oleh: “Tu-ngang” Iskandar
“silahkan orang Aceh berpolitik, silahkan
mereka beragama secara fanatik, tapi jangan biarkan mereka memahami
kebudayaannya secara baik”
(Snouck Hurgronje)
Tidak
banyak saya bisa menyinggung mengenai tema di atas, mengingat untuk memahami
kedua istilah dalam konteks Aceh ini, kita harus lebih banyak mencoba maju dan
mundur dalam tempurung kepalanya Aceh. Itu terlihat seperti mengukur langkah
diri, tentang apa yang telah kita lakukan dan peroleh selama ini.
Bagai
satu keping dalam dua sisi mata uang yang seakan berbeda, kedua istilah
ini
sejujurnya terus menerus ada dalam putaran hidupnya Aceh. Budaya politik
di
Aceh seperti halnya juga mesin, yang terus bergerak diantara aroma kopi,
mesiu,
darah, keringat, dan tidak lupa juga asap ganja. Ya, ia ada dalam
hembusan
nafas Aceh. Sedangkan politik budaya adalah sesuatu yang juga berada di
sana, terus
menerus berputar walaupun tanpa supir yang jelas sekalipun. Memulai
pembahasan ini, begitu banyak pertanyaan yang tidak mudah saya jawab
sebagai orang Aceh. namun apalah daya, saya harus tetap menuliskannya,
walaupun dengan kepala tong sampah.
Pertanyaan
pertama
yang mungkin mudah kita ajukan dan jawab adalah tentang apakah kita
melakukan ritual politik di Aceh? dan apakah kita begitu kompeten dalam
hal tersebut? Tentunya tidak dapat disangsikan lagi bahwa kita memang
melakukan ritual tersebut saban hari. Orang-orang Aceh, walau di mana
pun berkumpul, selalu berbicara politik. Soal apakah kita kompeten atau
terlatih dalam bidang ini, sehingga
pantas disebut sebagai orang-orang yang memahami makna dan tujuan dari
politik? Tunggu dulu, karena budaya politik bukan hanya reaksi setelah
menikmati
seperangkat hidangan lezat di atas meja makan ataupun d atas ranjang. Ia
membutuhkan lebih dari itu, yang melewati batas-batas kebinatangan,
yaitu tentang kedewasaan berfikir dan bersikap selayaknya manusia,
melalui suatu citarasa yang timbul dari renungan budaya terhadap
nilai-nilai
ketuhanan dan kemanusiaan.
Politik,
jika kita ingin mengatakan bahwa itu adalah produk budaya, ya! Itu
memang seakan
budaya, karena secara nyata telah menjadi fenomena atau bentuk yang
dihasilkan
lewat rekayasa manusia. Akan tetapi, ada baiknya kita memahami kembali
budaya, yaitu
sebagai kumpulan yang komplek dari hal yang dihasilkan melalui
pengetahuan,
kepercayaan, seni, hukum, moral, adat istiadat dan setiap kemampuan lain
atau
kebiasaan yang diperoleh oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Budaya
adalah
apa yang dihasilkan manusia kepada kebaikan dirinya dengan cara yang
berbudi. dan di sini jelas, bahwa manusia adalah manusia yang politik,
dan bukan hewan politik, seperti diistilahkan oleh Aristoteles. karena
hewan tidak semudah itu bisa mengabdi pada kemanusiaan.
Tentu, berbagai hal yang telah menjadi kebiasaan bagi manusia juga belum tentu dapat menjadi solusi yang dapat
menyelesaikan berbagai persoalan baginya, alias punya cara tapi belum tentu bisa berstrategi
dengan baik untuk kemudian menjadi solusi yang tepat. Budaya politik harapannya mampu menciptakan iklim politik yang
manusiawi, yang dapat menjadi solusi bagi kita bersama. Bukan menjadikan budaya
politik sebagai alat untuk tujuan suatu kelompok tertentu saja.
Lihatlah,
kita seperti orang yang belum usai berpesta mabuk setelah banyak uang bantuan
tsunami mengalir dan setelah damai itu ditandatangani. Padahal jika kita ingin
merefleksikan diri secara utuh, betapa banyak yang telah kita korbankan untuk
sampai pada apa yang sedang berlangsung semraut ini. Begitu sedih hati kita
ketika sampai saat ini, masih pun terasa jelas keberingasan dan rasa pusing
kita ketika ingin merumuskan tentang jati diri kita. Kita seperti orang Aceh
gila (Atjeh Moorden) seperti yang pernah diklaim Belanda tempo dulu.
