Oleh Safaruddin
HIPOKRIT adalah sikap mendua yang diperlihatkan oleh seseorang. Lain di mulut lain di hati, tidak selaras antara perkataan dengan perbuatan. Hiprokritisme adalah paham atau aliran yang membenarkan berdusta demi tercapainya tujuan tertentu. Dalam drama perpolitikan di Aceh tampaknya hipokritisme telah menjangkiti sejumlah politisi dan partai politik. Para politisi bersedia mengucapkan berbagai janji dalam menghipnotis rakyat demi tercapainya tujuan partai, kelompok dan individu.
Mukhtar Lubis, wartawan senior tiga zaman, dalam bukunya Manusia Indonesia (1977) membuat beberapa kriteria khas orang Indonesia. Kriteria pertama dan utama adalah manusia Indonesia mempunyai sifat hipokrit (pendusta). Misalnya, seorang pejabat Indonesia melarang perjudian dan prostitusi di depan rakyatnya. Tetapi ketika dia sampai di Singapura, yang bersangkutan akan langsung menuju pusat judi dan pelacuran di sana. Wow!
Sehubungan Aceh adalah bagian dari Indonesia, maka apa yang dikemukakan oleh Mukhtar Lubis terjadi pula pada elite politik Aceh. Di Aceh, petinggi negeri berkoar-koar tentang syariat Islam kaffah, tapi setiba di Medan atau Jakarta ada di antara mereka yang menggandeng wanita berpenampilan seksi dan kemudian disebarkan “foto mesra” melalui media sosial.
Sementara di Aceh, wanita yang sudah mengenakan jilbab dengan baju pajang nan santun tapi hanya gara-gara pada bagian bawah memakai celana jeans, mereka dipermalukan melalui razia WH. Begitu juga ketika ada rakyat kecil yang bermain domino di warung kopi mereka akan dijerat Qanun Maisir, sementara ketika petinggi negeri bermain Catur di tempat yang sama justru dielu-elukan. Begitulah perilaku hipokrit paling nyata di Aceh bila kita merujuk pada teori Mukhtar Lubis.
Sulit ditebak
Dalam Islam hipokritisme dipandang sebagai penyakit sosial paling berbahaya, melebihi bahayanya kafir. Kalau kafir sudah jelas posisinya, mereka adalah di luar agama Islam. Tapi hipokriter (orang munafik) sulit ditebak, mereka berada di antara dua posisi. Dalam kearifan lokal Aceh, mereka sering disebut di keu bu bee bu, di likot bu bee ek. Artinya, ketika mereka berada di depan kita seakan-akan mereka bagian dari kita, tapi ketika sudah bergabung dengan orang lain mereka akan menjelek-jelekkan kita. Begitulah hakikat hipokriter.
Nabi Muhammad saw sejak 14 abad lalu sudah mengingatkan tentang bahaya hipokritisme ini. Di sini dikutip sebuah hadis shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. “Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga; apabila berbicara dia berdusta, apabila berjanji dia ingkari, dan apabila dipercaya dia berkhianat.
Itulah tiga indikator untuk menilai seseorang apakah masuk dalam kategori munafik atau tidak. Tentunya semua orang akan dapat memberi penilaian antara satu dengan yang lain berdasar catatan masa lalu (track record) seseorang. Khusus untuk calon pemimpin tentu tidak elok jika sosok hipokrtit dipilih untuk memimpin umat Islam. Itu adalah bentuk pengingkaran kepada Rasulullah saw.
Ketika sang hipokriter terpilih pada jabatan publik, yang bersangkutan dipastikan tidak akan menepati janji-janji manis yang telah diumbar di depan khalayak. Caranya adalah yang bersangkutan akan mengingkari (meralat) semua ucapan yang telah diucap pada masa kampanye. Ujungnya adalah dilakukan pengkhianatan terhadap mandat yang telah diberikan oleh rakyat.
Nah, karena itu, sejatinya umat Islam harus dapat menimbang janji para kandidat pejabat publik (calon gubernur, bupati, walikota). Caranya adalah dengan melihat track recordnya, apakah yang bersangkutan pernah melancarkan tipuan kepada publik atau apakah yang bersangkutan memahami apa yang telah diucapkannya? Jika jawabannya “tidak”, maka jangan salahkan yang bersangkutan jika kemudian dia menipu setelah terpilih.
Dalam beberapa beberapa tahun terakhir, rakyat Aceh larut dalam eforia aneka janji manis yang dilontarkan sejumlah aktivis dan politisi. Janji-janji itu diantaranya adalah: “Kita akan merdeka dalam sibak rokoh teuk”, “PBB akan segera buka kantornya di Aceh”, “Bendera bulan bintang sudah sah dan dapat dikibarkan di Aceh”. Mungkin tak elok menyebutkan siapa yang melontarkan janji-janji itu, tapi publik pasti dapat menilai dan merasakan sendiri karena ia telah menjadi rahasia umum.
Termakan janji
Akibat termakan janji-janji itu, ada rakyat kecil yang menjadi korban. Misalnya, mereka mengibarkan bendera bulan bintang dan ini dalam pandangan TNI-Polri adalah bentuk separatisme. Atas dasar itulah Yayasan Rakyat Aceh (YARA) mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Banda Aceh dan menuntut Ketua DPRA Tgk Muharuddin, dan Gubernur Aceh Tgk H Zaini Abdullah, untuk mengibarkan bendera di depan kantor dan rumah masing-masing. Gugatan ini bertujuan agar mereka berbuat sesuai ucapan, sehingga terhindar dari hipokritisme yang dibenci oleh Nabi saw.
Sementara itu ada pula pihak lain yang melontarkan janji lebih menggiurkan dalam kampanye pada masa lampau. Misalnya mereka berujar: “Jika kami terpilih, maka Aceh akan menjadi seperti Brunei Darussalam dan Singapura”; “Setiap KK di Aceh akan mendapatkan uang Rp 1 juta”, dan; “Setiap orang Aceh yang sudah akil baligh akan naik haji gratis melalui kapal pesiar” serta sejumlah janji lainnya.
Selaku rakyat Aceh kita tentu berharap kepada pihak-pihak yang telah melontarkan janji-janji itu agar segera memenuhinya, sehingga terhindar dari ciri-ciri orang munafik seperti yang disebut oleh Nabi saw dalam hadis di atas. Penetapan janji-janji ini akan membantah teori Mukhtar Lubis yang menyebutkan semua manusia Indonesia hipokrit. Kita harus membantah teori Mukhtar Lubis bahwa orang Aceh tidak hipokrit. Caranya adalah mendorong pemenuhan semua janji yang telah diucapkan serta ke depan tidak melontarkan janji yang tidak mungkin dapat dipenuhi. Wallahu’alam bis shawab.
Itulah tiga indikator untuk menilai seseorang apakah masuk dalam kategori munafik atau tidak. Tentunya semua orang akan dapat memberi penilaian antara satu dengan yang lain berdasar catatan masa lalu (track record) seseorang. Khusus untuk calon pemimpin tentu tidak elok jika sosok hipokrtit dipilih untuk memimpin umat Islam. Itu adalah bentuk pengingkaran kepada Rasulullah saw.
Ketika sang hipokriter terpilih pada jabatan publik, yang bersangkutan dipastikan tidak akan menepati janji-janji manis yang telah diumbar di depan khalayak. Caranya adalah yang bersangkutan akan mengingkari (meralat) semua ucapan yang telah diucap pada masa kampanye. Ujungnya adalah dilakukan pengkhianatan terhadap mandat yang telah diberikan oleh rakyat.
Nah, karena itu, sejatinya umat Islam harus dapat menimbang janji para kandidat pejabat publik (calon gubernur, bupati, walikota). Caranya adalah dengan melihat track recordnya, apakah yang bersangkutan pernah melancarkan tipuan kepada publik atau apakah yang bersangkutan memahami apa yang telah diucapkannya? Jika jawabannya “tidak”, maka jangan salahkan yang bersangkutan jika kemudian dia menipu setelah terpilih.
Dalam beberapa beberapa tahun terakhir, rakyat Aceh larut dalam eforia aneka janji manis yang dilontarkan sejumlah aktivis dan politisi. Janji-janji itu diantaranya adalah: “Kita akan merdeka dalam sibak rokoh teuk”, “PBB akan segera buka kantornya di Aceh”, “Bendera bulan bintang sudah sah dan dapat dikibarkan di Aceh”. Mungkin tak elok menyebutkan siapa yang melontarkan janji-janji itu, tapi publik pasti dapat menilai dan merasakan sendiri karena ia telah menjadi rahasia umum.
Termakan janji
Akibat termakan janji-janji itu, ada rakyat kecil yang menjadi korban. Misalnya, mereka mengibarkan bendera bulan bintang dan ini dalam pandangan TNI-Polri adalah bentuk separatisme. Atas dasar itulah Yayasan Rakyat Aceh (YARA) mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Banda Aceh dan menuntut Ketua DPRA Tgk Muharuddin, dan Gubernur Aceh Tgk H Zaini Abdullah, untuk mengibarkan bendera di depan kantor dan rumah masing-masing. Gugatan ini bertujuan agar mereka berbuat sesuai ucapan, sehingga terhindar dari hipokritisme yang dibenci oleh Nabi saw.
Sementara itu ada pula pihak lain yang melontarkan janji lebih menggiurkan dalam kampanye pada masa lampau. Misalnya mereka berujar: “Jika kami terpilih, maka Aceh akan menjadi seperti Brunei Darussalam dan Singapura”; “Setiap KK di Aceh akan mendapatkan uang Rp 1 juta”, dan; “Setiap orang Aceh yang sudah akil baligh akan naik haji gratis melalui kapal pesiar” serta sejumlah janji lainnya.
Selaku rakyat Aceh kita tentu berharap kepada pihak-pihak yang telah melontarkan janji-janji itu agar segera memenuhinya, sehingga terhindar dari ciri-ciri orang munafik seperti yang disebut oleh Nabi saw dalam hadis di atas. Penetapan janji-janji ini akan membantah teori Mukhtar Lubis yang menyebutkan semua manusia Indonesia hipokrit. Kita harus membantah teori Mukhtar Lubis bahwa orang Aceh tidak hipokrit. Caranya adalah mendorong pemenuhan semua janji yang telah diucapkan serta ke depan tidak melontarkan janji yang tidak mungkin dapat dipenuhi. Wallahu’alam bis shawab.
* Safaruddin, S.H., Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), ketua Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) dan Ketua Tim Pengacara Muslim (TPM) Aceh. Email: nyaktafar@yahoo.com
HIPOKRIT adalah sikap mendua yang diperlihatkan oleh seseorang. Lain di mulut lain di hati, tidak selaras antara perkataan dengan perbuatan. Hiprokritisme adalah paham atau aliran yang membenarkan berdusta demi tercapainya tujuan tertentu. Dalam drama perpolitikan di Aceh tampaknya hipokritisme telah menjangkiti sejumlah politisi dan partai politik. Para politisi bersedia mengucapkan berbagai janji dalam menghipnotis rakyat demi tercapainya tujuan partai, kelompok dan individu.
Mukhtar Lubis, wartawan senior tiga zaman, dalam bukunya Manusia Indonesia (1977) membuat beberapa kriteria khas orang Indonesia. Kriteria pertama dan utama adalah manusia Indonesia mempunyai sifat hipokrit (pendusta). Misalnya, seorang pejabat Indonesia melarang perjudian dan prostitusi di depan rakyatnya. Tetapi ketika dia sampai di Singapura, yang bersangkutan akan langsung menuju pusat judi dan pelacuran di sana. Wow!
Sehubungan Aceh adalah bagian dari Indonesia, maka apa yang dikemukakan oleh Mukhtar Lubis terjadi pula pada elite politik Aceh. Di Aceh, petinggi negeri berkoar-koar tentang syariat Islam kaffah, tapi setiba di Medan atau Jakarta ada di antara mereka yang menggandeng wanita berpenampilan seksi dan kemudian disebarkan “foto mesra” melalui media sosial.
Sementara di Aceh, wanita yang sudah mengenakan jilbab dengan baju pajang nan santun tapi hanya gara-gara pada bagian bawah memakai celana jeans, mereka dipermalukan melalui razia WH. Begitu juga ketika ada rakyat kecil yang bermain domino di warung kopi mereka akan dijerat Qanun Maisir, sementara ketika petinggi negeri bermain Catur di tempat yang sama justru dielu-elukan. Begitulah perilaku hipokrit paling nyata di Aceh bila kita merujuk pada teori Mukhtar Lubis.
Sulit ditebak
Dalam Islam hipokritisme dipandang sebagai penyakit sosial paling berbahaya, melebihi bahayanya kafir. Kalau kafir sudah jelas posisinya, mereka adalah di luar agama Islam. Tapi hipokriter (orang munafik) sulit ditebak, mereka berada di antara dua posisi. Dalam kearifan lokal Aceh, mereka sering disebut di keu bu bee bu, di likot bu bee ek. Artinya, ketika mereka berada di depan kita seakan-akan mereka bagian dari kita, tapi ketika sudah bergabung dengan orang lain mereka akan menjelek-jelekkan kita. Begitulah hakikat hipokriter.
Nabi Muhammad saw sejak 14 abad lalu sudah mengingatkan tentang bahaya hipokritisme ini. Di sini dikutip sebuah hadis shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. “Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga; apabila berbicara dia berdusta, apabila berjanji dia ingkari, dan apabila dipercaya dia berkhianat.
Itulah tiga indikator untuk menilai seseorang apakah masuk dalam kategori munafik atau tidak. Tentunya semua orang akan dapat memberi penilaian antara satu dengan yang lain berdasar catatan masa lalu (track record) seseorang. Khusus untuk calon pemimpin tentu tidak elok jika sosok hipokrtit dipilih untuk memimpin umat Islam. Itu adalah bentuk pengingkaran kepada Rasulullah saw.
Ketika sang hipokriter terpilih pada jabatan publik, yang bersangkutan dipastikan tidak akan menepati janji-janji manis yang telah diumbar di depan khalayak. Caranya adalah yang bersangkutan akan mengingkari (meralat) semua ucapan yang telah diucap pada masa kampanye. Ujungnya adalah dilakukan pengkhianatan terhadap mandat yang telah diberikan oleh rakyat.
Nah, karena itu, sejatinya umat Islam harus dapat menimbang janji para kandidat pejabat publik (calon gubernur, bupati, walikota). Caranya adalah dengan melihat track recordnya, apakah yang bersangkutan pernah melancarkan tipuan kepada publik atau apakah yang bersangkutan memahami apa yang telah diucapkannya? Jika jawabannya “tidak”, maka jangan salahkan yang bersangkutan jika kemudian dia menipu setelah terpilih.
Dalam beberapa beberapa tahun terakhir, rakyat Aceh larut dalam eforia aneka janji manis yang dilontarkan sejumlah aktivis dan politisi. Janji-janji itu diantaranya adalah: “Kita akan merdeka dalam sibak rokoh teuk”, “PBB akan segera buka kantornya di Aceh”, “Bendera bulan bintang sudah sah dan dapat dikibarkan di Aceh”. Mungkin tak elok menyebutkan siapa yang melontarkan janji-janji itu, tapi publik pasti dapat menilai dan merasakan sendiri karena ia telah menjadi rahasia umum.
Termakan janji
Akibat termakan janji-janji itu, ada rakyat kecil yang menjadi korban. Misalnya, mereka mengibarkan bendera bulan bintang dan ini dalam pandangan TNI-Polri adalah bentuk separatisme. Atas dasar itulah Yayasan Rakyat Aceh (YARA) mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Banda Aceh dan menuntut Ketua DPRA Tgk Muharuddin, dan Gubernur Aceh Tgk H Zaini Abdullah, untuk mengibarkan bendera di depan kantor dan rumah masing-masing. Gugatan ini bertujuan agar mereka berbuat sesuai ucapan, sehingga terhindar dari hipokritisme yang dibenci oleh Nabi saw.
Sementara itu ada pula pihak lain yang melontarkan janji lebih menggiurkan dalam kampanye pada masa lampau. Misalnya mereka berujar: “Jika kami terpilih, maka Aceh akan menjadi seperti Brunei Darussalam dan Singapura”; “Setiap KK di Aceh akan mendapatkan uang Rp 1 juta”, dan; “Setiap orang Aceh yang sudah akil baligh akan naik haji gratis melalui kapal pesiar” serta sejumlah janji lainnya.
Selaku rakyat Aceh kita tentu berharap kepada pihak-pihak yang telah melontarkan janji-janji itu agar segera memenuhinya, sehingga terhindar dari ciri-ciri orang munafik seperti yang disebut oleh Nabi saw dalam hadis di atas. Penetapan janji-janji ini akan membantah teori Mukhtar Lubis yang menyebutkan semua manusia Indonesia hipokrit. Kita harus membantah teori Mukhtar Lubis bahwa orang Aceh tidak hipokrit. Caranya adalah mendorong pemenuhan semua janji yang telah diucapkan serta ke depan tidak melontarkan janji yang tidak mungkin dapat dipenuhi. Wallahu’alam bis shawab.
