Oleh: Hasanuddin Yusuf Adan
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) didirikan pengasasnya Teungku Hasan Muhammad Tiro pada 4 Desember 1976. Pemberitahuan secara meluas tentang gerakan itu dilakukan di Glee Alimon (gunung alimun) sebuah tempat bersejarah dalam pergerakan DI/TII yang dipimpin Teungku Muhammad Dawud Beureu-eh.
Selama lebih kurang 30 tahun perjuangannya gerakan ini rasmi meletakkan senjata dan berdamai dengan Republik Indonesia (RI) pada 15 Ogos 2005 lebih kurang lapan bulan setelah wilayah Aceh dilanda gempa bumi besar dan gelombang tsunami dahsyat.
Selama 30 tahun lamanya GAM wujud di Aceh dan Indonesia, banyak hal yang terjadi dan menjadi liputan sejarah yang cukup bermakna bagi semua bangsa. Mulai dari sejumlah kecil kaum ulama dan tokoh masyarakat di beberapa wilayah Aceh Teungku Hasan Muhammad telah berhasil mempengaruhi fikiran dunia sehingga dunia antarabangsa tahu bahawa di pulau Sumatera ada satu wilayah dalam negara RI yang bernama Aceh. Lebih jauh dari itu bangsa-bangsa di dunia hari ini telah mengerti bahawa Aceh didiskriminasi oleh RI dengan cara yang sangat biadab, suasana sebegini muncul sangat dalam masa perang DI/TII (Darul Islam/Tentera Islam Indonesia) tahun 1953 sampai 1963, praktik Daerah Operasi Militer (DOM) tahun 1989 sampai 1998 dan masa Darurat Militer/Darurat Sipil tahun 2003 sampai 2005.
Walaupun selama terjadinya konflik antara RI dengan GAM dalam masa lumayan lama itu banyak dan hampir semua orang Aceh terseksa, namun ketika perdamaian itu tiba maka hampir semua orang senang, bergembira dan sepertinya tidak terjadi apa-apa. Namun demikian beberapa kisah biadap dan tidak berprikemanusiaan yang pernah terjadi terhadap siapa saja dalam konteks konflik tersebut tetap menjadi sejarah penting dalam memori Bangsa Aceh.
Selisih pendekatan atau dalam bahasa sedikit kasar perpecahan yang pernah terjadi dalam tubuh GAM sendiri menjadi sebuah daya tarik tersendiri dalam konteks Aceh Damai hari ini. Sebagaimana juga organisasi perjuangan pembebasan wilayah lain di dunia ini, GAM terjadi beberapa kali perselisihan dalam tubuh organisasinya semenjak tempoh awal sampai selesainya perdamaian dengan RI. Terlepas dari mana asal muasalnya perselisihan itu datang, sejarah telah mencatat bahawa tersingkirnya kelompok Dr. Husaini (barangkali termasuk Daud Paneuk, Syahbuddin, M. Yussuf Daud, dll) dari koordinasi Teungku Hasan yang sama-sama bermukim di Sweden merupakan satu babak sejarah hitam dalam perjalanan dan perjuangan GAM masa lalu. Selanjutnya muncul gerakan baru dalam tubuh GAM sendiri dengan nama MP-GAM yang dikoordinasikan Teuku Don Zulfahri di Kuala Lumpur Malaysia dalam era reformasi (1998-2000) menjadi satu sejarah hitam dalam rentetan perjuangan GAM.
Walaupun gerakan ini berakhir setelah terbunuhnya Teuku Don Zulfahri di sebuah restoran kawasan Ampang, Kuala Lumpur dalam tahun 2000, namun kesannya dapat berimbas untuk masa panjang. Selain itu, Teungku Fauzi Abu Hasbi Geudong (mantan orang kuat GAM) yang pernah muncul dengan beberapa bukunya yang menentang kewujudan kepemimpinan Teungku Hasan Muhammad Tiro menjadi edisi tersendiri perselisihan dalam tubuh GAM. Semua itu menjadi pengalaman yang amat berharga baik bagi GAM sendiri mahupun kepada seluruh bangsa Aceh khususnya yang berjiwa patriot. Ketika terjadinya tandatangan MoU di Helsinki, malah jauh sebelumnya, sebahagian tokoh GAM di luar negeri juga masih memilih berperang sampai merdeka berbandinh berdamai dengan Indonesia. Walaupun tokoh-tokoh yang menetap di Norway, Australia, Sweden dan Malaysia tersebut tidak membuka perlawanan terhadap induk GAMnya.
Kesan Perpecahan
Hampir di semua tempat mempunyai sifat yang sama berkenaan dengan perselisihan dan perpecahan dalam tubuh sesuatu organisasi. Ketika GAM dilanda sedikit perpecahan dalam sejarah perjuangannya, maka di sana pula terjadi kematian yang tidak sepatutnya terjadi. Kes kematian Teuku Don Zulfahri, Teungku Usman Pasi Lhok dan sejumlah pejuang lain di Malaysia merupakan kesan dari perselisihan tersebut. Lebih jauh kesan dari suasana seperti itu terjadinya pemisahan kehidupan orang Aceh dalam beberapa golongan baik di dalam mahupun di luar negeri. Itu memang alami sifatnya dan banyak terjadi di tempat lain, namun semua kita diminta agar dapat mengurangkan dan bahkan menghindari sama sekali kematian tidak proporsional kerana itu termasuk dalam kategori dosa besar.