Seorang
Belanda sejati yang biasa dipanggil orang Aceh dengan sebutan “seuneuet”
(Snouck Hurgronje), yang diartikan
sebagai “cambuk” paling berbahaya bagi Aceh pernah berkata, yang isinya
kira-kira begini; “silahkan orang Aceh berpolitik, silahkan mereka
beragama
secara fanatik, tapi jangan biarkan mereka memahami kebudayaannya secara
baik”. kata tersebut ingin mengatakan bahwa dalam aktivitas politik di
Aceh, masyarakat Aceh harus dipisahkan dari nilai-nilai yang menjadi
dasarnya.
mencoba masuk dalam wilayah pembicaraan politik dan budaya, setidaknya ada tiga ukuran yang
dapat kita gunakan untuk memahami budaya maupun politik (budaya politik maupun
politik budaya), yang pertama adalah mengenai gagasan. Gagasan atau ide di sini tentu bentuknya sangat abstrak, ia
berada dalam kepala-kepala atau pikiran-pikiran, bisa jadi berupa ideologi. Jika ingin mengetahui atau mehamami ide atau gagasan
tersebut, kita bisa membaca tulisan atau mendengar kata-kata dari empunya ide
atau gagasan, yang bisa beredar di manapun. Namun ide atau gagasan saja
tentunya tidak cukup, kita harus pula mengetahui sikap atau aktivitas yang berupa tindakan-tindakan
atau hasil dari tindakan-tindakan tersebut, yang kemudian menjadi artefak untuk kita tandai sebagai suatu
penanda atas ada tidaknya mereka dalam usaha untuk membangun suatu tatanan nilai atau manusia.
Jika
ingin melihat secara monumental kondisi Aceh di masa lalu, lihat saja
kondisi peninggalannya, pasti kita akan menemukan bahwa berbagai makna
yang mampu memberi pemahaman pada kita tentang berbagai kejadian di masa
tersebut. Tentang begitu terbirit-biritnya kita tempo
hari dalam mempertahankan sebuah kebudayaan misalnya, itu pun bisa kita
lihat melalui kesenian kita; tangan, kaki, mulut, perut,
sarung, seurune kale, mulut, bantal, senjata, serta segala hal yang
ringan
dibawa lari tersebut adalah kondisi masa lalu kita yang tersisa. Itulah
Aceh di kancahnya tempo dulu, yang pahit, yang tidak
sempat peduli pada kebudayaannya, karena bermacam hal yang bersifat
fisik terjadi di masa lalu. Lalu apakah semua itu telah lebih berbeda?
Setelah katanya urat saraf menjadi senjata utama kita, dengan dana yang
begitu
besar, dengan kondisi yang jauh lebih aman dari sebelumnya. Mari kita
berfikir
sejenak tentang peran budaya dalam keberlangsungan Aceh, tentang apakah
kita
menjalankan politik kebudayaan kita.
Hadirnya sebuah hadih maja yang telah menjadi filsafat
hidup masyarakat Aceh: "Adat bak
Poteumeureuhom, hukom bak Syiah Kuala, qanun bak Putroe Phang, reusam bak
Laksamana, hukom ngon adat lagee zat ngon sifeut" menjadi tanda bahwa
Aceh di masa lalu telah memiliki pola atau cara hidupnya yang mapan. Aceh dapat
dikatakan telah menemukan dirinya melalui perenungan budaya, sebagai makhluk
yang teratur hidupnya, sebagai manusia yang beridentitas, berprinsip, dan
tentunya berbudaya politik jelas. Itu sebelum Belanda memaklumatkan perang
terhadap kejaraan Aceh dari atas kapal Citadel van Antwerpen pada 26 Muharam
1290 Hijriyah (26 Maret Tahun 1873), yang kemudian berdanpak pada hancurnya
sendi-sendi hidup masyarakat Aceh.
Konflik Aceh yang seakan tidak ada ujungnya setelah pun
Belanda angkat kaki dari Aceh bisa kita anggap sebagai kondisi yang malang bagi
Aceh. Setidaknya dalam kondisi tersebut lah Aceh kehilangan jatidiri atau
karakter asli sebagai bangsa teuleubeh
(kaya). Teulebeh tidak lah kata berlebihan
yang ditujukan kepada orang-orang Aceh dulu (bukan orang sekarang ya, sorry,
karena ini bukan soal materi semata), ini bisa kita lihat melalui artevak yang
masih tersisa hingga sekarang. Berbagai artevak tersebut telah menjelaskan
bahwa manusia pada masa tersebut begitu peduli pada etika, estetika, agama, dan
nilai-nilai keillahian (lihat batu nisan Aceh). Aspek budaya sungguh telah menentukan
perilaku manusia, sehingga mereka dengan sangat mudah menggapai titik tertinggi
dari kemajuan.
