Habib Abdurrahman Al-Zahir |
AMP - Sosok Habib Abdurrahman Al-Zahir selama ini dipersepsikan sebagai tokoh kontroversial, karena pernah menyerah kepada Belanda. Sejarah mencatat, dalam banyak episode sejarah melawan Belanda, dia adalah pahlawan yang memperjuangkan Aceh melalui jalur diplomasi, bahkan militer. Siapa sebenarnya Habib Abdurrahman Al-Zahir?
Ketua Institut Peradaban Aceh (IPA) Haekal Afifa mengatakan, kontribusi Habib Abdurrahman terhadap kerajaan Aceh begitu besar. Setiap kali bicara diplomasi Aceh di dunia internasional, maka tidak bisa menafikan peran sang Habib.
“Dia telah memainkan peranan yang besar dalam dunia diplomasi kerajaan Aceh menjelang pecahnya perang antara Belanda dan Aceh pada 26 Maret 1873,” kata Haekal dalam seminar Peran dan Kontribusi Golongan Sayid dalam Perang Aceh di gedung Mini Theater PKP2A IV LAN, Banda Aceh, Sabtu (13/5/2017) kemarin.
Seminar yang diselenggarakan Asyraf Aceh ini menghadirkan dua pemateri, yakni Haekal Afifa dan Sayid Murtada.
Haekal yang di makalahnya mengutip puluhan penulis dari dalam dan luar negeri itu mengatakan, setelah ibunya meninggal, Habib Abdurrahman kecil dibawa oleh ayahnya ke Malabar tahun 1834. Tafsir Alquran dipelajariny di Mesir, setelah itu dia ke Arab.
Dari Arablah, Habib berkeliling Asia Tengah dan Eropa. Setelah berkelana ke berbagai negara inilah, Habib dewasa menjadi pribadi yang paham ilmu diplomasi sekaligus dalam ilmu agamanya.
Sebelum berlabuh di Aceh, Habib Abdurrahman berada di Johor selama satu setengah tahun. Dalam waktu singkat itu, dia berkontribusi dengan membantu pembangunan dan menyelesaikan pembuatan jalan di Kota Johor dengan baik.
“Atas jasa-jasanya, Maharaja Johor memberikan surat penghargaan sebagai apresiasi atas dedikasinya di negeri Johor,” kata Haekal.
Dari Johor, dia bertolak ke Pulau Pinang, lalu berangkat menuju Pidie dan selanjutnya menuju Banda Aceh Darussalam.
“Di Aceh, dia berada di Kampung Jawa selama tiga hari dan dia menjumpai Habib Muhammad Mahaldi di Kampung Lamseupeung pada bulan Jumadil Awal 1221 H (1864 M). Melalui Habib Mahaldi, dia dipertemukan dengan Sultan Alaiddin Ibrahim Mansursyah. Berbekal surat penghargaan Maharaja Johor, Sultan menerima Habib Abdurrahman dengan baik dan mengangkatnya sebagai Kepala Masjid Raya Baiturrahman,” kata Haekal.
Saat itu, kondisi di Aceh sedang tidak menentu, khususnya kondisi politik internasional Aceh. Tujuh tahun sebelum kehadiran Habib Abdurrahman, Kerajaan Aceh sudah melakukan perjanjian perdamaian, persahabatan, dan perdagangan dengan Kerajaan Belanda sebagai upaya menjalankan Perjanjian London yang sudah disepakati pada 1824.
Perjanjian antara Kerajaan Aceh dan Belanda pada tahun 1857 merupakan perjanjian internasional pertama Kerajaan Belanda sejak merdeka.
“Perjanjian tahun 1857 itulah yang membuka ruang legitimasi bagi Belanda untuk menyerang Aceh, dengan tuduhan Kerajaan Aceh melakukan pembajakan dan perompakan di perairan Sumatera. Pasal 4 dan Pasal 5 dalam perjanjian tersebut menjadi perangkap untuk menjebak Aceh dalam pusaran konflik kolonial yang berkepanjangan,” tutur Haekal.
Belanda, kata Haekal, memainkan politik tipu daya. Dalam istilah Paul Findley, tergolong tipe diplomasi munafik. Konflik dalam wilayah kerajaan Sumatera Timur dimanfaatkan. Perjanjian Siak-Belanda kemudian dibuat.
Mereka berhasil memainkan politik ‘Pula Labu’. Di internal kerajaan Aceh, muncul pertikaian antara Ulee Balang dan petinggi Aceh. Nah, kehadiran Habib Abdurrahman berhasil mengatasi konflik internal yang terjadi antara Sultan Ibrahim Mansursyah dengan Teuku Muda Baet.
Keberhasilan ini membuat sultan mengangkat Habib menjadi Kepala Urusan Agama dan Pemerintahan di Cot Putu dalam III Mukim, Aceh Besar.
Detik-detik jelang perang Aceh, Habib Abdurrahman menjadi kunci diplomasi Aceh dengan dunia. Habib diberikan kuasa tujuh tahun untuk mencari dukungan di Arab dan Eropa. Penunjukan Habib sebagai diplomat juga tidak mudah.
Sebagaimana disebutkan dalam Bustanussalatin pada bab III pasal 5, menjadi seorang utusan harus memenuhi 10 syarat, antara lain, takut kepada Allah, punya ilmu pengetahuan, baik kelakuannya, elok paras, bangsawan, berani melakukan apa yang menjadi kemauan raja, dan sebagainya.
