Jan van Swieten, perwakilan Belanda dalam Perjanjian Aceh-Belanda 1857, sumber foto: KITLV media |
Bahwa Pemerintah Hindia Belanda dan
Seri Baginda Sultan Alauddin Ibrahim Mansur Syah, memandang perlu untuk
membuat perjanjian perdamaian, persahabatan, dan perdagangan, sebagai
perwujudan dari itikad baik yang dimiliki oleh kedua belah pihak, dalam
usaha mempererat serta meningkatkan perhubungan antara mereka guna
kebahagiaan tiap-tiap kerajaan dan rakyat.
Maka saya, Jan van Swieten, Jenderal, Gubernur Sipil dan Militer
Sumatera Barat, Ajudan Luar Biasa dari Yang Mulia Raja, pemegang Lambang
Ketenteraan Willem kelas 3 dan dari Lambang Singa Belanda, atas nama
dan oleh karenanya bertindak untuk Pemerintah Hindia Belanda
bermusyawarah dalam hal ini dengan Yang Mulia Sultan Aceh, maka telah
didapat keputusan tentang perjanjian berikut ini, sambil menunggu
pengesahan oleh Yang Mulia Gubernur Jenderal Hindia Belana.
Pasal 1
Sejak saat ini berlakulah perdamaian, persahabatan, dan pengertian
yang baik antara Pemerintah Hindia Belanda dan Seri Baginda Sultan Aceh
dan ahli warisnya.
Pasal 2
Rakyat Pemerintah Hindia Belanda dan rakyat Sultan Aceh,
dalam usaha mencari nafkah yang layak, diperbolehkan pergi ke mana saja
di dalam daerah Pemerintah Hindia Belanda dan daerah Sultan Aceh dengan
ketentuan harus tunduk kepada peraturan-peraturan yang berlaku di
tiap-tiap daerah, baik bagi yang mengadakan perjalanan singgahan maupun
bagi mereka yang ingin menetap, dengan mendapat hak, fasilitas, dan
perlindungan, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi barang-barang yang
dibawanya, seperti yang telah diberikan dan akan diberikan kepada rakyat
negeri-negeri di atas angin, yang mendapat hak lebih banyak.
Pasal 3
Mengenai perlindungan dan pertolongan bagi kapal-kapal, perahu-perahu
serta anak buahnya, demikian juga kesempatan berniaga, berlayar, dan
berlabuh di semua pelabuhan Pemerintah Hindia Belanda dan Sultan Aceh,
akan diberikan hak yang sama seperti yang telah berlaku bagi rakyat
negeri-negeri sahabat lainnya. Semua kepala dan pegawai rendahan kedua
belah pihak yang berada di bandar-bandar perniagaan dan pelabuhan akan
diperintahkan untuk berlaku sopan dan sedapat mungkin memberikan
pertolongan kepada rakyat yang berkepentingan, juga kepada kapal-kapal
dan perahu-perahu mereka, jangan sampai terdapat halangan pada waktu
penyerahan, pemuatan dan pemunggahan barang-barang dagangan mereka, dan
manakala mereka memerlukan pertolongan dan di kala mereka membutuhkan
makanan dan air. Hal ini disetujui untuk meningkatkan perniagaan dan
melestarikan pelayaran serta menimbulkan gairah dan kegembiraan bagi
rakyat kedua belah pihak.
Pasal 4
Pemerintah Hindia Belanda dan Seri Baginda Sultan Aceh melepaskan
segala tuntutan dan hak terhadap hal-hal yang dipersengketakan sebelum
perjanjian ini diikat, walaupun bagaimana halnya. Seterusnya ditetapkan
bahwa dengan ditandatanganinya perjanjian ini, segala perselisihan dan
tuntutan tersebut dianggap telah diselesaikan, dengan demikian menjadi
batal semuanya dan oleh karena itu tidak boleh diungkit-ungkit lagi.
