AMP - Dunia rupanya gerah dan cemas dengan makin pupusnya harapan terwujudnya solusi dua negara atas konflik Palestina-Israel, ketika Israel dengan bebas terus melakukan pendudukan militer di wilayah Palestina sehingga menghancurkan status quo prospek solusi itu.
Di sisi lain ada kevakuman politik akibat pasif dan putus asanya Amerika Serikat (AS) atas situasi yang berkembang, terlebih dengan makin dekatnya pemilihan Presiden sehingga risiko kesalahan kebijakan harus diminimalkan, maka Perancis masuk dan menyelenggarakan Konferensi Paris pada 3 Juni lalu untuk menghidupkan lagi harapan perdamaian di kawasan dan mencapai konsensus global atas solusi dua negara dan metodologi untuk mencapainya.
Pada konferensi itu ada 29 negara yang diundang, di antaranya ada 3 negara Asia yaitu Indonesia, Jepang dan China, dan ada pula Kuartet Timur Tengah (AS, Uni Eropa, Rusia dan PBB) serta negara- negara kunci di kawasan seperti Mesir, Saudi Arabia dan Yordania. Israel dan Palestina justru tak diundang. Kehadiran Indonesia menunjukkan pengakuan dunia atas kontribusi Indonesia pada proses perdamaian Palestina-Israel selama ini.
Bagaimana kita harus melihat peran Konferensi Paris itu dalam menghidupkan kembali harapan dan jalan menuju solusi dua negara? Konferensi Paris yang diselenggarakan oleh Perancis ini bisa jadi mencerminkan adanya pergeseran dari monopoli AS dalam isu itu di mana AS membiarkan terjadinya internasionalisasi negosisasi kepada pembukaan kemungkinan aktor lain untuk bermain walaupun dengan koordinasi dengan AS.
Tapi kemungkinan ini harus diuji oleh waktu, karena bisa jadi pergeseran sementara ini merupakan taktik (gimmick) jangka pendek AS yang dimaksudkan untuk menutupi frustrasi pemerintahan Obama atas sikap Israel yang tidak bisa dikendalikannya namun di sisi lain ingin mewariskan kebijakan dan platform yang tepat atas solusi dua negara kepada pemerintahan selanjutnya.
Dari Komunike Bersama yang dihasilkan, Konferensi Paris bisa juga dilihat seperti konferensi- konferensi dan negosiasi sebelumnya yang tidak bisa memberikan kejelasan dan perlindungan atas status quo ketika tidak ada kejelasan langkah bersama masyarakat Internasional yang akan diambil dalam menghadapi pendudukan militer Israel yang makin meluas dan menjadi status quo yang sebenarnya.
Efektivitas dan dampak nyata konferensi itu juga nampaknya akan sangat tergantung kesesuaiannya dengan posisi Kuartet Timur Tengah selama ini dan harus terumuskan dalam kerangka waktu yang realistis dalam penyelenggaraan perundingan-perundingan dengan para pihak menuju perundingan solusi dua negara.
Sikap Israel sendiri bisa diduga. Selain menolak mentah-mentah konferensi itu, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu justru memancing dunia Arab dengan menyatakan kesediaannya untuk membahas Inisiatif Perdamaian Arab yang diusulkan oleh Almarhum Raja Arab Saudi, Abdullah ketika masih menjadi Putra Mahkota dan disepakati oleh Liga Arab di tahun 2002.
Menurut Inisiatif Perdamaian Arab itu negara-negara Arab bersedia memberikan pengakuan penuh kepada Israel dan hak untuk berdiri sebagai negara disertai dengan normalisasi hubungan asalkan Israel menarik diri dari seluruh wilayah Arab yang direbutnya sejak 1967. Inisiatif itu juga mempersyaratkan adanya pemulihan negara Palestina dengan Jerusalem Timur sebagai ibukotanya serta solusi bagi pengungsi Palestina.
Pernyataan kesediaan Netanyahu atas Inisiatif Perdamaian Arab bisa diduga merupakan pancingan dan cobaan kepada dunia Arab untuk melihat apakah mereka akan memakan umpan yang dilemparkannya karena sikap kunci Israel selama ini adalah negosisasi langsung antara Israel dan Palestina dan alergi terhadap internasionalisasi perundingan. Bila pancingan berhasil, bisa diduga Arab Saudi dan Liga Arab akan menjadi heboh membahasnya dan akan berdampak pada insiatif dan konferensi serta negosiasi yang selama ini telah berlangsung.
