AMP - Penangkapan mantan Kepala Staf Angkatan Udara India, Marsekal Shashindra Pal Tyagi itu menjadi puncak pengungkapan kasus korupsi 'choppergate'. Dia ditangkap Central Bureau of Investigation (CBI) bersama sepupunya bulan Desember 2016 lalu.
Kedua orang itu disangka menerima suap dan gratifikasi dalam pembelian 12 helikopter VVIP dari AgustaWestland. Departemen Pertahanan India sebelumnya sudah membatalkan pesanan helikopter AW101 tersebut.
Kasus helikopter ini mungkin selesai di India, tapi baru mulai di Indonesia. Awal mulanya pada penghujung tahun 2015 lalu, muncul wacana pengadaan helikopter kepresidenan. Nama yang muncul adalah AW101 dari AugustaWesland, perusahaan patungan Inggris dan Italia.
Hal ini menimbulkan polemik. PT Dirgantara Indonesia pun mengaku memiliki kemampuan untuk memproduksi heli VVIP dengan jenis EC-725. Kenapa harus mengambil dari luar negeri?
Presiden Jokowi kemudian menolak pengadaan helikopter kepresidenan. Jokowi menyebut kondisi negara belum memungkinkan untuk pengadaan helikopter kepresidenan.
Namun, anehnya Bulan Februari 2017, sebuah helikopter AW101 itu tiba di Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta. Jenisnya sudah bukan helikopter kepresidenan, tetapi helikopter angkut berat. Sumber merdeka.com menyebut helikopter tersebut sudah dibayar lunas.
Isu lain yang beredar soal helikopter AW101 yang dibeli TNI AU merupakan bekas India. Awalnya India memesan 12 unit AW101 pada 2010-2013. Namun gara-gara skandal korupsi terbongkar, baru tiga helikopter yang dikirim. Sisanya ada yang sudah dirakit, namun belum dikirim ke India. Helikopter inilah yang kemudian dibeli oleh Indonesia.
"Jadi belum pernah dikirim ke India. Helikopter AW101 yang dulu memang bagian dari pesanan untuk India tapi dibatalkan. Waktu itu varian 641. pihak pabrikan kemudian melakukan upgrade ke varian 646 untuk TNI AU," kata sumber tersebut.
Saat itu pihak Istana mengaku tak tahu. TNI AU juga mengaku tak paham. Kementerian Pertahanan dan Mabes TNI juga angkat bahu soal pesawat ini.
Aroma korupsi dan kongkalikong tercium. Adalah Presiden Jokowi yang memerintahkan Panglima TNI mengadakan pengusutan.
"Presiden bertanya ke saya. Kira-kira kerugian negara berapa bapak panglima? Saya sampaikan ke presiden kira-kira minimal Rp 150 miliar. Presiden menjawab, menurut saya lebih dari Rp 200 miliar, bayangkan panglima sampaikan itu tapi presiden lebih tahu kan malu saya," kata Jenderal Gatot Nurmantyo di KPK, Jumat (26/5).
Gatot segera mengusutnya. Kepala Staf TNI AU yang baru, Marsekal Hadi Tjahjanto juga langsung diminta mengusut kasus yang jadi perhatian publik ini.
"Dengan bekerja cepat maka pada 24 Feb 2017, KASAU mengirimkan hasil investigasi. Dari hasil investigasi KASAU semakin jelas, ada pelaku-pelaku korupsi dan konspirasi," kata Gatot.
Dari laporan tersebut Gatot dan Hadi bergerak menggandeng KPK, BPK dan PPATK. Untuk mengelabui para tersangka, TNI juga sampai menyebut pengadaan helikopter tak bermasalah. Padahal ini disengaja oleh Gatot.
"Ini sebenarnya teknik untuk mengelabuhi para calon tersangkanya sehingga mereka enjoy. Ah tidak ada masalah," beber Gatot.
POM TNI dibantu KPK terus bergerak. Mereka menggeledah empat lokasi yakni PT Diratama Jaya Mandiri, rumah saksi di Bogor, rumah saksi di Sentul, dan sebuah kantor di Bidakara.
Selain itu, masih dalam rangkaian penyidikan pihaknya juga telah memblokir PT Diratama Jaya Mandiri sebesar Rp 139 miliar.
"TNI meningkatkan penyelidikan ke penyidikan. TNI sudah dapat informasi awal bahwa minimal ada penyimpangan mark up sekitar Rp 220 Miliar," tegas Gatot.
TNI juga telah menetapkan tersangka Marsma FA sebagai pejabat pembuat komitmen, Letkol WW sebagai pejabat pemegang kas dan Pelda SS sebagai staf pemegang kas. Diduga Pelda SS inilah yang membagikan sejumlah uang.
