Halloween Costume ideas 2015
loading...

Budaya Politik dan Politik Budaya di Aceh

oleh: “Tu-ngang” Iskandar

“silahkan orang Aceh berpolitik, silahkan mereka beragama secara fanatik, tapi jangan biarkan mereka memahami kebudayaannya secara baik”
(Snouck Hurgronje)

Tidak banyak saya bisa menyinggung mengenai tema di atas, mengingat untuk memahami kedua istilah dalam konteks Aceh ini, kita harus lebih banyak mencoba maju dan mundur dalam tempurung kepalanya Aceh. Itu terlihat seperti mengukur langkah diri, tentang apa yang telah kita lakukan dan peroleh selama ini.

Bagai satu keping dalam dua sisi mata uang yang seakan berbeda, kedua istilah ini sejujurnya terus menerus ada dalam putaran hidupnya Aceh. Budaya politik di Aceh seperti halnya juga mesin, yang terus bergerak diantara aroma kopi, mesiu, darah, keringat, dan tidak lupa juga asap ganja. Ya, ia ada dalam hembusan nafas Aceh. Sedangkan politik budaya adalah sesuatu yang juga berada di sana, terus menerus berputar walaupun tanpa supir yang jelas sekalipun. Memulai pembahasan ini, begitu banyak pertanyaan yang tidak mudah saya jawab sebagai orang Aceh. namun apalah daya, saya harus tetap menuliskannya, walaupun dengan kepala tong sampah.

Pertanyaan pertama yang mungkin mudah kita ajukan dan jawab adalah tentang apakah kita melakukan ritual politik di Aceh? dan apakah kita begitu kompeten dalam hal tersebut? Tentunya tidak dapat disangsikan lagi bahwa kita memang melakukan ritual tersebut saban hari. Orang-orang Aceh, walau di mana pun berkumpul, selalu berbicara politik. Soal apakah kita kompeten atau terlatih dalam bidang ini, sehingga pantas disebut sebagai orang-orang yang memahami makna dan tujuan dari politik? Tunggu dulu, karena budaya politik bukan hanya reaksi setelah menikmati seperangkat hidangan lezat di atas meja makan ataupun d atas ranjang. Ia membutuhkan lebih dari itu, yang melewati batas-batas kebinatangan, yaitu tentang kedewasaan berfikir dan bersikap selayaknya manusia, melalui suatu citarasa yang timbul dari renungan budaya terhadap nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan.

Politik, jika kita ingin mengatakan bahwa itu adalah produk budaya, ya! Itu memang seakan budaya, karena secara nyata telah menjadi fenomena atau bentuk yang dihasilkan lewat rekayasa manusia. Akan tetapi, ada baiknya kita memahami kembali budaya, yaitu sebagai kumpulan yang komplek dari hal yang dihasilkan melalui pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat istiadat dan setiap kemampuan lain atau kebiasaan yang diperoleh oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Budaya adalah apa yang dihasilkan manusia kepada kebaikan dirinya dengan cara yang berbudi. dan di sini jelas, bahwa manusia adalah manusia yang politik, dan bukan hewan politik, seperti diistilahkan oleh Aristoteles. karena hewan tidak semudah itu bisa mengabdi pada kemanusiaan.

Tentu, berbagai hal yang telah menjadi kebiasaan bagi manusia juga belum tentu dapat menjadi solusi yang dapat menyelesaikan berbagai persoalan baginya, alias punya cara tapi belum tentu bisa berstrategi dengan baik untuk kemudian menjadi solusi yang tepat. Budaya politik harapannya mampu menciptakan iklim politik yang manusiawi, yang dapat menjadi solusi bagi kita bersama. Bukan menjadikan budaya politik sebagai alat untuk tujuan suatu kelompok tertentu saja.

Lihatlah, kita seperti orang yang belum usai berpesta mabuk setelah banyak uang bantuan tsunami mengalir dan setelah damai itu ditandatangani. Padahal jika kita ingin merefleksikan diri secara utuh, betapa banyak yang telah kita korbankan untuk sampai pada apa yang sedang berlangsung semraut ini. Begitu sedih hati kita ketika sampai saat ini, masih pun terasa jelas keberingasan dan rasa pusing kita ketika ingin merumuskan tentang jati diri kita. Kita seperti orang Aceh gila (Atjeh Moorden) seperti yang pernah diklaim Belanda tempo dulu.

