Sebuah lukisan benteng di luar Batavia yang dibuat tahun 1709 menyebut nama Jacatra | Sumber: geheugenvannederland.nl |
| Oleh Uman Miftah S. |
Ada keajaiban dalam Pengusiran Portugis di Sunda Kelapa. Pasukan Portugis mengalami musibah alam di saat Sunan Gunung Jati dan direstui para Wali Songo memerintahkan pasukan Demak di bawah pimpinan Fatahillah menyerang mereka. (Baca juga: Merebut Sunda Kelapa - Bagian 1)
Penulis kronik terkenal asal Portugis, Diogo di Couto, sebagaimana dikutip Claude Guillot dalam Banten, Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII menceritakan, ��Fransisco de Sa berlayar menuju Sunda untuk membangun sebuah benteng. Selama Pelayarannya, armada yang ia pimpin diserang badai sehingga kapal-kapalnya terpencar-pencar selama beberapa hari. Tiga diantaranya, sebuah kapal yang besar pimpinan Duarte Coelho serta dua kapal lainnya, dengan susah payah berhasil mencapai pelabuhan sunda. Pada waktu terserang badai itulah salah satu kapalnya terdampar, dan ketiga puluh orang Portugis yang ada di dalamnya berenang menuju daratan, tetapi di pantai itu mereka dibunuh oleh musuhnya, orang-orang Islam.
�Fransisco de Sa beserta kapalnya terbawa badai sampai di pantai Jawa. Ia berhasil menghimpun kembali kapal-kapalnya di Pelabuhan Panarukan, dan membawa armadanya menuju pelabuhan �Bata� untuk berlabuh. Ia mengirim utusan untuk memperingatkan raja akan janji yang pernah diberikan oleh para pendahulunya. Dihadapkan pada penolakan raja, Fransisco de Sa memutuskan untuk menyerang, tetapi di daratan ia menghadapi pertahanan yang begitu kuat �diantara pasukan Portugis empat orang terbunuh dan sejumlah orang lainnya luka-luka- sehingga ia mengundurkan diri dan kembali ke Malaka�.
Pasukan Demak mendapat kemenangan. Sejak peristiwa itu pelabuhan Sunda Kelapa dirubah namanya oleh Fatahillah menjadi Jayakarta. Makna kata ini sesuai dengan surat Al Fath ayat 1 yang memang sumber inspirasinya. Yakni �Kemenangan paripurna bagi umat islam�. �Sesungguhnya kemenangan ini adalah kemenangan yang sempurna (innaa fatahnaa laka fathan mubiinan).�
Fatahillah sendiri adalah pemuda dari Samudera Pasai. Ia menikah dengan adik Sultan Trenggana yaitu Ratu Pembayun, janda Pengeran Jayakelana, putra Sunan Gunung Jati. Terdapat berbagai macam pendapat tentang siapa sebenarnya Fatahillah sebagaimana tercantum dalam catatan Portugis. Hoesen Djajadiningrat dalam Tinjauan Kritis Sejarah Banten yang terabit pada tahun 1913 menyatakan bahwa Fatahillah merupakan Sunan Gunung Jati. Pendapat beliau diamini oleh Bernad HM Vleke.
Sementara HJ de Graaf, Ahmad Mansur Suryanegara, Soejtipto Abimanyu, Uka Tjandrasasmita, hingga dalam buku Induk Sejarah Nasional sepakat bahwa Fatahillah bukanlah Sunan Gunung Jati. Ia adalah Fadhilah Khan sebagaimana tercatat dalam Carita Purwaka Caruban Nagari. Bahkan HJ de Graaf menduga Fatahillah merupakan Mu La Na Fu Di Li Ha Na Fi sebagaimana tercantum dalam Catatan Sejarah Melayu. �Namun Fu Di Li Ha mirip Fadhilah, sebuah nama bagi pembantu perang Sunan Gunung Jati yang juga disebut sebagai Ratu Pasai menurut carita Caruban.� tulisnya.
Bagi Fatahillah dan pasukan Demak, merebut Sunda Kelapa adalah perjuangan suci (jihad fisabilillah) melawan imperialis Portugis. Kemenangan mereka bukan persoalan kehebatan tentaranya, tapi berkat pertolongan yang Maha Kuasa memberikan keajaibannya yang bagi Portugis hanyalah bencana alam berupa badai semata meski menghancurkan. Dr. Muhammad Ali menyatakan, akibat serangan Portugis dan keberhasilan merebut kembali Sunda Kelapa ke tangan Penguasa Islam mampu mengamankan Nusantara selama 200 tahun dari usaha penjajahan Portugis. Hanya satu wilayah Indonesia yang lemah yang dapat dikuasai oleh Portugis, yakni Timor Timur, karena disini belum berdiri kekuasaan politik Islam.
Sebagai penutup, Fatahillah dan Sunan Gunung Jati memberikan pesan kepada generasi penerusnya yang beliau tuangkan dalam bentuk bendera.
Bendera Fatahillah | sumber: cirebontrust.com |
Keterangan Bendera fatahillah | sumber: Menemukan Sejarah, Ahmad Mansur S |
Pertama, mengimani adanya Allah swt. Dengan rumusannya ditunjukan oleh keterangan nomor 1, yakni surat Al Ikhlas ayat 1-4 dan diperkuat oleh surat Al An�am ayat 100-103 (nomor 2), serta lafadz bismillaahirrahmaanirrahiim pada keterangan nomor 3
Kedua, keimanan yang demikian itu mempercepat proses datangnya pertolongan Allah swt, dan umat islam akan menggenggam ketenangan di tangannya (gambar nomor 4 surat As Shaff ayat 13)
Kedua, keimanan yang demikian itu mempercepat proses datangnya pertolongan Allah swt, dan umat islam akan menggenggam ketenangan di tangannya (gambar nomor 4 surat As Shaff ayat 13)
Ketiga, gambar nomo 5 (harimau), nomor 6 (ya Muhammad, bintang dan Allah, Allah dan Muhammad), dan nomor 7 (pedang dzulfikar). Kemenangan ini yang mengantarkan umat Islam ke jenjang kekuasaan. Umat islam dilambangkan kuat laksana harimau yang sangat berpengaruh. Berpandangan dengan pandangan Allah, berjalan atas dasar kekuatan dari Allah (dibentuk dengan kaligrafi laahaula walaa quwwata ilaa billaah), berpikir dalam kerangka laa ilaaha illallaah.
Keempat, kekuasaan itu tidak digenggamnya sendiri. Tetapi dilakukan atas asas musyawarah. Hasilnya dilambangkan dengan harimau kecil loyal dan kooperatif berdiri di belakangnya, mengamankan amanat yang diberikan dengan lambing empat segi simetris (nomor 8).
Kelima, kekuasaan yang dilaksanakan atas dasar iman kepada Allah dan Rasul-Nya akan terjaga aman laksana diapit oleh dua pedang (nomor 7). Dan umat Islam menggunakan pedang ini untuk dua kepentingan fisik dan social (tepian bendera berbentuk segi lima, gambar nomor 9)
loading...
Post a Comment