Inong Balee, pasukan perempuan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), berpose bersama Panglima Militer GAM Abdullah Syafei'i (1999). |
amp - Satu malam pada pengujung Mei 2001, belasan mobil beriringan menyusuri perbukitan di kaki Seulawah Agam. Penumpangnya adalah puluhan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) bersenjata lengkap.
Mereka baru pulang dari rapat komando Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Aceh Rayeuk--istilah teritori GAM, meliputi Aceh Besar dan Banda Aceh--di kawasan Lampanah, Seulimuem, Aceh Besar. Tak disangka, iringan itu bersemuka aral.
Pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) telah menyiapkan pengadangan dan melepas tembakan dari atas perbukitan. Pasukan GAM berhamburan. Laporan media menyebut ada enam anggota GAM yang meninggal dunia, termasuk Ayah Muni, Panglima Operasi GAM Wilayah Aceh Rayeuk.
Kejadian itu masih diingat Erli Yanti, ketika bercerita kepada Beritagar.id di rumahnya, kawasan Cot Keueng, Aceh Besar, Senin (15/5/2017). Yanti merupakan tentara GAM yang turut dalam rombongan itu. Ia menumpang salah satu Daihatsu Taft, sambil memangku senapan AK-47.
Ia selamat dalam adu mesiu, lantas berjalan melintasi pegunungan demi mencapai markas GAM di Cot Keueng--sekitar 25 kilometer dari barat Banda Aceh--pada keesokan paginya.
Itu bukan satu-satunya penyergapan yang sempat dihadapi Yanti. Satu yang membekas, ketika dirinya dan sejumlah anggota GAM disergap tentara Indonesia di Bale Kureng, kawasan Limpok--belakang kampus Universitas Syiah Kuala. Wak Yan, salah seorang temannya, meninggal dalam penyergapan tersebut.
"Saya pikir sudah tidak ada lagi saya (tewas), ternyata masih berumur panjang," katanya, ihwal situasi penyergapan macam itu.
Ia juga pernah balik menyergap. Misalnya, satu hari, ia bersama tiga anggota GAM menyerbu iringan truk tentara dari puncak Masjid Lam Roh, di Cot Keueng.
Pada Desember 2002, ia ditangkap tentara dari Batalion Infanteri 112/Darma Jaya di rumahnya. Konon, seorang pembocor menceritakan keberadaan Yanti di rumahnya. Sebelum Aceh berstatus Darurat Militer pada era Megawati Soekarnoputri (2003-2004), ia memang masih sering balik ke rumah.
Kala ditangkap, Yanti sempat diserahkan ke Polisi Militer Kodam Iskandar Muda di Peuniti, Banda Aceh. Ia mengaku mendapat siksaan di sana. "Tangan dan kaki saya susah bergerak saat itu karena dipukul," katanya.
Ia baru bebas setelah dijemput para tetua kampung dan orang tuanya, yang bersaksi bahwa dirinya bukan anggota GAM. Total, Yanti ditahan selama 22 hari.
Yanti menjadi pasukan GAM sejak 1999, saat usianya baru 17. Ia diajak Tengku Abang, pentolan GAM di Cot Keueng. "Saya baru kelas satu SMA, tapi tidak sekolah lagi. Saya mengaji di dayah (pesantren)."
Kala itu, angin reformasi tengah berembus. Di Aceh, reformasi dilihat sebagai harapan menuju pembebasan. GAM merekrut pemuda-pemudi Aceh dari pelbagai gampong (desa) untuk ikut dalam perjuangan kemerdekaan Aceh.
Gaung GAM jadi terdengar di seantero Aceh. Semula gerakan politik bersenjata itu tersentral di Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Timur.
Yanti mengaku berjuang lantaran ketidakadilan pemerintah pusat. "Kita ini daerah modal, tapi masih miskin," katanya. Hatinya pun perih tatkala melihat keberingasan pasukan Indonesia di Aceh pada masa Daerah Operasi Militer (DOM) di bawah Orde Baru.
Ia mengikuti pendidikan militer di Siron, Kecamatan Cot Glie, Aceh Besar. Ada 350 orang yang ikut pendidikan khusus perempuan, dengan durasi sekitar enam bulan. SELANJUTNYA
loading...
Post a Comment