Akibat dari perpecahan seumpama itu, di satu sisi kewujudan GAM semakin kental kerana tidak ada lagi cabaran dari dalam. Selain itu semua komponen dan pendukung GAM semakin bersatu menghadap Jakarta dengan segala upaya yang ada. Ketika GAM tidak ada oposisi yang dapat mengugat perjuangannya dari dalam, maka kewujudan dan hakikat perjuangannya semakin sempurna dan bersatu dalam ikatan perjuangan kemerdekaan. Hal ini berbeza dengan perjuangan kemerdekaan lain di dunia seperti di Moro (Filipina Selatan), Palestin, Kashmir, dan perjuangan bangsa Kurdi di Turki yang mengalami perpecahan dalam tubuh organisasinya sehingga membawa kepada kegagalan.
Namun pada masa-masa awal konflik dalaman GAM terjadi, banyak penggemar dan masyarakat awam yang benci terhadap kezaliman Indonesia merasa kecewa dan dilanda depressi. Paling tidak mereka bingung dengan keadaan GAM yang sedang berjuang melawan kebejatan Indonesia di satu sisi dengan keretakan dalamannya di sisi lain. Barangkali ada juga sejumlah orang yang tidak bersabar yang membelot ke arah RI kerana tidak memiliki kekuatan pssikologi yang mantap. Dan tidak kurang juga di antara mereka yang terbang menuju dunia luar, bahkan banyak yang berhasil di luar berbanding tetap bertahan di dalam negeri.
Satu lagi kebimbangan kita akibat terjadinya konflik dalaman GAM pada zaman sebelum berdamai dengan RI adalah terbukanya peluang bagi Jakarta untuk membelah Aceh menjadi dua atau tiga wilayah. Perkara seumpama ini pernah terjadi di wilayah Pattani (Thailand Selatan) yang sampai hari ini muslim di sana masih menuntut kemerdekaan dari negara Thailand. Di Aceh, sudah ada senario dari pihak-pihak tertentu di Jakarta untuk membela Aceh menjadi tiga wilayah iaitu; wilayah NAD sendiri, wilayah Aceh Leuser Antara (ALA) dan wilayah Aceh Barat Selatan (ABAS). Perhitungan tesebut ternyata sekarang jauh dari kenyataan setelah terjadinya perdamaian GAM dengan RI ekoran MoU yang terjadi pada tanggal 15 Ogos 2005 di Helsinki, Finland kerana wilayah Aceh ditetapkan dari Sabang sampai Kutacane.
Hasil Perjuangan GAM
Yakin atau tidak yakin, mengakui atau tidak mengakui, perjuangan GAM telah membawa banyak hasil yang amat positif bagi kehidupan bangsa. Memang tidak boleh dinisbikan di sana tentu ada malapetaka akibat perang dalam waktu lama. Namun demikian, adanya perhatian pemerintah Indonesia yang mengawal Aceh dari Jakarta terhadap perbaikan jalan-jalan, jambatan-jambatan, pusat-pusat pemerintahan di Aceh, pendidikan dan sejumlah infrastruktur lainnya dalam masa 20 tahun terakhir tidak dapat dipisahkan dengan perjuangan GAM.
Autonomi Khusus dengan wewenang luas yang didapati Aceh dan tidak didapati wilayah lain di Indonesia juga tidak boleh lepas dengan perjuangan GAM. Di akui atau tidak, menurut kebiasaan Indonesia tanpa perlawanan GAM terhadap RI maka mustahil Autonomi Khusus tersebut dapat dimiliki Aceh. Dan, yang satu ini terbukti kepada daerah-daerah lain yang tidak melawan Jakarta dengan senjata sampai hari ini tidak mendapatkannya walaupun nafsu mereka cukup tinggi untuk memperoleh itu. Autonomi Khusus ini pula yang membuat Aceh harus memiliki sejumlah Undang-undang sebagai media operasinya.
Lahirnya UU. No. 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh dan UU. No. 18 Tahun 2001 Tentang Autonomi Khusus juga sulit dipisahkan dengan perjuangan GAM. Kerana untuk mendukung Autonomi Khusus, maka perlu adanya Undang-undang dan untuk kesempurnaannya tidak cukup satu Undang-undang yang diperlukan. Malah selain dua Undang-undang tersebut di atas, Aceh memerlukan banyak Qanun untuk menjalankan amanat dua Undang-undang tersebut. Terakhir Undang-undang paling istimewa dimiliki Aceh sebagai kesan dari perlawanan GAM adalah UU. No. 11 tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. Dapat dipastikan tidak satupun wilayah di Indonesia yang memiliki Undang-undang pemerintahan sendiri seperti yang dimiliki Aceh.
Perkenalan Aceh ke peringkat dunia antarabangsa sehingga ia popular seperti zaman Kerajaan Aceh Darussalam lewat perlawanan terhadap kezaliman Indonesia menjadi salah satu upaya keras GAM dalam perjuangan menuntut kemerdekaannya. Selama perjuangan GAM nama Aceh kembali popular di Amerika, Eropah, Afrika, Australia dan hampir seluruh penjuru dunia yang sebelumnya orang Malaysia saja tidak tahu di mana Aceh dan apa itu Aceh. Di terimanya sejumlah tokoh GAM bermastautin di Sweden merupakan babak awal kemenagan populariti Aceh di Eropah. Terjadinya perbincangan antara GAM dengan RI yang diprakarsai oleh Hendri Dunant Center (HDC) dalam tahun 2000 menjadi satu langkah baru bagi dunia antarabangsa untuk lebih mengenal Aceh secara dekat. Dan perdamaian paling akhir di Helsinki (Findland) yang diprakarsai mantan Perdana Menteri negara tersebut Martti Ahtisaari lewat lembaganya Cricis Management Initiative (CMI) membuat informasi Aceh sangat melonjak di peringkat antarabangsa.
