Halloween Costume ideas 2015
loading...

Mengenal HAMKA (Bagian 2): Pengembara Mencari Diri

Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), seorang ulama dan sastrawan | Foto: gambar bebas Google Picture
| Oleh Ridwan Hd. |

Wajah Malik tiba-tiba pucat ketika salah seorang murid terbaik Ayahnya yang juga guru Malik di Madrasah Sumatera Thawalib datang ke rumah. Ketika itu ayahnya sedang santai sedangkan Malik sedang asik bermainnya dengan adiknya. Kedatangan murid ayah yang sangat di sayangi Haji Rasul ini disambut dengan bahagia. Tetapi tidak dengan Malik yang penuh ketakutan. �Hai malik, Engkau sakit? Itu sebabnya engku datang kemari hendak melihatmu.� kata murid ayahnya yang biasa dipanggil malik Engku Mudo. �Tidak engku,� jawab Malik.

�Kenapa?� ayahnya bertanya dengan mata yang mulai tajam. �... sudah lima belas hari Malik tidak datang ke sekolah.� kata Engku Mudo melaporkan. Sontak ayahnya marah besar. Setelah Engku Mudo pulang, Malik langsung di tempeleng. Tapi marahnya hanya sesaat, ayahnya terlihat menyesal. Ia mulai bicara dengan lunak kepada Malik. Ayahnya bertanya, sebenarnya apa yang disukai Malik. Malik tak menjawab, hanya diam di sudut rumah. Rasa bosan dan tidak tertaik dengan pelajaran di Madrasah selama ini membuat Malik jarang bersekolah. Seperti yang dikenang Hamka dalam otobiografinya di Kenang-kenangan Hidup jilid 1, ayahnya tak mengerti jiwa anaknya sama sekali. (Baca juga: MengenalHAMKA (Bagian 1): Masa Kecil yang Nakal)

Beberapa hari kemudian, Haji Rasul memasukan Malik kursus bahasa inggris di malam hari. Di kursus ini ia menemukan sosok guru yang pandai mengajar sehingga mudah menerima pelajaran, tidak seperti guru-guru yang ada di sekolah dan Madrasah ayahnya. Sayang, karena si guru Bahasa Inggris mendapat penghasilan yang lebih bagus, ia pindah mengajar ke Padang. Kursus yang disukainya berhenti setelah berjalan beberapa bulan.

Meski belajar Bahasa Inggris terhenti, ia sudah mempunyai aktivitas yang juga menyenangkan, yaitu seringnya pergi ke penyewaan buku milik Zainuddin Labai, yang juga salah seorang guru favoritnya waktu sekolah diniyah. Ia baca buku-buku terbitan Volkslectuur (kini bernama Balai Pustaka), buku-buku salinan Tionghoa-Melayu, Tiga Panglima Perang, Graaf De Monte Cristo, dan lainnya. Termasuk surat kabar Bintang Hindia yang memuat karangan Dr. A. Riva�i di bacanya juga. Untuk bisa membaca buku tersebut ia harus menyewa lima sen setiap judul selama dua hari. Ketertarikan untuk membaca buku-buku itu membuatnya pintar berhemat uang demi bisa meminjam. Ia bisa menamatkan satu judul dalam satu hari.

Kekurangan biaya menyewa buku tak membuat Malik kehabisan akal. Ia meminta ikut membantu mengelola penyewaan buku itu dengan melipat kertas sampul, membuat perekat, dan membelikan kopi. Setiap tugas yang dikerjakan ia dapat meminjam buku dengan gratis.

Pikiran Malik tentang dunia ini mulai terbuka sejak membaca buku-buku itu. Pernah ia kedapatan sang ayah sedang membaca. Agak marah ayahnya berkata, �Apakah engkau akan menjadi orang alim nanti ini, atau akan jadi tukang cerita?� Diletakkannya buku itu sebentar, setelah pergi dibacanya lagi.

Di masa remaja, ia mengalami peristiwa yang sangat menyakitkan hati. Perceraian ayah dan ibunya membuat Malik semakin terpukul. Kehadiran ibu Malik selama ini rupanya sangat tidak disukai saudara perempuan ayahnya. Sering kali terjadi pertengkaran antara saudara perempuan ayah dengan ibunya. Tapi Haji Rasul tak mampu menghadapi kuatnya adat dalam masalah perkawainan. Ia tak memiliki kuasa untuk menjaga hubungan suami istri. Konflik yang terjadi bukan antara ayah dan ibu malik, melainkan antar keluarga. Perundingan untuk rukun gagal, perceraian jalan terakhir. Malik sedihnya bukan main. Ia dan adik nomor duanya dipilih tinggal dengan ayah. Sedangkan adik perempuan nomor tiga dan empat ikut ibunya.

Sejak itu ia sudah tak pernah lagi di rumah. Di rumah hanya waktu makan saja. Tak ada lagi yang dijadikan pedoman dalam hidup. Kian hari kian renggang  hubungan dengan ayahnya. Ia hidup sesuka hatinya. Mengembara kemana-mana untuk menghibur duka. Selama setahun, atau hingga umur 13 tahun, ia hidup mengembara. Hanya pulang kalau ayahnya tidak dirumah.

Selama mengembara ilmu silat dipelajarinya. Kadang ilmu itu dimanfaatkan untuk berkelahi dengan musuh-musuhnya. Berkelahinya tak tanggung-tanggung, ia pernah berkelahi menggunakan pisau sampai membuat diri dan lawannya terluka serius. Di waktu lain, asik melihat pacuan kuda, menonton permainan judi dan sambung ayam.

Haji Rasul sudah mulai cemas melihat anaknya yang diharapkan bisa menjadi ulama ini belum juga berubah. Memasuki usia remaja, Malik bukannya tambah alim tetapi bertambah nakalnya. Di keluarga, Malik sudah di cap anak nakal dan dianggap sulit diperbaiki. Tampak tidak ada harapan menjadi penerus ayahnya. Haji Rasul kemudian memutuskan agar Malik mengaji ke Parabek, 5 km dari Bukittinggi. Parabek merupakan tempat mengajar seorang ulama besar bernama Syeik Ibrahim Musa.

Beberapa bulan mengaji di Parabek ternyata juga tak ada perubahan. Kawan-kawan mengajinya di kelas rata-rata sudah berumur 20 sampai 30 tahun. Malik paling muda sendiri di umur 14 tahun. Tapi ia merasa senang karena bisa lebih bebas dari perhatian ayahnya. Sikapnya yang mudah bergaul membuatnya bisa kenal banyak orang. Mulai dari murid yang paling tua hingga muda dikenalnya. Begitu juga dengan warga kampung, ia mudah akrab. Pergaulannya yang luwes tetap menjadikan dirinya lebih senang bermain dari pada belajar, termasuk membuat ulah yang menghebohkan warga kampung.

Hanya beberapa bulan saja mengaji di Parabek. �Yang lebih tepat kalau dikatakan�menganji�; mengacau dari pada mengaji.� cerita Hamka. Bosan karena materi pelajaran pondok di Parabek tidak �masuk-masuk�, ia memilih kembali ke Padang Panjang. Kepulangannya jutru malah belajar pidato adat. Kepintaran pidato membuat sang kakek Datuk Radjo Endah mulai suka padanya. Tetapi ayahnya tetap tidak senang melihat Malik bisa berpidato adat dan mulai menggeluti sastra. Haji Rasul menyuruhnya untuk kembali belajar agama di Parabek. �Beliau hanya marah-marah saja, melihat bukan buku nahwu dan sharaf yang banyak dibacanya, tetapi buku cerita, roman dari penyewaan buku, buku minangkabau.� cerita Hamka lagi. Tak hanya itu, Malik juga kedapatan menulis surat kepada gadis-gadis.

Di masa remajanya itu juga, Malik cukup sering bertemu dengan kawannya bernama Ajun Sabirin. Dari Ajun Sabirin ia bisa mendapatkan surat kabar seperti Caya Sumatera, Sinar Sumatera, Hindia Baru. Dari membaca surat kabar itu, ia melihat satu hal yang menarik, �Tanah Jawa!�

Niat untuk mengembara ke tanah Jawa merasuk hatinya. Tanpa seizin ayah, ia putuskan nekat pergi ke Jawa sendirian. Iya yakin, kalau izin pasti dilarangnya. Tapi, upaya ke tanah Jawa itu gagal ketika dalam perjalanan ia terserang sakit cacar disertai malaria. Untungnya, ada kerabat kampung yang mau merawat dan mengembalikan pulang ketika ia singgah di Dusun Napal Putih.

Sembuh dari sakit dan kembali pulang, wajahnya menjadi menjadi buruk rupa. Bekas-bekas cacar yang dideritanya merusak wajah. Sakit malaria yang hinggap menjadikan rambut rontok. Malik menjadi bahan ejekan dan hinaan yang menambah sakit hatinya. Hanya modal semangat dan percaya diri yang membuatnya mencoba bangkit dari berbagai hinaan; �anak nakal dan wajah jelek�.

Malik tetap berkeinginan melanjutkan perjalanan ke Jawa. Selama setahun kemudian ia terus banyak belajar, membaca, mencatat ayat-ayat Al Qur�an yang penting di dalam buku kecilnya sebagai bekal persiapan. Ayahnya juga berkata, �Umurmu sekarang  lebih 15 tahun. Menurut agama, lepaslah kewajiban ayah. Tetapi kalau engkau masih hendak belajar agama, belajarlah di sini. Kitab-kitab yang banyak ini, siapa yang akan menyambutnya dan membacanya kalau bukan engkau?�

Bagi Malik bukan hanya perkara mempelajari agama. Ada  yang lebih di carinya dari pada sekedar belajar agama. Ada yang ingin ia temukan di Jawa. Masuk tahun 1924, ia memberanikan diri kepada ayahnya, �Hamba hendak ke Jawa, ayah.� ia ucapkan sambil menangis.

�Mengapa engkau kesana?� tanya ayahnya. �Menuntut ilmu.� jawab Malik.

�Ilmu apa yang engkau tuntut di sana? Kalau perkara agama tidak di Jawa tempatnya, tetapi di sini di Minangkabau ini. Entah kalau engkau pergi kepada iparmu di Pekalongan.� kata ayahnya. Maksudnya ipar di sini adalah A. R. Sutan Mansur, salah seorang tokoh Muhammadiyah yang menikah dengan kakak perempuan Malik.

Ayahnya sudah tidak bisa menahannya lagi. Ayanya sadar kalau Malik sudah dewasa dan berhak memutuskan pilihan jalan hidupnya. �Berangkatlah.�ayahnya merestui.

Bersambung ke Mengenal Hamka (bagian 3): Menemukan Islam yang Hidup
loading...
Labels:

Post a Comment

loading...

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget