Uang koin emas Samudera Pasai tahun 1346 M | Sumber: omnicoin.com |
| Oleh Fikri Farhan |
Memang tidak berlebihan nampaknya bila dikatakan bahwa Islam banyak membawa perubahan pada masyarakat Nusantara, Azyumardi Azra mencontohkan dalam makalahnya yang berjudul Filantropi dalam Sejarah Islam di Indonesia, adanya kontrol sosial sebagai manifestasi nilai-nilai keislaman dalam teks Tajul Salatin: �Hendaklah yang raja itu melebih hormat akan segala fakir dan miskin dan dimuliakan mereka itu terlebih daripada segala orang kaya dan harus senantiasa duduk dengan mereka itu.�
Ajaran yang termaktub dalam teks di atas pada mulanya belum sepenuhnya bisa dilakukan. Kutipan dari Panuthi dalam Adat Raja-Raja Melayu menceritakan bahwa sedekah dan zakat yang dikeluarkan raja kepada fakir dan miskin diberikan pada saat diadakan upacara kerajaan, seperti Upacara Kelahiran, Upacara Memotong Rambut, dan Upacara Membayar Nazar. Sedekah yang dikeluarkan raja pun tidak tanggung-tanggung, yaitu berupa emas, perak, dan pakaian kepada kaum mustadh�afiin di seluruh negeri.
Teks-teks yang berisi ajaran tentang zakat yang ditemukan sekitar Abad 16, menurut Azyumardi Azra, tidak banyak berbeda semangatnya baik naskah yang ditemukan di wilayah Barat, Nusantara Timur, maupun di wilayah Jawa dalam memberikan ajaran tentang pentingnya zakat. Misalnya dalam Wejangan Shekh Bari di dalamnya terdapat satu bagian tentang kebajikan-kebajikan pemberian sedekah secara diam-diam, yang tidak diketahui siapa pun kecuali Sang Pencipta. Lebih lanjut kutipan dari kitab Akhlak Islam yang di sunting Drewes juga mengatakan perlunya zakat, �Zakat itu adalah kewajiban nyata yang harus ditunaikan sesuai dengan banyaknya harta milik masing-masing (sakadare artane.)�
Lebih jauh, Seorang ulama kenamaan, Muhammad Arsyad Al-Banjari (1122-1227 H/1710-1812 M) dalam kitabnya Sab�l al-Muhtad�n li at-Tafaqquh f� Amr ad-D�n sebagaimana dikutip oleh Muslich Shabir dalam penelitiannya Pemikiran Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari Tentang Zakat dalam Kitab Sab�l Al-Muhtad�n : Analisis Intertekstual telah menggulirkan gagasan yang relevan hingga zaman sekarang. Menurutnya, zakat tidak hanya bersifat konsumtif, tetapi juga harus bersifat produktif. Menurutnya pula, pola alokasi zakat harus dibagi ke dalam tiga kategori. Pertama,bagi fakir miskin yang tidak memiliki keterampilan, hendaknya tidak diberi berupa emas, perak atau uang, tetapi berupa barang atau keterampilan serta keahlian yang bisa dimanfaatkan dalam jangka waktu lama dan dapat membuat mereka menjadi lebih mandiri. Kedua, bagi fakir miskin yang memiliki keterampilan, diberikan alat-alat keterampilan yang dibutuhkan oleh mereka dalam mewujudkan keterampilan dan keahlian yang mereka miliki. Ketiga,bagi fakir miskin yang telah memiliki pekerjaan, namun belum memenuhi kebutuhan hidupnya, maka mereka harus diberi modal usaha agar mereka dapat berdagang sebagai pemasukan hidupnya, sebab ada hadits yang berkata: "bahwa 9 dari 10 pintu rejeki terdapat pada perniagaan."
Dari segi pengelolaan zakat, pada masa kesultanan-kesultanan Islam pengelolaan zakat menjadi tanggung jawab kesultanan, dikelola pegawai kesultanan (beberapa sebutan masih terjejak hingga kini, misalnya pegawai syara�). Pada masa ini lembaga zakat nonpemerintah belum hadir karena kesultanan masih menerapkan hukum syariat termasuk dalam hal memungut, mengelola, dan mendayagunakan zakat. Pendapat ini dikemukakan oleh Iqbal Setyarso dalam karangannya Manajemen Zakat Berbasis Korporat.
Pendapat yang kurang lebih sama diungkapkan oleh Faisal dalam makalahnya Sejarah Pengelolaan Zakat di Dunia Muslim dan Indonesia (Pendekatan Teori Investigasi-Sejarah Charles Peirce dan Defisit Kebenaran Lieven Boeve). Pada masa Kerajaan Islam Aceh, kerajaan membentuk sebuah badan yang ditangani oleh pejabat-pejabat kerajaan dengan tugas sebagai penarik pajak atau zakat. Pemungutan pajak dilakukan di pasar-pasar, muara-muara sungai yang dilintasi oleh perahu - perahu dagang, juga terhadap orang-orang yang berkebun, berladang, atau orang yang menanam di hutan.
Azyumardi Azra juga melengkapi keterangan di atas dengan menceritakan bahwa kantor yang mengurusi pembayaran pajak pada masa kekuasaan kerajaan Aceh berlangsung di masjid-masjid. Seorang imeumdan kadi (penghulu) ditunjuk untuk memimpin penyelenggaraan ritual-ritual keagamaan. Penghulu berperan besar dalam mengelola keuangan masjid yang bersumber melalui zakat, sedekah, hibah, maupun wakaf.
Faisal juga mengisahkan, sebagaimana kerajaan Aceh, Kerajaan Banjar juga berperan aktif dalam mengumpulkan zakat dan pajak. Pajak tersebut dikenakan pada seluruh warga negara (warga kerajaan), baik yang pejabat, petani, pedagang, atau pun lainnya. Jenis-jenis pajak yang berlaku pada masa itu juga bermacam-macam, seperti pajak kepala, pajak tanah, pajak padi persepuluh, pajak pendulangan emas dan berlian, pajak barang dagangan dan pajak bandar. Yang menarik dicatat di sini, penarikan pajak terhadap hasil-hasil bumi dilakukan setiap tahun sehabis musim panen, dalam bentuk uang atau hasil bumi. Pembayaran pajak di kerajaan Banjar ini diserahkan kepada badan urusan pajak yang disebut dengan istilah Mantri Bumi. Orang-orang yang bekerja di Mantri Bumi ini berasal dari warga kerajaan biasa namun memiliki skill dan keahlian yang mumpuni di bidangnya, oleh karena itu mereka diangkat menjadi pejabat kerajaan.
Atas dasar tidak dicantumkan di dalam Undang-undang Melaka mengenai pentingnya zakat, atau, secara spesifik tidak mewajibkan para pedagang dan elite-elite masyarakat Nusantara yang berdomisili di Malaka untuk membayar zakat, Azyumardi Azra berasumsi bahwa lembaga zakat belum terejawantahkan pada tatanan masyarakat Nusantara dalam bentuk pengelolaan yang mapan.
Namun, paling tidak berdasarkan munculnya teks-teks yang menganjurkan seseorang untuk bersedekah dan berzakat, dapat dikatakan bahwa anjuran berzakat dan bersedekah atau menyantuni kaum fakir dan miskin, sudah menjadi salah satu komponen dari ajaran Islam yang diajarkan oleh ulama-ulama Islam sejak awal berkembangnya Islam di Nusantara.
loading...
Post a Comment