Gatot menegaskan akan mengusut tuntas kasus ini. Tak menutup kemungkinan akan ada sejumlah pejabat lain yang terseret. Sama seperti choppergate di India.[Mdk]
Kedua orang itu disangka menerima suap dan gratifikasi dalam pembelian 12 helikopter VVIP dari AgustaWestland. Departemen Pertahanan India sebelumnya sudah membatalkan pesanan helikopter AW101 tersebut.
Kasus helikopter ini mungkin selesai di India, tapi baru mulai di Indonesia. Awal mulanya pada penghujung tahun 2015 lalu, muncul wacana pengadaan helikopter kepresidenan. Nama yang muncul adalah AW101 dari AugustaWesland, perusahaan patungan Inggris dan Italia.
Hal ini menimbulkan polemik. PT Dirgantara Indonesia pun mengaku memiliki kemampuan untuk memproduksi heli VVIP dengan jenis EC-725. Kenapa harus mengambil dari luar negeri?
Presiden Jokowi kemudian menolak pengadaan helikopter kepresidenan. Jokowi menyebut kondisi negara belum memungkinkan untuk pengadaan helikopter kepresidenan.
Namun, anehnya Bulan Februari 2017, sebuah helikopter AW101 itu tiba di Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta. Jenisnya sudah bukan helikopter kepresidenan, tetapi helikopter angkut berat. Sumber merdeka.com menyebut helikopter tersebut sudah dibayar lunas.
Isu lain yang beredar soal helikopter AW101 yang dibeli TNI AU merupakan bekas India. Awalnya India memesan 12 unit AW101 pada 2010-2013. Namun gara-gara skandal korupsi terbongkar, baru tiga helikopter yang dikirim. Sisanya ada yang sudah dirakit, namun belum dikirim ke India. Helikopter inilah yang kemudian dibeli oleh Indonesia.
"Jadi belum pernah dikirim ke India. Helikopter AW101 yang dulu memang bagian dari pesanan untuk India tapi dibatalkan. Waktu itu varian 641. pihak pabrikan kemudian melakukan upgrade ke varian 646 untuk TNI AU," kata sumber tersebut.
Saat itu pihak Istana mengaku tak tahu. TNI AU juga mengaku tak paham. Kementerian Pertahanan dan Mabes TNI juga angkat bahu soal pesawat ini.
Aroma korupsi dan kongkalikong tercium. Adalah Presiden Jokowi yang memerintahkan Panglima TNI mengadakan pengusutan.
"Presiden bertanya ke saya. Kira-kira kerugian negara berapa bapak panglima? Saya sampaikan ke presiden kira-kira minimal Rp 150 miliar. Presiden menjawab, menurut saya lebih dari Rp 200 miliar, bayangkan panglima sampaikan itu tapi presiden lebih tahu kan malu saya," kata Jenderal Gatot Nurmantyo di KPK, Jumat (26/5).
Gatot segera mengusutnya. Kepala Staf TNI AU yang baru, Marsekal Hadi Tjahjanto juga langsung diminta mengusut kasus yang jadi perhatian publik ini.
"Dengan bekerja cepat maka pada 24 Feb 2017, KASAU mengirimkan hasil investigasi. Dari hasil investigasi KASAU semakin jelas, ada pelaku-pelaku korupsi dan konspirasi," kata Gatot.
Dari laporan tersebut Gatot dan Hadi bergerak menggandeng KPK, BPK dan PPATK. Untuk mengelabui para tersangka, TNI juga sampai menyebut pengadaan helikopter tak bermasalah. Padahal ini disengaja oleh Gatot.
"Ini sebenarnya teknik untuk mengelabuhi para calon tersangkanya sehingga mereka enjoy. Ah tidak ada masalah," beber Gatot.
POM TNI dibantu KPK terus bergerak. Mereka menggeledah empat lokasi yakni PT Diratama Jaya Mandiri, rumah saksi di Bogor, rumah saksi di Sentul, dan sebuah kantor di Bidakara.
Selain itu, masih dalam rangkaian penyidikan pihaknya juga telah memblokir PT Diratama Jaya Mandiri sebesar Rp 139 miliar.
"TNI meningkatkan penyelidikan ke penyidikan. TNI sudah dapat informasi awal bahwa minimal ada penyimpangan mark up sekitar Rp 220 Miliar," tegas Gatot.
TNI juga telah menetapkan tersangka Marsma FA sebagai pejabat pembuat komitmen, Letkol WW sebagai pejabat pemegang kas dan Pelda SS sebagai staf pemegang kas. Diduga Pelda SS inilah yang membagikan sejumlah uang.
Gatot menegaskan akan mengusut tuntas kasus ini. Tak menutup kemungkinan akan ada sejumlah pejabat lain yang terseret. Sama seperti choppergate di India.[Mdk]
loading...
Post a Comment