“Syarat-syarat seorang diplomat yang dibuat kerajaan Aceh sangat ketat, melebihi Eropa,” tuturnya.SELANJUTNYA
Ketua Institut Peradaban Aceh (IPA) Haekal Afifa mengatakan, kontribusi Habib Abdurrahman terhadap kerajaan Aceh begitu besar. Setiap kali bicara diplomasi Aceh di dunia internasional, maka tidak bisa menafikan peran sang Habib.
“Dia telah memainkan peranan yang besar dalam dunia diplomasi kerajaan Aceh menjelang pecahnya perang antara Belanda dan Aceh pada 26 Maret 1873,” kata Haekal dalam seminar Peran dan Kontribusi Golongan Sayid dalam Perang Aceh di gedung Mini Theater PKP2A IV LAN, Banda Aceh, Sabtu (13/5/2017) kemarin.
Seminar yang diselenggarakan Asyraf Aceh ini menghadirkan dua pemateri, yakni Haekal Afifa dan Sayid Murtada.
Haekal yang di makalahnya mengutip puluhan penulis dari dalam dan luar negeri itu mengatakan, setelah ibunya meninggal, Habib Abdurrahman kecil dibawa oleh ayahnya ke Malabar tahun 1834. Tafsir Alquran dipelajariny di Mesir, setelah itu dia ke Arab.
Dari Arablah, Habib berkeliling Asia Tengah dan Eropa. Setelah berkelana ke berbagai negara inilah, Habib dewasa menjadi pribadi yang paham ilmu diplomasi sekaligus dalam ilmu agamanya.
Sebelum berlabuh di Aceh, Habib Abdurrahman berada di Johor selama satu setengah tahun. Dalam waktu singkat itu, dia berkontribusi dengan membantu pembangunan dan menyelesaikan pembuatan jalan di Kota Johor dengan baik.
“Atas jasa-jasanya, Maharaja Johor memberikan surat penghargaan sebagai apresiasi atas dedikasinya di negeri Johor,” kata Haekal.
Dari Johor, dia bertolak ke Pulau Pinang, lalu berangkat menuju Pidie dan selanjutnya menuju Banda Aceh Darussalam.
“Di Aceh, dia berada di Kampung Jawa selama tiga hari dan dia menjumpai Habib Muhammad Mahaldi di Kampung Lamseupeung pada bulan Jumadil Awal 1221 H (1864 M). Melalui Habib Mahaldi, dia dipertemukan dengan Sultan Alaiddin Ibrahim Mansursyah. Berbekal surat penghargaan Maharaja Johor, Sultan menerima Habib Abdurrahman dengan baik dan mengangkatnya sebagai Kepala Masjid Raya Baiturrahman,” kata Haekal.
Saat itu, kondisi di Aceh sedang tidak menentu, khususnya kondisi politik internasional Aceh. Tujuh tahun sebelum kehadiran Habib Abdurrahman, Kerajaan Aceh sudah melakukan perjanjian perdamaian, persahabatan, dan perdagangan dengan Kerajaan Belanda sebagai upaya menjalankan Perjanjian London yang sudah disepakati pada 1824.
Perjanjian antara Kerajaan Aceh dan Belanda pada tahun 1857 merupakan perjanjian internasional pertama Kerajaan Belanda sejak merdeka.
“Perjanjian tahun 1857 itulah yang membuka ruang legitimasi bagi Belanda untuk menyerang Aceh, dengan tuduhan Kerajaan Aceh melakukan pembajakan dan perompakan di perairan Sumatera. Pasal 4 dan Pasal 5 dalam perjanjian tersebut menjadi perangkap untuk menjebak Aceh dalam pusaran konflik kolonial yang berkepanjangan,” tutur Haekal.
Belanda, kata Haekal, memainkan politik tipu daya. Dalam istilah Paul Findley, tergolong tipe diplomasi munafik. Konflik dalam wilayah kerajaan Sumatera Timur dimanfaatkan. Perjanjian Siak-Belanda kemudian dibuat.
Mereka berhasil memainkan politik ‘Pula Labu’. Di internal kerajaan Aceh, muncul pertikaian antara Ulee Balang dan petinggi Aceh. Nah, kehadiran Habib Abdurrahman berhasil mengatasi konflik internal yang terjadi antara Sultan Ibrahim Mansursyah dengan Teuku Muda Baet.
Keberhasilan ini membuat sultan mengangkat Habib menjadi Kepala Urusan Agama dan Pemerintahan di Cot Putu dalam III Mukim, Aceh Besar.
Detik-detik jelang perang Aceh, Habib Abdurrahman menjadi kunci diplomasi Aceh dengan dunia. Habib diberikan kuasa tujuh tahun untuk mencari dukungan di Arab dan Eropa. Penunjukan Habib sebagai diplomat juga tidak mudah.
Sebagaimana disebutkan dalam Bustanussalatin pada bab III pasal 5, menjadi seorang utusan harus memenuhi 10 syarat, antara lain, takut kepada Allah, punya ilmu pengetahuan, baik kelakuannya, elok paras, bangsawan, berani melakukan apa yang menjadi kemauan raja, dan sebagainya.
“Syarat-syarat seorang diplomat yang dibuat kerajaan Aceh sangat ketat, melebihi Eropa,” tuturnya.SELANJUTNYA
loading...
Post a Comment