Pasal 5
Pemerintah Hindia Belanda dan Seri Sultan Aceh menyetujui seterusnya,
bahwa mereka akan menjaga dengan keras dan mendayaupayakan agar tidak
terjadi perompakan dan perampokan di dalam wilayah kekuasaan
masing-masing, demikian juga di dalam negeri-negeri lain yang berada di
bawah pengaruhnya. Perbuatan ini akan dicegah oleh kedua belah pihak dan
hukuman akan dijatuhkan kepada orang yang melakukannya. Kedua belah
pihak tiada akan memberikan tempat persembunyiaan atau perlindungan
kepada seseorang yang tersangkut dalam perkara semacam ini, juga tiada
kepada bahteranya. Kedua belah pihak tiada akan mengizinkan perompakan
membawa orang-orang dan barang-barang yang dirompaknya, demikian juga
bahteranya masuk ke dalam daerah masing-masing untuk disembunyikan atau
untuk dijual di sana.
Pasal 6
Jika kapal-kapal atau perahu-perahu dari rakyat kedua belah pihak
berada di dalam bahaya di lautan atau terkandas, hendaklah Pemerintah
Hindia Belanda dan Seri Baginda Sultan Aceh dengan segera memberi
pertolongan dan perlindungan sedapat mungkin dan kalau ada
barang-barangnya yang dititipkan untuk disimpan, maka hendaknya kepada
si penyimpan diberikan imbalan sepatutnya. Orang yang berhak atas
barang-barang serupa itu, boleh bermohon keputusan kepada Pemerintah
Hindia Belanda dan Seri Baginda Sultan Aceh mengenai imbalan yang
diminta oleh orang yang menyimpannya; keputusan itu harus diterimanya.
Bila kapal atau perahu yang mengibarkan bendera Belanda terkandas atau
karam, atau jika rakyat Belanda yang kapal atau perahunya karam di
pantai tanah Aceh, haruslah kepala negeri bangsa Aceh di sana dengan
segera memberitahukan kepada Gubernur Sumatera Barat di Padang atau
kepada pembesar Belanda lain yang berdekatan. Mereka yang merampas
kapal-kapal atau perahu-perahu yang terkandas, atau menganiaya anak
buahnya, atau pun tiada memberikan pertolongan yang diperlukan kepadanya
akan dikenakan hukuman yang berat.
Pasal 7
Seri Baginda Sultan Aceh menyatakan mengakui bahwa Gubernur Sumatera
Barat adalah Wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan akan berhadapan
dengannya dalam segala urusan yang mungkin dirasakan berfaidah bagi
masing-masing pihak.
Pasal 8
Jika di kemudian hari dirasakan perlu mengatur hal-hal yang tidak
termasuk dalam perjanjian ini, maka hal-hal tersebut akan diselesaikan
oleh kedua belah pihak dengan cara damai.
Pasal 9
Perjajian ini mulai berlaku setelah disahkan oleh Yang Mulia Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Masing-masing pihak yang bermusawarah telah membubuhkan tanda tangan
dan stempelnya sebagai saksi, tanda sudah terang sebagaimana mestinya.
Termaktub di Aceh dalam rangkap empat, pada 30 Maret 1857 tahun Masehi,
bersamaan dengan 4 Sya'ban 1273 tahun Hijrah.
Stempel Tanda tangan,
Seri Baginda Sultan Aceh van Swieten
Sultan Alauddin Ibrahim Mansur Syah
Telah disetujui dalam penetapan Gubernur Jenderal Hindia Belanda No. 7 pada 9 Mei 1857.
Sekretaris Pemerintah,
Dipenheim
Bukti Kemenangan Politik Kolonial Belanda
Apabila
ditinjau dari sisi hukum internasional, dapat dikatakan bahwa perjanjian
itu normal dan wajar sebagai suatu perjanjian yang terjadi antara dua
negara yang merdeka dan berdaulat. Di dalamnya tidak terdapat sesuatu
ketimpangan, yang biasanya terkandung dalam perjanjian-perjanjian yang
dibuat antara negara-negara imperialis Barat yang menganggap dirinya
beradab dan negara-negara di Timur yang mereka anggap tidak beradab.
Biasanya, tidak jarang mereka mendiktekan kemauan kolonialnya untuk
menggerogoti kemerdekaan negara-negara yang lemah. Di dalam perjanjian
tersebut tidak terdapat klosule yang menyinggung kemerdekaan
Aceh, bahkan tidak satu pasal pun yang memberikan konsesi berlebihan
kepada Belanda seperti yang terdapat dalam Perjanjian Raffles 1819. Akan
tetapi, kalau perjanjian itu diteropong dari sisi yang berkaitan dengan
politik kolonial, terdapat segi yang lebih berbahaya daripada yang
terdapat dalam perjanjian Aceh-Inggris 1819. Pasal 5 perjanjian
Aceh-Belanda ini merupakan perangkap yang dipasang Belanda untuk
menjerat Aceh.
Baca juga: Pasal-pasal Perjanjian Raffles 1819
Selama ini Belanda menuduh Kerajaan Aceh tidak mempunyai kemampuan untuk
memberantas bajak laut, yang katanya berkeliaran di sepanjang perairan
Aceh sehingga membahayakan keselamatan kapal-kapal yang berlayar di
jalur pelayaran sepanjang pantai barat dan pantai utara/timur Aceh.
Bajak laut bukan tidak ada. Mereka ada tetapi tidak separah yang
digembar-gemborkan oleh Belanda. Masalah bajak laut sengaja
dibesar-besarkan oleh Belanda dengan maksud sebagai berikut:
- Untuk mendiskreditkan Kerajaan Aceh di mata dunia internasional.
- Untuk memberi kesan kepada negara-negara imperialis, terutama yang menjadi saingan Belanda, bahwa bila sewaktu-waktu Belanda terpaksa melakukan aksi militer terhadap Aceh atau mengadakan intervensi, bukan untuk kepentingan Belanda saja, melainkan untuk kepentingan mereka juga, yaitu melindungi semua kapal asing dari serangan bajak laut Aceh. Sehubungan dengan itu, negara-negara imperialis Barat tidak perlu ribut-ribut, sebaliknya diharapkan agar berdiam diri. Kalau dahulu Belanda tidak mempunyai pegangan atas tuduhan dan aksi-aksi militernya, maka kini perjanjian tersebut merupakan pegangan yang kuat.
Atau kadang-kadang "dibuat" oleh penguasa-penguasa di Aceh sendiri yang
tidak senang kepada Sultan, seperti pembajak laut yang merompak
kapal-kapal Inggris pada masa Sultan Alauddin Jauhar Alam Syah pada
tahun 1809.
Sejak semula Belanda tahu bahwa beban yang diletakkan atas pundak Sultan
Aceh merupakan beban yang sebenarnya Belanda sendiri tidak dapat
melaksanakannya, apalagi Sultan Aceh. Dengan perkataan lain, Belanda
sejak semula sudah mengetahui bahwa pasal 5 dari perjanjian Aceh-Belanda
tidak mungkin berfungsi. Jadi, mengapa mereka mendesak Sultan untuk
menerima beban itu? Tidak lain ialah supaya mereka mendapat alasan untuk
menuduh Sultan Aceh tidak dapat melaksanakan pasal yang telah
diikrarkan dalam suatu perjanjian yang sah antara Aceh dan Belanda.
Agaknya, alasan inilah yang kemudian digunakan Belanda sewaktu
memaklumkan perang terhadap Aceh pada bulan Maret 1873. Yaitu, Aceh
telah bersalah melanggar perjanjian perdamaian, persahabatan, dan
perdagangan yang disepakati bersama Pemerintah Belanda pada tanggal 30
Maret 1857. Dengan demikian, perjanjian tersebut merupakan jebakan yang
dipasang Belanda untuk menjerat Aceh, dan rupanya tidak disadari oleh
Sultan Alauddin Ibrahim Mansur Syah. Dapat dikatakan bahwa perjanjian
ini merupakan suatu diplomatic strategem (tipu muslihat) yang betul-betul mengenai sasaran. []
Tulisan di atas sepenuhnya bersumber dari H. M. Nur El Ibrahimy, Selayang Pandang Langkah Diplomasi Kerajaan Aceh, Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 1993, halaman 37-43.
loading...
Post a Comment