Konferensi Paris meski masih harus diuji oleh waktu efektivitasnya, ia setidaknya mencerminkan makin hilangnya kesabaran dunia khususnya rekan-rekan AS dan Israel di Eropa atas makin tidak jelasnya prospek perdamaian di Timur Tengah yang secara signifikan sangat dipengaruhi oleh tercapainya tidaknya solusi atas konflik Palestina-Israel.(MDK)
Di sisi lain ada kevakuman politik akibat pasif dan putus asanya Amerika Serikat (AS) atas situasi yang berkembang, terlebih dengan makin dekatnya pemilihan Presiden sehingga risiko kesalahan kebijakan harus diminimalkan, maka Perancis masuk dan menyelenggarakan Konferensi Paris pada 3 Juni lalu untuk menghidupkan lagi harapan perdamaian di kawasan dan mencapai konsensus global atas solusi dua negara dan metodologi untuk mencapainya.
Pada konferensi itu ada 29 negara yang diundang, di antaranya ada 3 negara Asia yaitu Indonesia, Jepang dan China, dan ada pula Kuartet Timur Tengah (AS, Uni Eropa, Rusia dan PBB) serta negara- negara kunci di kawasan seperti Mesir, Saudi Arabia dan Yordania. Israel dan Palestina justru tak diundang. Kehadiran Indonesia menunjukkan pengakuan dunia atas kontribusi Indonesia pada proses perdamaian Palestina-Israel selama ini.
Bagaimana kita harus melihat peran Konferensi Paris itu dalam menghidupkan kembali harapan dan jalan menuju solusi dua negara? Konferensi Paris yang diselenggarakan oleh Perancis ini bisa jadi mencerminkan adanya pergeseran dari monopoli AS dalam isu itu di mana AS membiarkan terjadinya internasionalisasi negosisasi kepada pembukaan kemungkinan aktor lain untuk bermain walaupun dengan koordinasi dengan AS.
Tapi kemungkinan ini harus diuji oleh waktu, karena bisa jadi pergeseran sementara ini merupakan taktik (gimmick) jangka pendek AS yang dimaksudkan untuk menutupi frustrasi pemerintahan Obama atas sikap Israel yang tidak bisa dikendalikannya namun di sisi lain ingin mewariskan kebijakan dan platform yang tepat atas solusi dua negara kepada pemerintahan selanjutnya.
Dari Komunike Bersama yang dihasilkan, Konferensi Paris bisa juga dilihat seperti konferensi- konferensi dan negosiasi sebelumnya yang tidak bisa memberikan kejelasan dan perlindungan atas status quo ketika tidak ada kejelasan langkah bersama masyarakat Internasional yang akan diambil dalam menghadapi pendudukan militer Israel yang makin meluas dan menjadi status quo yang sebenarnya.
Efektivitas dan dampak nyata konferensi itu juga nampaknya akan sangat tergantung kesesuaiannya dengan posisi Kuartet Timur Tengah selama ini dan harus terumuskan dalam kerangka waktu yang realistis dalam penyelenggaraan perundingan-perundingan dengan para pihak menuju perundingan solusi dua negara.
Sikap Israel sendiri bisa diduga. Selain menolak mentah-mentah konferensi itu, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu justru memancing dunia Arab dengan menyatakan kesediaannya untuk membahas Inisiatif Perdamaian Arab yang diusulkan oleh Almarhum Raja Arab Saudi, Abdullah ketika masih menjadi Putra Mahkota dan disepakati oleh Liga Arab di tahun 2002.
Menurut Inisiatif Perdamaian Arab itu negara-negara Arab bersedia memberikan pengakuan penuh kepada Israel dan hak untuk berdiri sebagai negara disertai dengan normalisasi hubungan asalkan Israel menarik diri dari seluruh wilayah Arab yang direbutnya sejak 1967. Inisiatif itu juga mempersyaratkan adanya pemulihan negara Palestina dengan Jerusalem Timur sebagai ibukotanya serta solusi bagi pengungsi Palestina.
Pernyataan kesediaan Netanyahu atas Inisiatif Perdamaian Arab bisa diduga merupakan pancingan dan cobaan kepada dunia Arab untuk melihat apakah mereka akan memakan umpan yang dilemparkannya karena sikap kunci Israel selama ini adalah negosisasi langsung antara Israel dan Palestina dan alergi terhadap internasionalisasi perundingan. Bila pancingan berhasil, bisa diduga Arab Saudi dan Liga Arab akan menjadi heboh membahasnya dan akan berdampak pada insiatif dan konferensi serta negosiasi yang selama ini telah berlangsung.
Konferensi Paris meski masih harus diuji oleh waktu efektivitasnya, ia setidaknya mencerminkan makin hilangnya kesabaran dunia khususnya rekan-rekan AS dan Israel di Eropa atas makin tidak jelasnya prospek perdamaian di Timur Tengah yang secara signifikan sangat dipengaruhi oleh tercapainya tidaknya solusi atas konflik Palestina-Israel.(MDK)
loading...
Post a Comment