Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), seorang ulama dan sastrawan | Foto: gambar bebas Google Picture |
| Oleh Ridwan Hd. |
Di sebuah ruang kelas di Yogyakarta pada 1924, H.O.S Tjokroaminoto terlihat begitu asik mengajar. Ia menerangkan sosialisme dari segi Islam kepada tiga puluh anggota Sarekat Islam (SI). Butir demi butir kalimat yang keluar dari mulutnya membuat Malik, yang menjadi salah satu peserta di dalam kelas itu terpukau. �Pelajaran-pelajaran agama telah kuterima semasa mengaji atau tablig dari ayahku sendiri, karena mendengar keterangan beliau (Tjokroaminoto), telah menjadi suatu yang hidup dalam hidupku.� kata Hamka yang menceritakan pengalamannya berguru kepada Tjokroaminoto dalam pengantar buku H.O.S. Tjokroaminoto: Hidup dan Perdjuangannja karya Amelz.
Hamka juga menjelaskan, bahwa Tjokro dalam kursusnya tidak mencela para tokoh sosialis-marxis, Marx dan Engel, bahkan berterimakasih kepada keduanya. Menurut Tjokro, dari yang ditulis Hamka, telah menambah jelasnya bagaimana kesatuan sosialisme yang dibawa Nabi Muhammad Saw, sehingga kita sebagai orang Islam merasa beruntung tidak perlu mengambil teori lain lagi.
Bersama R.M. Surjopranoto yang mengajar ilmu sosiologi, H. Fachrudin untuk dasar-dasar hukum Islam, Malik atau Hamka remaja mulai mengenal pemikiran baru seperti komunisme, marxisme, materialisme, sosialisme, dan nihilisme. �Ketiga guru saya adalah orang-orang pergerakan yang memandang Islam dengan cara yang baru.� katanya kemudian.
Bisa berguru dengan Tjokroaminoto merupakan kesempatan yang tak mau ia tinggal selama berada di Jawa. Nama tokoh Sarekat Islam (SI) itu sudah sering didengar Malik remaja sebelum berangkat ke Jawa. Di tahun menjelang �pengembaraanya�, Madrasah Sumatera Thawalib kehadiran paham komunis. Paham asing itu di bawa oleh salah satu gurunya, Hadji Datuk Batuah, yang baru pulang dari Jawa. Tiba-tiba pelajaran di Thalawib hadir semangat baru yang lebih revolusioner. Hanya saja, ajaran komunis yang dibawa lebih kepada semangat melawan penjajah. Dengan mencuplik ayat-ayat Al Qur�an dan Hadist, Hadji Datuk Batuah mengajarkan Islam yang lebih revolusioner. Tapi, ayah Malik mengingatkan baik kepada Malik sendiri maupun para santri di Thawalib, agar berhati-hati pada komunis, �Lahirnya komunis di sini membawa-bawa agama, pada batinnya hendak menghapus agama.� kata ayahnya.
Malik masih belum mengerti maksud ayahnya. Hadji Rasul belum bisa menjelaskan kesalahan-kesalahan berpikir dari komunis. Nama-nama tokoh pergerakan seperti Tjokro, Semaun, Alimin, dan Agus Salim mulai didengar Malik. Kalau membaca koran afiliasi Sarekat Islam, isinya akan mengagung-agungkan Tjokroaminoto. Berbeda jika membaca koran yang afiliasinya komunis, maka Tjokroaminoto menjadi tumpuan serangan, cacian dan hinaan. Pada masa tersebut memang sedang terjadi konflik antara SI-Putih dan SI-Merah. SI-Merah ini yang kemudian menjadi Partai Komunis Indonesia.
Malik masih belum mengerti maksud ayahnya. Hadji Rasul belum bisa menjelaskan kesalahan-kesalahan berpikir dari komunis. Nama-nama tokoh pergerakan seperti Tjokro, Semaun, Alimin, dan Agus Salim mulai didengar Malik. Kalau membaca koran afiliasi Sarekat Islam, isinya akan mengagung-agungkan Tjokroaminoto. Berbeda jika membaca koran yang afiliasinya komunis, maka Tjokroaminoto menjadi tumpuan serangan, cacian dan hinaan. Pada masa tersebut memang sedang terjadi konflik antara SI-Putih dan SI-Merah. SI-Merah ini yang kemudian menjadi Partai Komunis Indonesia.
Dinamisnya dunia pegerakan di Jawa merasuk jiwa Malik untuk mencari lebih tahu. Ia pergi seorang diri dengan menumpang saudagar yang telah biasa melakukan perjalanan ke Jawa. Tiba di Jogja, Malik menumpang di rumah seorang sekampungnya, Marah Intan. Malik juga bertemu dengan adik ayahnya, Dja�far Amrullah, yang sedang meninggalkan perniagaannya demi belajar agama di Jogja. Dari pamannya ini, Malik diajak ikut belajar tafsir ke rumah Kiai Haji Hadikusumo (Ki Bagus Hadikusumo) dan juga belajar agama kepada Mirza Wali Ahmad Baig, utusan Ahmadiyah yang baru puang dari Lahore, Pakistan.
Sejak belajar tafsir dengan Ki Bagus, Malik seperti baru belajar agama. Selama di Padang Panjang pelajaran tafsir yang diterimanya baru mengupas matan tafsir dengan tidak boleh salah hukum-hukum nahwu-nya. Berbeda dengan cara Ki Bagus yang menjelaskan maksud dari setiap ayat di dalam Al Qur�an. �Meskipun demikian,� kata Hamka, �hati saya belum puas kalau belum mendapat kursus dari Tjokroaminoto sendiri. Pertama karena keinginan hendak belajar, kedua keinginan hendak melihat beliau daru dekat, orang yang telah sekian lama menjadi buah tutur orang Minangkabau.� ceritanya di Kenang-kenangan Hidup jilid 1.
Marah Intan mengupayakan agar Malik bisa masuk SI. Syarat umur minimal masuk SI sebenarnya 18 tahun. Sedangkan Malik baru 17 tahun. Demi bisa berguru kepada Tjokroaminoto ia katakan umurnya sudah 18 tahun ketika mendaftar. Ia berhasil mendaftar sebagai anggota dengan diikuti sumpah organisasi. Selanjutnya, Malik bisa mengkuti kursus-kursus yang di adakan SI untuk para anggotanya.
Dari sekitar 30 peserta kursus, Malik yang paling muda. Tak hanya termuda, tetapi juga sangat menjadi perhatian Tjokroaminoto sendiri karena terlihat, �lebih terbuka hatinya belajar.� Keseriusan dirinya belajar diungkapkan Hamka dengan mau bertanya dan menyalin ilmu yang di dapat dikelas itu. Materi-materi yang diterimanya sangat mudah ditangkap. Menurutnya, kemudahan menangkap ilmu-ilmu itu berkat kesukaanya membaca, meski terkadang hanya roman.
Dengan sikapnya yang agung, bermata tajam, suara lantang laksana musik, Tjokroaminoto mengajarkan teori-teori Marx dengan cara yang populer. Lalu dijelaskan juga ajaran Islam yang disimpulkan bahwa ilmu Islam itu amat luas. �Tjokro tak fasih berbahasa arab. Ketika Tjokro menjelaskan Sosialisme dari segi Islam dengan mengutip Al-Qur�an, ia hanya menulis nomor-nomor ayat. Lalu mengutip hadist hanya dengan menuliskan arti dan perawinya.� jelas Hamka. Pelajaran yang diberikan Tjokroaminoto kemudian menjadi buku yang berjudul Islam dan Sosialisme. Pelajaran-pelajaran ini yang membuat Hamka sampai berkata, �Jiwa saya di isi ayah, dan mata saya dibukakan Tjokro.�
Setelah beberapa bulan berguru dengan Ki Bagus, Tjokroaminoto, RM. Surjopranoto, dan Haji Fachroeddin di Jogja, Malik berangkat ke Pekalongan sekitar awal 1925. Malik tinggal di rumah Sutan Mansur, suami dari kakak perempuannya. Sutan Mansur ini adalah murid Haji Rasul yang beberapa tahun sebelumnya pindah ke Jawa dan memasuki gerakan Muhammadiyah. Selama 6 bulan tinggal bersama kakak ipar, Malik mendapat bimbingan agama.
Didikan para guru di Jogja dan kakak iparnya merubah cara pandang Malik terhadap agama. Ia melihat Islam sebagai suatu barang hidup. Dari mereka Malik mulai melihat bahwa, �Islam adalah satu perjuangan, satu pendirian yang dinamis.� Ia melihat perbedaan yang jauh antara Islam di Minangkabau dengan Islam di Jawa, terutama Jogja.
Pada masa itu, pertarungan antara ajaran kebatinan Jawa (kejawen), misi kristenisasi, dan masuknya pemikiran-pemikiran asing seperti komunis-sosialis yang berhadapan dengan ajaran Islam begitu terasa. Secara ekonomi, rakyat yang miskin akibat penjajahan juga cukup dominan di Jawa daripada di daerah Sumatera. Agama Islam yang dibawa kaum modernis akibat pengaruh pemikiran Muhammad Abduh dan Jamaludin Al Afgani begitu merasuki kaum pegerakan untuk menghadapi konteks jaman seperti penjajahan dan kemiskinan. Islam bukan sekedar ritual ibadah, tetapi menjadi jiwa perjuangan. Tidak seperti daerah Minangkabau yang hanya sibuk memperkarakan hal-hal kecil dalam fikih. Ketika Haji Rasul mengunjungi Malik di Pekalongan pada 1925 dilihat anaknya sudah jauh berubah, sudah revolusioner.
Malik juga tak berlama-lama di Pekalongan. Tahun itu juga, ia di suruh pulang oleh kakak iparnya. Malik pulang dengan membawa semangat baru. Ia menjadi remaja 17 tahun dengan wajah yang penuh ide-ide pergerakan. Pidato-pidatonya mulai berisi. Catatan kursusnya bersama Tjokroaminoto ia bawa dan menjadi pegangannya. Tak ketinggalan salinan buku Jamaludin Al Afgani menjadi panduannya. Ayahnya yang pulang lebih dahulu mendirikan Muhammadiyah cabang Padang Panjang. Begitu Malik pulang, ia ikut masuk mengurusi organisasi itu. Kepulangan Malik juga diikuti kepulangan Sutan Mansur beberapa bulan kemudian. Mereka berdua bersama-sama mengembangkan Muhammadiyah di tanah Sumatera.
Sejak itu Malik sering mengisi ceramah atau berpidato ke berbagai tempat tanpa lelah sambil berjalan kaki. Kalau ayahnya dipanggil tablig ke kampung-kampung dia senang sekali mengikutinya. Terkadang ikut mengisi pidato dengan berapi-api. Di usia yang masih remaja, malik sudah menjadi orang terpandang diantara kawan-kawannya. Malik juga membuat kursus �pidato�. Pidato kawan-kawannya itu dicatat dan dikumpulkan. Malik mulai mendirikan majalah di bawah Muhammadiyah. Ia sendiri sebagai kepala redaktur. Dari kumpulan pidato yang dikarangnnya tadi diterbitkannya menjadi sebuah buku. Sejak 1925 atau masih 17 tahun, kumpulan karangan dari pidato kawan-kawannya merupakan buku pertama Malik.
Bersambung ke Mengenal Hamka (Bagian 4): Dari Sakit Hati Menjadi Haji
loading...
Post a Comment