Halloween Costume ideas 2015
loading...

Ini Isi Perjanjian Antara Aceh dan Belanda Masa Sultan Alauddin Mansur Syah

Jan van Swieten, perwakilan Belanda dalam Perjanjian Aceh-Belanda 1857, sumber foto: KITLV media
Bahwa Pemerintah Hindia Belanda dan Seri Baginda Sultan Alauddin Ibrahim Mansur Syah, memandang perlu untuk membuat perjanjian perdamaian, persahabatan, dan perdagangan, sebagai perwujudan dari itikad baik yang dimiliki oleh kedua belah pihak, dalam usaha mempererat serta meningkatkan perhubungan antara mereka guna kebahagiaan tiap-tiap kerajaan dan rakyat.


Maka saya, Jan van Swieten, Jenderal, Gubernur Sipil dan Militer Sumatera Barat, Ajudan Luar Biasa dari Yang Mulia Raja, pemegang Lambang Ketenteraan Willem kelas 3 dan dari Lambang Singa Belanda, atas nama dan oleh karenanya bertindak untuk Pemerintah Hindia Belanda bermusyawarah dalam hal ini dengan Yang Mulia Sultan Aceh, maka telah didapat keputusan tentang perjanjian berikut ini, sambil menunggu pengesahan oleh Yang Mulia Gubernur Jenderal Hindia Belana.

Pasal 1
Sejak saat ini berlakulah perdamaian, persahabatan, dan pengertian yang baik antara Pemerintah Hindia Belanda dan Seri Baginda Sultan Aceh dan ahli warisnya.
 Pasal 2
 Rakyat Pemerintah Hindia Belanda dan rakyat Sultan Aceh, dalam usaha mencari nafkah yang layak, diperbolehkan pergi ke mana saja di dalam daerah Pemerintah Hindia Belanda dan daerah Sultan Aceh dengan ketentuan harus tunduk kepada peraturan-peraturan yang berlaku di tiap-tiap daerah, baik bagi yang mengadakan perjalanan singgahan maupun bagi mereka yang ingin menetap, dengan mendapat hak, fasilitas, dan perlindungan, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi barang-barang yang dibawanya, seperti yang telah diberikan dan akan diberikan kepada rakyat negeri-negeri di atas angin, yang mendapat hak lebih banyak.

Pasal 3
Mengenai perlindungan dan pertolongan bagi kapal-kapal, perahu-perahu serta anak buahnya, demikian juga kesempatan berniaga, berlayar, dan berlabuh di semua pelabuhan Pemerintah Hindia Belanda dan Sultan Aceh, akan diberikan hak yang sama seperti yang telah berlaku bagi rakyat negeri-negeri sahabat lainnya. Semua kepala dan pegawai rendahan kedua belah pihak yang berada di bandar-bandar perniagaan dan pelabuhan akan diperintahkan untuk berlaku sopan dan sedapat mungkin memberikan pertolongan kepada rakyat yang berkepentingan, juga kepada kapal-kapal dan perahu-perahu mereka, jangan sampai terdapat halangan pada waktu penyerahan, pemuatan dan pemunggahan barang-barang dagangan mereka, dan manakala mereka memerlukan pertolongan dan di kala mereka membutuhkan makanan dan air. Hal ini disetujui untuk meningkatkan perniagaan dan melestarikan pelayaran serta menimbulkan gairah dan kegembiraan bagi rakyat kedua belah pihak.

Pasal 4
Pemerintah Hindia Belanda dan Seri Baginda Sultan Aceh melepaskan segala tuntutan dan hak terhadap hal-hal yang dipersengketakan sebelum perjanjian ini diikat, walaupun bagaimana halnya. Seterusnya ditetapkan bahwa dengan ditandatanganinya perjanjian ini, segala perselisihan dan tuntutan tersebut dianggap telah diselesaikan, dengan demikian menjadi batal semuanya dan oleh karena itu tidak boleh diungkit-ungkit lagi.

Pasal 5
Pemerintah Hindia Belanda dan Seri Sultan Aceh menyetujui seterusnya, bahwa mereka akan menjaga dengan keras dan mendayaupayakan agar tidak terjadi perompakan dan perampokan di dalam wilayah kekuasaan masing-masing, demikian juga di dalam negeri-negeri lain yang berada di bawah pengaruhnya. Perbuatan ini akan dicegah oleh kedua belah pihak dan hukuman akan dijatuhkan kepada orang yang melakukannya. Kedua belah pihak tiada akan memberikan tempat persembunyiaan atau perlindungan kepada seseorang yang tersangkut dalam perkara semacam ini, juga tiada kepada bahteranya. Kedua belah pihak tiada akan mengizinkan perompakan membawa orang-orang dan barang-barang yang dirompaknya, demikian juga bahteranya masuk ke dalam daerah masing-masing untuk disembunyikan atau untuk dijual di sana.

