Ilustrasi |
AMP - Lebih murah dari pelacur, lebih rendah dari pelacur, bahkan dianggap lebih gampangan dari pelacur. Ada 'Perempuan Aceh' yang seperti itu. Bahkan sepertinya mulai banyak.
Padahal serumpun besar bunga jelita Aceh ini ada yang dibekali dengan kecerdasan melebihi laki-laki. Mereka menjelajahi bilabong di Australia. Menjejakkan kaki di praire Amerika. Mereka tergelak gembira dalam selebrasi intelektual di depan gerbang Arc de Triomphe Paris.
Dan dengan sama gempitanya mereka jadi pelacur.
Mereka berteriak gembira menuntut dibenarkan telanjang di depan orang banyak, atas nama modernisasi. Mereka yang menggunakan kecerdasannya ambil jalan putar, menggugat kewajiban berhijab dengan tuduhan arabisasi.
Seolah kalau melenggang dengan busana yang mencetak belahan bokong dan dada mereka adalah simbol kebebasan dan kecerdasan perempuan. Padahal dulu kita perempuan bersusah payah dari terbelakang dan telanjang ataupun semi telanjang, meningkatkan nilai perempuan sebagai penopang peradaban yang dinilai karena kecerdasan, keanggunan, dan kesabarannya. Bukan karena payudara yang dipampang atau pinggul yang digoyang.
Aku terkesima melihat perempuan aceh yang dulu dikenal karena ketangguhan dan harga dirinya, sekarang banyak yang bangga jadi pelacur. Bahkan lebih murah dari pelacur.
Karena pelacur, harus dibayar untuk disentuh, diraba, digerayangi. Sedangkan mereka, boleh diraba, boleh disentuh, boleh digerayangi, boleh dinikmati, gratis. Cukup dengan kata aku cinta padamu, aku akan menikahimu, engkaulah bulan bintangku. Lalu tahun ini tubuhnya disentuh laki-laki ini, tahun depan dibelai laki-laki lain.
Tolong katakan. Harga diri apa yang kalian teriakkan dengan cara melacur begitu.
Bagaimana menjamin keturunan kalian bila rahim yang seharusnya kita banggakan malah menampung bayi tak berdosa, yang lahir instant, tanpa tahu nasab jelasnya. Lalu dimasa depan justru jatuh cinta dan menikah secara halal, tapi tak sangka kasihnya adalah saudari seayah. Yang ayah ibunya terperangah ketika jumpa, tapi tak bisa bicara karena aib bertahun-tahun disembunyikan.
Aku, jauh dari sempurna. Hijabku belum benar. Masih salah dan belajar. Tapi aku tahu, tubuh ini, jiwa ini, berharga. Karena diciptakan langsung oleh Tuhan. Terlalu berharga untuk diobral. Dalam diriku juga menyandang kehormatan perempuan hebat seperti Tjut Nja' Dhien, Pocut Bahren, Malahayati, Sultanah Safiatuddin.
Mungkin kamu, yang merasa bangga jadi murahan. Diciptakan di supermarket atau pabrik, jadi kelasnya boleh diobral.
"Padahal kami ajari dia mengaji, kami ajari dia agama. Tapi dicorengnya marwah ayah dan mamaknya." Menangis ibu itu saat pengajian tadi pagi. Aku dan yang lain terdiam tak tahu harus berkata apa. Ini kejadian kedua tahun ini. Kejadian pahit anak tetangga yang lain, yang walaupun tidak hamil tapi sudah 'melakukan', yang pacarnya yang kabur pulang ke kampungnya, yang kini diburu dan dibawa kembali dengan penuh marah oleh ayah juga abang si gadis, masih belum selesai.
Mudah untuk memberi nasihat atau kata-kata manis. Yang sabar mak. Ini Ujian Tuhan mak. Jangan sedih, mak. Atau malah menambah beban dengan kesan seakan peduli. Aduh kenapa bisa begitu. Itulah anak sekarang, hana dijaga marwah orang tua. Dan kata lain sejenisnya.