Sekarang, jika ingin melihat lebih jelas mengenai aspek
budaya yang bersifat menggerakkan karakter atau perilaku itu, sejenak kita bisa
berpetualang untuk melihat betapa “individualisme kasar” di Amerika dibentuk
apa? lalu kita bisa mampir bertanya sedikit untuk mengetahui tentang “keselarasan
individu dengan alam” pada orang Jepang, hingga kita pun bisa mampir ke suatu
toko milik orang Cina untuk bertanya tentang bagaimana “kepatuhan kolektif” itu
bisa dibangun, sehingga mereka bisa hebat.
Budaya, dengan hadirnya di berbagai tempat juga menggambarkan
identitas. Hal tersebut akan jelas terlihat ketika kita berkomunikasi dengan
orang-orang dari latar belakang budaya yang berbeda. Seorang mantan kombatan
yang dilatih melalui serangkaian budaya kekerasan dan penuh dengan kewaspadaan
misalnya, ia akan secara gamblang memiliki pola perilaku yang saling mencurigai
dan sangat sulit melepaskan diri dari perilaku kerasnya itu. Begitu pun
orang-orang yang dididik dalam budaya elitisme, sosialisme, individualisme,
kapitalisme, hedonisme, estetisisme, maupun isme-isme yang lain, ia akan
mendudukkan dirinya dalam ide mapun perilakunya. Singkat kata bahwa budayalah
yang menyediakan suatu kerangka yang koheren untuk mengorganisasikan aktivitas
seseorang dan memungkinkan dirinya untuk meramalkan perilaku orang lain.
Determinasi budaya begitu berpengaruh bagi kita sebagai perangkat yang akan
menggerakkan kita, baik untuk maju maupun untuk terpuruk sekalipun.
Sekarang, ketika banyak persoalan sedang melilit kita, apakah
kita ingin tetap mengabaikan sisi budaya? ada baiknya kita mendialogkan kembali
diri kita dalam kebudayaan maupun politik yang sedang kita budayakan, dengan mengarahkan
berbagai pemikiran pada apa yang dinamakan kepentingan bersama. Karena
sejatinya kekuatan kita adanya di masa damai, dalam iklim berbudaya, dan dalam
kondisi menghargai perbedaan atau saling bersatu.
Jika
sekarang kita belum bisa menghargai damai, belum bisa
menghargai budaya, dan belum bisa mentolerir perbedaan, itu artinya kita
sedang
dalam kondisi sakit keras, ini jika kita tidak ingin disebut gila. Lalu
apakah
tidak aneh rasanya jika kita marah terhadap cara-cara nonbudaya (barbar)
yang
digunakan orang lain dalam menyelesaikan persoalan dengan kita?
Sedangkan kita
sendiri tidak menggunakan itu dalam menyelesaikan persoalan kita
sendiri.
Sebagai contoh, misalnya fenomena Din Minimi, perkara aliran sesat,
kebijakan soal agama-agama di Aceh, perpecahan di tubuh mantan kombatan
GAM, dan berbagai persoalan lainnya di Aceh.
Rendahnya
penghayatan para pemimpin kita terhadap budaya
adalah penanda bahwa betapa pun Aceh telah damai dan telah memiliki
perangkat
seperti Lembaga Wali Nanggroe, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA),
hingga apa
yang dinamakan Pakar dalam diplomasi seperti para senator, penggunaan
fisik dan
nafsu ala bandit masih dikedepankan dalam membangun Aceh. Di sini kita
juga
bisa melihat bahwa kesenjangan yang terjadidi Aceh ini sebenarnya juga
bersumber dari masih tidak intensnya komunikasi antara ulama dan umara.
Kesenjangan antara Ulama sebagai kalangan yang paham agama dan budaya
Aceh
dengan pemimpin yang harus paham budaya Aceh serta memahami juga agama (Hukom ngon adat lagee zat ngon sifeut)
ini boleh jadi sebagai efek dari perang Cumbok, dan boleh jadi juga karena
ketidakpahaman mereka tentang bagaimana Aceh yang sebenarnya. Maka lihat saja begitu tidak
sopannya mereka yang katanya pejuang dalam mewujudkan nasip rakyat yang telah
berjuang mati-matian untuk membela sebuah ideologi yang diyakini bersama tempo
hari. Mereka sibuk ber-uang dan mengabaikan arti ber-juang, dengan memperkaya
diri dan memuaskan nafsu angkara murkanya sendiri. Ini bisa dengan gamblang
dilihat oleh rakyat dari artefak yang telah dibangun, contohnya saja
rumah/gedung yang megah, mobil mewah, kebun sawit yang melimpah, istri yang
luas (dari Sabang sampai Merauke), gaya hidup yang hedonistik, hingga janji
palsu yang stock nya tidak habis dimakan sampai tujuh turunan.
Hal ini tentunya sebagai gambaran bahwa kita selama ini telah
mengabaikan yang namanya mentalitas diri, yang diciptakan oleh suatu roda
budaya. Budaya politik seakan menjadi kunci bagi kita untuk menggapai suatu
tujuan yang kita inginkan, tapi ternyata di sana, politik hanya menjadi salah
satu alat yang telah membunuh mentalitas kita sebagai manusia berbudi, yang mempertimbangkan
sisi kemanusiaan dan persatuan.