Terlepas ada pihak yang sangat senang atau tidak senang dengan pemberlakuan Syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, sejarah telah mencatat bahawa Aceh mendapatkan semua itu berkat perlawanan GAM terhadap RI yang sangat diskriminatif terhadap Aceh. Ketika RI sulit mengamankan Aceh dari Gerakan Aceh Merdeka yang berlangsung hampir 30 tahun, maka sebahagian tokoh Aceh dan Indonesia mencari penyelesaian lain bagi menenangkan Aceh dengan pemberlakuan Syari’at Islam. Diharapkan dengan cara itu Aceh boleh aman dan GAM mahu meletakkan senjata kerana dalam sejarah perjuangan Aceh selalu mengutamakan Syari’at Islam serta jakarta tahu bahawa bangsa Aceh sangat cinta terhadap Islam.
Sekali lagi, terlepas dari kehancuran dan kesengsaraan yang terjadi akibat perlawanan GAM terhadap RI, di sana terdapat sejumlah kebaikan dan manfa’at yang tidak ternilai harganya. Tanpa perjuangan GAM, identiti Aceh terancam punah, adat-budaya Aceh membaur dengan Jawa, tamaddun Aceh hancur berkecai sehingga dapat mengancam peradaban dalam masa lumayan panjang. Aceh hari ini berada pada posisi pantauan dunia luar, ia punya peluang untuk kembali ke suasana masa Kerajaan Aceh Darussalam yang memiliki hubungan bilateral menyeluruh ke berbagai negara di berbagai benua.
Walau bagaimanapun, perjuangan GAM yang berakhir dengan usaha kesepakatan damai dengan RI di Helsinki belumlah menjadi satu keberhasilannya bila diukur dengan lamanya berperang melawan Indonesia. Sesungguhnya sasaran perjuangan GAM adalah dapat mendirikan Negara Aceh yang mandiri dan lepas dari Indonesia, ketika sasaran ini tidak tercapai maka secara mudah dapat dikatakan perjuangan itu telah gagal. Namun melihat keadaan Aceh hari ini tidaklah secara serta merta boleh dikatakan perjuangan GAM telah gagal kerana mereka sudah merubah sistem dan pendekatan perjuangan dari memakai senjata kepada memakai pena (dari perlawanan lewat senjata ke perlawanan lewat jalur politik).
Sekarang kepakaran beralih tempat dari kepakaran menembak kepada kepakaran menulis dan berdiplomasi. Yang menjadi persoalan kepada GAM hari ini adalah; adakah ianya memiliki pakar-pakar tersebut sehingga dalam suasana damai ini dapat menggunakan kesempatan untuk mencapai tujuan? Kalau ada, maka perjuangan asalnya akan terus berlanjut, tetapi kalau tidak ada maka kewujudan perjuangannya akan ditelan zaman. Kerana itu teknik dan mekanisme meluaskan kepakaran bagi memperolah manfaat sangat diperlukan kalangan GAM, kalau tidak demikian maka dibimbangi perjuangan panjang yang memakan waktu 30 tahun dengan korban harta benda dan nyawa manusia yang tidak terhitungkan akan berakhir sia-sia.
Kemenangan calon pasangan Gubernor/Naib Gubernor, Irwandi-Nazar yang diperjuangkan kalangan GAM muda merupakan satu momentum dan peluang yang sangat bermakna untuk mencapai tujuan. Itu pun kalau mereka dapat memimpin dengan baik dan dapat memuaskan semua pihak terutama sekali kalangan GAM sendiri, kalau tidak demikian mereka akan berhadapan dengan masalah baru dengan fesyen baru yang dapat berakibat fatal bagi perjuangan jangka panjang GAM. Ada kemungkinan kalau pasangan Irwandi-Nazar gagal memimpin Aceh lima tahun ke depan, maka GAM secara organisasi akan terpaksa membuka lahan perang yang kesekian kalinya sebagai akibat kekecewaan dan kekecewaan sesuatu golongan.
Alternatif Penyelesaian
Untuk keperluan penyelesaian jangka panjang bagi Bangsa Aceh secara keseluruhan, maka semua pihak harus menghargai proses perjalanan sejarah baru bagi Aceh dan Bangsa Aceh yang terjadi secara sangat alami dan penuh makna. Pastikan tidak ada lagi puak-puak yang dapat menghantarkan Aceh ke lembah kehancuran dalam komuniti Aceh hari ini. Semua pihak, dan semua komponen masyarakat harus menyedari betul betapa rentannya hidup dalam alam konflik yang berkepanjangan. Dan semua Bangsa Aceh harus hidup aman dalam satu kepemimpinan Aceh yang kental dan berwibawa.
Persatuan dan kesatuan bangsa di Aceh hari ini tidak lagi berkisar antara sesama GAM, sesama Partai Nasional, sesama Organisasi Massa dan Pemuda, sesama pegawai negeri, sesama TNI dan POLRI atau antara satu dengan Kabupaten lainnya. Akan tetapi persatuan Bangsa di Aceh hari ini harus wujud persatuan Bangsa Aceh secara menyeluruh dan menyeluruh agar mudah membenah dan menjual kekayaan Aceh ke dunia luar secara sistematik. Di bawah pemimpin terpilih Aceh harus lepas dari sifat-sifat hipokrit, sifat primordial yang dapat mengakibatkan kemunduran Aceh dalam masa kemajuan zaman.
Proses alami yang wujud di Aceh hari ini harus diterima oleh semua pihak baik kalangan Aceh sendiri mahupun pihak Jakarta yang sedikit arogan. Suasana yang ada di Aceh hari ini bukanlah kehendak dan agenda GAM atau RI semata-mata, ia merupakan sebuah proses alami yang kerap terjadi di dunia dari masa ke masa. Untuk itu pula maka sikapilah semua itu sebagai sebuah proses simultan yang kebetulan kali ini terjadi di Aceh dan semua pihak diharapkan menerimanya dengan ikhlas hati serta jauh dari niat-niat jahat yang ingin mengkondisikan Aceh agar terus kacau atau agar Aceh tidak berkembang dan tidak berjalan Syari’at Islam. Fahamilah oleh semua pihak bahawa kemajuan Aceh dan berlakunya Syari’at Islam di Aceh tidak akan merugikan siapa-siapa, malah dapat membantu banyak bangsa yang selama ini hidup tidak bertepi, tidak terarah dan sengsara.
Kunci keberhasilan dan kunci dari semua nikmat yang telah diberikan Tuhan adalah; menyerah, mengabdi, mengakrabkan diri, meminta rezeki dan mengharapkan kedamaian abadi hanya kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam. Kalau tidak demikian sulit untuk dipertanggungjawabkan di hari kemudian. Di dunia kita boleh bersenang-senang dengan harta dan jawatan yang diberikan Tuhan, tetapi di akhirat nanti sulit dipertanggungjawabkan. Di sana ada perhitungan di atas sebuah mizan yang paling adil dan telus serta tidak dapat dikelabui seperti kebiasaan kehidupan di atas alam.
Aceh yang aman damai haruslah diisi dengan kemajuan pendidikan, kemajuan ekonomi, kemajuan peradaban dan kesempurnaan sistem sosial politik yang termetri dalam bingkai Islam. Hampir semua bangsa Aceh beragama Islam, Islam punya sistem dan gaya hidup yang lengkap dan jelas, lalu kenapa kita harus meninggalkannya dan mencari serta mempraktikkan sistem-sistem lain yang belum terjamin keasliannya. Kehancuran demi kehancuran yang terjadi di masa lalu tidak terlepas dari persoalan ini. Ummat Islam yang punya budaya, punya peradaban dan punya sistem hidup sendiri terpengaruh oleh reklame dan promosi luar yang bersifat nisbi dan sangat mutakhir. Akibatnya, di dunia mereka rugi dan hidup tidak menentu, di akhirat mendapat seksa neraka yang amat pedih dan tidak ada bantuan dari siapa.
Kunci keberhasilan bangsa Aceh zaman dahulu ada pada penyerahan diri dan penghambaan diri hanya kepada Allah semata-mata. Dengan memilih dan memiliki sifat demikian, kalau pun di dunia yang sementara ini Bangsa Aceh tidak hidup senang dari sisi pandang kekayaan harta benda, di akhirat pasti menang kerana mengikat diri dengan ikatan Islam secara sempurna dan menjalankannya dengan sempurna pula dalam kehidupan dunia. Ada kebimbangan Aceh akan menjadi sebuah wilayah sekular di dunia pasca perdamaian antara GAM dengan RI. Andaian ini didasarkan kepada bebas dan terbukanya Aceh kepada dunia antarabangsa dan lemahnya kawalan serta pengawalan syari’ah dan juga adat budaya Aceh sendiri dalam kehidupan sehari-hari.
Kebimbangan ini sangat beralasan bila mengingatkan hampir semua generasi Aceh mendapatkan pendidikan sekular dari sistem pendidikan Indonesia yang jauh dari sistem pendidikan Islam. Satu lagi hal yang mendukung wujudnya Aceh sekular di hadapan adalah; pemberlakuan Syari’at Islam di Aceh hari ini terjadi secara langsung menuju kepada praktik dengan meninggalkan teoritik dan sosialisasi yang memadai. Perlakuan semisal ini dapat berakibat kepada terjadinya perlawanan langsung atau tidak langsung dari warga Aceh yang sudah sangat lama jauh dengan sistem kehidupan Islami.
Untuk itu semua, pembenahan ‘aqidah, penguatan tauhid dan pemantapan iman merupakan upaya-upaya dasar yang harus dilakukan oleh pihak berkuasa di Aceh agar implementasi Syari’ah akan mudah jalan tanpa paksaan. Ketika semua muslim Aceh telah memahami dan meyakini bahawa semua aktivitinya dikawal oleh Allah dan Malaikat-Nya maka mereka takut melakukan kesalahan sehingga penegakan Syari’at Islam tidak perlu dipaksakan sebagaimana yang pernah terjadi pada zaman Nabi Muhammad SAW.
Nota: Hasanuddin Yusuf Adan merupakan penasihat konflik bagi World Bank di Banda Aceh. Sebelum ini, beliau sebelum pernah diwawancarai menerusi “Hasanuddin Yusof Adan: Aceh belum mempercayai Indonesia!”. Dan, beliau dapat dihubungi menerusi, Emel.
Selama lebih kurang 30 tahun perjuangannya gerakan ini rasmi meletakkan senjata dan berdamai dengan Republik Indonesia (RI) pada 15 Ogos 2005 lebih kurang lapan bulan setelah wilayah Aceh dilanda gempa bumi besar dan gelombang tsunami dahsyat.
Selama 30 tahun lamanya GAM wujud di Aceh dan Indonesia, banyak hal yang terjadi dan menjadi liputan sejarah yang cukup bermakna bagi semua bangsa. Mulai dari sejumlah kecil kaum ulama dan tokoh masyarakat di beberapa wilayah Aceh Teungku Hasan Muhammad telah berhasil mempengaruhi fikiran dunia sehingga dunia antarabangsa tahu bahawa di pulau Sumatera ada satu wilayah dalam negara RI yang bernama Aceh. Lebih jauh dari itu bangsa-bangsa di dunia hari ini telah mengerti bahawa Aceh didiskriminasi oleh RI dengan cara yang sangat biadab, suasana sebegini muncul sangat dalam masa perang DI/TII (Darul Islam/Tentera Islam Indonesia) tahun 1953 sampai 1963, praktik Daerah Operasi Militer (DOM) tahun 1989 sampai 1998 dan masa Darurat Militer/Darurat Sipil tahun 2003 sampai 2005.
Walaupun selama terjadinya konflik antara RI dengan GAM dalam masa lumayan lama itu banyak dan hampir semua orang Aceh terseksa, namun ketika perdamaian itu tiba maka hampir semua orang senang, bergembira dan sepertinya tidak terjadi apa-apa. Namun demikian beberapa kisah biadap dan tidak berprikemanusiaan yang pernah terjadi terhadap siapa saja dalam konteks konflik tersebut tetap menjadi sejarah penting dalam memori Bangsa Aceh.
Selisih pendekatan atau dalam bahasa sedikit kasar perpecahan yang pernah terjadi dalam tubuh GAM sendiri menjadi sebuah daya tarik tersendiri dalam konteks Aceh Damai hari ini. Sebagaimana juga organisasi perjuangan pembebasan wilayah lain di dunia ini, GAM terjadi beberapa kali perselisihan dalam tubuh organisasinya semenjak tempoh awal sampai selesainya perdamaian dengan RI. Terlepas dari mana asal muasalnya perselisihan itu datang, sejarah telah mencatat bahawa tersingkirnya kelompok Dr. Husaini (barangkali termasuk Daud Paneuk, Syahbuddin, M. Yussuf Daud, dll) dari koordinasi Teungku Hasan yang sama-sama bermukim di Sweden merupakan satu babak sejarah hitam dalam perjalanan dan perjuangan GAM masa lalu. Selanjutnya muncul gerakan baru dalam tubuh GAM sendiri dengan nama MP-GAM yang dikoordinasikan Teuku Don Zulfahri di Kuala Lumpur Malaysia dalam era reformasi (1998-2000) menjadi satu sejarah hitam dalam rentetan perjuangan GAM.
Walaupun gerakan ini berakhir setelah terbunuhnya Teuku Don Zulfahri di sebuah restoran kawasan Ampang, Kuala Lumpur dalam tahun 2000, namun kesannya dapat berimbas untuk masa panjang. Selain itu, Teungku Fauzi Abu Hasbi Geudong (mantan orang kuat GAM) yang pernah muncul dengan beberapa bukunya yang menentang kewujudan kepemimpinan Teungku Hasan Muhammad Tiro menjadi edisi tersendiri perselisihan dalam tubuh GAM. Semua itu menjadi pengalaman yang amat berharga baik bagi GAM sendiri mahupun kepada seluruh bangsa Aceh khususnya yang berjiwa patriot. Ketika terjadinya tandatangan MoU di Helsinki, malah jauh sebelumnya, sebahagian tokoh GAM di luar negeri juga masih memilih berperang sampai merdeka berbandinh berdamai dengan Indonesia. Walaupun tokoh-tokoh yang menetap di Norway, Australia, Sweden dan Malaysia tersebut tidak membuka perlawanan terhadap induk GAMnya.
Kesan Perpecahan
Hampir di semua tempat mempunyai sifat yang sama berkenaan dengan perselisihan dan perpecahan dalam tubuh sesuatu organisasi. Ketika GAM dilanda sedikit perpecahan dalam sejarah perjuangannya, maka di sana pula terjadi kematian yang tidak sepatutnya terjadi. Kes kematian Teuku Don Zulfahri, Teungku Usman Pasi Lhok dan sejumlah pejuang lain di Malaysia merupakan kesan dari perselisihan tersebut. Lebih jauh kesan dari suasana seperti itu terjadinya pemisahan kehidupan orang Aceh dalam beberapa golongan baik di dalam mahupun di luar negeri. Itu memang alami sifatnya dan banyak terjadi di tempat lain, namun semua kita diminta agar dapat mengurangkan dan bahkan menghindari sama sekali kematian tidak proporsional kerana itu termasuk dalam kategori dosa besar.