Banyak kita yang memilih menutup mata. Seolah Aceh kita tercinta, Serambi Mekah ini masih seperti dulu. Padahal penyakit moral dan perilaku berakhlak busuk mulai menggerogoti. Postinganku sebelumnya, yang dicaci maki karena bahasanya dianggap tak menghargai, adalah realitas, yang sebenarnya semua orang tua melihat sendiri. Gaya pergaulan membuat perempuan diperlakukan sangat murah. Gaya pacaran yang bebas. Lihat saja menempelnya badan berbalut baju ketat tapi berjilbab, yang semakin banyak.
Padahal serumpun besar bunga jelita Aceh ini ada yang dibekali dengan kecerdasan melebihi laki-laki. Mereka menjelajahi bilabong di Australia. Menjejakkan kaki di praire Amerika. Mereka tergelak gembira dalam selebrasi intelektual di depan gerbang Arc de Triomphe Paris.
Dan dengan sama gempitanya mereka jadi pelacur.
Mereka berteriak gembira menuntut dibenarkan telanjang di depan orang banyak, atas nama modernisasi. Mereka yang menggunakan kecerdasannya ambil jalan putar, menggugat kewajiban berhijab dengan tuduhan arabisasi.
Seolah kalau melenggang dengan busana yang mencetak belahan bokong dan dada mereka adalah simbol kebebasan dan kecerdasan perempuan. Padahal dulu kita perempuan bersusah payah dari terbelakang dan telanjang ataupun semi telanjang, meningkatkan nilai perempuan sebagai penopang peradaban yang dinilai karena kecerdasan, keanggunan, dan kesabarannya. Bukan karena payudara yang dipampang atau pinggul yang digoyang.
Aku terkesima melihat perempuan aceh yang dulu dikenal karena ketangguhan dan harga dirinya, sekarang banyak yang bangga jadi pelacur. Bahkan lebih murah dari pelacur.
Karena pelacur, harus dibayar untuk disentuh, diraba, digerayangi. Sedangkan mereka, boleh diraba, boleh disentuh, boleh digerayangi, boleh dinikmati, gratis. Cukup dengan kata aku cinta padamu, aku akan menikahimu, engkaulah bulan bintangku. Lalu tahun ini tubuhnya disentuh laki-laki ini, tahun depan dibelai laki-laki lain.
Tolong katakan. Harga diri apa yang kalian teriakkan dengan cara melacur begitu.
Bagaimana menjamin keturunan kalian bila rahim yang seharusnya kita banggakan malah menampung bayi tak berdosa, yang lahir instant, tanpa tahu nasab jelasnya. Lalu dimasa depan justru jatuh cinta dan menikah secara halal, tapi tak sangka kasihnya adalah saudari seayah. Yang ayah ibunya terperangah ketika jumpa, tapi tak bisa bicara karena aib bertahun-tahun disembunyikan.
Aku, jauh dari sempurna. Hijabku belum benar. Masih salah dan belajar. Tapi aku tahu, tubuh ini, jiwa ini, berharga. Karena diciptakan langsung oleh Tuhan. Terlalu berharga untuk diobral. Dalam diriku juga menyandang kehormatan perempuan hebat seperti Tjut Nja' Dhien, Pocut Bahren, Malahayati, Sultanah Safiatuddin.
Mungkin kamu, yang merasa bangga jadi murahan. Diciptakan di supermarket atau pabrik, jadi kelasnya boleh diobral.
"Padahal kami ajari dia mengaji, kami ajari dia agama. Tapi dicorengnya marwah ayah dan mamaknya." Menangis ibu itu saat pengajian tadi pagi. Aku dan yang lain terdiam tak tahu harus berkata apa. Ini kejadian kedua tahun ini. Kejadian pahit anak tetangga yang lain, yang walaupun tidak hamil tapi sudah 'melakukan', yang pacarnya yang kabur pulang ke kampungnya, yang kini diburu dan dibawa kembali dengan penuh marah oleh ayah juga abang si gadis, masih belum selesai.
Mudah untuk memberi nasihat atau kata-kata manis. Yang sabar mak. Ini Ujian Tuhan mak. Jangan sedih, mak. Atau malah menambah beban dengan kesan seakan peduli. Aduh kenapa bisa begitu. Itulah anak sekarang, hana dijaga marwah orang tua. Dan kata lain sejenisnya.
Banyak kita yang memilih menutup mata. Seolah Aceh kita tercinta, Serambi Mekah ini masih seperti dulu. Padahal penyakit moral dan perilaku berakhlak busuk mulai menggerogoti. Postinganku sebelumnya, yang dicaci maki karena bahasanya dianggap tak menghargai, adalah realitas, yang sebenarnya semua orang tua melihat sendiri. Gaya pergaulan membuat perempuan diperlakukan sangat murah. Gaya pacaran yang bebas. Lihat saja menempelnya badan berbalut baju ketat tapi berjilbab, yang semakin banyak.
Kalau keluar malam, tak
susah mencari bukti. Lihat di tempat-tempat seperti Rex Peunayong, atau
warung-warung burger pinggir jalan, yang naik motor keliling kota, atau
yang diupload foto mesra di facebook, hari minggu di pantai-pantai.
Semakin banyak jumlahnya.
Bahasa yang kasar,
bukan, aku tak punya pilihan selain menulis yang tegas, tak
bermanis-manis. Lembut sudah tak berhasi. Maka kutampar dengan keras.
Dan banyaklah yang
marah. Ada pula yang menuntut pembuktian ilmiah, data statistik. Seolah
berita di koran dan apa yang bisa dilihat setiap hari tidak cukup
menjawab.
"Banyak yang lebih suka menutup mata, dari pada melihat kenyataan. Bahwa sekarang pergaulan bebas di Aceh semakin parah.
Dan dengan tak peduli, kita malah membiarkannya jadi berkembang."
Ku tuliskan saja sedikit yang dengan gampang beritanya bisa dicari, lalu kalian yang masih bilang tak ada, silahkan pergi sendiri ke Mahkamah Syar'iyah dan Dinas Syariat Islam, ambil datanya, buktikan sendiri.
- Wilayatul Hisbah (WH) atau Polisi Syariat Islam mengamankan lima pelaku khalwat atau mesum di dua tempat terpisah di Kota Banda Aceh. (link)
- “Pasangan terduga khalwat ini diamankan di sebuah salon di kawasan Peunayong, Banda Aceh,” kata Kepala Satpol PP dan WH Kota Banda Aceh Ritasari Pujiastuti melalui Kepala Seksi Penegakan Hukum dan Undang-undang Satpol PP dan WH Kota Banda Aceh Evendi A Latief di Banda Aceh, Kamis (23/10), dilansir dari Merdeka.(link)
- Petugas Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah (Satpol PP dan WH) menangkap basah sepasang remaja sedang mesum di Kecamatan Jeumpa, Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya), Senin (29/6) (link)
Itu semua di tahun 2015.
Dan sebenarnya masih banyak lagi. Tapi hal yang bisa didapat
informasinya dengan mudah ditolak dengan berkelit bahwa sumbernya koran
murahan. Bukan soal koran apa semata, lihatlah faktanya. Kalau ada
menyebutkan institusi seperti Dinas Syariat Islam, tentu bisa di periksa
kebenarannya. (maaf kalau judul linknya agak nakal, oplah mereka memang ditingkatkan dengan jenis judul begitu)
Koran bertiras besar
semacam serambi tentu tidak ingin berita begitu saja yang memenuhi
halaman-halamannya. Tapi itu adalah hal yang terjadi. Di tanah Aceh
tercinta. Dan kita lebih memilih seolah itu tak ada.
Tanyakan pada lembaga
perlindungan perempuan, dan akan muncul angka yang mencengangkan tentang
kejahatan seperti perkosaan, dan sejenisnya. Dan angka itu meningkat
terus. Semakin tinggi.
