AMP - Pada Pilkada 2012, kandidat Zaini Abdullah-Muzakir Manaf yang di usung oleh Partai Aceh melontarkan Janji politik yang disampaikan pada Kampanye "Zikir" sebanyak 55 kali pada 22 Maret-5 april 2012 di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota di Aceh.
Berikut 21 program prorakyat "Zikir":
1. Mewujudkan pemerintah Aceh yang bermartabat dan amanah
2. Mengimplimentasikan dan menyelesaikan turunan UUPA
3. Komit menjaga perdamain aceh sejalan dengan MoU Helsinki
4. Menerapkan nilai-nilai budaya Aceh dan isalm di semua sektor kehidupan masyarakat
5. Meyantuni anak yatim dan kaum duafa
6. Mengupayakan penambahan jumlah kuota haji Aceh
7. Pemberangkatan jamaah haji dengan kapal pesiar
8. Naik haji gratis bagi anak Aceh yang sudah akil balig
9. Menginventarisir kekayan dan sumber daya alam Aceh
10. Menata kembali sektor pertambangan di Aceh
11. Menjadikan aceh layaknya Brunei Daeussalam dan Singapura
12. mewudkan layanan kesehatan garatis yang lebih bagus
13. Mendatangkan dokter spesialis dari luar negeri
14. Pendidikan gratis dari sd hingga perguruan tinggi
15. Memberikan Rp 1 juta/kk/bulan dari hasil dana migas
16. Menggangkat honorer PNS
17. Meningkatkan kesejateraan rakyat Aceh
18. Membuka lapangan kerja baru
20. Memberantas kemiskinan dan menurunkan angka pengangguran
21. Mengajak kandidat lain untuk bersama-sama membagun aceh
1. Mewujudkan pemerintah Aceh yang bermartabat dan amanah
2. Mengimplimentasikan dan menyelesaikan turunan UUPA
3. Komit menjaga perdamain aceh sejalan dengan MoU Helsinki
4. Menerapkan nilai-nilai budaya Aceh dan isalm di semua sektor kehidupan masyarakat
5. Meyantuni anak yatim dan kaum duafa
6. Mengupayakan penambahan jumlah kuota haji Aceh
7. Pemberangkatan jamaah haji dengan kapal pesiar
8. Naik haji gratis bagi anak Aceh yang sudah akil balig
9. Menginventarisir kekayan dan sumber daya alam Aceh
10. Menata kembali sektor pertambangan di Aceh
11. Menjadikan aceh layaknya Brunei Daeussalam dan Singapura
12. mewudkan layanan kesehatan garatis yang lebih bagus
13. Mendatangkan dokter spesialis dari luar negeri
14. Pendidikan gratis dari sd hingga perguruan tinggi
15. Memberikan Rp 1 juta/kk/bulan dari hasil dana migas
16. Menggangkat honorer PNS
17. Meningkatkan kesejateraan rakyat Aceh
18. Membuka lapangan kerja baru
20. Memberantas kemiskinan dan menurunkan angka pengangguran
21. Mengajak kandidat lain untuk bersama-sama membagun aceh
Namun Program yang di nilai prorakyat tersebut menjadi kenangan tipuan para elit politik yang baru muncul di Aceh hingga memimpin Aceh selama 5 tahun dari priode 2012-2017.
Sayangnya kekompakan kepemimpinan asal Pidie dan Pasee tersebut bertahan selama satu tahun, selanjutnya ya meunan-meunan, (begitu-begitu).
Jelang Pilkada 2017, kedua pasangan tersebut melanjutkan lagi kepemimpinannya dengan mencalonkan diri sebagai Gubernur Periode 2017-2022, sejumlah harapan dan janji mulai di keluarkan dengan jurus menghidupkan hamba la'eh di pelosok-pelosok gampong.
Isu perjuangan kembali di umbar oleh tim-tim yang dibentuknya, bahkan janji realisasi 1 juta/kk juga tidak hilang,
Namun, perubahan signifikan ke arah yang lebih baik bagi peningkatan kesejahteraan rakyat Aceh belum juga tercapai sebagaimana 21 janji pro rakyat Zikir. Sebaliknya, problematika yang kini mendera rakyat Aceh kian bertambah. Khususnya, angka kemiskinan di Aceh yang melonjak selama dua tahun dipimpin oleh dokter (dr) Zaini dan Mualem (sapaan bagi Muzakir Manaf). Kepemimpinan seorang dokter, ternyata belum mampu menyembuhkan penyakit kronis yang sedang dihadapi oleh rakyat Aceh saat ini, yaitu wabah kemiskinan.
Dendang. Sungguh asyik dan menyenangkan. Irama merdunya selalu menyertai saat bait-bait lagu dilantunkan. Begitulah analogi yang patut dilekatkan pada dr. Zaini dan Mualem ketika menghadapi kenyataan bahwa Provinsi Aceh yang mereka pimpin bukannya membaik, tapi justru malah memburuk. Terutama di sektor ekonomi. Maka, untuk “menenangkan” masyarakat Aceh yang kecewa, dilakukanlah retorika dengan bahasa “manis” dan “dramatis”. Bahasa manis bertujuan untuk menyenangkan dan menenangkan masyarakat. Sedangkan bahasa dramatis digunakan agar rakyat Aceh menjadi iba dan berupaya menggiring pikiran publik untuk berasumsi bahwa kepemimpinan pasangan elit eks Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tersebut sedang “dizalimi” oleh Jakarta. Sungguh suatu perilaku hipokrit (munafik) yang tidak layak dijadikan sebagai panutan bagi rakyat Aceh.
