jama'ah Haji dari Mandailing di kedutaan Hindia Belanda di Jeddah tahun 1883 | Sumber: Tropemuseum |
| Oleh Ridwan Hd. |
Surat kabar Swara Umum yang dipimpin Dr. Sutomo pada bulan Juni hingga Agustus 1930 secara berturut-turu memuat artikel yang menyentak umat Islam. Artikel yang ditulis oleh Homo Sum menjelaskan keraguannya terhadap manfaat pergi haji. Si penulis memandang ibadah haji adalah sebuah kerugian.
Surat kabar Swara Umum yang dipimpin Dr. Sutomo pada bulan Juni hingga Agustus 1930 secara berturut-turu memuat artikel yang menyentak umat Islam. Artikel yang ditulis oleh Homo Sum menjelaskan keraguannya terhadap manfaat pergi haji. Si penulis memandang ibadah haji adalah sebuah kerugian.
Seperti yang dikutip Deliar Noer di dalam Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, pada Swara Umum Tahun I No. 50 yang terbit 18 Juni 1930, Homo Sum mengatakan, �Kita tidak membantah bahwa orang yang akan pergi ke Mekkah itu belajar berhemat untuk menurutkan kehendaknya, karena keyakinanya, ia tidak mengingat lagi bahwa pergi meninggalkan tanah tumpah darah itu berarti menimbun modal sini untuk keuntungan orang lain.�
Kemudian Homo Sum juga memperbandingkan ibadah haji ke Mekkah dengan pembuangan para politikus ke Digul. Ia menganggap mereka yang dibuang ke Digul lebih bermartabat dari pada pergi haji.
Tambahnya lagi, Homo Sum juga menyayangkan banyak orang Indonesia menghilang di Mekkah. Pada No. 69 dituliskan, �Tahun ini kira-kira 29.000 orang pergi naik haji. Tetapi hanya 26.900 orang yang kembali, jadi kira-kira 2.100 orang tidak kembali .... Betapa banyak saudara kita sebangsa yang mati di negeri orang ... Agaknya jumlah 1.500 tidaklah terlalu berbeda dari yang sebenarnya. Apakah angka-angka ini tidak menyebabkan kita orang Islam sedih dan duka, disebabkan oleh payah harta dan payah jiwa karena kepercayaan kita?�
Pada No. 73 yang terbit 13 Agustus 1930, Homo Sum kembali menyudutkan umat Islam agar tidak mengikuti �Islam Arab�, melainkan �Islam yang sebenarnya�. Ia berkata, �Saudara-saudara Muslim, ingatlah Islammu yang sebenarnya, jangan buat kesalahan dengan menyembah berhala Arab!�
Homo Sum tidak menjelaskan maksud �Islam yang sebenarnya�, tetapi komentar pihak redaksi yang mendukung pemikiran Homo Sum menjelaskan, �... peringatan (Homo Sum) bukanlah yang pertama sampai kini. Dengan bangkitnya Islam (di Jawa) para wali membangun masjid Demak dengan maksud agar orang Islam di negeri kita tidak membuat kesalahan dengan mengarahkan muka mereka ke tanah Arab.�
Artikel-artikel Swara Umum atas nama Homo Sum menimbulkan reaksi keras dikalangan umat Islam. Surat kabar Swara Umum termasuk media yang hadir dari kalangan kebangsaan, atau juga disebut Nasionalis Sekuler. Dengan munculnya tulisan kritik tentang haji ini semakin memperuncing konflik antara kelompok kebangsaan dan kelompok Islam.
Salah satu tokoh yang menanggapi artikel tersebut adalah Dr. Soekiman Wirjosandjojo. Mantan ketua Perhimpunan Indonesia dan salah satu pejabat Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) ini menuliskan artikel bantahan di surat kabar Pembela Islam No. 13 pada Oktober 1930 dengan judul Tentangan Terhadap Agama Islam.
Sebelum masuk ke pokok permasalah, Soekiman menjelaskan, bahwa kritik harus memenuhi beberapa perkara, yaitu: orang yang mengkritik harus mengerti materi yang akan dikritik, dan kritik itu tidak boleh menyakitkan hati kepada yang dikritik. Bagi Soekiman kritik memang diperlukan agar mengetahui kekurangan. Ia berkata, �Dan juga kita orang Islam, orang-orang biasa saja, janganlah berpendapatan bahwa kita selamanya ada dijalan kebenaran .... sebab itu kritik adalah perlu sekali bagi kita, tetapi kritik yang senonoh yang maksudnya tidak menentang azas agama.�
�Mekkah dan Digul,� Soekiman menjelaskan ke permasalahan utamanya, �adalah dua anasir yang tiada bisa dibandingkan.� Perbedaan itu menurut Soekiman terletak pada niatnya. Orang-orang ke Digul karena dipaksa akibat penahanan yang dilakukan pemerintah kolonial. Berbeda dengan ke Mekkah yang dilakukan berdasarkankeikhlasan hati untuk memenuhi perintah Agama. Digul memang terkenal sebagai tempat pembuangan tahanan politik yang melawan pemerintah Hindia Belanda. Bagi Homo Sum, orang-orang yang berada di Digul memiliki kemuliaan karena perjuangannya.
Begitu juga soal orang yang pergi ke Mekkah, dianggap Homo Sum kehilangan keyakinannya terhadap perjuangan dari pada yang berada di Digul. Soekiman menunjukkan, banyak juga haji-haji yang telah pergi ke Mekkah berada di Digul. Ia menyebutkan nama Haji Misbach.
Dalam kritik Homo Sum yang menyinggung persoalan ekonomi, Soekiman menjelaskan bahwa memang benar pergi ke Mekkah akan kehilangan sebagian materi dan harta. Meski kehilangan harta, bukan berarti kehilangan manfaat dalam proses perjuangan Bangsa Indonesia, sebab kata Soekiman, �meninggalkan Indonesia buat sementara waktu adalah suatu perkara yang penting. Sebab dengan jalan ini kita bisa memperbandingkan nasib negeri kita dengan negeri luaran.�
Dengan bepergian ke Mekkah tak hanya semata-semata ibadah (haji) menjalankan Rukun Islam, tetapi juga terjadinya hubungan pertemuan dari semua bangsa yang merupakan cita-cita Islam dan cita-cita dunia, yaitu Damai Dunia , dan persaudaraan dengan berbagai bangsa di muka bumi. Apa yang dicita-citakan oleh bangsa kulit putih (kesetaraan ras dan persamaan hak) sebenarnya sudah dilakukan oleh umat Islam sejak 13 abad yang lalu.
Berada di Mekkah juga menjadi kesempatan warga Indonesia untuk merasakan berada di negeri yang merdeka. Orang-orang yang pernah merasakan menginjak di negeri yang merdeka dapat membandingkan dengan negerinya yang sedang terjajah. Dengan begitu akan menyadarkan para haji untuk berjuang melepaskan cengkraman penjajah. �Dengan jalan begini tentulah Indonesia lebih cepat mendapatkan kemerdekaan.� tulisnya. (Baca juga: Haji, Manusia Berbahaya)
Lalu Soekiman menyimpulkan, �Jika kita menyelidiki sedalam-dalamnya isi artikel itu, maka kita dapat menetapkan bahwa maksud artikel itu tiada lain melainkan: ANTI ISLAM.� Lalu ia meneruskan juga, �Mereka membicarakan hal-hal Mekkah itu sebenernya hanyalah buat menyebarkan perasaan anti Islam.�
Menurut Sejarawan Ahmad Mansur Suryanegara di dalam Api Sejarah jilid 2, bahwa artikel dari surat kabar yang dipimpin Dr. Soetomo itu sebagai upaya dukungan kepada pemerintah Hindia Belanda yang sedang mengeluarkan aturan pengetatan proses izin ibadah haji yang tertuang dalam Ordonasi Haji tahun 1927 Stb. No. 286. Ahmad Mansur juga menyimpulkan, berdasarkan dialog antara Dr. Soetomo dnegan K. H. Mas Mansoer yang dimuat dalam Madjalah Pengandjoer No. 6 Tahun II, Juli 1938, bahwa Homo Sum sebenarnya adalah Dr. Soetomo sendiri, pendiri Budi Utomo 20 Mei 1908.
loading...
Post a Comment