AMP - Seorang lelaki lajang berumur 30-an, sebut saja namanya Didi, awal kerap ditanya ihwal klasik "kapan kawin" setiap lebaran. Didi selalu punya jawaban untuk pertanyaan itu untuk menunjukkan bahwa ia acuh-tak-acuh, misalnya: "Nanti, kalau Israel dan Palestina bisa hidup damai di dalam satu negara."
Namun, sebenarnya, ia tidak mau menggadaikan keutamaan berpikir dengan kehidupan rumah tangga yang, dalam kata-katanya sendiri, “prosaik.”
Jawaban alternatif lain dari Didi adalah sebaris kalimat yang dia (dan banyak orang lainnya) percaya berasal dari filsuf Yunani, Sokrates: “Apa pun yang terjadi menikahlah. Jika kamu menikahi perempuan yang baik maka hidupmu akan bahagia, tapi jika kamu menikahi perempuan brengsek, setidaknya kau akan jadi filsuf”.
“Dan saya,” sambungnya, “tak perlu pasangan brengsek untuk jadi filsuf.”
Petikan aslinya lebih metaforis. Teks Symposium hanya memacak kalimat “…penunggang kuda yang paling ahli, tak pernah memelihara kuda jinak.”).
Kutipan tersebut bisa berlaku buat laki maupun perempuan untuk menjalani kehidupan paripurna sebagai intelektual: orang-orang yang malang dalam kehidupan pribadinya lebih banyak berpikir—dan kehidupan berpasangan, dalam pelbagai bentuknya, seringkali memang jadi sumber masalah.
Kenyataannya, Sokrates memang menikah dan sebelumnya sudah menjadi filsuf. Xanthippe, istrinya, ia nikahi karena satu alasan: perempuan itu terkenal cerdas, bertemperamen tinggi, jago debat, sehingga kalau ia bisa bersilat lidah dengan Xanthippe, niscaya ia pun bisa adu bacot dengan seantero penduduk Athena.
Tapi, bisakah kemungkinan lain terjadi: menjadi pemikir, intelektual, atau filsuf tanpa perlu "pasangan brengsek" seperti dikatakan Didi?
Sejarah menjawab bisa, dengan nada optimis.
Khazanah intelektual Barat punya daftar panjang pemikir dan ilmuwan yang jadi bujangan seumur hidup: Leonardo da Vinci, Copernicus, Newton, Hume, Descartes, Leibniz, Voltaire, Spinoza, Pascal, Immanuel Kant, Nikolai Tesla, dan banyak lagi.
Sains, etika, pengetahuan modern—dari empirisisme, rasionalisme, hukum gravitasi, prinsip negara hukum, hingga listrik dan komputer—sebagian berasal dari buah pikiran orang-orang yang memilih jalan pedang untuk terus seorang diri sepanjang hayat. Baca selanjutnya
Namun, sebenarnya, ia tidak mau menggadaikan keutamaan berpikir dengan kehidupan rumah tangga yang, dalam kata-katanya sendiri, “prosaik.”
Jawaban alternatif lain dari Didi adalah sebaris kalimat yang dia (dan banyak orang lainnya) percaya berasal dari filsuf Yunani, Sokrates: “Apa pun yang terjadi menikahlah. Jika kamu menikahi perempuan yang baik maka hidupmu akan bahagia, tapi jika kamu menikahi perempuan brengsek, setidaknya kau akan jadi filsuf”.
“Dan saya,” sambungnya, “tak perlu pasangan brengsek untuk jadi filsuf.”
Petikan aslinya lebih metaforis. Teks Symposium hanya memacak kalimat “…penunggang kuda yang paling ahli, tak pernah memelihara kuda jinak.”).
Kutipan tersebut bisa berlaku buat laki maupun perempuan untuk menjalani kehidupan paripurna sebagai intelektual: orang-orang yang malang dalam kehidupan pribadinya lebih banyak berpikir—dan kehidupan berpasangan, dalam pelbagai bentuknya, seringkali memang jadi sumber masalah.
Kenyataannya, Sokrates memang menikah dan sebelumnya sudah menjadi filsuf. Xanthippe, istrinya, ia nikahi karena satu alasan: perempuan itu terkenal cerdas, bertemperamen tinggi, jago debat, sehingga kalau ia bisa bersilat lidah dengan Xanthippe, niscaya ia pun bisa adu bacot dengan seantero penduduk Athena.
Tapi, bisakah kemungkinan lain terjadi: menjadi pemikir, intelektual, atau filsuf tanpa perlu "pasangan brengsek" seperti dikatakan Didi?
Sejarah menjawab bisa, dengan nada optimis.
Khazanah intelektual Barat punya daftar panjang pemikir dan ilmuwan yang jadi bujangan seumur hidup: Leonardo da Vinci, Copernicus, Newton, Hume, Descartes, Leibniz, Voltaire, Spinoza, Pascal, Immanuel Kant, Nikolai Tesla, dan banyak lagi.
Sains, etika, pengetahuan modern—dari empirisisme, rasionalisme, hukum gravitasi, prinsip negara hukum, hingga listrik dan komputer—sebagian berasal dari buah pikiran orang-orang yang memilih jalan pedang untuk terus seorang diri sepanjang hayat. Baca selanjutnya
loading...
Post a Comment