Seorang Belanda sejati yang biasa dipanggil orang Aceh dengan sebutan “seuneuet” (Snouck Hurgronje), yang diartikan sebagai “cambuk” paling berbahaya bagi Aceh pernah berkata, yang isinya kira-kira begini; “silahkan orang Aceh berpolitik, silahkan mereka beragama secara fanatik, tapi jangan biarkan mereka memahami kebudayaannya secara baik”. kata tersebut ingin mengatakan bahwa dalam aktivitas politik di Aceh, masyarakat Aceh harus dipisahkan dari nilai-nilai yang menjadi dasarnya. 

mencoba masuk dalam wilayah pembicaraan politik dan budaya, setidaknya ada tiga ukuran yang dapat kita gunakan untuk memahami budaya maupun politik (budaya politik maupun politik budaya), yang pertama adalah mengenai gagasan. Gagasan atau ide di sini tentu bentuknya sangat abstrak, ia berada dalam kepala-kepala atau pikiran-pikiran, bisa jadi berupa ideologi. Jika ingin mengetahui atau mehamami ide atau gagasan tersebut, kita bisa membaca tulisan atau mendengar kata-kata dari empunya ide atau gagasan, yang bisa beredar di manapun. Namun ide atau gagasan saja tentunya tidak cukup, kita harus pula mengetahui sikap atau aktivitas yang berupa tindakan-tindakan atau hasil dari tindakan-tindakan tersebut, yang kemudian menjadi artefak untuk kita tandai sebagai suatu penanda atas ada tidaknya mereka dalam usaha untuk membangun suatu tatanan nilai atau manusia.

Jika ingin melihat secara monumental kondisi Aceh di masa lalu, lihat saja kondisi peninggalannya, pasti kita akan menemukan bahwa berbagai makna yang mampu memberi pemahaman pada kita tentang berbagai kejadian di masa tersebut. Tentang begitu terbirit-biritnya kita tempo hari dalam mempertahankan sebuah kebudayaan misalnya, itu pun bisa kita lihat melalui kesenian kita; tangan, kaki, mulut, perut, sarung, seurune kale, mulut, bantal, senjata, serta segala hal yang ringan dibawa lari tersebut adalah kondisi masa lalu kita yang tersisa. Itulah Aceh di kancahnya tempo dulu, yang pahit, yang tidak sempat peduli pada kebudayaannya, karena bermacam hal yang bersifat fisik terjadi di masa lalu. Lalu apakah semua itu telah lebih berbeda? Setelah katanya urat saraf menjadi senjata utama kita, dengan dana yang begitu besar, dengan kondisi yang jauh lebih aman dari sebelumnya. Mari kita berfikir sejenak tentang peran budaya dalam keberlangsungan Aceh, tentang apakah kita menjalankan politik kebudayaan kita.

Hadirnya sebuah hadih maja yang telah menjadi filsafat hidup masyarakat Aceh: "Adat bak Poteumeureuhom, hukom bak Syiah Kuala, qanun bak Putroe Phang, reusam bak Laksamana, hukom ngon adat lagee zat ngon sifeut" menjadi tanda bahwa Aceh di masa lalu telah memiliki pola atau cara hidupnya yang mapan. Aceh dapat dikatakan telah menemukan dirinya melalui perenungan budaya, sebagai makhluk yang teratur hidupnya, sebagai manusia yang beridentitas, berprinsip, dan tentunya berbudaya politik jelas. Itu sebelum Belanda memaklumatkan perang terhadap kejaraan Aceh dari atas kapal Citadel van Antwerpen pada 26 Muharam 1290 Hijriyah (26 Maret Tahun 1873), yang kemudian berdanpak pada hancurnya sendi-sendi hidup masyarakat Aceh.

Konflik Aceh yang seakan tidak ada ujungnya setelah pun Belanda angkat kaki dari Aceh bisa kita anggap sebagai kondisi yang malang bagi Aceh. Setidaknya dalam kondisi tersebut lah Aceh kehilangan jatidiri atau karakter asli sebagai bangsa teuleubeh (kaya). Teulebeh tidak lah kata berlebihan yang ditujukan kepada orang-orang Aceh dulu (bukan orang sekarang ya, sorry, karena ini bukan soal materi semata), ini bisa kita lihat melalui artevak yang masih tersisa hingga sekarang. Berbagai artevak tersebut telah menjelaskan bahwa manusia pada masa tersebut begitu peduli pada etika, estetika, agama, dan nilai-nilai keillahian (lihat batu nisan Aceh). Aspek budaya sungguh telah menentukan perilaku manusia, sehingga mereka dengan sangat mudah menggapai titik tertinggi dari kemajuan.

Sekarang, jika ingin melihat lebih jelas mengenai aspek budaya yang bersifat menggerakkan karakter atau perilaku itu, sejenak kita bisa berpetualang untuk melihat betapa “individualisme kasar” di Amerika dibentuk apa? lalu kita bisa mampir bertanya sedikit untuk mengetahui tentang “keselarasan individu dengan alam” pada orang Jepang, hingga kita pun bisa mampir ke suatu toko milik orang Cina untuk bertanya tentang bagaimana “kepatuhan kolektif” itu bisa dibangun, sehingga mereka bisa hebat.

Budaya, dengan hadirnya di berbagai tempat juga menggambarkan identitas. Hal tersebut akan jelas terlihat ketika kita berkomunikasi dengan orang-orang dari latar belakang budaya yang berbeda. Seorang mantan kombatan yang dilatih melalui serangkaian budaya kekerasan dan penuh dengan kewaspadaan misalnya, ia akan secara gamblang memiliki pola perilaku yang saling mencurigai dan sangat sulit melepaskan diri dari perilaku kerasnya itu. Begitu pun orang-orang yang dididik dalam budaya elitisme, sosialisme, individualisme, kapitalisme, hedonisme, estetisisme, maupun isme-isme yang lain, ia akan mendudukkan dirinya dalam ide mapun perilakunya. Singkat kata bahwa budayalah yang menyediakan suatu kerangka yang koheren untuk mengorganisasikan aktivitas seseorang dan memungkinkan dirinya untuk meramalkan perilaku orang lain. Determinasi budaya begitu berpengaruh bagi kita sebagai perangkat yang akan menggerakkan kita, baik untuk maju maupun untuk terpuruk sekalipun.

Sekarang, ketika banyak persoalan sedang melilit kita, apakah kita ingin tetap mengabaikan sisi budaya? ada baiknya kita mendialogkan kembali diri kita dalam kebudayaan maupun politik yang sedang kita budayakan, dengan mengarahkan berbagai pemikiran pada apa yang dinamakan kepentingan bersama. Karena sejatinya kekuatan kita adanya di masa damai, dalam iklim berbudaya, dan dalam kondisi menghargai perbedaan atau saling bersatu.

Jika sekarang kita belum bisa menghargai damai, belum bisa menghargai budaya, dan belum bisa mentolerir perbedaan, itu artinya kita sedang dalam kondisi sakit keras, ini jika kita tidak ingin disebut gila. Lalu apakah tidak aneh rasanya jika kita marah terhadap cara-cara nonbudaya (barbar) yang digunakan orang lain dalam menyelesaikan persoalan dengan kita? Sedangkan kita sendiri tidak menggunakan itu dalam menyelesaikan persoalan kita sendiri. Sebagai contoh, misalnya fenomena Din Minimi, perkara aliran sesat, kebijakan soal agama-agama di Aceh, perpecahan di tubuh mantan kombatan GAM, dan berbagai persoalan lainnya di Aceh.

Rendahnya penghayatan para pemimpin kita terhadap budaya adalah penanda bahwa betapa pun Aceh telah damai dan telah memiliki perangkat seperti Lembaga Wali Nanggroe, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), hingga apa yang dinamakan Pakar dalam diplomasi seperti para senator, penggunaan fisik dan nafsu ala bandit masih dikedepankan dalam membangun Aceh. Di sini kita juga bisa melihat bahwa kesenjangan yang terjadidi Aceh ini sebenarnya juga bersumber dari masih tidak intensnya komunikasi antara ulama dan umara. Kesenjangan antara Ulama sebagai kalangan yang paham agama dan budaya Aceh dengan pemimpin yang harus paham budaya Aceh serta memahami juga agama (Hukom ngon adat lagee zat ngon sifeut) ini boleh jadi sebagai efek dari perang Cumbok, dan boleh jadi juga karena ketidakpahaman mereka tentang bagaimana Aceh yang sebenarnya. Maka lihat saja begitu tidak sopannya mereka yang katanya pejuang dalam mewujudkan nasip rakyat yang telah berjuang mati-matian untuk membela sebuah ideologi yang diyakini bersama tempo hari. Mereka sibuk ber-uang dan mengabaikan arti ber-juang, dengan memperkaya diri dan memuaskan nafsu angkara murkanya sendiri. Ini bisa dengan gamblang dilihat oleh rakyat dari artefak yang telah dibangun, contohnya saja rumah/gedung yang megah, mobil mewah, kebun sawit yang melimpah, istri yang luas (dari Sabang sampai Merauke), gaya hidup yang hedonistik, hingga janji palsu yang stock nya tidak habis dimakan sampai tujuh turunan.

Hal ini tentunya sebagai gambaran bahwa kita selama ini telah mengabaikan yang namanya mentalitas diri, yang diciptakan oleh suatu roda budaya. Budaya politik seakan menjadi kunci bagi kita untuk menggapai suatu tujuan yang kita inginkan, tapi ternyata di sana, politik hanya menjadi salah satu alat yang telah membunuh mentalitas kita sebagai manusia berbudi, yang mempertimbangkan sisi kemanusiaan dan persatuan.

