Foto: kompasiana.com |
Oleh Rahmat Fadhil
PEMILIHAN Kepala Daerah (Pilkada) Aceh 2017 semakin seru dan mendebarkan. Pasalnya, para kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) akan “turun gunung”, bahu-membahu untuk ikut berpartisipasi dalam pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota se-Aceh. Namun mereka bahu-membahu dengan cara dan jalannya masing-masing, karena para kandidat yang diusungnya pun berbeda-beda. Bukan hanya berbeda karena masing-masing mencalonkan diri melalui partai yang didirikan para bekas kombatan GAM itu --seperti Partai Aceh (PA) dan Partai Nasional Aceh (PNA)-- bahkan juga ada yang memilih melalui jalur partai Nasional atau tanpa partai sekalipun (jalur independen). Pokoknya brat bicah kali nyoe (berat pecah kali ini).
Sejauh ini untuk calon gubernur saja, yang sudah terlihat adalah Irwandi Yusuf berpasangan dengan Nova Iriansyah, Muzakir Manaf berpasangan dengan TA Khalid, Zakaria Saman berpasangan dengan Teuku Alaidinsyah, dan Zaini Abdullah diperkirakan dengan Nasaruddin. Semua calon gubernur tersebut merupakan para pejuang GAM dahulu yang kini terpaksa memilih jalan semuanya ingin menjadi pang ulee nanggroe. Dulu mereka adalah orang-orang yang bahu-membahu memperjuangkan Aceh untuk katanya “lepas” dari pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), namun setelah rujuk dengan NKRI mereka masih bersepakat untuk mewujudkan Aceh sebagai daerah dengan kekhususan self goverment (pemerintahan sendiri). Tetapi sepertinya semua mereka tidak sepakat kalau salah satunya menjadi pimpinan di antara mereka, yang juga menjadi pemimpin utama sebagai kepala pemerintahan di Aceh (gubernur).
Cerita pilkada
Sejak Pilkada pertama pascadamai pada 2006, sudah terlihat perlawanan antara GAM dengan GAM. Saat itu Irwandi Yusuf (GAM) yang berpasangan dengan Muhammad Nazar (penggerak referendum Aceh) melawan Ahmad Humam Hamid (akademisi) yang berpasangan dengan Hasbi Abdullah (GAM), walaupun ada juga pasangan dari kubu partai Nasional dan independen lainnya. Irwandi Yusuf yang merupakan representasi kalangan muda GAM dan didukung oleh para penggerak referendum, sementara Ahmad Humam Hamid dan Hasbi Abdullah merupakan aspirasi kalangan tua GAM. Pilkada 2006 menjadi sejarah pilkada pertama pascakonflik yang ternyata tidak mudah menyatukan persamaan pilihan yang mesti diusung sebagai calon gubernur saat itu, dan akhirnya Irwandi Yusuf dengan Muhammad Nazar yang terpilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh periode 2006-2011.
Pilkada kedua berlangsung 2012, setelah mengalami tarik ulur yang panjang, akhirnya berlangsung juga dengan calon GAM yaitu Irwandi Yusuf (GAM) berpasangan dengan Muhyan Yunan (birokrat) melawan Zaini Abdullah (GAM) yang berpasangan dengan Muzakir Manaf (GAM), dan juga masih diikuti oleh calon lain dari partai Nasional, partai lokal dan jalur independen. Posisi Irwandi Yusuf dan wakilnya merupakan setengah GAM, sementara Zaini Abdullah dan wakilnya adalah GAM penuh yang akhirnya terpilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh periode 2012-2017. GAM lawan GAM ini sangat disayangkan, selain merugikan mereka sendiri juga sesungguhnya merugikan bagi Aceh karena susahnya menyatukan para pejuang GAM ini dalam banyak episode kegiatan dan pembangunan. Bahkan saling membinasakan sesama sendiri menjadi tontonan kekonyolan yang dipertunjukkan selama pilkada itu berlangsung.