Akibat dari perpecahan seumpama itu, di satu sisi kewujudan GAM semakin kental kerana tidak ada lagi cabaran dari dalam. Selain itu semua komponen dan pendukung GAM semakin bersatu menghadap Jakarta dengan segala upaya yang ada. Ketika GAM tidak ada oposisi yang dapat mengugat perjuangannya dari dalam, maka kewujudan dan hakikat perjuangannya semakin sempurna dan bersatu dalam ikatan perjuangan kemerdekaan. Hal ini berbeza dengan perjuangan kemerdekaan lain di dunia seperti di Moro (Filipina Selatan), Palestin, Kashmir, dan perjuangan bangsa Kurdi di Turki yang mengalami perpecahan dalam tubuh organisasinya sehingga membawa kepada kegagalan.
Namun pada masa-masa awal konflik dalaman GAM terjadi, banyak penggemar dan masyarakat awam yang benci terhadap kezaliman Indonesia merasa kecewa dan dilanda depressi. Paling tidak mereka bingung dengan keadaan GAM yang sedang berjuang melawan kebejatan Indonesia di satu sisi dengan keretakan dalamannya di sisi lain. Barangkali ada juga sejumlah orang yang tidak bersabar yang membelot ke arah RI kerana tidak memiliki kekuatan pssikologi yang mantap. Dan tidak kurang juga di antara mereka yang terbang menuju dunia luar, bahkan banyak yang berhasil di luar berbanding tetap bertahan di dalam negeri.
Satu lagi kebimbangan kita akibat terjadinya konflik dalaman GAM pada zaman sebelum berdamai dengan RI adalah terbukanya peluang bagi Jakarta untuk membelah Aceh menjadi dua atau tiga wilayah. Perkara seumpama ini pernah terjadi di wilayah Pattani (Thailand Selatan) yang sampai hari ini muslim di sana masih menuntut kemerdekaan dari negara Thailand. Di Aceh, sudah ada senario dari pihak-pihak tertentu di Jakarta untuk membela Aceh menjadi tiga wilayah iaitu; wilayah NAD sendiri, wilayah Aceh Leuser Antara (ALA) dan wilayah Aceh Barat Selatan (ABAS). Perhitungan tesebut ternyata sekarang jauh dari kenyataan setelah terjadinya perdamaian GAM dengan RI ekoran MoU yang terjadi pada tanggal 15 Ogos 2005 di Helsinki, Finland kerana wilayah Aceh ditetapkan dari Sabang sampai Kutacane.
Hasil Perjuangan GAM
Yakin atau tidak yakin, mengakui atau tidak mengakui, perjuangan GAM telah membawa banyak hasil yang amat positif bagi kehidupan bangsa. Memang tidak boleh dinisbikan di sana tentu ada malapetaka akibat perang dalam waktu lama. Namun demikian, adanya perhatian pemerintah Indonesia yang mengawal Aceh dari Jakarta terhadap perbaikan jalan-jalan, jambatan-jambatan, pusat-pusat pemerintahan di Aceh, pendidikan dan sejumlah infrastruktur lainnya dalam masa 20 tahun terakhir tidak dapat dipisahkan dengan perjuangan GAM.
Autonomi Khusus dengan wewenang luas yang didapati Aceh dan tidak didapati wilayah lain di Indonesia juga tidak boleh lepas dengan perjuangan GAM. Di akui atau tidak, menurut kebiasaan Indonesia tanpa perlawanan GAM terhadap RI maka mustahil Autonomi Khusus tersebut dapat dimiliki Aceh. Dan, yang satu ini terbukti kepada daerah-daerah lain yang tidak melawan Jakarta dengan senjata sampai hari ini tidak mendapatkannya walaupun nafsu mereka cukup tinggi untuk memperoleh itu. Autonomi Khusus ini pula yang membuat Aceh harus memiliki sejumlah Undang-undang sebagai media operasinya.
Lahirnya UU. No. 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh dan UU. No. 18 Tahun 2001 Tentang Autonomi Khusus juga sulit dipisahkan dengan perjuangan GAM. Kerana untuk mendukung Autonomi Khusus, maka perlu adanya Undang-undang dan untuk kesempurnaannya tidak cukup satu Undang-undang yang diperlukan. Malah selain dua Undang-undang tersebut di atas, Aceh memerlukan banyak Qanun untuk menjalankan amanat dua Undang-undang tersebut. Terakhir Undang-undang paling istimewa dimiliki Aceh sebagai kesan dari perlawanan GAM adalah UU. No. 11 tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. Dapat dipastikan tidak satupun wilayah di Indonesia yang memiliki Undang-undang pemerintahan sendiri seperti yang dimiliki Aceh.
Perkenalan Aceh ke peringkat dunia antarabangsa sehingga ia popular seperti zaman Kerajaan Aceh Darussalam lewat perlawanan terhadap kezaliman Indonesia menjadi salah satu upaya keras GAM dalam perjuangan menuntut kemerdekaannya. Selama perjuangan GAM nama Aceh kembali popular di Amerika, Eropah, Afrika, Australia dan hampir seluruh penjuru dunia yang sebelumnya orang Malaysia saja tidak tahu di mana Aceh dan apa itu Aceh. Di terimanya sejumlah tokoh GAM bermastautin di Sweden merupakan babak awal kemenagan populariti Aceh di Eropah. Terjadinya perbincangan antara GAM dengan RI yang diprakarsai oleh Hendri Dunant Center (HDC) dalam tahun 2000 menjadi satu langkah baru bagi dunia antarabangsa untuk lebih mengenal Aceh secara dekat. Dan perdamaian paling akhir di Helsinki (Findland) yang diprakarsai mantan Perdana Menteri negara tersebut Martti Ahtisaari lewat lembaganya Cricis Management Initiative (CMI) membuat informasi Aceh sangat melonjak di peringkat antarabangsa.
Terlepas ada pihak yang sangat senang atau tidak senang dengan pemberlakuan Syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, sejarah telah mencatat bahawa Aceh mendapatkan semua itu berkat perlawanan GAM terhadap RI yang sangat diskriminatif terhadap Aceh. Ketika RI sulit mengamankan Aceh dari Gerakan Aceh Merdeka yang berlangsung hampir 30 tahun, maka sebahagian tokoh Aceh dan Indonesia mencari penyelesaian lain bagi menenangkan Aceh dengan pemberlakuan Syari’at Islam. Diharapkan dengan cara itu Aceh boleh aman dan GAM mahu meletakkan senjata kerana dalam sejarah perjuangan Aceh selalu mengutamakan Syari’at Islam serta jakarta tahu bahawa bangsa Aceh sangat cinta terhadap Islam.
Sekali lagi, terlepas dari kehancuran dan kesengsaraan yang terjadi akibat perlawanan GAM terhadap RI, di sana terdapat sejumlah kebaikan dan manfa’at yang tidak ternilai harganya. Tanpa perjuangan GAM, identiti Aceh terancam punah, adat-budaya Aceh membaur dengan Jawa, tamaddun Aceh hancur berkecai sehingga dapat mengancam peradaban dalam masa lumayan panjang. Aceh hari ini berada pada posisi pantauan dunia luar, ia punya peluang untuk kembali ke suasana masa Kerajaan Aceh Darussalam yang memiliki hubungan bilateral menyeluruh ke berbagai negara di berbagai benua.
Walau bagaimanapun, perjuangan GAM yang berakhir dengan usaha kesepakatan damai dengan RI di Helsinki belumlah menjadi satu keberhasilannya bila diukur dengan lamanya berperang melawan Indonesia. Sesungguhnya sasaran perjuangan GAM adalah dapat mendirikan Negara Aceh yang mandiri dan lepas dari Indonesia, ketika sasaran ini tidak tercapai maka secara mudah dapat dikatakan perjuangan itu telah gagal. Namun melihat keadaan Aceh hari ini tidaklah secara serta merta boleh dikatakan perjuangan GAM telah gagal kerana mereka sudah merubah sistem dan pendekatan perjuangan dari memakai senjata kepada memakai pena (dari perlawanan lewat senjata ke perlawanan lewat jalur politik).
Sekarang kepakaran beralih tempat dari kepakaran menembak kepada kepakaran menulis dan berdiplomasi. Yang menjadi persoalan kepada GAM hari ini adalah; adakah ianya memiliki pakar-pakar tersebut sehingga dalam suasana damai ini dapat menggunakan kesempatan untuk mencapai tujuan? Kalau ada, maka perjuangan asalnya akan terus berlanjut, tetapi kalau tidak ada maka kewujudan perjuangannya akan ditelan zaman. Kerana itu teknik dan mekanisme meluaskan kepakaran bagi memperolah manfaat sangat diperlukan kalangan GAM, kalau tidak demikian maka dibimbangi perjuangan panjang yang memakan waktu 30 tahun dengan korban harta benda dan nyawa manusia yang tidak terhitungkan akan berakhir sia-sia.
Kemenangan calon pasangan Gubernor/Naib Gubernor, Irwandi-Nazar yang diperjuangkan kalangan GAM muda merupakan satu momentum dan peluang yang sangat bermakna untuk mencapai tujuan. Itu pun kalau mereka dapat memimpin dengan baik dan dapat memuaskan semua pihak terutama sekali kalangan GAM sendiri, kalau tidak demikian mereka akan berhadapan dengan masalah baru dengan fesyen baru yang dapat berakibat fatal bagi perjuangan jangka panjang GAM. Ada kemungkinan kalau pasangan Irwandi-Nazar gagal memimpin Aceh lima tahun ke depan, maka GAM secara organisasi akan terpaksa membuka lahan perang yang kesekian kalinya sebagai akibat kekecewaan dan kekecewaan sesuatu golongan.
Alternatif Penyelesaian
Untuk keperluan penyelesaian jangka panjang bagi Bangsa Aceh secara keseluruhan, maka semua pihak harus menghargai proses perjalanan sejarah baru bagi Aceh dan Bangsa Aceh yang terjadi secara sangat alami dan penuh makna. Pastikan tidak ada lagi puak-puak yang dapat menghantarkan Aceh ke lembah kehancuran dalam komuniti Aceh hari ini. Semua pihak, dan semua komponen masyarakat harus menyedari betul betapa rentannya hidup dalam alam konflik yang berkepanjangan. Dan semua Bangsa Aceh harus hidup aman dalam satu kepemimpinan Aceh yang kental dan berwibawa.
Persatuan dan kesatuan bangsa di Aceh hari ini tidak lagi berkisar antara sesama GAM, sesama Partai Nasional, sesama Organisasi Massa dan Pemuda, sesama pegawai negeri, sesama TNI dan POLRI atau antara satu dengan Kabupaten lainnya. Akan tetapi persatuan Bangsa di Aceh hari ini harus wujud persatuan Bangsa Aceh secara menyeluruh dan menyeluruh agar mudah membenah dan menjual kekayaan Aceh ke dunia luar secara sistematik. Di bawah pemimpin terpilih Aceh harus lepas dari sifat-sifat hipokrit, sifat primordial yang dapat mengakibatkan kemunduran Aceh dalam masa kemajuan zaman.
Proses alami yang wujud di Aceh hari ini harus diterima oleh semua pihak baik kalangan Aceh sendiri mahupun pihak Jakarta yang sedikit arogan. Suasana yang ada di Aceh hari ini bukanlah kehendak dan agenda GAM atau RI semata-mata, ia merupakan sebuah proses alami yang kerap terjadi di dunia dari masa ke masa. Untuk itu pula maka sikapilah semua itu sebagai sebuah proses simultan yang kebetulan kali ini terjadi di Aceh dan semua pihak diharapkan menerimanya dengan ikhlas hati serta jauh dari niat-niat jahat yang ingin mengkondisikan Aceh agar terus kacau atau agar Aceh tidak berkembang dan tidak berjalan Syari’at Islam. Fahamilah oleh semua pihak bahawa kemajuan Aceh dan berlakunya Syari’at Islam di Aceh tidak akan merugikan siapa-siapa, malah dapat membantu banyak bangsa yang selama ini hidup tidak bertepi, tidak terarah dan sengsara.
Kunci keberhasilan dan kunci dari semua nikmat yang telah diberikan Tuhan adalah; menyerah, mengabdi, mengakrabkan diri, meminta rezeki dan mengharapkan kedamaian abadi hanya kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam. Kalau tidak demikian sulit untuk dipertanggungjawabkan di hari kemudian. Di dunia kita boleh bersenang-senang dengan harta dan jawatan yang diberikan Tuhan, tetapi di akhirat nanti sulit dipertanggungjawabkan. Di sana ada perhitungan di atas sebuah mizan yang paling adil dan telus serta tidak dapat dikelabui seperti kebiasaan kehidupan di atas alam.
Aceh yang aman damai haruslah diisi dengan kemajuan pendidikan, kemajuan ekonomi, kemajuan peradaban dan kesempurnaan sistem sosial politik yang termetri dalam bingkai Islam. Hampir semua bangsa Aceh beragama Islam, Islam punya sistem dan gaya hidup yang lengkap dan jelas, lalu kenapa kita harus meninggalkannya dan mencari serta mempraktikkan sistem-sistem lain yang belum terjamin keasliannya. Kehancuran demi kehancuran yang terjadi di masa lalu tidak terlepas dari persoalan ini. Ummat Islam yang punya budaya, punya peradaban dan punya sistem hidup sendiri terpengaruh oleh reklame dan promosi luar yang bersifat nisbi dan sangat mutakhir. Akibatnya, di dunia mereka rugi dan hidup tidak menentu, di akhirat mendapat seksa neraka yang amat pedih dan tidak ada bantuan dari siapa.
Kunci keberhasilan bangsa Aceh zaman dahulu ada pada penyerahan diri dan penghambaan diri hanya kepada Allah semata-mata. Dengan memilih dan memiliki sifat demikian, kalau pun di dunia yang sementara ini Bangsa Aceh tidak hidup senang dari sisi pandang kekayaan harta benda, di akhirat pasti menang kerana mengikat diri dengan ikatan Islam secara sempurna dan menjalankannya dengan sempurna pula dalam kehidupan dunia. Ada kebimbangan Aceh akan menjadi sebuah wilayah sekular di dunia pasca perdamaian antara GAM dengan RI. Andaian ini didasarkan kepada bebas dan terbukanya Aceh kepada dunia antarabangsa dan lemahnya kawalan serta pengawalan syari’ah dan juga adat budaya Aceh sendiri dalam kehidupan sehari-hari.
Kebimbangan ini sangat beralasan bila mengingatkan hampir semua generasi Aceh mendapatkan pendidikan sekular dari sistem pendidikan Indonesia yang jauh dari sistem pendidikan Islam. Satu lagi hal yang mendukung wujudnya Aceh sekular di hadapan adalah; pemberlakuan Syari’at Islam di Aceh hari ini terjadi secara langsung menuju kepada praktik dengan meninggalkan teoritik dan sosialisasi yang memadai. Perlakuan semisal ini dapat berakibat kepada terjadinya perlawanan langsung atau tidak langsung dari warga Aceh yang sudah sangat lama jauh dengan sistem kehidupan Islami.
Untuk itu semua, pembenahan ‘aqidah, penguatan tauhid dan pemantapan iman merupakan upaya-upaya dasar yang harus dilakukan oleh pihak berkuasa di Aceh agar implementasi Syari’ah akan mudah jalan tanpa paksaan. Ketika semua muslim Aceh telah memahami dan meyakini bahawa semua aktivitinya dikawal oleh Allah dan Malaikat-Nya maka mereka takut melakukan kesalahan sehingga penegakan Syari’at Islam tidak perlu dipaksakan sebagaimana yang pernah terjadi pada zaman Nabi Muhammad SAW.
Nota: Hasanuddin Yusuf Adan merupakan penasihat konflik bagi World Bank di Banda Aceh. Sebelum ini, beliau sebelum pernah diwawancarai menerusi “Hasanuddin Yusof Adan: Aceh belum mempercayai Indonesia!”. Dan, beliau dapat dihubungi menerusi, Emel.
Sumber: ummahonline.wordpress.com
loading...
Post a Comment