Pengantar:
Sejumlah sumber sejarah menyebut nama Tengku Muhammad Arifin sebagai orang yang memprovokasi keputusan Belanda memerangani Aceh pada 1873. Namun, jarang sekali ada cerita detail seperti apa sepak terjangnya. Bahkan, ada yang menyebutnya Teuku, bukan Tengku. Lantas, siapa sebenarnya Muhammad Arifin ini? Apa hubungannnya dengan Kerajaan Aceh? M. Nur El Ibrahimy, menantu Teungku Daud Beureueh yang juga mantan Ketua DPRD Aceh pertama, mengupas sepak terjang Muhammad Arifin ini dengan lebih detail dalam bukunya Selayang Pandang Langkah Diplomasi Kerajaan Aceh terbitan 1993. Berikut adalah petikannya.
***
Dalam sejarah perang Aceh-Belanda, ada suatu peristiwa yang sangat penting di antara berbagai peristiwa penting lainnya. Peristiwa itu adalah pertemuan antara Syahbandar Panglima Tibang Muhammad sebagai utusan Kerajaan Aceh dengan Mayor Studer, Konsul Amerika di Singapura pada penghujung tahun 1872.
Mengapa saya katakan sangat penting? Oleh karena, selain merupakan suatu gebrakan berani dari diplomasi Aceh untuk mempertahankan kedaulatannya, juga sebagai penyebab meletusnya perang kolonial Belanda di Aceh (menurut anggapan Belanda), atau penyebab yang mempercepat pecahnya perang tersebut (menurut bangsa Indonesia).
Pertemuan Singapura itu oleh Belanda disebut sebagai Het Verraad van Singapore atau Pengkhianatan (dari atau di) Singapura. Terjemahan bebasnya kita sebut saja Komplotan Pengkhianat (dari atau di) Singapura atau disingkat menjadi KPS.
Menurut Belanda, KPS terdiri atas Studer, Konsul Amerika di Singapura, dan Sultan Aceh. Padahal seharusnya Belanda juga menyebut Panglima Tibang Muhammad sebagai salah satu komponen dari KPS, namun hal itu tidak dilakukan. Sultan Aceh disebut sebagai pengkhianat sebab beliau yang mengutus Panglima Tibang ke Singapura untuk berunding dengan Studer guna mengikat perjanjian persahabatan dengan Amerika. Studer dianggap pengkhianat karena berkomplot dengan utusan Sultan Aceh untuk dapat melakukan intervensi ke dalam masalah hubungan Belanda dengan Aceh. Sultan Aceh juga dituduh berkhianat karena melanggar Perjanjian Perdamaian dan Persahabatan antara Kerajaan Belanda dan Kerajaan Aceh tahun 1857. Kedua tokoh ini, menurut Belanda bertanggung jawab atas terjadinya Perang Aceh-Belanda itu.
Demikianlah pandangan Pemerintah Belanda yang dicanangkan kepada dunia internasional. Demikian pula pendapat para ahli sejarah Belanda yang disajikan dalam bentuk buku sehingga mempengaruhi opini pembaca di seluruh dunia.
Selama delapan puluh tahun lebih, kejadian yang sebenarnya dari Peristiwa Singapura itu tidak diketahui oleh dunia karena ditutup rapat oleh Belanda. Peristiwa tersebut baru terungkap pada tahun 1957 setelah Pemerintah Belanda membuka segala arsipnya yang menyangkut Perang Aceh-Belanda untuk pertama kalinya kepada seorang penulis Amerika, James Warren Gould, seorang ahli International Relation dari Califomia.
Hasil penelitiannya yang cukup menarik perhatian dunia disiarkan dalam sebuah majalah yang bernama Annals of Iowa. Dunia terperanjat karena kebohongan yang ditutup oleh Belanda lebih dari delapan puluh tahun terbongkar. Ternyata yang dituduh Belanda melakukan pengkhianatan di Singapura (Het Verraad van Singapore) bukan Studer dan Panglima Tibang Muhammad, atau Sultan Aceh, melainkan mata-mata Belanda yang sangat licik, Tengku Muhammad Arifin dan Read, Konsul Belanda di Singapura.
Nama yang disebut pertama adalah petualang berkaliber teri, sedangkan yang kedua adalah petualang berkaliber kakap dan cukup terkenal di Kepulauan Nusantara.
Selanjutnya, dengan terbitnya buku Paul van’t Veer, De Atjeh Oorlog, dunia lebih luas lagi mengetahui apa sebenarnya yang oleh Belanda disebut Het Verraad van Singapore itu. Dan dengan diterjemahkannya buku tersebut ke dalam bahasa Indonesia, masyarakat Indonesia umumnya dan masyarakat Aceh khususnya, walau dalam jumlah terbatas, mengetahui siapa sebenarnya “Pengkhianat Singapura” yang telah menjerumuskan Aceh ke dalam bencana perang kolonial yang berkepanjangan lebih dari tiga puluh tahun lamanya.
Untuk pengetahuan masyarakat umumnya, baiklah dalam tulisan ini saya uraikan bagaimana pengkhianat-pengkhianat tersebut memainkan peranannya sampai dikeluarkannya ultimatum yang menyebabkan pecah perang kolonial yang berkecamuk lebih dari tiga dasawarsa sebagai kelanjutan Peristiwa Singapura.
Beberapa waktu setelah Panglima Tibang tiba di Kutaraja dari Singapura, suatu berita penting sampai ke telinga Sultan, yaitu bahwa Belanda akan menyampaikan ultimatum kepada Sultan Aceh. Atas perintah Sultan, Panglima Tibang mendadak berangkat ke Riau untuk meminta keterangan kepada Schiff, Residen Riau yang melaksanakan operasi politik ke Aceh dari sebelah timur (dari sebelah barat operasi politik ke Aceh dilaksanakan oleh van Swieten, Gubernur Sumatra Barat).
Kali ini beliau berangkat dalam suatu perutusan yang terdiri atas Tgk. Nyak Muhammad, Tgk. Lahuda Muhammad Said, Tgk. Nyak Akob dan Tgk. Nyak Agam, dengan Panglima Tibang sebagai ketua perutusan. Tentu saja Schiff membantah berita yang sampai ke telinga Sultan Aceh. Belanda tetap beritikad baik terhadap Sultan dan tetap memegang teguh perdamaian dan persahabatan dengan Aceh.
Setelah sebulan di Riau, Panglima Tibang diantar pulang ke Aceh dengan kapal perang Marnix. Tetapi, Panglima Tibang mengatakan kepada Schiff bahwa dia ingin singgah ke Singapura untuk membeli sebuah kapal api guna kepentingan transportasi di Aceh.
Di Singapura Panglima Tibang mengambil kesempatan untuk bertemu dengan Studer. Seperti pada kesempatan pertama, kali ini beliau juga ditemani oleh Arifin, yang tentu diperintahkan oleh Read, majikannya yang telah menerima informasi dari Schiff di Riau.
Berbicara tentang Arifin, dia sungguh seorang mata-mata Belanda yang sangat licik, pintar menjilat, serta pembohong besar yang tidak punya rasa malu. Pada saat pertama kali Panglima Tibang tiba ke Singapura, beliau sebenarnya telah mendapat seorang jurubicara. Akan tetapi, atas bujuk rayu Arifin yang sangat berbisa, orang tersebut digeser dan Arifin menggantikannya.
Mungkin Panglima Tibang terpengaruh oleh godaan bahwa Arifin adalah anak seorang pangeran dari Moko-Moko, Bengkulu, dan mempunyai hubungan dengan Keraton Aceh. Menurut suatu sumber, Arifin pernah kawin dengan putri kemenakan Sultan Aceh yang terdahulu. Selain itu, juga berlagak kenal baik dengan Studer.
Memang dia pernah menemui Studer sewaktu meminta bantuan Amerika agar ayahnya mendapatkan kembali “mahkota” yang telah dicopot oleh Belanda dan diberikan kepada orang lain.
Pertemuan kedua, saat menyeret Amerika terlibat dalam sengketa politik yang sedang berkembang antara Aceh dan Belanda. Perlu diketahui pula bahwa pada bulan Januari 1872, sebelum Panglima Tibang datang ke Singapura, Arifin pernah menemui Laksamana Jenkins, Panglima Angkatan Laut Amerika di Hong Kong yang singgah di Singapura dalam perjalanannya ke Kalkuta.
Dengan berpura-pura sebagai seorang pangeran yang mempunyai hubungan dengan keraton Aceh, Arifin menyatakan apakah Admiral Jenkins tidak berminat mengikat suatu perjanjian dengan Aceh? Jenkins menjawab bahwa Amerika tidak seperti Inggris dan Belanda. Amerika tidak mempunyai ambisi teritorial.
Jawaban tersebut membuat Arifin tidak berani membuka mulut lagi. Jadi, usaha Arifin untuk menyeret Amerika intervensi ke dalam hubungan Belanda dengan Aceh sudah dimulai sebelum Panglima Tibang tiba di Singapura. Hal ini tidak mengherankan. Sebab, Arifin sebagai petualang yang lihai di kawasan Nusantara diberi umpan oleh Read, seorang petualang besar berkebangsaan Inggris, yang sangat berkepentingan melihat Belanda mengadakan ekspansi ke Aceh. Mungkin karena inilah dia diterima menjadi Konsul Jenderal Belanda di Singapura walaupun bukan warga negara Belanda.
Di dalam pertemuan dengan Studer, Panglima Tibang pertama-tama menyatakan penyesalannya karena naskah perjanjian belum selesai dibuat berhubung mendadak harus berangkat ke Riau atas perintah Sultan sebagai ketua misi. Selanjutnya, Panglima Tibang menanyakan apakah naskah perjanjian tidak dapat dibuat di Singapura sekarang juga agar dapat dikirim ke Washington secepatnya. Pertanyaan ini diajukan mengingat (1) keadaan yang sangat mendesak, (2) perjalanan Singapura- Kutaraja memakan waktu yang cukup lama, dan (3) dia kini telah dibekali mandat penuh oleh Sultan sebagai utusan yang diberi wewenang untuk berunding.
panglima-tibang-perang-aceh
Panglima Tibang | Sumber foto: Buku Perang Kolonial Belanda di Aceh
Dalam jawabannya, Studer tetap pada pendiriannya bahwa tidak mempunyai wewenang untuk membuat suatu perjanjian. Namun, berjanji secepatnya akan men-transfer naskah perjanjian yang telah ditandatangani oleh Sultan kepada Pemerintah Amerika.
Selanjutnya, mereka kembali mendiskusikan masalah-masalah yang dirasakan layak menjadi isi dari perjanjian Aceh-Amerika, yakni mengenai hal-hal yang diinginkan oleh Amerika dan yang dapat diberikan oleh Aceh dalam batas-batas yang wajar. Apa yang dibicarakan oleh kedua tokoh itu belum pernah diformulasikan dalam bentuk rancangan yang tersurat. Jadi, tidak benar kalau ada orang mengatakan bahwa Studer telah menulis rancangan perjanjian Aceh-Amerika.
Laporan yang disampaikan Arifin kepada majikannya, Read, berlainan dengan yang telah terjadi. Selain menyampaikan pembicaraan antara Panglima Tibang dan Studer, Arifin menambahkan bahwa Studer telah menyusun sebuah perjanjian antara Aceh dan Amerika yang terdiri atas 12 pasal dan akan menulis surat kepada Laksamana Jenkins supaya berangkat ke Aceh. Dan akhirnya Arifin meminta agar mengirimkan kapal perang Belanda ke Aceh.
Kebohongan Arifin terungkap dalam surat Read tertanggal 15 Juni 1873 kepada Menteri Luar Negeri Belanda, Gericke. Isinya adalah “Untuk memastikan isi perjanjian itu Muhammad Arifin telah membuatnya — begitu katanya — dalam bentuk perjanjian yang pernah dibuat antara beberapa negara dengan Siam, rancangan yang dibacakan sendiri oleh Muhammad Arifin kepada Studer, tetapi Studer kurang setuju dengan rancangan perjanjian tersebut. Ia mengambil sebuah buku, kemudian membaca teks perjanjian Brunei dalam bahasa Inggris, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh seorang kerani konsulat, sedangkan Arifin menulisnya”.
Mayor Studer sendiri kemudian menerangkan dalam laporannya, bahwa sama sekali tidak bermaksud mengusulkan diadakannya perjanjian dengan Aceh. Akan tetapi, Arifinlah yang mengajukan dengan membawa naskah rancangan perjanjian itu kepadanya. Perutusan hanya membawa sebuah surat dari Sultan Aceh yang meminta bantuan Amerika Serikat. Keterangan Studer ini sesuai dengan pengakuan Arifin di dalam proses verbal yang dibuat di depan Jenderal Verspijk, Kepala Biro Perbekalan
Peperangan Belanda yang sedang mempersiapkan ekspedisi Belanda kedua terhadap Aceh.
Satu hal yang perlu diketahui, rancangan perjanjian yang dibuat oleh Arifin bukan diserahkan kepada Studer dalam pertemuan antara Studer dan Panglima Tibang, tetapi diserahkan pada waktu Arifin datang sendirian mengunjungi Studer beberapa waktu setelah pertemuan dengan Tibang usai.
Sebenarnya, setelah pertemuan antara Panglima Tibang dan Studer usai, Arifin tidak langsung mengirimkan laporan kepada Read karena pada waktu itu Read berada di Bangkok. Satu hal yang tidak dapat dimengerti adalah mengapa Arifin tidak menyampaikan laporan tersebut kepada Meir, wakil Read.
Baru dua minggu kemudian Arifin menulis surat kepada Read di Bangkok mengenai pertemuan antara Panglima Tibang dan Studer. Setelah menerima surat Arifin, Read langsung kembali ke Singapura. Segera Arifin diperintahkan untuk berangkat ke Riau menyampaikan laporan tersebut kepada Residen Schiff. Ia diberi uang saku $ 2,00 permil dan $ 25,00 uang jalan.
Setelah dua hari berada di Singapura Read mengirim kawat kepada Loudon, Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia, mengenai pertemuan Panglima Tibang dengan Studer sebagai berikut: “Intrik-intrik yang sangat serius antara perutusan Aceh dan konsul Amerika di Singapura terungkap; hal ini memerlukan pertimbangan langsung. Perincian dikirim dengan kapal yang pertama”.
Keesokan harinya, Read mengirimkan laporan seperti berikut: “Perutusan menyampaikan kepada Konsul Italia dan Amerika surat Sultan Aceh yang meminta bantuan untuk menghadapi Belanda. Konsul Amerika berjanji akan menyurati Laksamana Jenkins di Cina dan telah menyusun sebuah perjanjian 12 pasal yang akan ditandatangani oleh Sultan dan akan mengirimkan kembali. Orang-orang Amerika siap sedia datang dalam waktu dua bulan. Informasi ini kiranya mendapat kepercayaan sepenuhnya”.
