Foto udara menggunakan helikopter Colibri HL-1211 milik TNI Angkatan Udara di kawasan jembatan baru Pango, Banda Aceh, Rabu (30/4/2014). SERAMBI/M ANHSAR |
Sebuah jembatan lazimnya dibuat untuk menyeberangi sungai, jalan, danau, lembah, bahkan laut. Pembangunan jalur penghubung transportasi tersebut tentu memiliki dampak, baik dari segi ekonomi maupun sosial. Namun jika pembangunannya terhenti di tengah jalan, dipastikan manfaatnya tak tercapai. Ini pula yang terjadi pada jembatan Pango, Banda Aceh.
Pembangunan jembatan ini berhenti sampai abutmen seberang sungai. Tidak ada pembangunan fly over hingga tembus ke kawasan Lampeuneurut, Aceh Besar sebagaimana direncanakan.
Kepala Dinas Bina Marga Aceh, Ir Rizal Aswandi Dipl SE menyebut tak tercapainya kesepakatan harga tanah antara pemerintah dengan pemilik menjadi salah satu kendala. “Pemilik yang di pinggir jalan saat itu bahkan ada yang minta sampai Rp 3 juta per meter, ya tidak mungkinlah kita terima dengan harga demikian,” kata Rizal kepada Serambi, Jumat (24/6).
Baik Dinas Bina Marga Aceh maupun Pemkab Aceh Besar terkesan lempar tanggung jawab saat ditanya penyebab lambannya pembebasan tanah tersebut. “Tahun 2012, kami juga mengganggarkan Rp 80 miliar untuk pembebasan lahan, tapi sedikit pun dana ini tidak terpakai. Tahun 2014 kita anggarkan Rp 25 miliar, hanya setengahnya terpakai. Pembebasan lahan menjadi tanggung jawab Aceh Besar. Saat itu untuk pembebasan lahan dibentuk tim 9 yang diketuai Sekda Aceh Besar,” lanjut Rizal.
Itu sebabnya, kata Rizal, di tahun 2015 dan 2016 tidak ada lagi dana pembebasan yang dianggarkan di APBA. Sebaliknya, Asisten II Bidang Ekonomi dan Pembangunan Setdakab Aceh Besar, Dr Syamsul Bahri MSi menilai, pemerintah provinsi kurang transparan dalam pelaksanaan proyek ini. Dia mengaku Pemkab Aceh Besar bahkan tidak tahu ketersediaan anggaran untuk pembebasan lahan. Bahkan sekadar peta untuk pembebasan lahan pun tak kunjung diberikan Dinas Bina Marga Aceh.
Namun, di luar hal teknis dan saling lempar tanggung jawab itu, diduga ada persoalan lain yang melingkupi dan tidak bisa dipandang sebelah mata. Sebuah sumber Serambi dari kalangan anggota legislatif menyebutkan, munculnya spekulan tanah dan tolak tarik harga tanah yang akan dibebaskan merupakan persoalan yang tidak mudah diselesaikan dalam waktu singkat. Beberapa persil tanah di kawasan tersebut sempat ‘diborong’ oleh beberapa orang jelang dilakukan pembebasan beberapa tahun silam.
Mencium gelagat yang kurang menguntungkan negara, maka baik kalangan legislatif dan eksekutif di provinsi kurang memprioritaskan anggaran pembebasan lahan di tahun-tahun selanjutnya.
Dinas Bina Marga Aceh mengkalkulasi, dibutuhkan anggaran hingga Rp 70 miliar untuk membuat fly over dan bundarannya hingga tembus ke Jalan Soekarno Hatta sepanjang dua kilometer. Sementara anggaran untuk membebaskan lahan sekitar Rp 80 miliar. Ini berarti, dibutuhkan anggaran sekitar Rp 150 miliar untuk menuntaskan keseluruhan jembatan dan jalan tembus hingga ke depan Meuligoe Wali Nanggroe di Jalan Soekarno Hatta, Lampeuneurut, Aceh Besar.(sak)
loading...
Post a Comment