Pasal 6
Jika kapal-kapal atau perahu-perahu dari rakyat kedua belah pihak berada di dalam bahaya di lautan atau terkandas, hendaklah Pemerintah Hindia Belanda dan Seri Baginda Sultan Aceh dengan segera memberi pertolongan dan perlindungan sedapat mungkin dan kalau ada barang-barangnya yang dititipkan untuk disimpan, maka hendaknya kepada si penyimpan diberikan imbalan sepatutnya. Orang yang berhak atas barang-barang serupa itu, boleh bermohon keputusan kepada Pemerintah Hindia Belanda dan Seri Baginda Sultan Aceh mengenai imbalan yang diminta oleh orang yang menyimpannya; keputusan itu harus diterimanya. Bila kapal atau perahu yang mengibarkan bendera Belanda terkandas atau karam, atau jika rakyat Belanda yang kapal atau perahunya karam di pantai tanah Aceh, haruslah kepala negeri bangsa Aceh di sana dengan segera memberitahukan kepada Gubernur Sumatera Barat di Padang atau kepada pembesar Belanda lain yang berdekatan. Mereka yang merampas kapal-kapal atau perahu-perahu yang terkandas, atau menganiaya anak buahnya, atau pun tiada memberikan pertolongan yang diperlukan kepadanya akan dikenakan hukuman yang berat.

Pasal 7
Seri Baginda Sultan Aceh menyatakan mengakui bahwa Gubernur Sumatera Barat adalah Wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan akan berhadapan dengannya dalam segala urusan yang mungkin dirasakan berfaidah bagi masing-masing pihak.

Pasal 8
Jika di kemudian hari dirasakan perlu mengatur hal-hal yang tidak termasuk dalam perjanjian ini, maka hal-hal tersebut akan diselesaikan oleh kedua belah pihak dengan cara damai.

Pasal 9
Perjajian ini mulai berlaku setelah disahkan oleh Yang Mulia Gubernur Jenderal Hindia Belanda.

Masing-masing pihak yang bermusawarah telah membubuhkan tanda tangan dan stempelnya sebagai saksi, tanda sudah terang sebagaimana mestinya. Termaktub di Aceh dalam rangkap empat, pada 30 Maret 1857 tahun Masehi, bersamaan dengan 4 Sya'ban 1273 tahun Hijrah.

Stempel                                                            Tanda tangan,


                       Seri Baginda Sultan Aceh                                            van Swieten
              Sultan Alauddin Ibrahim Mansur Syah

Telah disetujui dalam penetapan Gubernur Jenderal Hindia Belanda No. 7 pada 9 Mei 1857.

Sekretaris Pemerintah,
 
Dipenheim


 Bukti Kemenangan Politik Kolonial Belanda

Apabila ditinjau dari sisi hukum internasional, dapat dikatakan bahwa perjanjian itu normal dan wajar sebagai suatu perjanjian yang terjadi antara dua negara yang merdeka dan berdaulat. Di dalamnya tidak terdapat sesuatu ketimpangan, yang biasanya terkandung dalam perjanjian-perjanjian yang dibuat antara negara-negara imperialis Barat yang menganggap dirinya beradab dan negara-negara di Timur yang mereka anggap tidak beradab. Biasanya, tidak jarang mereka mendiktekan kemauan kolonialnya untuk menggerogoti kemerdekaan negara-negara yang lemah. Di dalam perjanjian tersebut tidak terdapat klosule yang menyinggung kemerdekaan Aceh, bahkan tidak satu pasal pun yang memberikan konsesi berlebihan kepada Belanda seperti yang terdapat dalam Perjanjian Raffles 1819. Akan tetapi, kalau perjanjian itu diteropong dari sisi yang berkaitan dengan politik kolonial, terdapat segi yang lebih berbahaya daripada yang terdapat dalam perjanjian Aceh-Inggris 1819. Pasal 5 perjanjian Aceh-Belanda ini merupakan perangkap yang dipasang Belanda untuk menjerat Aceh.


