Padr�o Sunda Kelapa di Museum Nasional, Jakarta | Sumber: wikipedia |
�Perjanjian dagang antara Portugis dengan Pajajaran,� tutur Saleh Danasasmita, �ditandatangani pada 21 Agustus 1522. Perjanjian tersebut betul-betul bersifat internasional, sebab berbeda dengan kompeni Belanda atau Inggris, orang Portugis dalam hal seperti itu selalu membawa nama Raja Portugal,� jelasnya dalam Melacak Sejarah Pakuan Pajajaran dan Prabu Siliwangi.
Saleh Danasasmita merupakan seorang sejarawan Sunda yang juga pendiri majalah Mangle. Lelaki yang hingga kini karya-karyanya banyak dijadikan rujukan oleh ahli sejarah generasi belakangan meninggal di Sumedang pada tanggal 8 Agustus 1986.
�Naskah perjanjian dibuat rangkap dua (in duplo),� Danasasmita melanjutkan penuturannya, �Setiap pihak memegang satu lembar. Saksi-saksi dari pihak Pajajaran antara lain Tumenggung Sang Adipati, Syahbandar, dan Mandarin Tadam.� Kesimpulan penelitian Danasasmita didasarkan pada sumber-sumber lokal. Sementara jika melihat sumber Portugis, salah satunya misal yang berasal dari Joao de barros, terdapat tiga orang yang namanya mirip dengan sumber lokal: Mandari Tadam, Tamungo Sague de Pete, dan Bengar. Naskah perjanjian ini ditemukan di Makao pada tahun 1600-an.
Setelah dilakukan perjanjian disebutkan pula pihak kerajaan Sunda langsung mengadakan selamatan. Menurut Ten Dam ini mengartikan bahwa perjanjian tersebut merupakan momen yang luar biasa. Akan tetapi Danasasmita membantah argumen tersebut. Menurut pandangannya, dalam kebudayaan masyarakat Sunda selamatan hanya berfungsi dua hal. �Pertama, (usaha) untuk menghindarkan diri dari segala penghalang. Kedua, tanda syukur kepada Yang Kuasa�. Dapat disimpulkan, yang dimaksud selamatan disini bukan termasuk ritual yang suci dalam rangka mengukuhkan perjanjian. Jika pun memang pernah terjadi, selamatan fungsinya hanyalah aktivitas yang biasa. Misalnya setelah hajat perkawinan. Keadaan ini mungkin menegaskan bahwa perjanjian internasional Portugis-Pajajaran bukanlah hal yang sangat istimewa dan patut disyukuri bagi Kerajaan Sunda.
Teks asli perjanjian Portugis Pajajaran kini tersimpan di Arsip Nasional di Lisbon (ANTT) dan telah diterbitkan oleh pertama kalinya oleh Jose Ramos Coelho, Alguns Documentos do Archivo Nacional da Torre do Tombo acerca das navegacoes e conquistas Portuguezas, Lisbon, 1892, hlm 460-1. Reproduksi teks ini beserta transkripsinya terdapat dalam De Haan, Out Batavia, edisi kedua, �Bintan, kota di Sunda�, �s-Gravenhage, 1928, jilid II, JI dan JIa. Selain itu, teks ini dimuat lagi dalam: Antonio Silva Rego, As Gavetas da Torre do Tombo, jilid IV, Lisbon Centro de Estudos Historicos Ultramarinos, 1964, halaman 196-7. Berikut ini teks terjemahan perjanjian akan disajikan kembali sebagaimana dikutip Claude guillot pada Banten, Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII,
Tanggal : 21 Agustus 1522
Tempat : Leme berada di Pelabuhan Sunda (neste porto de Cumbo)
Perunding Setempat :�Menteri utama Padam Tumungo�dua orang menteri lainnya�Samgydepaty dan Bemgar serta Syahbandar Fambyam� Ini mungkin berarti Panjang (?) Tumenggung, sang Adipati, Bengal (nama tempat yang dapat menunjukan asal orang tersebut), dan Pabean
Perjanjian : �raja Sunda� (el rey de Cumba) memberi hak kepada pihak Portugis untuk membangun sebuah benteng �i negerinya� (em sua terra). Selain itu, �raja Sunda� tersebut menyatakan bersedia memberikan seribu karung lada, sama dengan kira-kira 160 bahar tiap tahun kepada raja Portugal, terhitung sejak dimulainya pembangunan benteng tersebut
Tempat benteng : �di tepi kanan sebuah muara sungai, di tempat yang bernama Calapa�. (na boca do rio a mao direita de fromte da barra a qual se chama Calapa)
Padrao : Leme menceritakan bahwa orang Portugis dan para menteri �berangkat untuk mendirikan� (forom arvorar) padrao nya dari Batu�dengan lambing kebesaran raja Portugal (huum padram de pedra�com as armas d�E/Rey nosso senhor), di tempat benteng akan didirikan.
Dari teks tersebut dapat disimpulkan bahwa perjanjian berlangsung pada tanggal 21 Agustus 1522 yang bertempat di Pelabuhan Sunda Kelapa. Nama Calapa sejarawan memastikan merupakan sebuah pelabuhan yang menjadi pelabuhan terpenting dalam perdagangan internasional di Pulau Jawa. �Dari Kerajaan Sunda,� Prof Uka Tjandrasasmita mengutip keterangan Tom Pires dalam buku Arkeologi Islam Nusantara, �diekspor barang-barang hasil pengumpulan dari berbagai daerah pedalaman melalui jalan perairan. Peranan Ciliwung sebagai sungai yang menghubungkan Bogor dengan pusat Kerajaan Sunda amat penting. Demikian pula Cisadane yang menghubungkan daerah pedalaman Bogor dengan Pelabuhan Tangerang yang dengan mudah menuju pelabukan Kalapa. Pun, Citarum dapat membawa barang dagangan sampai di Muara, sehingga mudah menghubungi Pelabuhan Kelapa.� Menurut naskah Sunda Sanghyang Siksakandang Karesian (sekitar tahun 1518) kebanyakan penduduk beraktivitas sebagai petani, peternak, pencari ikan, dan lainnya. Sementara De Barros memperkirakan penduduk Kerajaan Sunda kelapa berjumlah sekitar 100.000 orang.
Dari pihak Pajajaran perjanjian dengan Portugis dilakukan oleh penerus Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi) yakni Surawisesa. Seperti diberitakan oleh Catatan Portugis yang dikutip oleh Hageman dalam Geschiendenis der Sundalanden pada tahun 1512 ada seorang raja sunda bernama Samiam datang ke Malaka untuk merundingkan urusan dagang dengan d�Albouquerque. Raja tersebut datang lagi pada tahun 1521. Alfonso pun mengutus iparnya, Henrique de Leme, memimpin utusan Portugis ke Kerajaan Sunda pada tahun 1522. Dari sini dapat disimpulkan bahwa pada kepergiannya yang pertama ke Malaka Surawisesa berstatus sebagai Putra Mahkota, karena Prabu Siliwangi masih memimpin kerajaan pada tahun 1482-1521. Baru kemudian pada saat dilakukan perjanjian dengan Portugis pada tahun 1522 Surawisesa sudah menjadi Raja Pajajaran.
Secara simbolis Portugis mendirikan sebuah padrao (semacam tugu dari batu) di Sunda Kelapa untuk mengabadikan perjanjian Portugis-Pajajaran. Dua minggu kemudian ia kembali berada di dekat Banten dan sempat bertemu dengan Syahbandar. Baru pada bulan Agustus mendirikan sebuah Padrao lain di tanjung sebelah barat laut Banten. Kini padrao, saksi bisu perjanjian Internasional pertama di Nusantara, tersebut disimpan di Museum Nasional di Jakarta.
loading...
Post a Comment