AMP - Meskipun dalam bulan Ramadan, sejumlah delegasi Acheh-Sumatra National Liberation Front (ASNLF) yang bermukim di Eropa mengirimkan delegasinya ke Brussels. Penyebabnya di ibukota Belgia itu diadakan sebuah konferensi yang membahas Hak-Hak Minoritas dan Kerjasama Regional di Asia Tenggara, Selasa pekan lalu 14 Juni 2016. Dalam hal ini, Aceh masuk dalam kategori wilayah yang dibincangkan tersebut. Utusan yang dikirim oleh organisasi pembebasan Aceh tersebut termasuk Bos mereka, Ariffadhillah, yang bermukim di Jerman.
Seminar di salah satu ruang gedung parlemen Uni Eropa itu berlangsung sehari. Panitia pelaksananya organisasi UNPO yang bekerja sama dengan Taiwan Foundation for Democracy (TFD), the Haella Foundationdan anggota parlemen Uni Eropa, Urmas Paet MEP. Sesi waktu untuk ASNLF diberikan kesempatan pada panel kedua. Ariffadhillah, akrab dipanggil Arif, mengatakan bahwa even itu terlaksana berkat lobi UNPO yang menawarkan kepada setiap anggotanya seperti Aceh dan lain-lain yang termasuk dalam wilayah Asia Tenggara untuk ikut berpartisipasi.
“Informasi acaranya sudah diberitahukan sejak satu bulan lalu. Konferensi ini akan kita manfaatkan untuk kampanye masalah hak penentuan nasib sendiri bagi Aceh,” ujar Arif melalui pesan singkatnya ketika ditanya apa tujuan dari konferensi tersebut. Peserta panelis lainnya yang hadir perwakilan dari Taiwan, Hmong, Khmer Kampuchea-Krom, Chittagong Hill Tracts.
Bagi ASNLF, mereka mengambil topik update tentang kelemahan implementasi MoU Helsinki terutama menyorot pelanggaran HAM berat di Aceh yang tergolong genosida. Dalam makalah yang dibentangkan itu setidaknya Arif mengambil contoh enam kasus pembantaian rakyat Aceh seperti kasus Gedung KNPI Lhokseumawe, Sungai Arakundo, Simpang KKA, Beutong Ateuh (1999), Bumi Flora (2001) serta kasus Jambo Keupok (2003).
Pada kesempatan itu, ASNLF juga mendesak komunitas internasional agar mendukung rakyat Acehdalam perjuangan meraih hak untuk menentukan nasib sendiri.
Dalam perkara HAM, mereka meminta Uni Eropa agar mengawasi keadaan di Aceh dengan mendesak Indonesia untuk mengakhiri impunitas yaitu menyelesaikan pelanggaran HAM berat akibat konflik. Bagi ramai analis politik, MoU Helsinki boleh jadi merupakan sebuah contoh sukses penyelesaian konflik, namun bagi ASNLF MoU tersebut hanyalah sebuah kesepakatan yang sangat lemah. (Rel)
Seminar di salah satu ruang gedung parlemen Uni Eropa itu berlangsung sehari. Panitia pelaksananya organisasi UNPO yang bekerja sama dengan Taiwan Foundation for Democracy (TFD), the Haella Foundationdan anggota parlemen Uni Eropa, Urmas Paet MEP. Sesi waktu untuk ASNLF diberikan kesempatan pada panel kedua. Ariffadhillah, akrab dipanggil Arif, mengatakan bahwa even itu terlaksana berkat lobi UNPO yang menawarkan kepada setiap anggotanya seperti Aceh dan lain-lain yang termasuk dalam wilayah Asia Tenggara untuk ikut berpartisipasi.
“Informasi acaranya sudah diberitahukan sejak satu bulan lalu. Konferensi ini akan kita manfaatkan untuk kampanye masalah hak penentuan nasib sendiri bagi Aceh,” ujar Arif melalui pesan singkatnya ketika ditanya apa tujuan dari konferensi tersebut. Peserta panelis lainnya yang hadir perwakilan dari Taiwan, Hmong, Khmer Kampuchea-Krom, Chittagong Hill Tracts.
Bagi ASNLF, mereka mengambil topik update tentang kelemahan implementasi MoU Helsinki terutama menyorot pelanggaran HAM berat di Aceh yang tergolong genosida. Dalam makalah yang dibentangkan itu setidaknya Arif mengambil contoh enam kasus pembantaian rakyat Aceh seperti kasus Gedung KNPI Lhokseumawe, Sungai Arakundo, Simpang KKA, Beutong Ateuh (1999), Bumi Flora (2001) serta kasus Jambo Keupok (2003).
Pada kesempatan itu, ASNLF juga mendesak komunitas internasional agar mendukung rakyat Acehdalam perjuangan meraih hak untuk menentukan nasib sendiri.
Dalam perkara HAM, mereka meminta Uni Eropa agar mengawasi keadaan di Aceh dengan mendesak Indonesia untuk mengakhiri impunitas yaitu menyelesaikan pelanggaran HAM berat akibat konflik. Bagi ramai analis politik, MoU Helsinki boleh jadi merupakan sebuah contoh sukses penyelesaian konflik, namun bagi ASNLF MoU tersebut hanyalah sebuah kesepakatan yang sangat lemah. (Rel)
loading...
Post a Comment