Bahwa kebudayaan politik pada hakekatnya dipahami sebagai suatu konsep yang terdiri dari sikap, keyakinan, nilai-nilai dan ketrampilan yang sedang berlaku bagi seluruh anggota masyarakat, termasuk pola kecenderungan-kecenderungan khusus serta pola-pola kebiasaan yang terdapat pada kelompok-kelompok pada masyarakat. Maka penjajahan pikiran adalah yang paling pantas dibicarakan di akhir-akhir ini. Itu artinya pula bahwa kita sebenarnya sedang memfokuskan diri untuk lebih jauh membicarakan mengenai kebudayaan, baik melalui jalan politik yang berbudaya, maupun lewat cara budaya untuk berpolitik.

Sejatinya kebudayaan tidak hanya menjadi alat bagi kompetisi politik, kebudayaan bisa menjadi strategi untuk mengungkapkan aspirasi dan pemikiran masyarakat terhadap pemerintah sehingga tidak tertutup kemungkinan keanekaragaman budaya dari berbagai suku di Aceh dapat dimanfaatkan sebagai ajang untuk memberikan tekanan terhadap penguasa yang sewenang-wenang.

Keterlibatan rakyat Aceh secara luas dan beragam dalam budaya politik seharusnya bisa diwujudkan untuk menjadi kekuatan yang dapat mempermudah pembangunan Aceh. Namun apakah Aceh sudah siap untuk mendapatkan dirinya yang asli itu? dengan tidak menggandeng pemikiran-pemikiran kolonial? Dengan peduli pada muatan yang telah tertanam dalam tengkoraknya Aceh. Ini tentunya menjadi pertanyaan bersama. Mengingat budaya politik yang kita praktekkan masih sangat jauh dari apa yang disebut berbudaya untuk maju. Politik gila, kekerasan, pembodohan publik, hingga berbagai teror oleh orang-orang yang tidak bisa hidup dalam kondisi tanpa letusan peluru harus kita akhiri. Di sini, rakyat lagi-lagi belum dapat berkutik untuk menentukan nasib bagi dirinya. Berbagai orang yang dianggapnya bisa melepas jeratan mereka ternyata adalah orang-orang yang selanjutnya ikut menjerat mereka dari depan dan belakang.

Aceh sebagai entitas budaya yang pernah menjadi kekuatan besar yang sulit ditaklukkan musuh-musuhnya, sekarang hanya Aceh yang dipenuhi kekalahan dan semakin menyusut untuk dibanggakan. “Aceh”, yang begitu memberi gagah ketika diucapkan dan begitu kokoh sebagai kata ketika ditulis, sekarang menjadi satu bunyi yang ragu untuk dikeluarkan, walaupun melalui rapa’i yang terbuat dari emas sekalipun. 

Namun kita semua harus tetap optimis, bahwa tiada peradaban yang terbangun itu tanpa melalui sebuah proses dialektika yang panjang. Melewati itu semua, kesadaran kritis adalah suatu alat utama yang bisa membawa kita menuju kehidupan yang lebih baik. Politik sebagai suatu alat yang digerakkan oleh kesadaran manusia, sejatinya tidak lebih hanya untuk menjadikan manusia berkehidupan lebih baik secara menyeluruh (Public goals) dan bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok (private goals). Begitu juga budaya, yang amat diperlukan untuk membentuk perilaku politik kita yang masih “kacau”.

Faktor kebudayaan sangat berperan dalam menentukan kebijakan politik. Berdasar dari itu semua, lewat sistem-sistem nilai tradisional yang masih terpelihara, kita masih optimis akan menjadi sebuah kekuatan besar yang dapat mendorong perilaku-perilaku yang hedonistik, individualistik maupun materialistik ke luar dari fokus kehidupan kita bersama.

Akhirnya, politik dapat menentukan budaya, dan budaya dapat menentukan riuh rendahnya kehidupan politik. Seperti terikatnya zat dengan sifat, maka politik dan budaya Aceh yang kental dengan islamnya tidak boleh dipisahkan. Ia harus berjalan satu tubuh, untuk mengembalikan mentalitas dan jatidiri Aceh pada tempatnya. 


Penulis adalah mahasiswa Pengkajian Seni di Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Inisiator Seniman Perantauan Atjeh (SePAt) dan.ruang kajian keacehan Tu-ngang Institut.
 
Sumber: acehmediart.com
loading...
Labels:

Post a Comment

loading...

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget