Ilustrasi |
AMP - Banyak warga Aceh yang terjerat kasus narkoba. Akan tetapi, Pemerintah Aceh sepertinya kurang peka, kalau tak elok dibilang pekak. Kurir narkoba asal Aceh bukan hanya pria, tapi juga kaum hawa.
Lihatlah, berita tentang kejahatan narkoba tidak pernah sepi, dan Aceh selalu terkait dengannya. Di hampir semua penjara di Indonesia ada penghuni warga Aceh. Umumnya mereka terlibat kasus narkoba. Umumnya mereka berbisnis narkotika jenis sabu dan ganja.
Ganja sudah kurang populer dibanding sabu. Bahkan kedua barang haram ini “surganya” di Aceh. Bila ganja ditanam di pegunungan Aceh, maka sabu masuk melalui pesisir Aceh. Keterlibatan warga Aceh dalam distribusi narkoba ini bukan lagi rahasia umum. Banyak bandar, pengedar dan penikmat di Aceh. Mereka bisa dilihat dengan kentara. Para bandar secara atraktif, bahkan menjadi orang kaya baru di kampung-kampung.
Banyak pula yang kambuhan. Telah keluar masuk penjara. Aparat penegak hukum sepertinya hanya menjadikan penangkapan sebagai sebuah siklus saja. Semakin hari kejahatan ini makin parah saja. Yang terlihat selama ini, hanya polisi yang melakukan tindakan nyata. Juga TNI yang membantu.
Anehnya, Pemerintah Aceh atau pemerintah kabupaten/kota terkesan belum melihat perkara ini sebagai sebuah kejahatan. Hampir tidak ada upaya yang kita lihat nyata. Baik berupa program maupun anggaran. Eksekutif dan legislatif kita buta melihat bencana ini. Tidak ada kampanye masif atau tindakan untuk menghentikan malapetaka ini. Padahal, keterlibatan warga Aceh dalam kasus ini sudah sejak puluhan tahun lalu. Di Malaysia misalnya. Sebagian besar warga Aceh yang dipenjara di sana karena kasus narkoba.
Aceh berlimpah uang. Namun, Aceh juga salah satu propinsi termiskin di negeri ini. Dan, kemiskinan juga menggelapkan mata orang. Kemiskinan membuat orang memilih jalan apapun untuk sejahtera. Di Aceh, lapangan kerja amat sempit. Lapangan usaha juga susah.
Pemerintah yang hanya berpikir pola tradisional. Anggaran selalu mengacu pada pembangunan fisik. Salah satu penyebabnya karena di sana mereka bisa mendapatkan rente. Pemerintah yang tidak pernah berpikir bagaimana memproduktifkan anggaran. Agar tercipta berbagai peluang. Tercipta lapangan kerja yang berkesinambungan. Bukan lapangan kerja sporadis buruh bangunan.
Sudah amat perlu eksekutif dan legislatif Aceh mendeklarasikan narkoba sebagai musuh kehidupan kita. Musuh utama. Kemiskinan amat punya korelasi orang-orang Aceh terlibat narkoba. Kemiskinan membuat orang nekat melakukan apappun. “Meunyo hana peng lam jaroe, seupot lam nanggroe, peungeuh lam rimba”.
Itu sebabnya, harus ada upaya serius dan masif dari pemerintah untuk mengakhiri malapetaka ini. Tidak cukup turun tangan polisi menangkap pelaku. Atau TNI membantu memusnahkan ladang ganja. Itu hanya tindakan sporadis. Hanya sedikit efeknya. Eksekutif dan legislatif “beusapue khuen, sapue pakat”. Sebab, kasus ini pasti menjalar kepada anak atau keluarga mereka.
Virus narkoba merengsek sampai ke sumsum mereka. Pemerintah yang baik bukan hanya mampu membangun. Tapi juga mampu menjaga rakyatnya. Mampu mengasuh bangsanya. Mampu membawa bangsa ke jalan yang benar. Pemimpin harus menjadi gembala bagi rakyat. Bukan seperti saat ini, “menipu” rakyat. “Pengisap darah” rakyat. Penggarong hak rakyat dan “tikus-tikus” di lumbung rakyat.[]portalsatu.com
Lihatlah, berita tentang kejahatan narkoba tidak pernah sepi, dan Aceh selalu terkait dengannya. Di hampir semua penjara di Indonesia ada penghuni warga Aceh. Umumnya mereka terlibat kasus narkoba. Umumnya mereka berbisnis narkotika jenis sabu dan ganja.
Ganja sudah kurang populer dibanding sabu. Bahkan kedua barang haram ini “surganya” di Aceh. Bila ganja ditanam di pegunungan Aceh, maka sabu masuk melalui pesisir Aceh. Keterlibatan warga Aceh dalam distribusi narkoba ini bukan lagi rahasia umum. Banyak bandar, pengedar dan penikmat di Aceh. Mereka bisa dilihat dengan kentara. Para bandar secara atraktif, bahkan menjadi orang kaya baru di kampung-kampung.
Banyak pula yang kambuhan. Telah keluar masuk penjara. Aparat penegak hukum sepertinya hanya menjadikan penangkapan sebagai sebuah siklus saja. Semakin hari kejahatan ini makin parah saja. Yang terlihat selama ini, hanya polisi yang melakukan tindakan nyata. Juga TNI yang membantu.
Anehnya, Pemerintah Aceh atau pemerintah kabupaten/kota terkesan belum melihat perkara ini sebagai sebuah kejahatan. Hampir tidak ada upaya yang kita lihat nyata. Baik berupa program maupun anggaran. Eksekutif dan legislatif kita buta melihat bencana ini. Tidak ada kampanye masif atau tindakan untuk menghentikan malapetaka ini. Padahal, keterlibatan warga Aceh dalam kasus ini sudah sejak puluhan tahun lalu. Di Malaysia misalnya. Sebagian besar warga Aceh yang dipenjara di sana karena kasus narkoba.
Aceh berlimpah uang. Namun, Aceh juga salah satu propinsi termiskin di negeri ini. Dan, kemiskinan juga menggelapkan mata orang. Kemiskinan membuat orang memilih jalan apapun untuk sejahtera. Di Aceh, lapangan kerja amat sempit. Lapangan usaha juga susah.
Pemerintah yang hanya berpikir pola tradisional. Anggaran selalu mengacu pada pembangunan fisik. Salah satu penyebabnya karena di sana mereka bisa mendapatkan rente. Pemerintah yang tidak pernah berpikir bagaimana memproduktifkan anggaran. Agar tercipta berbagai peluang. Tercipta lapangan kerja yang berkesinambungan. Bukan lapangan kerja sporadis buruh bangunan.
Sudah amat perlu eksekutif dan legislatif Aceh mendeklarasikan narkoba sebagai musuh kehidupan kita. Musuh utama. Kemiskinan amat punya korelasi orang-orang Aceh terlibat narkoba. Kemiskinan membuat orang nekat melakukan apappun. “Meunyo hana peng lam jaroe, seupot lam nanggroe, peungeuh lam rimba”.
Itu sebabnya, harus ada upaya serius dan masif dari pemerintah untuk mengakhiri malapetaka ini. Tidak cukup turun tangan polisi menangkap pelaku. Atau TNI membantu memusnahkan ladang ganja. Itu hanya tindakan sporadis. Hanya sedikit efeknya. Eksekutif dan legislatif “beusapue khuen, sapue pakat”. Sebab, kasus ini pasti menjalar kepada anak atau keluarga mereka.
Virus narkoba merengsek sampai ke sumsum mereka. Pemerintah yang baik bukan hanya mampu membangun. Tapi juga mampu menjaga rakyatnya. Mampu mengasuh bangsanya. Mampu membawa bangsa ke jalan yang benar. Pemimpin harus menjadi gembala bagi rakyat. Bukan seperti saat ini, “menipu” rakyat. “Pengisap darah” rakyat. Penggarong hak rakyat dan “tikus-tikus” di lumbung rakyat.[]portalsatu.com
loading...
Post a Comment