Halloween Costume ideas 2015
loading...

Kekuatan Politik Aceh Pasca MoU Helsinky

Oleh Nasrul Azwar*

“…Pemerintah RI menyepakati dan akan memfasilitasi pembentukan partai-partai politik yang berbasis di Aceh yang memenuhi persyaratan nasional…”.

Begitulah bunyi salah satu potongan frasa dalam MoU Helsinky tentang Partisipasi Politik. Ianya menjadi tonggak awal sejarah baru Aceh modern yang membuat Aceh mempunyai sebuah ‘peta baru' dalam tatanan kekuatan – kekuatan politik yang ada di Aceh.

Peta merujuk pada gambaran umum tentang keadaan tempat, wilayah dan atau medan tertentu yang dapat dijadikan dasar dalam menentukan  arah yang hendak dituju. Kalau itu menyangkut peta politik akan meliputi antara lain gambaran wilayah, medan, situasi dan kondisi politik dalam suatu mendan tertentu. Nasional dan lokal merujuk pada wilayah dimana politik itu beroperasi. Peta politik berlangsung sangat dinamis, mengalami pasang surut sesuai dengan situasi dan kondisi politik yang ada dan terjadi pada wilayah medan politik.

Politik sebagai sebuah terminologi mengadung arti sangat luas, batasan-batasan politik sebagaimana dirumuskan oleh para teoritisi politik lazim diartikan sebagai upaya mengatur negara dan melaksanakan pemerintahan melalui proses perebutan kekuasaan yang konstitusional dengan menggunakan kekuasaan yang diraih dan kekuatan yang dimiliki bagi kesejahteraan rakyat.  Agar pola kerja politik dapat terarah, dibuatkan karangka sistemik sebagai jalinan sub-sub sistem yang meliputi infra (pemerintahan) dan supra struktur (partai politik, kelompok kepentingan, kelompok penekan dan kelompok anomi) politik.

Mengenai kekuatan politik, Miriam Budiarjo (1988:52) Mengatakan bahwa yang diartikan dengan Kekuatan- kekuatan politik adalah bisa masuk dalam pengertian Individual maupun dalam pengertian kelembagaan. Dalam pengertian yang bersifat individual, kekuatan-kekuatan politik tidak lain adalah aktor-aktor politik atau orang-orang yang memainkan peranan dalam kehidupan politik. Orang-orang ini terdiri dari pribadi- pribadi yang hendak mempengaruhi proses pengambilam keputusan politik. Dan secara kelembagaan di sini kekuatan politik sebagai lembaga atau organisasi ataupun bentuk lain yang melembaga dan bertujuan untuk mempengaruhi proses pengambilankeputusan dalam sistem politik.

Adanya perubahan pola “perjuangan” GAM dari bentuk perlawananan bersenjata menjadi sebuah gerakan politik turut mewarnai wajah perpolitikan Aceh pasca MoU Helsinky dan langsung menjadi sebuah kekuatan politik besar di Aceh. Pada Pilkada 2007, pasangan Calon Gubernur dan wakil Gubernur yang berasal dari pejuang GAM yaitu Irwandi Yusuf dengan Muhammad Nazar berhasil memenangkan Pilkada, begitu juga dengan Calon Bupati/walikota sebagian besar daerah di menangkan oleh pejuang GAM. Kemenangan Politik yang di peroleh mantan pejuang GAM, tentu merupakan suatu paradigma baru terhadap dinamika politik di Aceh yang baru selesai dari konflik,kepercayaan rakyat Aceh yang di berikan kepada mantan-mantan GAM menjadi dasar legitimasi untuk melaksanakan implimentasi MoU maupun UUPA sesuai dengan harapan besar rakyat Aceh ,untuk bangkit dari keterpurukan serta masalah multidimensi sebagai daerah bekas konflik dan bencana tsunami.

