Ciri khas umat Islam di Nusantara yang menjalankan Shalat adalah penggunaan sarung. | Foto tahun 1933 di daerah Jawa Barat | sumber: Tropenmuseum |
�Tidak ada kesepakatan diantara para sejarawan tentang kapan sebenarnya Islam mulai masuk dan menyebar di dunia Melayu,� tulis Uka Tjandrasasmita dalam Arkeologi Islam Nusantara. Ia menjelaskan ada dua teori dalam masuknya Islam ke Nusantara. Pertama,ada yang mengatakan bahwa Islam masuk ke Nusantara pada abad pertama hijriah atau abad ke-7 Masehi. Diantara sejarawanyang berpendapat demikian adalahWP Groeneveldt, TW Arnold, Syed Naquib al Attas, George Fadlo Hourani, JC Van Leur, Hamka, Uka Tjandrasasmita, Azumardi Azra, dan Ahmad Mansur Suryanegara.
Sebagaimana disebutkan oleh Uka Tjandrasasmita dalam Arkeologi Islam Nusantara, Azyumardi Azra dalam Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XIII, serta Ahmad Mansur Suryanegara dalam Menemukan Sejarah, didasarkan pada catatan Tionghoa dari dinasti Tang yang salah satunya menyebutkan, bahwa ada sejumlah orang dari Ta-shih yang membatalkan niatnya menyerang Kerajaan Ho-Ling dibawah rezim Ratu Sima karena kuatnya kekuasaan. �Kata �Ta-Shih� diidentifikasi oleh Groenevedlt sebagai �orang-orang Arab� yang menetap di pantai Sumatera,� tulis Uka Tjandrasasmita.
Adapun Dinasti Tang sendiri merupakan kekaisaran China yang memerintah selama 289 tahun (618-907). Yusin Hendri dalam Sang Naga Dari Timur menuliskan bahwa dinasti ini merupakan lembaran sejarah China yang paling Jaya. Berhasil melakukan ekspansi wilayah China hingga menembus angka 12 juta km2(lebih besar dari wilayah China sekarang yang hanya seluas 9,56 juta km2).
Sementara teori kedua sebagaimana dipelopori oleh C.Snouck Hurgronje menyimpulkan Islam masuk ke Indonesia pada awal abad ke-13 M. Ia menghubungkannya dengan penyerangan dan pendudukan Baghdad oleh Raja Mongol, Hulaghu Khan, pada tahun 1258. Teorinya diperkuat oleh JP Moquette yang menyandarkan temuan arkeologisnya dengan data historis lain, yaitu catatan Marco Polo yang mengunjungi Perlak dan tempat lain pada tahun 1291.
Perihal teori kedua tersebut, Uka Tjandrasasmita menuliskan, �Tidak mengejutkan jika pada tahun 1963 sebuah seminar tentang �Kedatangan Islam di Indonesia� diselenggarakan di Medan. Semintar itu menyimpulkan bahwa Islam pertama kali datang ke Indonesia pada abad ke-7 Masehi atau abad pertama Hijriah, langsung dari Arab.�
Meskipun lima tahun kemudian terdapat ulasan dari Drewes yang intinya menyatakan bahwa ia sependapat dengan C.Snouck Hurgronje,Uka Tjandrasasmita sejak tahun 1975-1976 tetap menuliskan kedatangan Islam di Nusantara dalam Sejarah Nasional Indonesia III, bahwa islam datang ke Indonesia dan sejumlah bagian Asia Tenggara sejak abad ke-7 dan ke-8 M berdasarkan data historis yang diturunkan dari catatan Tionghoa, Arab, dan Persia.
Ahmad Mansur Suryanegara dalam Menemukan Sejarah nampaknya mengamini kesimpulan Uka Tjandrasasmita. Ia berpegangan pada Teori Makkah yang menyatakan Islam masuk ke Nusantara pada abad ke-7. �Dua ratus tahun sebelum didirikannya Candhi Budha Borobudur, dan lima ratus tahun sebelum berdirinya kerajaan Majapahit,� tulis Ahmad Mansur.
Di dalam buku Api Sejarah, Ahmad Mansur mengkritik para sejararawan Belanda yang dengan sengaja memundurkan periode masuknya Islam di Nusantara. Ia menegaskan, ��teori Makkah yang dikemukakan oleh Hamka (Islam masuk abad ketujuh �red) mendapatkan perhatian dan pembenaran dalam seminar-seminar: Sejarah Masuknya Agama Islam ke Indonesia (1963), Sejarah Islam di Minangkabau (1969), Sejarah riau (1975), Sejarah Masuknya Agama Islam di Kalimantan (1976), dan dibicarakan pula dalam Seminar Pendahuluan Sejarah Islam di Indonesia (1980)�.
Terkait dengan masuknya Islam ke Nusantara pada awab ke-7 (masa kerajaan Sriwijaya) penulis kronik China, Chou ch�u-fei, dalam Ling-wai-tai-ta yang ditulis pada 1178 sebagaimana dikutip oleh Azyumardi Azra, menuliskan, �Sriwijaya terletak di Nan-Hai (lautan selatan). Ia merupakan pusat perdagangan penting diantara berbagai negeri asing. Sebelah timur terdapat negeri-negeri Jawa, (sedangkan) di sebelah Barat terdapat Ta Shih (Arabia), Ku Lin (k�un-lun, pulau-pulau selatan umumnya), dan sebagainya. Tidak ada negeri manapun yang dapat sampai ke China tanpa melalui wilayahnya (Sriwijaya)�.
Lebih jauh I tsing meriwayatkan juga bahwa pada saat itu Sriwijaya merupakan negeri dengan banyak pendeta lebih dari 1.000 orang. Di sana diajarkan tentang berbagai macam ajaran kebaikan. Bahkan ia menyarankan jika seorang pendeta China ingin pergi ke Barat sebaiknya tinggal lebih lama di kota Bhoga (Palembang) untuk mendengarkan ceramah-ceramah agama dan membaca teks asli Budha.
Meski demikian Sriwijaya merupakan kerajaan yang cosmopolitan. Pihak kerajaan sangat terbuka dengan agama lain, Islam salah satunya. Ini dibuktikan pada tahun 717 M sekitar 35 kapal Persia sampai di Palembang. �Seusai kerusuhan di Kanton,� tulis Azyumardi Azra dalam Jaringan Ulama Timur tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, �banyak Muslim Arab dan Persia �yang diusir dari Kanton- menuju Palembang untuk menemukan wilayah Perlindungan yang aman yang lama kelamaan membentuk komunitas muslim.�
Azyumardi Azra mengungkapkan pandangan al Ramhurmuzi dalam �Aja�ib al Hind tentang terdapatnya sejumlah muslim pribumi di kalangan penduduk Sriwijaya.�Riwayat al ramhurmuji,� kata Azyumardi Azra, �ini tampaknya dibenarkan Chau Ju-Kua, yang menyatakan, �Sejumlah besar penduduk negeri ini (San-fo-chi) memiliki nama awalan P�u. Seperti dijelaskan Hirth dan Rockhill, istilah P�u berasal dari �Bu� sungkatan dari �Abu� (bapak) yang terdapat dalam begitu banyak nama pribadi orang Muslim.�
Ia pun menegaskan menurut Sung Shih, penguasa Sriwijaya pada 203/906 mengirim utusan bernama P�u Ho-li (atau P�u Ho-su-Abu Ali atau Abu Fadhl atau Abu Husayn) ke istana T�ang. Ia merupakan seorang kepala orang asing di Sriwijaya; dan karena itu ia sangat mungkin adalah seorang muslim dari Timur Tengah.
Nakahara menyusun daftar duta-duta muslim Muslim yang dikirim oleh Sriwijaya ke Istana China. Ini didasarkan pada berbagai macam sumber China yang ia kumpulkan. Para duta muslim dari Sriwijaya tersebut muncul antara paruh kedua abad ke-10 dan penggalan pertama abad ke-12. Mereka terdiri dari 962 wakil duta, 971 duta, 975 duta, 980 utusan dagang, 983 duta, 985 pemilik kapal, 988 duta, 1.008 wakil duta, 1.017 duta, 1.028 duta, 1.155 duta, Li A-mu (Ali Muhammad), Li Ho-mu (Ali Muhammad), P�u T�o-han (Abu Adam), Li Fu-hui (Abu Hayyah), P�u-ya-t�o-lo (Abu Abd Allah), Chin-hua-ch�a (hakim khwajat), P�u-ya-to-li (Abu Abd Allah), P�u-p�o-lan (Abu Bahram), P�u-mo-his (Abu Musa), P�u-ya�t�o-lo-hsieh (Abu Abd Allah), Ssu-ma-chieh (Ismail), P�u-chin (Abu Sinah), P�u-hsia-�erh (Abu Aghani), dan P�u-ya-t�o-li (Abu Abd Allah).
loading...
Post a Comment