Makam Pocut Meurah Intan berukirkan kalimat Syahadat |
(Catatan : M. Senoatmodjo)
PENDOPO rumah dinas Kabupaten Daerah Tingkat II Blora (Jawa Tengah) pada tanggal 18 April 1985, bertepatan dengan peringata n hari Besar Isra' Mi'raj Nabi Muhammad SAW, secara tiba-tiba tampak meriah, semarak. Ruangan pendopo yang cukup luas itu telah dipenuhi para tamu yang berpakaian aneka ragam. Seolah olah pada hari itu Pak Bupati sedang punya gawe "ngunduh mantu". Apalagi di tengah-tengah semaraknya para tamu tersebut tampak lima pasang laki-perempuan yang berpakaian kebesaran Panglima Perang dan diiringi alunan suara gamelan (walaupun sekedar hanya dari kaset). Sementara dikanan kiri pendopo tersebut terhampar hidangan makanan khas kota Blora, yaitu sate/soto ayam dan tahu lontong dll.
PENDOPO rumah dinas Kabupaten Daerah Tingkat II Blora (Jawa Tengah) pada tanggal 18 April 1985, bertepatan dengan peringata n hari Besar Isra' Mi'raj Nabi Muhammad SAW, secara tiba-tiba tampak meriah, semarak. Ruangan pendopo yang cukup luas itu telah dipenuhi para tamu yang berpakaian aneka ragam. Seolah olah pada hari itu Pak Bupati sedang punya gawe "ngunduh mantu". Apalagi di tengah-tengah semaraknya para tamu tersebut tampak lima pasang laki-perempuan yang berpakaian kebesaran Panglima Perang dan diiringi alunan suara gamelan (walaupun sekedar hanya dari kaset). Sementara dikanan kiri pendopo tersebut terhampar hidangan makanan khas kota Blora, yaitu sate/soto ayam dan tahu lontong dll.
Memang pada hari itu Bupati Blora Soemarno SH didampingi sang istri dan sejumlah pejabat setempat, antara lain Wakil Ketua DPRD H. Moh. Said Effendi, Kepala Kantor Sosial Soemarno HP, Kepala Bidang Kesra H. Ir. Gatot Sudarto, sedang punya gawe menerima rombongan masyarakat Aceh dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang dan dari Daerah Istimewa Aceh yang akan melakukan ziarah ke makam Pocut Meurah Intan di pemakaman Tegal Sari.
Lima buah bus malam dari Jakarta dan Semarang mengangkut sekitar 250 orang yang punya tujuan satu, yaitu melacak makam salah seorang pejuang kemerdekaan asal tanah Rencong — Aceh Pocut Meurah Intan beserta pengikutnya Pang Mahmud yang oleh masyarakat setempat lebih dikenal sebagai "MBAH CUT" dan "MBAH WAKIMUD atau WAKIMUT". Rombongan dari Jakarta tersebut sebelum menuju Blora terlebih dulu singgah di Semarang untuk "berkulanuwun" dengan pemerintah Daerah Jawa Tengah yang dalam hal ini diterima oleh Wakil Gubernur Drs. Soekardjan di Gedung Wanita.
Hadir dalam pertemuan itu antara lain Bupati Boyolali A. Hasbi yang dulu dikenal sebagai momoknya para gali di Yogyakarta. Hadir juga sejumlah masyarakat Aceh di Yogyakarta, Bandung dan Semarang yang tergabung dalam "Ikatan Masyarakat Aceh Semarang" (IMAS). Di Kabupaten Blora sendiri, yang letaknya sekitar 150 km sebelah timur kota Semarang, rombongan disambut oleh Bupati Blora Soemarno SH yang terkenal "grapyak" dengan penuh antusias. Betapa rasa bangga dan haru, Bupati Soemarno menerima rombongan ini diibaratkan sebagai 'ketiban ndaru' (kejatuhan bintang".
Apalagi dalam rombongan ini terselip beberapa orang "bekas gurunya" waktu di Universitas Gajahmada, yaitu Prof. Dr. Ibrahim Alfian, Prof. Dr. Tengku Yacob dan Prof. A. Hasjmy. Memang pada saat seperti sekarang ini, sangat langka da sulit untuk bisa bertemu dengan tokoh-tokoh tersebut secara bersamaan seperti pada kesempatan tersebut.
Di samping tokoh-tokoh pemeirintah Kabupaten Blora, pada kesempatan tersebut rombongan telah berjumpa pula dengan sebagian dari trah Pang Mahmud dan cucu angkat Pahlawan Pocut Meurah Intan. Menurut keterangan Mohammad Yusuf, putra ketiga Pang Mahmud, almarhum Pocut Meurah Intan ketika datang di Blora selain diikuti oleh Pang Mahmud juga membawa seorang putranya Tengku Nurdin. Setelah dewasa tengku Nurdin menikah dengan gadis Blora Rasiah.
Setelah istrinya meninggal Tengku Nurdin kawin lagi dengan Djumirah. Namun dari kedua perkawinannya tersebut Tengku Nurdin tidak punya keturunan, itulah sebabnya ia memungut anak angkat. dari keponakan istri pertama (Rasiah) bernama Rasmin yang kini telah berusia 65 tahun dan berputra 7 orang (6 putra, 1 putri). Rasmin sendiri ternyata adalah pensiunan Matri Polisi di Semarang pada tahun 1976.
Menurut cerita Rasmin, Tengku Nurdin meninggal pada tanggal 20 September 1975 dan dimakamkan di Rembang. Tengku Nurdin sebenarnya juga punya seorang saudara yaitu Tengku Mahmud yang oleh Belanda dibuang ke Ambon yang sampai sekarang belum diketahui kuburannya.
Pada waktu Pocut Meurah Intan meninggal pada tanggal 20 September 1937 dalam usia kurang lebih 140 tahun, Rasmin waktu itu sudah berumur 16 tahun. Sebelum dibuang Belanda ke Blora pada taun 1901, dimana daerah Blora pada waktu itu sebagian besar masih berupa hutan jati yang sangat lebat, Pocut Meurah Intan bersama-sama dengan Cut Nyak Dien, Pang Mahmud dan lain-lain pernah dipenjarakan di Jakarta dan Semarang.
Bercerita mengenai almarhum neneknya Pocut Meurah Intan, menurut Rasmin orangnya memang berwatak keras dan tegas. Keadan fisiknya sangat memprihatinkan. Hampir seluruh tubuhnya terdapat bekas-bekas luka akibat senjata tajam (bayonet) maupun bekas peluru yang ditembakkan tentara Belanda.
Dari kaki, tangan, bahkan sampai ke kepala terdapat bekas sayatan-sayatan yang cukup mengerikan. Beberapa bagian rambut kepalanya hilang akibat bekas tebasar keiewang. Juga di perutnya terdapat bekas luka tembakan yang tembus sampai ke belakang. Namun demikian, dalam keadaan tubuhnya yang sudah "rowang-rawing" (compangcamping) itu, Pocut Meurah Intan yang menurut gambaran anak-cucu Pang Mahmud, pada masa mudanya berwajah cantik, tetap pantang menyerah kepada Belanda. Siksaan-siksaan berat terhadap dirinya ternyata tidak dapat menggoyahkan imannya untuk tetap berdiri tegak membela tanah airnya agar tidak diinjak-injak penjajah Belanda.
loading...
Post a Comment