Pada 2017 mendatang, kembali pilkada akan digelar dengan calon gubernur dari mantan GAM yang sudah terlihat adalah empat pasang. Irwandi Yusuf dan Muzakir Manaf sepertinya akan naik dari gabungan partai lokal dan partai Nasional, sementara Zaini Abdullah dan Zakaria Saman akan menempuh jalur independen. Irwandi Yusuf dan Zaini Abdullah merupakan calon gubernur yang sama-sama sudah merasakan bagaimana mengelola pemerintahan di Aceh dan kita juga sudah “menikmatinya” dengan seperti itulah adanya.
Muzakir Manaf memang juga sudah merasakan kursi wakil gubernur, tetapi kita belum tahu bagaimana rasanya pemerintahan Aceh di bawah kepemimpinannya langsung sebagai seorang bekas panglima tentara GAM. Sementara Zakaria Saman belum pernah ada di pemerintahan sama sekali. Keempatnya merupakan pendiri PA, yang kemudian Irwandi keluar untuk mendirikan PNA sendiri, dan kini Zaini Abdullah serta Zakaria Saman juga akhirnya keluar dari PA untuk memilih jalan secara independen.
GAM lawan GAM kembali akan menyuguhkan dialektika berdemokrasi melalui Pilkada 2017 yang sudah mulai terasa denyutnya sekarang ini. Para pendukung keempatnya juga berasal dari GAM, semuanya dengan tambahan-tambahan dari berbagai partai atau pihak-pihak yang berafiliasi kepada salah satunya. Calon lain memang terlihat seperti Teuku Muhammad Nurlif (Golkar) dan Tarmizi A Karim (birokrat), namun belum jelas jalan yang mereka pilih.
Pertanyaan kita
Pertanyaan yang mengganjal di benak kita sekarang adalah, apakah GAM lawan GAM semakin membawa kebaikan di Aceh atau bahkan membawa keterpurukan demokrasi kita, sebagaimana yang telah terjadi pada dua pilkada sebelum ini? Akankah Pilkada Aceh 2017 menambah daftar panjang kesemerawutan wajah politik Aceh atau semakin mendorong kedewasaan kita dalam menjalani pesta rakyat itu?
Jawabannya ada dua: Pertama, maukah GAM lawan GAM berkompetisi secara ksatria dengan meminimalisasi korban dari berbagai pihak (pendukung dan yang didukung, termasuk rakyat Aceh lainnya)? Dan, kedua, kita rakyat Aceh, beranikah melawan kezaliman politik yang mungkin akan dipertontonkan oleh mereka? Atau malah menyerah kalah pada kebengalan yang akan dipersembahkan dihadapan kita? Yang jelas bahwa nanggroe bak jaroe gata, ta atoe keudroe, bék tameupake ngoen keurimeh ie saka (negeri di tangan anda, anda atur sendiri, jangan sampai bertengkar dengan setetes sisa air gula).
Kita tertantang untuk mecegah keadaaan yang merugikan ini dengan menjaga serta merawatnya secara hati-hati dan seksama. Bagaimanapun sebuah perhelatan politik tidak semestinya menambah deretan kerugian yang lebih besar yang akan kita rasakan di Aceh. GAM lawan GAM sesungguhnya tidak kita harapkan terjadi, namun inilah kenyataanya yang harus kita hadapi. Jadi cerita keusoe lheuh (untuk siapa keberhasilan) yang kita inginkan adalah lheuh keu rakyat Aceh, bukan lheuh keudroe-droe (bukan keberhasilan sendiri-sendiri). Nyoe keuh nikmat yang peureulee ta peulhara (Inilah nikmat yang perlu kita pelihara).
* Rahmat Fadhil, mantan Wakil Ketua Panitia Pengawas (Panwas) Pilkada Aceh 2006 dan Dosen Universitas Syiah Kuala (Unsyiah). Email: rahmat.fadhil@unsyiah.net
Serambinews.com
loading...
Post a Comment