Berselang dua tahun kemudian , rakyat Aceh kembali melaksanakan pesta demokrasi untuk memilih perwakilan rakyat di parlemen pada Pemilu legislatif tahun 2009, Undang-undang Pemerintah Aceh memberikan kebebasan bagi rakyat Aceh untuk mendirikan Partai Politik Lokal,sebagai perwujudan demokrasi  dan etintitas rakyat Aceh sesuai dengan kearifan  lokal,kewenangan politik yang di peroleh rakyat Aceh (harusnya) menjadi suatu model demokrasi bagi daerah-daerah lain di Indonesia.

Selain kekuatan politik berbasis mantan kombatan GAM, kita tidak dapat memungkiri adanya poros politik lain di Aceh. Semenjak gaung berdirinya partai politik lokal ditebuh, ada banyak partai politik lokal yang telah berdiri dengan berbagai latar belakangnya. Bahkan belakangan, menjelang pilkada 2017 jumlah parlok di Aceh dikabarkan kembali bertambah. Namun kekuatan politik berbasis mantan kombatan GAM tetap memiliki pengaruh besar, setidaknya sampai saat ini. Bahkan untuk bakal calon gubernur Aceh di Pemilukada 2017 mendatang, nama – nama yang disebut – sebut akan maju masih dari kalangan mantan kombatan (walaupun tidak satu nama).

Setiap kerajaan mempunyai masa kejayaannya masing-masing, begitu pula yang terjadi pada partai politik. Pada Pemilu, kekuatan partai politik pada setiap tahun penyelenggarannya bisa berubah dan juga tetap, hal tersebut terjadi sesuai dengan isu politik yang sedang berkembang dan juga tergantung bagaimana sikap dari partai politik dalam membentuk makna politik di masyarakat. Kekuatan politik dimanapun di atas dunia selalu mencerminkan masalah - masalah mendalam kesejarahan dan struktural di mana kekuatan - kekuatan politik itu tumbuh, berkembang dan melakukan peranan.

Belum lama ini kalangan Dayah membuat parade besar besaran bertemakan penolakan terhadap Wahabi, Syiah, dan PKI. Ini menjadi suatu hal yang menarik dimana kalangan dayah yang biasanya tidak melakukan pergerakan semacam ini, telah bangun bak macan tidur menunjukkan taringnya. Lebih menarik lagi ketika kehadiran Wakil Gubernur yang juga mantan Panglima GAM, Muzakkir Manaf menanda tangani tuntutan massa  dengan jumlah yang besar ini. Dimana banyak kalangan menilai bahwa ini akan menambah dukungan politik kepada wagub. Kuat atau tidaknya suatu partai politik bisa diukur melalui peta kekuatan politik. Kekuatan Politik adalah kemampuan menggunakan sumber pengaruh untuk mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik sehingga menguntungkan dirinya, kelompoknya atau masyarakat secara umum.

Secara keseluruhan kita melihat dinamika perubahan peta kekuatan politik Aceh pasca Mou Helsinky sebagai sebuah upaya pembangunan politik dari berbagai masalah yang terjadi. Dan ianya dapat terus berubah. Pakar politik Lucien W. Pye (1966) mengatakan bahwa salah satu dimensi/unsur dari pembangunan politik adalah dimensi kapasitas (capacity), dimaksudkan sebagai kemampuan system politik yang dapat dilihat dari output yang dihasilkan dan besarnya pengaruh yang dapat diberikan kepada sistem-sistem lainnya seperti system sosial dan ekonomi.

Dimensi ini berhubungan erat prestasi pemerintah yang memiliki wewenang resmi, yang mencerminkan besarnya ruang lingkup dan tingkat prestasi politik dan pemerintahan, efektifitas dan efisiensi dalam pelaksanaan kebijakan umum dan rasionalitas dalam administrasi serta orientasi kebijakan.

 Walhasil kita tentu berharap bahwa setiap perubahan dalam kontestasi politik Aceh membawa dampak yang baik untuk pembangunan Aceh di semua lini, baik Politik, Ekonomi dan lainnya, bukan justru sebaliknya. Persaingan yang terjadi haruslah persaingan yang membawa kemajuan bagi Aceh, bukan malah membawa kehancuran.

*Nasrul Azwar, Mahasiswa Ilmu Politik Fisip Unsyiah
loading...
Labels:

Post a Comment

loading...

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget