AMP - Konflik sudah sebelas tahun berakhir, tapi amunisi sisa konflik masih terus merobek tubuh, dan bahkan ada yang merenggut nyawa. Hoka tanggungjawab pemerintah dan mereka yang dahulu berkonflik dengan senjata?
***
Bom meledak, lukai dua siswa di Aceh Barat. Kejadian yang terjadi pada Sabtu (30/7/206) sore di sungai Kaway XVI itu menyebabkan Samsuar (12) dan kawannya satu lagi Fahrul Alam (16) terluka dibeberapa bagian tubuhnya.
Ceritanya, bocah MTsN itu sedang menyelam di sungai mencari ikan kedapatan benda sejenis bom, lalu mereka naik ke darat ingin menokok-nokok pakai batu, terus meledak.
Kisah yang sama, tapi lebih tragis terjadi beberapa waktu yang lalu. Baydarus bin Syukri (16), warga Desa Cot Seutui, Kecamatan Ulim, Kabupaten Pidie Jaya, Aceh, tewas mengenaskan setelah terkena serpihan bom, pada Kamis (14/7/2016).
Siswa kelas III SMP Negeri 2 Blang Dalam, Kecamatan Bandar Dua, itu diduga meninggal karena mengutak-atik bahan peledak sisa konflik Aceh 11 tahun lalu yang baru ditemukannya.
Berdasarkan informasi yang diperoleh, peristiwa nahas itu berawal ketika Baydarus menemukan sebuah bom yang ternyata masih aktif. Senjata perang itu dibawa korban ke dalam kandang ayam di pekarangan rumahnya.
Karena penasaran, Baydarus mengutak-atik bom yang diduga jenis granat tersebut. Besar kemungkinan ada terjadi benturan sehingga mesiu di dalamnya bereaksi dan langsung meledak.
Pada Sabtu (7/5/2016) siang juga ada kejadian bom meledak dan mengakibatkan Azan Muslim (20) warga Desa Lampeuneuruet, Kabupaten Aceh Besar tewas di tempat, dan bom itu juga diperkirakan sisa konflik.
Jejak meledaknya bom sisa konflik juga bisa dilacak pada tahun 2014 sehingga Serambi Indonesia (SI) pada Senin (11/8/2014) menulis editorialnya (Salam) berjudul “Basmi Habis Semua Amunisi Sisa Konflik.”
Dalam editorialnya, Serambi Indonesia mengingatkan bahwa “Tragedi seperti ini bukan yang pertama terjadi pascakonflik Aceh. Sudah puluhan kasus sebelumnya terjadi.”
Lalu, SI menyatakan prihatin karena konflik sudah hampir sembilan tahun berakhir, namun eksesnya masih dirasakan hingga kini. SI juga mengingatkan sisi kealfaan pihak Aceh Monitoring Mission (AMM) pada amunisi berupa granat, ranjau, bom, dan bom rakitan karena lebih terfokus pada penyerahan 840 pucuk senjata api milik kombatan GAM.
SI juga mengingatkan bahwa pada masa Komisi Bersama Keberlanjutan Perdamaian Aceh membahas melalui CoSPA Meeting rencana pelucutan segala bentuk amunisi itu, malah pihak donor sudah sediakan dana Rp 200 juta untuk mengumpulnya, didapat jawaban dari pimpinan kombatan GAM bahwa karena lamanya konflik Aceh mereka sudah tak ingat lagi di mana disimpan atau ditanam granat, bom, ranjau, dan peluru-peluru itu. Akhirnya, upaya ‘collecting’ dan ‘disposal’ amunisi yang terserak itu gagal dilakukan.
“Akibatnya, delapan tahun setelah konflik berakhir pun kita masih mencatat kisah-kisah tragis seperti yang dialami Saiful, Yusrizal, atau korban lainnya,” tulis SI pada 2014.
Masih dalam editorialnya itu, SI juga menyentil pihak aparat karena dinilai masih sangat kurang sosialisasi yang dilakukan Kodam maupun Polda Aceh sampai ke jajaran Babinsa dan Polsek agar siapa pun yang menemukan benda asing berupa amunisi (granat atau bom) di lingkungannya, jangan nekat mengetuk-ngetuk atau menggergajinya, bahkan membakarnya sendiri.
“Sudah cukuplah puluhan kasus tragis terjadi di Aceh gara-gara ketidaktahuan bocah dan remaja bahwa amunisi sisa konflik itu masih potensial melukai bahkan membunuh. Ke depan, upaya sosialisasi ini yang harus gencar dilakukan,” ingat SI.
Bukan hanya aparat, SI juga mengingatkan masyarakat, termasuk eks GAM.
“Lakukanlah yang terbaik bagi Aceh. Laporkan segera ke aparat keamanan terdekat bila di lingkungan kita ditemukan benda mencurigakan berupa bom, granat, ranjau atau peluru yang diduga aktif. Kita ingin Aceh damai selamanya dan damai Aceh haruslah menyebabkan negeri bekas konflik ini terbebas dari senjata ilegal maupun amunisi tak bertuan yang potensial mencabut nyawa, melukai tubuh, bahkan merusak tatanan perdamaian di Aceh. Semoga.”
***
Sekarang, bagaimana caranya kita mengingatkan lagi semua pihak, agar senjata dan amunisi bekas konflik tidak lagi merobek tubuh dan apalagi merenggut nyawa anak negeri. Haruskah sampai menunggu senjata menerkam tuannya sendiri?! Untuk itu, sedikit saja kita tanyakan “hoka tanggungjawab semua pihak yang dahulu berkonflik dengan senjata?!”(*) Sumber: acehtrend.co
***
Bom meledak, lukai dua siswa di Aceh Barat. Kejadian yang terjadi pada Sabtu (30/7/206) sore di sungai Kaway XVI itu menyebabkan Samsuar (12) dan kawannya satu lagi Fahrul Alam (16) terluka dibeberapa bagian tubuhnya.
Ceritanya, bocah MTsN itu sedang menyelam di sungai mencari ikan kedapatan benda sejenis bom, lalu mereka naik ke darat ingin menokok-nokok pakai batu, terus meledak.
Kisah yang sama, tapi lebih tragis terjadi beberapa waktu yang lalu. Baydarus bin Syukri (16), warga Desa Cot Seutui, Kecamatan Ulim, Kabupaten Pidie Jaya, Aceh, tewas mengenaskan setelah terkena serpihan bom, pada Kamis (14/7/2016).
Siswa kelas III SMP Negeri 2 Blang Dalam, Kecamatan Bandar Dua, itu diduga meninggal karena mengutak-atik bahan peledak sisa konflik Aceh 11 tahun lalu yang baru ditemukannya.
Berdasarkan informasi yang diperoleh, peristiwa nahas itu berawal ketika Baydarus menemukan sebuah bom yang ternyata masih aktif. Senjata perang itu dibawa korban ke dalam kandang ayam di pekarangan rumahnya.
Karena penasaran, Baydarus mengutak-atik bom yang diduga jenis granat tersebut. Besar kemungkinan ada terjadi benturan sehingga mesiu di dalamnya bereaksi dan langsung meledak.
Pada Sabtu (7/5/2016) siang juga ada kejadian bom meledak dan mengakibatkan Azan Muslim (20) warga Desa Lampeuneuruet, Kabupaten Aceh Besar tewas di tempat, dan bom itu juga diperkirakan sisa konflik.
Jejak meledaknya bom sisa konflik juga bisa dilacak pada tahun 2014 sehingga Serambi Indonesia (SI) pada Senin (11/8/2014) menulis editorialnya (Salam) berjudul “Basmi Habis Semua Amunisi Sisa Konflik.”
Dalam editorialnya, Serambi Indonesia mengingatkan bahwa “Tragedi seperti ini bukan yang pertama terjadi pascakonflik Aceh. Sudah puluhan kasus sebelumnya terjadi.”
Lalu, SI menyatakan prihatin karena konflik sudah hampir sembilan tahun berakhir, namun eksesnya masih dirasakan hingga kini. SI juga mengingatkan sisi kealfaan pihak Aceh Monitoring Mission (AMM) pada amunisi berupa granat, ranjau, bom, dan bom rakitan karena lebih terfokus pada penyerahan 840 pucuk senjata api milik kombatan GAM.
SI juga mengingatkan bahwa pada masa Komisi Bersama Keberlanjutan Perdamaian Aceh membahas melalui CoSPA Meeting rencana pelucutan segala bentuk amunisi itu, malah pihak donor sudah sediakan dana Rp 200 juta untuk mengumpulnya, didapat jawaban dari pimpinan kombatan GAM bahwa karena lamanya konflik Aceh mereka sudah tak ingat lagi di mana disimpan atau ditanam granat, bom, ranjau, dan peluru-peluru itu. Akhirnya, upaya ‘collecting’ dan ‘disposal’ amunisi yang terserak itu gagal dilakukan.
“Akibatnya, delapan tahun setelah konflik berakhir pun kita masih mencatat kisah-kisah tragis seperti yang dialami Saiful, Yusrizal, atau korban lainnya,” tulis SI pada 2014.
Masih dalam editorialnya itu, SI juga menyentil pihak aparat karena dinilai masih sangat kurang sosialisasi yang dilakukan Kodam maupun Polda Aceh sampai ke jajaran Babinsa dan Polsek agar siapa pun yang menemukan benda asing berupa amunisi (granat atau bom) di lingkungannya, jangan nekat mengetuk-ngetuk atau menggergajinya, bahkan membakarnya sendiri.
“Sudah cukuplah puluhan kasus tragis terjadi di Aceh gara-gara ketidaktahuan bocah dan remaja bahwa amunisi sisa konflik itu masih potensial melukai bahkan membunuh. Ke depan, upaya sosialisasi ini yang harus gencar dilakukan,” ingat SI.
Bukan hanya aparat, SI juga mengingatkan masyarakat, termasuk eks GAM.
“Lakukanlah yang terbaik bagi Aceh. Laporkan segera ke aparat keamanan terdekat bila di lingkungan kita ditemukan benda mencurigakan berupa bom, granat, ranjau atau peluru yang diduga aktif. Kita ingin Aceh damai selamanya dan damai Aceh haruslah menyebabkan negeri bekas konflik ini terbebas dari senjata ilegal maupun amunisi tak bertuan yang potensial mencabut nyawa, melukai tubuh, bahkan merusak tatanan perdamaian di Aceh. Semoga.”
***
Sekarang, bagaimana caranya kita mengingatkan lagi semua pihak, agar senjata dan amunisi bekas konflik tidak lagi merobek tubuh dan apalagi merenggut nyawa anak negeri. Haruskah sampai menunggu senjata menerkam tuannya sendiri?! Untuk itu, sedikit saja kita tanyakan “hoka tanggungjawab semua pihak yang dahulu berkonflik dengan senjata?!”(*) Sumber: acehtrend.co
loading...
Post a Comment