Pada tahun 2008, ada 92 kasus perceraian akibat pernikahan dini
di Mahkamah Syar'iyah Aceh. Sedangkan dari data Mahkamah Syar’iyah
Takengon, sepanjang tahun 2014 lalu tercatat ada 32 kasus perkara
Dispensasi Kawin (DK) atau pernikahan dibawah umur, sedangkan pada tahun
ini hingga memasuki awal Mei 2015 sudah ada 14 kasus yang sama. Begitu rilis dari Radio Republik Indonesia (RRI). Ini RRI bukan koran yang dianggap murahan.
Sampai kapan kita akan terus menutup mata. Coba lihat, ku kutip dari media nasional kelas atas.
Berdasarkan
hasil investigasi The Foundation Kita dan Buah Hati pada 2015, Aceh
menduduki peringkat pertama pelecehan seksual terhadap perempuan di
Indonesia pada 2014. Banda Aceh adalah daerah dengan angka pelecehan
seksual tertinggi di Aceh.
Menurut Catatan Tahunan Kekerasan terhadap Perempuan di Aceh 2013-2014 oleh Balai Syura Ureung Inong Aceh (BSUIA) bekerja sama dengan Jaringan Pemantau Aceh (JPA) 231 dan Pusat Studi Wanita Universitas Islam Negeri (PSW UIN) Ar-Raniry Banda Aceh pada 2015, angka kekerasan seksual terhadap perempuan berupa pemerkosaan terus meningkat di Aceh. Pada 2013, terjadi 42 kasus dengan rentang usia korban 6-18 tahun dan 52 kasus dengan rentang usia korban 26-40 tahun 2014.
Berdasarkan data Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BP3A) Aceh pada 2014, angka pelecehan seksual terhadap anak terus meningkat di Aceh, yakni 278 kasus pada 2009, 311 kasus tahun 2010, dan 468 kasus pada 2011-2012. (sumber. Kompas)
Menurut Catatan Tahunan Kekerasan terhadap Perempuan di Aceh 2013-2014 oleh Balai Syura Ureung Inong Aceh (BSUIA) bekerja sama dengan Jaringan Pemantau Aceh (JPA) 231 dan Pusat Studi Wanita Universitas Islam Negeri (PSW UIN) Ar-Raniry Banda Aceh pada 2015, angka kekerasan seksual terhadap perempuan berupa pemerkosaan terus meningkat di Aceh. Pada 2013, terjadi 42 kasus dengan rentang usia korban 6-18 tahun dan 52 kasus dengan rentang usia korban 26-40 tahun 2014.
Berdasarkan data Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BP3A) Aceh pada 2014, angka pelecehan seksual terhadap anak terus meningkat di Aceh, yakni 278 kasus pada 2009, 311 kasus tahun 2010, dan 468 kasus pada 2011-2012. (sumber. Kompas)
Dari bertambahnya
perilaku mesum dikalangan masyarakat yang pelakunya kian beragam,
pekerja, pegawai negeri, pejabat, ibu rumah tangga, mahasiswa sampai
remaja. Hingga kekerasan dan pelecehan seksual yang meningkat, dan
terus meningkat. Mungkin dipengaruhi oleh pergaulan bebas, sehingga
godaan seksual juga naik, dan ketika penyaluran tidak ditemukan, berubah
menjadi kekerasan dan paksaan.
Sedikit demi sedikit,
perlahan-lahan jadi semakin banyak. Kita masih juga menutup mata.
Tersebut nama daerah kita Aceh kita langsung marah. Kita masih saja
tertidur dalam nama besar Aceh di masa lalu. Kita menolak melihat
kenyataan. Lalu mendadak kita tersadar, semua sudah hancur, terlambat
Memang angkanya masih
kecil, tapi terus meningkat. Begitu juga sikap dan pergaulan yang
semakin bebas lepas mengerikan. Aku masih belum lupa video yang beredar
di sosmed, tentang dua gadis yang bertengkar dipasar memperebutkan
seorang laki-laki, di Aceh pula.
Sumber: darakeumala.blogspot.co.id
loading...
Post a Comment