56 orang.
Sebuah media lokal terbitan Medan 27 Juli 1999 menyebutkan pasukan bersenjata tersebut adalah Tentara Republik Indonesia (TNI) dari Bataliyon 328 Kostrad di bawah kendali operasi (BKO) Korem 011/Lilawangsa.
Tgk Bantaqiah dituduh menyimpan senjata dan ganja, tetapi dalam proses pangadilan koneksitas suatu pengadilan yang mengadili perbuatan pidana dilakukan oleh militer secara bersama-sama dengan masyarakat sipil, para pelaku tidak dapat membuktikan jika Tgk Bantaqiah menyimpan senjata dan ganja tersebut.
Penembakan tersebut terjadi secara membabibuta tanpa perlawanan dari Tgk Bantaqiah dan pengikutnya. Para perempuan dan anak-anak yang sedang mengikuti pengajian di pondok pesantren juga ikut menyaksikan peristiwa berdarah tersebut. Para korban dikubur dalam satu liang lahat, hanya Tgk Bantaqiah yang dikubur secara terpisah.
Perbededaan versi kronologis peristiwa tersebut pun terjadi, seperti kesimpulan dari penyelidikan Tim Pencari Fakta (TPF) bentukan Pemerintah Daerah Aceh untuk kasus Beutong Ateuh. TPF menyimpulkan pembantaian jelas dilakukan oleh oknum anggota TNI dan tidak ada bukti yang cukup jika dalam peristiwa tersebut terjadi perlawanan dari Tgk Bantaqiah dan para pengikutnya
Sementara penjelasan berbeda dikeluarkan TNI dalam siaran pers atas pembantaian 23 Juli 1999 itu. Pihak TNI mengklaim, penembakan itu dilakukan karena pasukan TNI diserang. Pihak TNI juga menyebutkan telah menemukan sejumlah senjata api, dokumen dan ladang ganja dalam operasi khusus di Beutong Ateuh tersebut.
Dari hasil penyelidikan TPF akhirnya membawa para anggota TNI yang terlibat dalam pembantaian itu ke hadapan pengadilan koneksitas. Para terdakwa anggota TNI mengatakan, 215 personil dari mereka hanya menjalankan tugas dari komandannya, Letkol Sudjono, yang pada waktu itu diperintahkan untuk menangkap hidup maupun mati Tgk Bantaqiah beserta pengikutnya.
Kasus tersbut mulai disidangkan pada 8 Februari 2000. Keputusan pengadilan hanya memberikan hukuman terhadap para prajurit bawahan. Sedangkan yang memimpin penyerbuan, Letkol Sudjono, dan atasan yang memberi perintah diatasnya lagi raib sampai sekarang.[]
Laporan: Oga Umar Dhani/ dikutip dari berbagai sumber
Pembantaian juga tidak berhenti disitu, sebanyak 20 orang lagi dibawa ke Takengon dengan alasan untuk diberi pengobatan, tetapi ketika sampai kilometer 7, mareka juga dibunuh semua. Keseluruan korban dalam peristiwa Tgk Bantaqiah berjumlah 56 orang.
Sebuah media lokal terbitan Medan 27 Juli 1999 menyebutkan pasukan bersenjata tersebut adalah Tentara Republik Indonesia (TNI) dari Bataliyon 328 Kostrad di bawah kendali operasi (BKO) Korem 011/Lilawangsa.
Tgk Bantaqiah dituduh menyimpan senjata dan ganja, tetapi dalam proses pangadilan koneksitas suatu pengadilan yang mengadili perbuatan pidana dilakukan oleh militer secara bersama-sama dengan masyarakat sipil, para pelaku tidak dapat membuktikan jika Tgk Bantaqiah menyimpan senjata dan ganja tersebut.
Penembakan tersebut terjadi secara membabibuta tanpa perlawanan dari Tgk Bantaqiah dan pengikutnya. Para perempuan dan anak-anak yang sedang mengikuti pengajian di pondok pesantren juga ikut menyaksikan peristiwa berdarah tersebut. Para korban dikubur dalam satu liang lahat, hanya Tgk Bantaqiah yang dikubur secara terpisah.
Perbededaan versi kronologis peristiwa tersebut pun terjadi, seperti kesimpulan dari penyelidikan Tim Pencari Fakta (TPF) bentukan Pemerintah Daerah Aceh untuk kasus Beutong Ateuh. TPF menyimpulkan pembantaian jelas dilakukan oleh oknum anggota TNI dan tidak ada bukti yang cukup jika dalam peristiwa tersebut terjadi perlawanan dari Tgk Bantaqiah dan para pengikutnya
Sementara penjelasan berbeda dikeluarkan TNI dalam siaran pers atas pembantaian 23 Juli 1999 itu. Pihak TNI mengklaim, penembakan itu dilakukan karena pasukan TNI diserang. Pihak TNI juga menyebutkan telah menemukan sejumlah senjata api, dokumen dan ladang ganja dalam operasi khusus di Beutong Ateuh tersebut.
Dari hasil penyelidikan TPF akhirnya membawa para anggota TNI yang terlibat dalam pembantaian itu ke hadapan pengadilan koneksitas. Para terdakwa anggota TNI mengatakan, 215 personil dari mereka hanya menjalankan tugas dari komandannya, Letkol Sudjono, yang pada waktu itu diperintahkan untuk menangkap hidup maupun mati Tgk Bantaqiah beserta pengikutnya.
Kasus tersbut mulai disidangkan pada 8 Februari 2000. Keputusan pengadilan hanya memberikan hukuman terhadap para prajurit bawahan. Sedangkan yang memimpin penyerbuan, Letkol Sudjono, dan atasan yang memberi perintah diatasnya lagi raib sampai sekarang.[]
Laporan: Oga Umar Dhani/ dikutip dari berbagai sumber
Dikutip dari Mediaaceh.co
loading...
Post a Comment