Laporan Read tersebut telah menimbulkan kegemparan di Batavia. Sebuah telegram yang mengandung pokok-pokok soal yang terdapat dalam laporan Read dikirim oleh Loudon ke Den Haag.
Pada tanggal 18 Februari 1873 Menteri Luar Negeri Belanda memohon kepada raja untuk mempertimbangkan, bukankah sudah tiba saatnya Pemerintah Belanda melaksanakan tugasnya menjamin keamanan di Aceh seperti yang diwajibkan oleh perjanjian 1824, tentunya dengan cara damai, selama kita tidak dipaksa oleh Aceh sendiri mempergunakan kekerasan.
Pada hari yang sama Menteri Luar Negeri Belanda meminta kepada Washington dan Roma untuk menyangkal tindakan-tindakan konsulnya di Singapura dan menjernihkan permasalahan bersama dengan negara-negara besar lainnya, atas dasar bahwa perlindungan terhadap perdagangan di perairan Aceh menjadi kewajiban Belanda.
Di samping itu, Kementerian Luar Negeri Belanda mengirimkan nota kuasa kepada Duta Besar Belanda di Washington untuk menyampaikan kepada Fish, Menteri Luar Negeri Amerika, suatu nota yang menggambarkan bahwa Belanda telah melaksanakan kewajibannya menjamin keamanan pelayaran dan perdagangan di perairan Aceh sesuai dengan isi perjanjian yang ditandatanganinya dengan Inggris. Selain itu, disebutkan pula Belanda telah mengetahui bahwa perutusan Aceh telah mengadakan hubungan dengan Konsul Amerika di Singapura; dan Belanda bermaksud mengadakan suatu perjanjian dengan mereka. Bahkan lebih jauh, Amerika disebutkan sedang bersiap-siap memanggil panglima angkatan lautnya di Laut Cina agar datang membawa kapal perangnya ke perairan Aceh.
Pemerintah Belanda memandang tindakan-tindakan tersebut dapat meningkatkan perlawanan Aceh, dan yakin bahwa Pemerintah Amerika Serikat tidak bermaksud merintangi Belanda, bahkan sebaliknya akan bersimpati dan memberikan dukungan dalam usaha melaksanakan action civilisatrice (usaha membawa peradaban).
Keesokan harinya, sebagai langkah selanjutnya Belanda memohon kepada Menteri Luar Negeri Amerika agar meminta Studer menghentikan usahanya mengadakan perjanjian dengan perutusan Aceh.
Pada 19 Februari 1873 Den Haag mengirim kawat kepada Batavia sebagai berikut: “Jika Anda tidak merasa bimbang terhadap kebenaran informasi Konsul Singapura, kirimkan angkatan laut yang kuat ke Aceh untuk meminta penjelasan dan pertanggungjawaban atas sikap bermuka dua dan khianat itu”.
Kawat tersebut merupakan lampu hijau bagi Gubernur Jenderal Hindia Belanda (Loudon) untuk menggempur Aceh. Memang, inilah yang ditunggu-tunggu Loudon meskipun sewaktu menjadi Menteri Jajahan menganut politik non-intervention atau tidak campur tangan. Kini setelah menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Loudon merupakan seorang penjajah yang sangat bernafsu untuk menaklukkan Aceh. Pendapat Loudon mengenai Aceh dalam kaitannya dengan peristiwa Panglima Tibang-Studer adalah sebagai berikut:
“Selama kedaulatan kita tidak diakui, tetap ada campur tangan asing yang mengancam kita seperti pedang Democles”.
Selain isu pembajakan di laut yang selalu ditonjolkan Belanda, “bahan peledak” yang disuplai oleh Read yang berasal dari Arifin, seorang mata-mata Melayu, sudah cukup bagi Loudon untuk menjadi alasan atau casus-belli untuk melancarkan perang terhadap Kerajaan Aceh.
Sebagai langkah pertama bagi pelaksanaan rencananya itu, pada tanggal 21 Februari 1873 Loudon mengadakan rapat Dewan Hindia yang dihadiri juga oleh pemimpin-pemimpin militer. Keesokan harinya Loudon mengirim kawat ke Den Haag sebagai berikut:
“Dewan Hindia di Batavia yang saya pimpin dengan dihadiri oleh jenderal dan laksamana, menyetujui usul saya untuk mengirim secepat mungkin komisi yang didukung oleh empat batalyon ke Aceh untuk menyampaikan ultimatum, adakala pengakuan kedaulatan, adakala perang. Kita akan hadapi Amerika dengan fait accompli. Presiden Nieuwenhuijzen adalah orangnya”.
Dari sini sebenarnya setiap orang yang mengetahui sejarah Aceh tentu dapat menebak jawaban yang akan diberikan oleh Sultan Aceh terhadap ultimatum tersebut.
Sebelum Studer mengetahui bahwa telah dikucilkan, Arifin masih sempat mempergunakannya sebagai kambing hitam untuk terakhir kalinya. Setelah pulang dari Riau dia segera menuju Singapura pada tanggal 1 Maret 1873, Arifin langsung menemui Studer meminta dibuatkan surat yang ditujukan kepada Panglima Tibang. Maksudnya, akan dijadikan bukti tambahan dalam usaha memperkuat kebohongannya. Studer yang tidak menyangka akan dibohongi, memenuhi permintaan Arifin itu. Namun, Studer hanya menulis surat biasa yang merupakan basa-basi belaka.
Surat itu antara lain, mengharapkan mudah-mudahan Panglima Tibang tiba di Aceh dengan selamat dan semoga senantiasa berada di dalam keadaan sehat serta sejahtera. Akan tetapi, Arifin yang merupakan abdi Pemerintah Belanda yang setia, sewaktu mengirimkan surat tersebut kepada Read, melampirinya dengan sebuah “rencana pertahanan” yang katanya berasal dari Studer untuk disampaikan kepada Panglima Tibang.
Rencana ini sangat ganjil apabila ditinjau dari segi militer, apalagi kalau dikatakan dibuat oleh Studer, seorang militer yang berpangkat mayor yang selama beberapa tahun turut bertugas dalam perang saudara di Amerika.
Rencana itu merupakan sebuah bagan dengan tulisan Melayu sebagai berikut: “Jika orang-orang Belanda datang menyerang Aceh, hendaklah semua orang Aceh serentak menyerang dan menghancurkannya”. Bagan kecil itu berupa sebuah segitiga yang dibagi empat dalam ukuran yang tidak sama, kira-kira menggambarkan peta Aceh.
Dalam bagian-bagiannya tertulis keterangan seperti 5.000 orang dalam hutan sebelah selatan pelabuhan, 5.000 orang di sebelah barat, dan 5.000 orang di pedalaman. Laporan tambahan ini disampaikan oleh Arifin kepada Belanda untuk menambah kepercayaan mereka bahwa Aceh memang sudah bertekad hendak berperang melawan Belanda dan bahwa Amerika sudah pasti akan turut campur tangan.
Sementara itu, suatu telegram telah tiba di Batavia yang bunyinya sebagai berikut: “Dari sumber yang sangat dipercaya diterima kabar bahwa armada Amerika di Hong Kong dipastikan telah menerima perintah untuk berlayar ke Aceh sebelum kita berada di sana”. Diketahui kemudian, bahwa yang dimaksud dengan sumber yang sangat dipercaya tidak lain adalah sebuah perusahaan dagang Belanda di Hong Kong.