Bahwa kebudayaan politik pada hakekatnya dipahami sebagai
suatu konsep yang terdiri dari sikap, keyakinan, nilai-nilai dan ketrampilan
yang sedang berlaku bagi seluruh anggota masyarakat, termasuk pola
kecenderungan-kecenderungan khusus serta pola-pola kebiasaan yang terdapat pada
kelompok-kelompok pada masyarakat. Maka penjajahan pikiran adalah yang paling
pantas dibicarakan di akhir-akhir ini. Itu artinya pula bahwa kita sebenarnya
sedang memfokuskan diri untuk lebih jauh membicarakan mengenai kebudayaan, baik
melalui jalan politik yang berbudaya, maupun lewat cara budaya untuk berpolitik.
Sejatinya kebudayaan tidak hanya menjadi alat bagi kompetisi
politik, kebudayaan bisa menjadi strategi untuk mengungkapkan aspirasi dan
pemikiran masyarakat terhadap pemerintah sehingga tidak tertutup kemungkinan
keanekaragaman budaya dari berbagai suku di Aceh dapat dimanfaatkan sebagai
ajang untuk memberikan tekanan terhadap penguasa yang sewenang-wenang.
Keterlibatan rakyat Aceh secara luas dan beragam dalam budaya
politik seharusnya bisa diwujudkan untuk menjadi kekuatan yang dapat
mempermudah pembangunan Aceh. Namun apakah Aceh sudah siap untuk mendapatkan
dirinya yang asli itu? dengan tidak menggandeng pemikiran-pemikiran kolonial? Dengan
peduli pada muatan yang telah tertanam dalam tengkoraknya Aceh. Ini tentunya
menjadi pertanyaan bersama. Mengingat budaya politik yang kita praktekkan masih
sangat jauh dari apa yang disebut berbudaya untuk maju. Politik gila,
kekerasan, pembodohan publik, hingga berbagai teror oleh orang-orang yang tidak
bisa hidup dalam kondisi tanpa letusan peluru harus kita akhiri. Di sini,
rakyat lagi-lagi belum dapat berkutik untuk menentukan nasib bagi dirinya. Berbagai
orang yang dianggapnya bisa melepas jeratan mereka ternyata adalah orang-orang
yang selanjutnya ikut menjerat mereka dari depan dan belakang.
Aceh
sebagai entitas budaya yang pernah menjadi kekuatan besar yang sulit
ditaklukkan musuh-musuhnya, sekarang hanya Aceh yang dipenuhi kekalahan dan
semakin menyusut untuk dibanggakan. “Aceh”, yang begitu memberi gagah ketika
diucapkan dan begitu kokoh sebagai kata ketika ditulis, sekarang menjadi satu
bunyi yang ragu untuk dikeluarkan, walaupun melalui rapa’i yang terbuat dari
emas sekalipun.
Namun
kita semua harus tetap optimis, bahwa tiada peradaban yang terbangun itu tanpa
melalui sebuah proses dialektika yang panjang. Melewati itu semua, kesadaran kritis
adalah suatu alat utama yang bisa membawa kita menuju kehidupan yang lebih baik.
Politik sebagai suatu alat yang digerakkan oleh kesadaran manusia, sejatinya
tidak lebih hanya untuk menjadikan manusia berkehidupan lebih baik secara
menyeluruh (Public goals) dan bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok
(private goals). Begitu juga budaya, yang amat diperlukan untuk membentuk
perilaku politik kita yang masih “kacau”.
Faktor
kebudayaan sangat berperan dalam menentukan kebijakan politik. Berdasar dari
itu semua, lewat sistem-sistem nilai tradisional yang masih terpelihara, kita
masih optimis akan menjadi sebuah kekuatan besar yang dapat mendorong perilaku-perilaku
yang hedonistik, individualistik maupun materialistik ke luar dari fokus kehidupan
kita bersama.
Akhirnya,
politik dapat menentukan budaya, dan budaya dapat menentukan riuh rendahnya
kehidupan politik. Seperti terikatnya zat dengan sifat, maka politik dan budaya
Aceh yang kental dengan islamnya tidak boleh dipisahkan. Ia harus berjalan satu
tubuh, untuk mengembalikan mentalitas dan jatidiri Aceh pada tempatnya.
Penulis
adalah mahasiswa Pengkajian Seni di Program Pascasarjana Institut Seni
Indonesia (ISI) Yogyakarta, Inisiator Seniman Perantauan Atjeh (SePAt)
dan.ruang kajian keacehan Tu-ngang Institut.
Sumber: acehmediart.com
loading...
Post a Comment