Itulah tiga indikator untuk menilai seseorang apakah masuk dalam kategori munafik atau tidak. Tentunya semua orang akan dapat memberi penilaian antara satu dengan yang lain berdasar catatan masa lalu (track record) seseorang. Khusus untuk calon pemimpin tentu tidak elok jika sosok hipokrtit dipilih untuk memimpin umat Islam. Itu adalah bentuk pengingkaran kepada Rasulullah saw.
Ketika sang hipokriter terpilih pada jabatan publik, yang bersangkutan dipastikan tidak akan menepati janji-janji manis yang telah diumbar di depan khalayak. Caranya adalah yang bersangkutan akan mengingkari (meralat) semua ucapan yang telah diucap pada masa kampanye. Ujungnya adalah dilakukan pengkhianatan terhadap mandat yang telah diberikan oleh rakyat.
Nah, karena itu, sejatinya umat Islam harus dapat menimbang janji para kandidat pejabat publik (calon gubernur, bupati, walikota). Caranya adalah dengan melihat track recordnya, apakah yang bersangkutan pernah melancarkan tipuan kepada publik atau apakah yang bersangkutan memahami apa yang telah diucapkannya? Jika jawabannya “tidak”, maka jangan salahkan yang bersangkutan jika kemudian dia menipu setelah terpilih.
Dalam beberapa beberapa tahun terakhir, rakyat Aceh larut dalam eforia aneka janji manis yang dilontarkan sejumlah aktivis dan politisi. Janji-janji itu diantaranya adalah: “Kita akan merdeka dalam sibak rokoh teuk”, “PBB akan segera buka kantornya di Aceh”, “Bendera bulan bintang sudah sah dan dapat dikibarkan di Aceh”. Mungkin tak elok menyebutkan siapa yang melontarkan janji-janji itu, tapi publik pasti dapat menilai dan merasakan sendiri karena ia telah menjadi rahasia umum.
Termakan janji
Akibat termakan janji-janji itu, ada rakyat kecil yang menjadi korban. Misalnya, mereka mengibarkan bendera bulan bintang dan ini dalam pandangan TNI-Polri adalah bentuk separatisme. Atas dasar itulah Yayasan Rakyat Aceh (YARA) mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Banda Aceh dan menuntut Ketua DPRA Tgk Muharuddin, dan Gubernur Aceh Tgk H Zaini Abdullah, untuk mengibarkan bendera di depan kantor dan rumah masing-masing. Gugatan ini bertujuan agar mereka berbuat sesuai ucapan, sehingga terhindar dari hipokritisme yang dibenci oleh Nabi saw.
Sementara itu ada pula pihak lain yang melontarkan janji lebih menggiurkan dalam kampanye pada masa lampau. Misalnya mereka berujar: “Jika kami terpilih, maka Aceh akan menjadi seperti Brunei Darussalam dan Singapura”; “Setiap KK di Aceh akan mendapatkan uang Rp 1 juta”, dan; “Setiap orang Aceh yang sudah akil baligh akan naik haji gratis melalui kapal pesiar” serta sejumlah janji lainnya.
Selaku rakyat Aceh kita tentu berharap kepada pihak-pihak yang telah melontarkan janji-janji itu agar segera memenuhinya, sehingga terhindar dari ciri-ciri orang munafik seperti yang disebut oleh Nabi saw dalam hadis di atas. Penetapan janji-janji ini akan membantah teori Mukhtar Lubis yang menyebutkan semua manusia Indonesia hipokrit. Kita harus membantah teori Mukhtar Lubis bahwa orang Aceh tidak hipokrit. Caranya adalah mendorong pemenuhan semua janji yang telah diucapkan serta ke depan tidak melontarkan janji yang tidak mungkin dapat dipenuhi. Wallahu’alam bis shawab.
* Safaruddin, S.H., Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), ketua Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) dan Ketua Tim Pengacara Muslim (TPM) Aceh. Email: nyaktafar@yahoo.com
Dikutip dari serambinews.com
loading...
Post a Comment