Dan yang dikatakan perintah bagi armada Amerika itu ternyata sama sekali tidak ada. Agak sukar dipercaya bahwa Den Haag tidak menyadari peranan yang dimainkan oleh Arifin dalam peristiwa Singapura ini. Hal ini terbukti pada tanggal 6 Maret 1873 ketika Menteri Jajahan Belanda, van de Putte, menulis surat kepada Read, sebagai berikut; “Mengucapkan terima kasih atas khidmatnya yang baik terhadap Belanda, terutama yang dialami dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa yang akhir di kepulauan Hindia”.
Tampaknya, peristiwa ini turut direkayasa oleh pejabat-pejabat Belanda beserta kaki-tangannya untuk menciptakan suatu cams-belli yang bisa menghalalkan suatu tindakan terhadap Aceh. Oleh karena kawat mengenai komplotan Studer di Singapura terus membanjiri Den Haag, Pemerintah Belanda menginginkan agar pihak Amerika Serikat memberi bantahan. Atas desakan Den Haag, duta besar Amerika di Den Haag mengirim kawat ke Washington sebagai berikut: “Pemerintah Belanda menginginkan supaya dikawatkan kepada Konsulat Amerika di Singapura agar tidak campur tangan dalam masalah-masalah Sumatra”.
Kawat itu diterima di Washington pada tanggal 6 Maret 1873. Menteri Luar Negeri, Fish, agak terkejut karena baru pertama kali mendengar peristiwa itu. Maka kawat itu dijawab sebagai berikut: “Pemerintah Amerika tidak mempunyai bukti bahwa konsul di Singapura campur tangan; oleh karena tidak memperoleh bukti yang nyata tidak mungkin menganggap dia telah melakukan hal-hal di luar yang ditugaskan. Jika Pemerintah Belanda mengajukan pengaduan, hal itu dengan sepenuhnya akan dipertimbangkan dan kepada konsul kami akan dikirimkan instruksi sesuai dengan kewajiban yang dituntut dari kami terhadap sesuatu negara sahabat”.
Tembusan jawaban ini diserahkan oleh Gorham, Duta Besar Amerika di Den Haag kepada Gericke, Menteri Luar Negeri Belanda pada tanggal 7 Maret 1873. Oleh karena Belanda tetap mendesak, Fish mengirim kawat kepada Studer pada tanggal 8 Maret 1873 sebagai berikut: “Pemerintah Belanda menyatakan adanya campur tangan Anda dalam urusan-urusannya di Sumatra; hentikan kalau ada dan laporkan kejadian yang sebenarnya”.
Setelah menerima bantahan dari Amerika, Den Haag meyakinkan Batavia bahwa perundingan dengan Aceh tidak diketahui dan bahwa konsul tidak pernah diberi wewenang untuk itu. Dengan adanya bantahan dari Amerika, van de Putte agak menyesal telah menyetujui ultimatum terhadap Aceh. Akhimya, dia mengirim kawat ke Batavia yang isinya sebagai berikut: “Kita harap, kita tidak ingin melarang Anda mengadakan perundingan, akan tetapi pertimbangan bahwa pengakuan kedaulatan atau perang sebagai tuntutan, akan menimbulkan pengaruh di mana-mana”.
Akan tetapi, bagaimanapun juga van de Putte telah dihadapkan kepada suatu fait accompli, demikian juga Amerika. Untuk lebih jelas, perlu diketahui bahwa pada tanggal 5 Maret 1873, Read mengirim kawat kepada Loudon bahwa Angkatan Laut Amerika tidak menuju ke Aceh. Meskipun demikian, Nieuwenhijzen tetap diutus ke Aceh pada tanggal 8 Maret 1873.
Sebagai jawaban atas kawat Den Haag mengenai ketidakterlibatan Amerika, Loudon mengajukan ultimatumnya sebagai berikut:
“Diperkirakan tidak akan ada jaminan keamanan tanpa pengakuan kedaulatan. Dengan tidak adanya’ pengakuan kedaulatan, pengiriman ekspedisi tidak ada faedahnya. Mengharapkan segera perintah yang positif, atau biarkan saya memutuskan sendiri persoalan ini atas tanggung jawab saya sendiri.”
Pada tanggal 10 Maret 1873 van de Putte menjawab: “Tidak berkeberatan apabila pengakuan kedaulatan merupakan hasil dari perundingan. Akan tetapi, saya tidak membenarkan pengakuan kedaulatan merupakan tuntutan”.
Tatkala Loudon pada tanggal 12 Alaret 1873 menjawab: “Mengharapkan segera dijelaskan tuntutan yang bagaimana yang harus saya ajukan. Saya sebenarnya tidak menemukan titik awal yang lain; tidak usah membuang waktu lebih banyak”.
Den Haag terpaksa menyerah. Nieuwenhuijzen dalam perjalanannya ke Aceh singgah di Singapura untuk menemui Read karena dia yakin tidak akan ada bahaya dari Angkatan Laut Amerika; malahan dia pernah mendengar tentang pengkhianatan Arifin. Namun, bersama Arifin dia berangkat ke Aceh membawa ultimatumnya. Tatkala Sultan Aceh menolak ultimatum tersebut, Nieuwenhuijzen mengumumkan perang terhadap Aceh pada tanggal 26 Maret 1873.
Sebenarnya, tanpa Arifin, bahkan tanpa Read, perang kolonial Belanda di Aceh akan meletus juga, sebab merupakan rencana Belanda yang sudah lama dipikirkan. Peranan yang dimainkan Arifin bersama Read dengan cara mensuplai berita-berita bohong, rencana palsu, dan provokatif adalah untuk mempercepat dicetuskannya perang kolonial tersebut.
Perlu ditegaskan kembali, jikalau dalam peristiwa Singapura yang terkenal itu ada yang disebut bermuka dua dan khianat, mereka bukanlah Sultan Aceh dan Studer, melainkan Arifin. Kerajaan Aceh sebagai suatu negara yang merdeka dan berdaulat, yang berkeinginan bersahabat dengan semua negara, tentu berhak mencari bantuan dari negara mana saja, apalagi kalau kemerdekaannya terancam.
Perjanjian perdamaian dan persahabatan dengan Belanda tahun 1857 tidak mengandung satu pasal pun yang melarang Aceh mencari bantuan diplomatik atau materiil dari pihak mana pun, apalagi setelah jaminan Inggris mengenai kemerdekaan dan keutuhan wilayahnya menjadi batal dengan adanya Perjanjian Sumatra tahun 1871.
Paul van ‘t Veer dalam bukunya menulis tentang Arifin sebagai berikut: “Bahwa Arifin telah melakukan penyelewengan secara sadar dapat diketahui dalam surat-surat resmi. Kemudian dalam perdebatan di dalam Majelis Rendah Belanda disebut-sebut, bahwa orang ini dapat disuap. Read telah menyuapnya; ia adalah seorang mata-mata yang bekerja untuk kepentingan Read”.
Jenderal Verspijk yang membuat proses verbal Arifin menyebutnya sebagai “Pengkhianatan tiga kali lipat”. Namun, van ‘t Veer juga mengatakan: “Selama sepuluh tahun Pemerintah Belanda masih mempercayai keterangan-keterangan Read yang disampaikannya dari Singapura, yaitu keterangan yang datangnya dari
Arifin. Dia itulah mata-mata Melayu yang sangat licik dan sangat setia kepada Belanda. Suatu tragedi yang sungguh-sungguh memilukan hati”.[atjehpost]
Sejumlah sumber sejarah menyebut nama Tengku Muhammad Arifin sebagai orang yang memprovokasi keputusan Belanda memerangani Aceh pada 1873. Namun, jarang sekali ada cerita detail seperti apa sepak terjangnya. Bahkan, ada yang menyebutnya Teuku, bukan Tengku. Lantas, siapa sebenarnya Muhammad Arifin ini? Apa hubungannnya dengan Kerajaan Aceh? M. Nur El Ibrahimy, menantu Teungku Daud Beureueh yang juga mantan Ketua DPRD Aceh pertama, mengupas sepak terjang Muhammad Arifin ini dengan lebih detail dalam bukunya Selayang Pandang Langkah Diplomasi Kerajaan Aceh terbitan 1993. Berikut adalah petikannya.
***
Dalam sejarah perang Aceh-Belanda, ada suatu peristiwa yang sangat penting di antara berbagai peristiwa penting lainnya. Peristiwa itu adalah pertemuan antara Syahbandar Panglima Tibang Muhammad sebagai utusan Kerajaan Aceh dengan Mayor Studer, Konsul Amerika di Singapura pada penghujung tahun 1872.
Mengapa saya katakan sangat penting? Oleh karena, selain merupakan suatu gebrakan berani dari diplomasi Aceh untuk mempertahankan kedaulatannya, juga sebagai penyebab meletusnya perang kolonial Belanda di Aceh (menurut anggapan Belanda), atau penyebab yang mempercepat pecahnya perang tersebut (menurut bangsa Indonesia).
Pertemuan Singapura itu oleh Belanda disebut sebagai Het Verraad van Singapore atau Pengkhianatan (dari atau di) Singapura. Terjemahan bebasnya kita sebut saja Komplotan Pengkhianat (dari atau di) Singapura atau disingkat menjadi KPS.
Menurut Belanda, KPS terdiri atas Studer, Konsul Amerika di Singapura, dan Sultan Aceh. Padahal seharusnya Belanda juga menyebut Panglima Tibang Muhammad sebagai salah satu komponen dari KPS, namun hal itu tidak dilakukan. Sultan Aceh disebut sebagai pengkhianat sebab beliau yang mengutus Panglima Tibang ke Singapura untuk berunding dengan Studer guna mengikat perjanjian persahabatan dengan Amerika. Studer dianggap pengkhianat karena berkomplot dengan utusan Sultan Aceh untuk dapat melakukan intervensi ke dalam masalah hubungan Belanda dengan Aceh. Sultan Aceh juga dituduh berkhianat karena melanggar Perjanjian Perdamaian dan Persahabatan antara Kerajaan Belanda dan Kerajaan Aceh tahun 1857. Kedua tokoh ini, menurut Belanda bertanggung jawab atas terjadinya Perang Aceh-Belanda itu.
Demikianlah pandangan Pemerintah Belanda yang dicanangkan kepada dunia internasional. Demikian pula pendapat para ahli sejarah Belanda yang disajikan dalam bentuk buku sehingga mempengaruhi opini pembaca di seluruh dunia.
Selama delapan puluh tahun lebih, kejadian yang sebenarnya dari Peristiwa Singapura itu tidak diketahui oleh dunia karena ditutup rapat oleh Belanda. Peristiwa tersebut baru terungkap pada tahun 1957 setelah Pemerintah Belanda membuka segala arsipnya yang menyangkut Perang Aceh-Belanda untuk pertama kalinya kepada seorang penulis Amerika, James Warren Gould, seorang ahli International Relation dari Califomia.
Hasil penelitiannya yang cukup menarik perhatian dunia disiarkan dalam sebuah majalah yang bernama Annals of Iowa. Dunia terperanjat karena kebohongan yang ditutup oleh Belanda lebih dari delapan puluh tahun terbongkar. Ternyata yang dituduh Belanda melakukan pengkhianatan di Singapura (Het Verraad van Singapore) bukan Studer dan Panglima Tibang Muhammad, atau Sultan Aceh, melainkan mata-mata Belanda yang sangat licik, Tengku Muhammad Arifin dan Read, Konsul Belanda di Singapura.
Nama yang disebut pertama adalah petualang berkaliber teri, sedangkan yang kedua adalah petualang berkaliber kakap dan cukup terkenal di Kepulauan Nusantara.
Selanjutnya, dengan terbitnya buku Paul van’t Veer, De Atjeh Oorlog, dunia lebih luas lagi mengetahui apa sebenarnya yang oleh Belanda disebut Het Verraad van Singapore itu. Dan dengan diterjemahkannya buku tersebut ke dalam bahasa Indonesia, masyarakat Indonesia umumnya dan masyarakat Aceh khususnya, walau dalam jumlah terbatas, mengetahui siapa sebenarnya “Pengkhianat Singapura” yang telah menjerumuskan Aceh ke dalam bencana perang kolonial yang berkepanjangan lebih dari tiga puluh tahun lamanya.
Untuk pengetahuan masyarakat umumnya, baiklah dalam tulisan ini saya uraikan bagaimana pengkhianat-pengkhianat tersebut memainkan peranannya sampai dikeluarkannya ultimatum yang menyebabkan pecah perang kolonial yang berkecamuk lebih dari tiga dasawarsa sebagai kelanjutan Peristiwa Singapura.
Beberapa waktu setelah Panglima Tibang tiba di Kutaraja dari Singapura, suatu berita penting sampai ke telinga Sultan, yaitu bahwa Belanda akan menyampaikan ultimatum kepada Sultan Aceh. Atas perintah Sultan, Panglima Tibang mendadak berangkat ke Riau untuk meminta keterangan kepada Schiff, Residen Riau yang melaksanakan operasi politik ke Aceh dari sebelah timur (dari sebelah barat operasi politik ke Aceh dilaksanakan oleh van Swieten, Gubernur Sumatra Barat).
Kali ini beliau berangkat dalam suatu perutusan yang terdiri atas Tgk. Nyak Muhammad, Tgk. Lahuda Muhammad Said, Tgk. Nyak Akob dan Tgk. Nyak Agam, dengan Panglima Tibang sebagai ketua perutusan. Tentu saja Schiff membantah berita yang sampai ke telinga Sultan Aceh. Belanda tetap beritikad baik terhadap Sultan dan tetap memegang teguh perdamaian dan persahabatan dengan Aceh.
Setelah sebulan di Riau, Panglima Tibang diantar pulang ke Aceh dengan kapal perang Marnix. Tetapi, Panglima Tibang mengatakan kepada Schiff bahwa dia ingin singgah ke Singapura untuk membeli sebuah kapal api guna kepentingan transportasi di Aceh.
Di Singapura Panglima Tibang mengambil kesempatan untuk bertemu dengan Studer. Seperti pada kesempatan pertama, kali ini beliau juga ditemani oleh Arifin, yang tentu diperintahkan oleh Read, majikannya yang telah menerima informasi dari Schiff di Riau.
Berbicara tentang Arifin, dia sungguh seorang mata-mata Belanda yang sangat licik, pintar menjilat, serta pembohong besar yang tidak punya rasa malu. Pada saat pertama kali Panglima Tibang tiba ke Singapura, beliau sebenarnya telah mendapat seorang jurubicara. Akan tetapi, atas bujuk rayu Arifin yang sangat berbisa, orang tersebut digeser dan Arifin menggantikannya.
Mungkin Panglima Tibang terpengaruh oleh godaan bahwa Arifin adalah anak seorang pangeran dari Moko-Moko, Bengkulu, dan mempunyai hubungan dengan Keraton Aceh. Menurut suatu sumber, Arifin pernah kawin dengan putri kemenakan Sultan Aceh yang terdahulu. Selain itu, juga berlagak kenal baik dengan Studer.
Memang dia pernah menemui Studer sewaktu meminta bantuan Amerika agar ayahnya mendapatkan kembali “mahkota” yang telah dicopot oleh Belanda dan diberikan kepada orang lain.
Pertemuan kedua, saat menyeret Amerika terlibat dalam sengketa politik yang sedang berkembang antara Aceh dan Belanda. Perlu diketahui pula bahwa pada bulan Januari 1872, sebelum Panglima Tibang datang ke Singapura, Arifin pernah menemui Laksamana Jenkins, Panglima Angkatan Laut Amerika di Hong Kong yang singgah di Singapura dalam perjalanannya ke Kalkuta.
Dengan berpura-pura sebagai seorang pangeran yang mempunyai hubungan dengan keraton Aceh, Arifin menyatakan apakah Admiral Jenkins tidak berminat mengikat suatu perjanjian dengan Aceh? Jenkins menjawab bahwa Amerika tidak seperti Inggris dan Belanda. Amerika tidak mempunyai ambisi teritorial.
Jawaban tersebut membuat Arifin tidak berani membuka mulut lagi. Jadi, usaha Arifin untuk menyeret Amerika intervensi ke dalam hubungan Belanda dengan Aceh sudah dimulai sebelum Panglima Tibang tiba di Singapura. Hal ini tidak mengherankan. Sebab, Arifin sebagai petualang yang lihai di kawasan Nusantara diberi umpan oleh Read, seorang petualang besar berkebangsaan Inggris, yang sangat berkepentingan melihat Belanda mengadakan ekspansi ke Aceh. Mungkin karena inilah dia diterima menjadi Konsul Jenderal Belanda di Singapura walaupun bukan warga negara Belanda.
Di dalam pertemuan dengan Studer, Panglima Tibang pertama-tama menyatakan penyesalannya karena naskah perjanjian belum selesai dibuat berhubung mendadak harus berangkat ke Riau atas perintah Sultan sebagai ketua misi. Selanjutnya, Panglima Tibang menanyakan apakah naskah perjanjian tidak dapat dibuat di Singapura sekarang juga agar dapat dikirim ke Washington secepatnya. Pertanyaan ini diajukan mengingat (1) keadaan yang sangat mendesak, (2) perjalanan Singapura- Kutaraja memakan waktu yang cukup lama, dan (3) dia kini telah dibekali mandat penuh oleh Sultan sebagai utusan yang diberi wewenang untuk berunding.
panglima-tibang-perang-aceh
Panglima Tibang | Sumber foto: Buku Perang Kolonial Belanda di Aceh
Dalam jawabannya, Studer tetap pada pendiriannya bahwa tidak mempunyai wewenang untuk membuat suatu perjanjian. Namun, berjanji secepatnya akan men-transfer naskah perjanjian yang telah ditandatangani oleh Sultan kepada Pemerintah Amerika.
Selanjutnya, mereka kembali mendiskusikan masalah-masalah yang dirasakan layak menjadi isi dari perjanjian Aceh-Amerika, yakni mengenai hal-hal yang diinginkan oleh Amerika dan yang dapat diberikan oleh Aceh dalam batas-batas yang wajar. Apa yang dibicarakan oleh kedua tokoh itu belum pernah diformulasikan dalam bentuk rancangan yang tersurat. Jadi, tidak benar kalau ada orang mengatakan bahwa Studer telah menulis rancangan perjanjian Aceh-Amerika.
Laporan yang disampaikan Arifin kepada majikannya, Read, berlainan dengan yang telah terjadi. Selain menyampaikan pembicaraan antara Panglima Tibang dan Studer, Arifin menambahkan bahwa Studer telah menyusun sebuah perjanjian antara Aceh dan Amerika yang terdiri atas 12 pasal dan akan menulis surat kepada Laksamana Jenkins supaya berangkat ke Aceh. Dan akhirnya Arifin meminta agar mengirimkan kapal perang Belanda ke Aceh.
Kebohongan Arifin terungkap dalam surat Read tertanggal 15 Juni 1873 kepada Menteri Luar Negeri Belanda, Gericke. Isinya adalah “Untuk memastikan isi perjanjian itu Muhammad Arifin telah membuatnya — begitu katanya — dalam bentuk perjanjian yang pernah dibuat antara beberapa negara dengan Siam, rancangan yang dibacakan sendiri oleh Muhammad Arifin kepada Studer, tetapi Studer kurang setuju dengan rancangan perjanjian tersebut. Ia mengambil sebuah buku, kemudian membaca teks perjanjian Brunei dalam bahasa Inggris, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh seorang kerani konsulat, sedangkan Arifin menulisnya”.
Mayor Studer sendiri kemudian menerangkan dalam laporannya, bahwa sama sekali tidak bermaksud mengusulkan diadakannya perjanjian dengan Aceh. Akan tetapi, Arifinlah yang mengajukan dengan membawa naskah rancangan perjanjian itu kepadanya. Perutusan hanya membawa sebuah surat dari Sultan Aceh yang meminta bantuan Amerika Serikat. Keterangan Studer ini sesuai dengan pengakuan Arifin di dalam proses verbal yang dibuat di depan Jenderal Verspijk, Kepala Biro Perbekalan
Peperangan Belanda yang sedang mempersiapkan ekspedisi Belanda kedua terhadap Aceh.
Satu hal yang perlu diketahui, rancangan perjanjian yang dibuat oleh Arifin bukan diserahkan kepada Studer dalam pertemuan antara Studer dan Panglima Tibang, tetapi diserahkan pada waktu Arifin datang sendirian mengunjungi Studer beberapa waktu setelah pertemuan dengan Tibang usai.
Sebenarnya, setelah pertemuan antara Panglima Tibang dan Studer usai, Arifin tidak langsung mengirimkan laporan kepada Read karena pada waktu itu Read berada di Bangkok. Satu hal yang tidak dapat dimengerti adalah mengapa Arifin tidak menyampaikan laporan tersebut kepada Meir, wakil Read.
Baru dua minggu kemudian Arifin menulis surat kepada Read di Bangkok mengenai pertemuan antara Panglima Tibang dan Studer. Setelah menerima surat Arifin, Read langsung kembali ke Singapura. Segera Arifin diperintahkan untuk berangkat ke Riau menyampaikan laporan tersebut kepada Residen Schiff. Ia diberi uang saku $ 2,00 permil dan $ 25,00 uang jalan.
Setelah dua hari berada di Singapura Read mengirim kawat kepada Loudon, Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia, mengenai pertemuan Panglima Tibang dengan Studer sebagai berikut: “Intrik-intrik yang sangat serius antara perutusan Aceh dan konsul Amerika di Singapura terungkap; hal ini memerlukan pertimbangan langsung. Perincian dikirim dengan kapal yang pertama”.
Keesokan harinya, Read mengirimkan laporan seperti berikut: “Perutusan menyampaikan kepada Konsul Italia dan Amerika surat Sultan Aceh yang meminta bantuan untuk menghadapi Belanda. Konsul Amerika berjanji akan menyurati Laksamana Jenkins di Cina dan telah menyusun sebuah perjanjian 12 pasal yang akan ditandatangani oleh Sultan dan akan mengirimkan kembali. Orang-orang Amerika siap sedia datang dalam waktu dua bulan. Informasi ini kiranya mendapat kepercayaan sepenuhnya”.
Laporan Read tersebut telah menimbulkan kegemparan di Batavia. Sebuah telegram yang mengandung pokok-pokok soal yang terdapat dalam laporan Read dikirim oleh Loudon ke Den Haag.
Pada tanggal 18 Februari 1873 Menteri Luar Negeri Belanda memohon kepada raja untuk mempertimbangkan, bukankah sudah tiba saatnya Pemerintah Belanda melaksanakan tugasnya menjamin keamanan di Aceh seperti yang diwajibkan oleh perjanjian 1824, tentunya dengan cara damai, selama kita tidak dipaksa oleh Aceh sendiri mempergunakan kekerasan.
Pada hari yang sama Menteri Luar Negeri Belanda meminta kepada Washington dan Roma untuk menyangkal tindakan-tindakan konsulnya di Singapura dan menjernihkan permasalahan bersama dengan negara-negara besar lainnya, atas dasar bahwa perlindungan terhadap perdagangan di perairan Aceh menjadi kewajiban Belanda.
Di samping itu, Kementerian Luar Negeri Belanda mengirimkan nota kuasa kepada Duta Besar Belanda di Washington untuk menyampaikan kepada Fish, Menteri Luar Negeri Amerika, suatu nota yang menggambarkan bahwa Belanda telah melaksanakan kewajibannya menjamin keamanan pelayaran dan perdagangan di perairan Aceh sesuai dengan isi perjanjian yang ditandatanganinya dengan Inggris. Selain itu, disebutkan pula Belanda telah mengetahui bahwa perutusan Aceh telah mengadakan hubungan dengan Konsul Amerika di Singapura; dan Belanda bermaksud mengadakan suatu perjanjian dengan mereka. Bahkan lebih jauh, Amerika disebutkan sedang bersiap-siap memanggil panglima angkatan lautnya di Laut Cina agar datang membawa kapal perangnya ke perairan Aceh.
Pemerintah Belanda memandang tindakan-tindakan tersebut dapat meningkatkan perlawanan Aceh, dan yakin bahwa Pemerintah Amerika Serikat tidak bermaksud merintangi Belanda, bahkan sebaliknya akan bersimpati dan memberikan dukungan dalam usaha melaksanakan action civilisatrice (usaha membawa peradaban).
Keesokan harinya, sebagai langkah selanjutnya Belanda memohon kepada Menteri Luar Negeri Amerika agar meminta Studer menghentikan usahanya mengadakan perjanjian dengan perutusan Aceh.
Pada 19 Februari 1873 Den Haag mengirim kawat kepada Batavia sebagai berikut: “Jika Anda tidak merasa bimbang terhadap kebenaran informasi Konsul Singapura, kirimkan angkatan laut yang kuat ke Aceh untuk meminta penjelasan dan pertanggungjawaban atas sikap bermuka dua dan khianat itu”.
Kawat tersebut merupakan lampu hijau bagi Gubernur Jenderal Hindia Belanda (Loudon) untuk menggempur Aceh. Memang, inilah yang ditunggu-tunggu Loudon meskipun sewaktu menjadi Menteri Jajahan menganut politik non-intervention atau tidak campur tangan. Kini setelah menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Loudon merupakan seorang penjajah yang sangat bernafsu untuk menaklukkan Aceh. Pendapat Loudon mengenai Aceh dalam kaitannya dengan peristiwa Panglima Tibang-Studer adalah sebagai berikut:
“Selama kedaulatan kita tidak diakui, tetap ada campur tangan asing yang mengancam kita seperti pedang Democles”.
Selain isu pembajakan di laut yang selalu ditonjolkan Belanda, “bahan peledak” yang disuplai oleh Read yang berasal dari Arifin, seorang mata-mata Melayu, sudah cukup bagi Loudon untuk menjadi alasan atau casus-belli untuk melancarkan perang terhadap Kerajaan Aceh.
Sebagai langkah pertama bagi pelaksanaan rencananya itu, pada tanggal 21 Februari 1873 Loudon mengadakan rapat Dewan Hindia yang dihadiri juga oleh pemimpin-pemimpin militer. Keesokan harinya Loudon mengirim kawat ke Den Haag sebagai berikut:
“Dewan Hindia di Batavia yang saya pimpin dengan dihadiri oleh jenderal dan laksamana, menyetujui usul saya untuk mengirim secepat mungkin komisi yang didukung oleh empat batalyon ke Aceh untuk menyampaikan ultimatum, adakala pengakuan kedaulatan, adakala perang. Kita akan hadapi Amerika dengan fait accompli. Presiden Nieuwenhuijzen adalah orangnya”.
Dari sini sebenarnya setiap orang yang mengetahui sejarah Aceh tentu dapat menebak jawaban yang akan diberikan oleh Sultan Aceh terhadap ultimatum tersebut.
Sebelum Studer mengetahui bahwa telah dikucilkan, Arifin masih sempat mempergunakannya sebagai kambing hitam untuk terakhir kalinya. Setelah pulang dari Riau dia segera menuju Singapura pada tanggal 1 Maret 1873, Arifin langsung menemui Studer meminta dibuatkan surat yang ditujukan kepada Panglima Tibang. Maksudnya, akan dijadikan bukti tambahan dalam usaha memperkuat kebohongannya. Studer yang tidak menyangka akan dibohongi, memenuhi permintaan Arifin itu. Namun, Studer hanya menulis surat biasa yang merupakan basa-basi belaka.
Surat itu antara lain, mengharapkan mudah-mudahan Panglima Tibang tiba di Aceh dengan selamat dan semoga senantiasa berada di dalam keadaan sehat serta sejahtera. Akan tetapi, Arifin yang merupakan abdi Pemerintah Belanda yang setia, sewaktu mengirimkan surat tersebut kepada Read, melampirinya dengan sebuah “rencana pertahanan” yang katanya berasal dari Studer untuk disampaikan kepada Panglima Tibang.
Rencana ini sangat ganjil apabila ditinjau dari segi militer, apalagi kalau dikatakan dibuat oleh Studer, seorang militer yang berpangkat mayor yang selama beberapa tahun turut bertugas dalam perang saudara di Amerika.
Rencana itu merupakan sebuah bagan dengan tulisan Melayu sebagai berikut: “Jika orang-orang Belanda datang menyerang Aceh, hendaklah semua orang Aceh serentak menyerang dan menghancurkannya”. Bagan kecil itu berupa sebuah segitiga yang dibagi empat dalam ukuran yang tidak sama, kira-kira menggambarkan peta Aceh.
Dalam bagian-bagiannya tertulis keterangan seperti 5.000 orang dalam hutan sebelah selatan pelabuhan, 5.000 orang di sebelah barat, dan 5.000 orang di pedalaman. Laporan tambahan ini disampaikan oleh Arifin kepada Belanda untuk menambah kepercayaan mereka bahwa Aceh memang sudah bertekad hendak berperang melawan Belanda dan bahwa Amerika sudah pasti akan turut campur tangan.
Sementara itu, suatu telegram telah tiba di Batavia yang bunyinya sebagai berikut: “Dari sumber yang sangat dipercaya diterima kabar bahwa armada Amerika di Hong Kong dipastikan telah menerima perintah untuk berlayar ke Aceh sebelum kita berada di sana”. Diketahui kemudian, bahwa yang dimaksud dengan sumber yang sangat dipercaya tidak lain adalah sebuah perusahaan dagang Belanda di Hong Kong.
Dan yang dikatakan perintah bagi armada Amerika itu ternyata sama sekali tidak ada. Agak sukar dipercaya bahwa Den Haag tidak menyadari peranan yang dimainkan oleh Arifin dalam peristiwa Singapura ini. Hal ini terbukti pada tanggal 6 Maret 1873 ketika Menteri Jajahan Belanda, van de Putte, menulis surat kepada Read, sebagai berikut; “Mengucapkan terima kasih atas khidmatnya yang baik terhadap Belanda, terutama yang dialami dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa yang akhir di kepulauan Hindia”.
Tampaknya, peristiwa ini turut direkayasa oleh pejabat-pejabat Belanda beserta kaki-tangannya untuk menciptakan suatu cams-belli yang bisa menghalalkan suatu tindakan terhadap Aceh. Oleh karena kawat mengenai komplotan Studer di Singapura terus membanjiri Den Haag, Pemerintah Belanda menginginkan agar pihak Amerika Serikat memberi bantahan. Atas desakan Den Haag, duta besar Amerika di Den Haag mengirim kawat ke Washington sebagai berikut: “Pemerintah Belanda menginginkan supaya dikawatkan kepada Konsulat Amerika di Singapura agar tidak campur tangan dalam masalah-masalah Sumatra”.
Kawat itu diterima di Washington pada tanggal 6 Maret 1873. Menteri Luar Negeri, Fish, agak terkejut karena baru pertama kali mendengar peristiwa itu. Maka kawat itu dijawab sebagai berikut: “Pemerintah Amerika tidak mempunyai bukti bahwa konsul di Singapura campur tangan; oleh karena tidak memperoleh bukti yang nyata tidak mungkin menganggap dia telah melakukan hal-hal di luar yang ditugaskan. Jika Pemerintah Belanda mengajukan pengaduan, hal itu dengan sepenuhnya akan dipertimbangkan dan kepada konsul kami akan dikirimkan instruksi sesuai dengan kewajiban yang dituntut dari kami terhadap sesuatu negara sahabat”.
Tembusan jawaban ini diserahkan oleh Gorham, Duta Besar Amerika di Den Haag kepada Gericke, Menteri Luar Negeri Belanda pada tanggal 7 Maret 1873. Oleh karena Belanda tetap mendesak, Fish mengirim kawat kepada Studer pada tanggal 8 Maret 1873 sebagai berikut: “Pemerintah Belanda menyatakan adanya campur tangan Anda dalam urusan-urusannya di Sumatra; hentikan kalau ada dan laporkan kejadian yang sebenarnya”.
Setelah menerima bantahan dari Amerika, Den Haag meyakinkan Batavia bahwa perundingan dengan Aceh tidak diketahui dan bahwa konsul tidak pernah diberi wewenang untuk itu. Dengan adanya bantahan dari Amerika, van de Putte agak menyesal telah menyetujui ultimatum terhadap Aceh. Akhimya, dia mengirim kawat ke Batavia yang isinya sebagai berikut: “Kita harap, kita tidak ingin melarang Anda mengadakan perundingan, akan tetapi pertimbangan bahwa pengakuan kedaulatan atau perang sebagai tuntutan, akan menimbulkan pengaruh di mana-mana”.
Akan tetapi, bagaimanapun juga van de Putte telah dihadapkan kepada suatu fait accompli, demikian juga Amerika. Untuk lebih jelas, perlu diketahui bahwa pada tanggal 5 Maret 1873, Read mengirim kawat kepada Loudon bahwa Angkatan Laut Amerika tidak menuju ke Aceh. Meskipun demikian, Nieuwenhijzen tetap diutus ke Aceh pada tanggal 8 Maret 1873.
Sebagai jawaban atas kawat Den Haag mengenai ketidakterlibatan Amerika, Loudon mengajukan ultimatumnya sebagai berikut:
“Diperkirakan tidak akan ada jaminan keamanan tanpa pengakuan kedaulatan. Dengan tidak adanya’ pengakuan kedaulatan, pengiriman ekspedisi tidak ada faedahnya. Mengharapkan segera perintah yang positif, atau biarkan saya memutuskan sendiri persoalan ini atas tanggung jawab saya sendiri.”
Pada tanggal 10 Maret 1873 van de Putte menjawab: “Tidak berkeberatan apabila pengakuan kedaulatan merupakan hasil dari perundingan. Akan tetapi, saya tidak membenarkan pengakuan kedaulatan merupakan tuntutan”.
Tatkala Loudon pada tanggal 12 Alaret 1873 menjawab: “Mengharapkan segera dijelaskan tuntutan yang bagaimana yang harus saya ajukan. Saya sebenarnya tidak menemukan titik awal yang lain; tidak usah membuang waktu lebih banyak”.
Den Haag terpaksa menyerah. Nieuwenhuijzen dalam perjalanannya ke Aceh singgah di Singapura untuk menemui Read karena dia yakin tidak akan ada bahaya dari Angkatan Laut Amerika; malahan dia pernah mendengar tentang pengkhianatan Arifin. Namun, bersama Arifin dia berangkat ke Aceh membawa ultimatumnya. Tatkala Sultan Aceh menolak ultimatum tersebut, Nieuwenhuijzen mengumumkan perang terhadap Aceh pada tanggal 26 Maret 1873.
Sebenarnya, tanpa Arifin, bahkan tanpa Read, perang kolonial Belanda di Aceh akan meletus juga, sebab merupakan rencana Belanda yang sudah lama dipikirkan. Peranan yang dimainkan Arifin bersama Read dengan cara mensuplai berita-berita bohong, rencana palsu, dan provokatif adalah untuk mempercepat dicetuskannya perang kolonial tersebut.
Perlu ditegaskan kembali, jikalau dalam peristiwa Singapura yang terkenal itu ada yang disebut bermuka dua dan khianat, mereka bukanlah Sultan Aceh dan Studer, melainkan Arifin. Kerajaan Aceh sebagai suatu negara yang merdeka dan berdaulat, yang berkeinginan bersahabat dengan semua negara, tentu berhak mencari bantuan dari negara mana saja, apalagi kalau kemerdekaannya terancam.
Perjanjian perdamaian dan persahabatan dengan Belanda tahun 1857 tidak mengandung satu pasal pun yang melarang Aceh mencari bantuan diplomatik atau materiil dari pihak mana pun, apalagi setelah jaminan Inggris mengenai kemerdekaan dan keutuhan wilayahnya menjadi batal dengan adanya Perjanjian Sumatra tahun 1871.
Paul van ‘t Veer dalam bukunya menulis tentang Arifin sebagai berikut: “Bahwa Arifin telah melakukan penyelewengan secara sadar dapat diketahui dalam surat-surat resmi. Kemudian dalam perdebatan di dalam Majelis Rendah Belanda disebut-sebut, bahwa orang ini dapat disuap. Read telah menyuapnya; ia adalah seorang mata-mata yang bekerja untuk kepentingan Read”.
Jenderal Verspijk yang membuat proses verbal Arifin menyebutnya sebagai “Pengkhianatan tiga kali lipat”. Namun, van ‘t Veer juga mengatakan: “Selama sepuluh tahun Pemerintah Belanda masih mempercayai keterangan-keterangan Read yang disampaikannya dari Singapura, yaitu keterangan yang datangnya dari
Arifin. Dia itulah mata-mata Melayu yang sangat licik dan sangat setia kepada Belanda. Suatu tragedi yang sungguh-sungguh memilukan hati”.[atjehpost]
loading...
Post a Comment