AMP - Kita ingin kembali menggugah perhatian terhadap Baitul Asyi.
Sebagaimana diberitakan Serambi Indonesia, baru-baru ini, 2.600 jemaah
calon haji (JCH) asal Aceh di Mekkah, menerima pembagian uang kompensasi
pengelolaan Baitul Asyi .
Tahun ini, dana Baitul Asyi yang
disalurkan untuk para jemaah haji (JCH) asal Aceh sebesar 4.959.600
riyal atau Rp 14.878.800.000 kepada 4.133 jemaah (Serambi Indonesia, 29
Oktober 2010), Pemberian uang kompensasi ini dari pengelola Baitul Asyi
(Rumah Aceh) di Mekkah, terus menjadi perbincangan para jemaah haji
Nusantara .
Pada
masa pemerintahan rezim Soeharto di tahun 1980an, pernah meminta Prof
DR Ismail Suny, Duta Besar Republik Indonesia di Saudi Arabia yang juga
orang Aceh untuk mengurus aset Baitul Asyi, yang sekarang berjumlah Rp
5.7 triliun. Tujuan soeharto tidak lain tidak bukan, agar Baitul Asyi
dialihkan menjadi milik pemerintah Republik Indonesia dan dimanfaatkan
untuk kepentingan jemaah haji Indonesia.
Tetapi pengelola
Baitul Asyi, saat itu, Syeikh Muhammad Shaleh Asyi dan pemerintah
Saudi Arabia, menjelaskan bahwa wakaf tidak boleh dipindah milikkan dan
dialihkan selain dari yang telah dicantumkan oleh pewakaf. Menurut
sejarah, Habib Bugak Asyi (Habib Abdurrahman Al-Habsyi) yang hidup pada
masa kerajaan Islam Aceh Darussalam telah mewakafkan berupa rumah pemondokan di Qasasiah, ke hadapan Hakim Mahkamah Syariyah Mekkah pada 18 Rabiul Akhir tahun 1224 H. Tujuannya adalah sebagai tempat pemondokan warga negara Aceh
yang menunaikan ibadah haji ke Mekkah atau pemondokan bagi siswa siswi
Aceh yang belajar di Mekkah. Disamping itu, harta agama ini juga
diniatkan untuk tempat tinggal bagi warga negara Aceh yang bermukim di Mekkah.
Sekiranya
karena sesuatu sebab tidak ada lagi orang Aceh yang datang ke Mekkah
baik untuk naik haji, belajar dan atau bermukim disana, maka rumah
wakaf ini dapat dimanfaatkan untuk siswa siswi yang berasal dari negara
indonesia setingkat dengan ASEAN sekarang. Jika tidak ada lagi Jawi, wakaf ini diserahkan kepada Imam Masjid Haram untuk membiayai kebutuhan Masjidil Haram.
Nadhir
pertama Baital Asyi ini adalah Syeikh Abdullah Baid Asyi, pengarang
kitab Jarrah. Sekarang pengurus Baital Asyi Syekh Munir Abdul Ghani
Mahmud Asyi yang dibantu oleh Syekh Khalid bin Abdurrahim bin Abdul
Wahab Asyi dan diawasi oleh Kementerian Haji dan Wakaf Saudi Arabia,
dengan menempatkan Syekh Dr. Abdul Lathif Balthu sebagai pengawas agar
pengelolaan baitul asyi sesuai dengan ikrar wakaf yang dilakukan oleh
Habib Bugak Asyi 18 Rabiul Akhir tahun 1224 H pada masa kerajaan Aceh
Darussalam.
Pada musim 2010 lalu, nadhir Baitul Asyi akan
meletakkan batu pertama pembangunan pemondokan asrama haji Aceh
diharapkan hadir Wakil Gubernur Aceh Muhammad Nazar yang juga akan
melaksanakan ibadah haji kali ini, Pembangunan pondok ini direncanakan
selesai pada tahun 2014. Target yang hendak dicapai adalah agar asrama
ini dapat menampung 5.000 jamaah haji asal Aceh. Sehingga kedepan
jemaah haji yang berasal dari Aceh tidak perlu lagi menyewa pemondokan
selama melaksanakan ibadah haji. Lagi-lagi, pelaksanaan proyek ini
sesuai dengan ikrar wakaf Habib Abdurahman Al Habsyi Al Asyi pada tahun
1224 H.
Sebenarnya harta wakaf Aceh di Saudi bukan hanya diwakafkan oleh Habib Abdurahman Al Habsyi Al Asyi (Habib Bugak Asyi). Dari beberapa hasil penelusuran penulis, ada
19 persil lagi perlu ditelusuri keberadaannya sekarang, yang telah
terkena perluasan Mesjidil Haram maupun pembangunan fasilitas haji di
Mina. Karena walau bagaimanapun Saudi Arabia yang memberlakukan
syariat Islam sangat menjaga keberadaan tanah wakaf sebagai warisan
peradaban Islam. Di antara tanah wakaf tersebut adalah wakaf
Syekh Muhammad Saleh Asyi dan isterinya Syaikhah Asiah (sertifikat no
324) di Qassasyiah; wakaf Sulaiman bin Abdullah Asyi di Suqullail
(Pasar Seng); wakaf Muhammad Abid Asyi; wakaf Abdul Aziz bin Marzuki
Asyi; wakaf Datuk Muhammad Abid Panyang Asyi di Mina, Wakaf Aceh di
jalan Suq Al Arab di Mina, Wakaf Muhammad Saleh Asyi di Jumrah ula di
Mina, Rumah Wakaf di kawasan Baladi di Jeddah, Rumah Wakaf di Taif,
Rumah Wakaf di kawasan Hayyi al Hijrah Mekkah, Rumah Wakaf di kawasan
Hayyi Al Raudhah, Mekkah, Rumah Wakaf di kawasan Al-Aziziyah, Mekkah,
wakaf Aceh di Suqullail, Zugag Al Jabal, dikawasan Gazzah, yang belum
diketahui pewakafnya, wakaf Syekh Abdurrahim bin Jamaluddin Bawaris
Asyi (Tgk Syik di Awe Geutah) di Syamiah Mekkah dan Syekh Abdussalam
bin Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk di Meurah) di Syamiah, Abdurrahim bin
Abdullah bin Muhammad Asyi di Syamiah dan Khadijah binti Muhammad bin
Abdullah Asyi di Syamiah.
Melihat peristiwa pembagian harta wakaf di Arab Saudi memberikan pelajaran yang cukup penting bagi rakyat Aceh. Pertama,
para endatu kita selalu memikirkan masa depan, ketimbang kepentingan
mereka saat itu. Hal ini berbeda dengan para endatu sekarang yang hanya
berpikir “tiga jengkal di atas perut.” Untuk memuaskan sejengkal di
bawah pusar. Kejelasan dan kecermelangan cara berpikir itu tampaknya
yang sulit dijumpai saat ini. Sehingga warisan endatu sekarang
cenderung meninggalkan masalah, ketimbang menyelesaikan masalah. Sosok
Habib Bugak dan para pewakaf lainnya adalah ciri endatu yang berpikir
tentang bangsa Aceh. Mereka sengaja meletakkan kata bilad untuk Aceh
yang mengambarkan Aceh sebagai sebuah Negara.
Kedua,
jika di luar negeri, aset wakaf orang Aceh dijaga dengan baik, maka di
Aceh sebaliknya. Tanah wakaf di Aceh sampai saat ini belum diatur
sedemikian rupa oleh pemerintah Aceh. Kasus tanah wakaf Blang Padang milik mesjid Raya Baiturrahman
misalnya, sampai saat ini belum mendapat kejelasan. Walaupun
pemerintah kolonial Belanda yang nota bene penjajah tetapi tetap
menghormati umeng meusara (tanah wakaf) mesjid Raya tersebut (Van
Langen, 1889), malah saat ini tanah wakaf Blang Padang ini menjadi
rebutan antara pemerintah Aceh dengan Kodam Iskandar Muda. Selain itu,
dan banyak tanah tanah wakaf lain di Aceh saat ini, terkadang menjadi
sumber sengketa.
Ketiga, endatu dulu
berpikir bagaimana mendapat “beureukat” dari amal yang dilakukan,
sementara sekarang orang lebih suka “meukat” dalam segala hal untuk
persoalan “tiga jengkal.”
Keempat,
sejatinya para hujaj di Aceh juga tidak hanya belajar menikmati uang
dari hasil tanah wakaf baitul asyi tersebut. Tetapi juga memikirkan
bagaimana belajar melakukan wakaf. Sampai saat ini, belum terdengar
adanya para haji yang berani melakukan amal seperti para endatu di atas.
Padahal jika tradisi wakaf di Aceh dibangkitkan kembali, maka beberapa
persoalan umat akan bisa di atasi, khususnya dalam bidang sosial
keagamaan. Jangan ada di dalam benak kita yang belum berhaji ke Mekkah
untuk beradham ingin mendapatkan dana wakaf ini ketika sedang berhaji.
Alangkah baiknya, jika dana tersebut diwakafkan kembali kepada fakir
miskin di relung hati para hujaj dari Aceh.
Akhirnya,
persoalan Baitul Asyi menyiratkan bahwa tradisi berwakaf merupakan
bagian dari peradaban Islam Aceh. Warisan ini perlu dicontoh dan bahkan
direvitalisasi dalam kehidupan beragama saat ini. Walaupun kita tidak
akan pernah menjadi pewakaf sekaliber Habib Bugak, namun jika tradisi
berwakaf ini disosialisasikan, maka akan banyak beureukat daripada
meukat tanah di Aceh. Karena itu, saya ingin mengajak untuk merenung
bagaimana mengembangkan kembali tradisi berwakaf di Aceh. Paling tidak,
anak cucu kita akan menikmati hasilnya dari harta agama ini.
Sumber : pnpmpiraktimu.blogspot.com
loading...
Post a Comment