Dendang. Sungguh asyik dan menyenangkan. Irama merdunya selalu menyertai saat bait-bait lagu dilantunkan. Begitulah analogi yang patut dilekatkan pada dr. Zaini dan Mualem ketika menghadapi kenyataan bahwa Provinsi Aceh yang mereka pimpin bukannya membaik, tapi justru malah memburuk. Terutama di sektor ekonomi. Maka, untuk “menenangkan” masyarakat Aceh yang kecewa, dilakukanlah retorika dengan bahasa “manis” dan “dramatis”. Bahasa manis bertujuan untuk menyenangkan dan menenangkan masyarakat. Sedangkan bahasa dramatis digunakan agar rakyat Aceh menjadi iba dan berupaya menggiring pikiran publik untuk berasumsi bahwa kepemimpinan pasangan elit eks Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tersebut sedang “dizalimi” oleh Jakarta. Sungguh suatu perilaku hipokrit (munafik) yang tidak layak dijadikan sebagai panutan bagi rakyat Aceh.
Jika mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh, persentase kemiskinan di Aceh mencapai 881 ribu orang. Data ini menunjukkan bahwa realisasi 21 butir janji-janji yang dikampanyekan oleh “Zikir” hanyalah isapan jempol belaka.
Di tengah melambatnya pertumbuhan ekonomi di Aceh, yang berimbas pada peningkatan jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan dan bertambahnya pengangguran, solusi “jitu” Pemerintah Aceh era Zikir untuk menghindar dari tuntutan rakyat adalah menyalahkan Pemerintah Pusat (Jakarta) yang tidak kunjung menyelesaikan sejumlah Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) beserta Peraturan Presiden (Perpres) yang merupakan turunan dari UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Keterpurukan perekonomian beriringan dengan ketidakberdayaan Pemerintah Aceh dalam membangun komunikasi yang baik dengan rakyatnya. Bila dahulu antarkomponen masyarakat Aceh dapat bersatu saat memperjuangkan kepentingan rakyat, kini semua itu bagaikan telah sirna. Zaini Abdullah selaku Gubernur Aceh terkesan menutup ruang diskusi dengan kalangan yang berbeda “latar belakang” politik dengannya. Begitu juga dengan Muzakir Manaf yang dalam beberapa kesempatan terlihat sangat ultra primordial saat membangun komunikasi. Retorika politik kedua mantan elit GAM itu hanya menonjolkan kepentingan kelompoknya masing-masing, seperti Partai Aceh dan mantan kombatan GAM. Selebihnya, kondisi rakyat “non-kelompok” tersebut bagai dilupakan oleh “Zikir”.
Hingga saat ini, retorika politik yang disuguhkan oleh dokter Zaini dan Mualem hanya bertumpu pada implementasi UU No. 11 Tahun 2006 yang belum terwujud sebagaimana kehendak dari elit-elit yang berada di sekitar “Zikir”. Sehingga, tidak ada kemajuan dan langkah konkret dari Pemerintah Aceh periode 2012-2017 untuk memberikan solusi terhadap permasalahan yang makin menggunung di tengah-tengah rakyat Aceh.
Sebab itulah, Pemerintah Aceh era “Zikir” perlu merumuskan suatu perencanaan yang tepat, guna menyentuh persoalan mendasar dan berdampak langsung pada peningkatan kesejahteraan rakyat Aceh. Bukan sekadar retorika politik dengan mengelabui rakyat Aceh untuk menutupi ketidakmampuan Zaini dan Mualem mengentaskan kemiskinan di Aceh.[dikutip dari berbagai sumber]
Di tengah melambatnya pertumbuhan ekonomi di Aceh, yang berimbas pada peningkatan jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan dan bertambahnya pengangguran, solusi “jitu” Pemerintah Aceh era Zikir untuk menghindar dari tuntutan rakyat adalah menyalahkan Pemerintah Pusat (Jakarta) yang tidak kunjung menyelesaikan sejumlah Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) beserta Peraturan Presiden (Perpres) yang merupakan turunan dari UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Keterpurukan perekonomian beriringan dengan ketidakberdayaan Pemerintah Aceh dalam membangun komunikasi yang baik dengan rakyatnya. Bila dahulu antarkomponen masyarakat Aceh dapat bersatu saat memperjuangkan kepentingan rakyat, kini semua itu bagaikan telah sirna. Zaini Abdullah selaku Gubernur Aceh terkesan menutup ruang diskusi dengan kalangan yang berbeda “latar belakang” politik dengannya. Begitu juga dengan Muzakir Manaf yang dalam beberapa kesempatan terlihat sangat ultra primordial saat membangun komunikasi. Retorika politik kedua mantan elit GAM itu hanya menonjolkan kepentingan kelompoknya masing-masing, seperti Partai Aceh dan mantan kombatan GAM. Selebihnya, kondisi rakyat “non-kelompok” tersebut bagai dilupakan oleh “Zikir”.
Hingga saat ini, retorika politik yang disuguhkan oleh dokter Zaini dan Mualem hanya bertumpu pada implementasi UU No. 11 Tahun 2006 yang belum terwujud sebagaimana kehendak dari elit-elit yang berada di sekitar “Zikir”. Sehingga, tidak ada kemajuan dan langkah konkret dari Pemerintah Aceh periode 2012-2017 untuk memberikan solusi terhadap permasalahan yang makin menggunung di tengah-tengah rakyat Aceh.
Sebab itulah, Pemerintah Aceh era “Zikir” perlu merumuskan suatu perencanaan yang tepat, guna menyentuh persoalan mendasar dan berdampak langsung pada peningkatan kesejahteraan rakyat Aceh. Bukan sekadar retorika politik dengan mengelabui rakyat Aceh untuk menutupi ketidakmampuan Zaini dan Mualem mengentaskan kemiskinan di Aceh.[dikutip dari berbagai sumber]
loading...
Post a Comment