Selama ini Belanda menuduh Kerajaan Aceh tidak mempunyai kemampuan untuk memberantas bajak laut, yang katanya berkeliaran di sepanjang perairan Aceh sehingga membahayakan keselamatan kapal-kapal yang berlayar di jalur pelayaran sepanjang pantai barat dan pantai utara/timur Aceh. Bajak laut bukan tidak ada. Mereka ada tetapi tidak separah yang digembar-gemborkan oleh Belanda. Masalah bajak laut sengaja dibesar-besarkan oleh Belanda dengan maksud sebagai berikut:
  1. Untuk mendiskreditkan Kerajaan Aceh di mata dunia internasional.
  2. Untuk memberi kesan kepada negara-negara imperialis, terutama yang menjadi saingan Belanda, bahwa bila sewaktu-waktu Belanda terpaksa melakukan aksi militer terhadap Aceh atau mengadakan intervensi, bukan untuk kepentingan Belanda saja, melainkan untuk kepentingan mereka juga, yaitu melindungi semua kapal asing dari serangan bajak laut Aceh. Sehubungan dengan itu, negara-negara imperialis Barat tidak perlu ribut-ribut, sebaliknya diharapkan agar berdiam diri. Kalau dahulu Belanda tidak mempunyai pegangan atas tuduhan dan aksi-aksi militernya, maka kini perjanjian tersebut merupakan pegangan yang kuat.
Dalam pasal 5 disebutkan, bahwa Sultan Aceh mengambil tanggung jawab, menurut hukum internasional, untuk tidak membiarkan bajak laut dan perampokan di darat di dalam wilayah kekuasaannya. Dengan perkataan lain, menurut hukum internasional, Sultan berkewajiban menjamin setiap kapal asing yang berlayar di sepanjang pantai Aceh dan sepanjang pantai daerah-daerah taklukannya. Berkaitan dengan perjanjian itu, timbul pertanyaan apakah tidak terbayang di benak Sultan Alauddin Ibrahim Mansur Syah pada waktu mengadakan perundingan dengan Belanda, bahwa kemampuan angkatan lautnya sangat terbatas ~ tidak seperti pada zaman Iskandar Muda ~ untuk menjaga perairan Aceh yang tidak kurang dari 2.000 kilometer panjangnya (termasuk daerah Sumatera Timur yang merupakan daerah taklukannya) dari gangguan bajak laut? Hal ini mengingat bahwa gangguan kadang-kadang sengaja "dibuat" oleh Belanda sendiri, seperti kasus Lahuda Langkap yang membajak kapal dagang Amerika Friendship pada tahun 1831 (mengenai kasus ini, baca juga: Amerika Serikat menyerang Kuala Batu). 
 
 Atau kadang-kadang "dibuat" oleh penguasa-penguasa di Aceh sendiri yang tidak senang kepada Sultan, seperti pembajak laut yang merompak kapal-kapal Inggris pada masa Sultan Alauddin Jauhar Alam Syah pada tahun 1809.

Sejak semula Belanda tahu bahwa beban yang diletakkan atas pundak Sultan Aceh merupakan beban yang sebenarnya Belanda sendiri tidak dapat melaksanakannya, apalagi Sultan Aceh. Dengan perkataan lain, Belanda sejak semula sudah mengetahui bahwa pasal 5 dari perjanjian Aceh-Belanda tidak mungkin berfungsi. Jadi, mengapa mereka mendesak Sultan untuk menerima beban itu? Tidak lain ialah supaya mereka mendapat alasan untuk menuduh Sultan Aceh tidak dapat melaksanakan pasal yang telah diikrarkan dalam suatu perjanjian yang sah antara Aceh dan Belanda. Agaknya, alasan inilah yang kemudian digunakan Belanda sewaktu memaklumkan perang terhadap Aceh pada bulan Maret 1873. Yaitu, Aceh telah bersalah melanggar perjanjian perdamaian, persahabatan, dan perdagangan yang disepakati bersama Pemerintah Belanda pada tanggal 30 Maret 1857. Dengan demikian, perjanjian tersebut merupakan jebakan yang dipasang Belanda untuk menjerat Aceh, dan rupanya tidak disadari oleh Sultan Alauddin Ibrahim Mansur Syah. Dapat dikatakan bahwa perjanjian ini merupakan suatu diplomatic strategem (tipu muslihat) yang betul-betul mengenai sasaran. []


Tulisan di atas sepenuhnya bersumber dari H. M. Nur El Ibrahimy, Selayang Pandang Langkah Diplomasi Kerajaan Aceh, Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 1993, halaman 37-43.
loading...
Labels:

Post a Comment

loading...

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget