Halloween Costume ideas 2015
loading...

Pocut Meurah Intan Pahlawan Perang Aceh Yang Dilupakan

AMP - Pahlawan-Pahlawan Wanita. Untuk mempertahankan "Kedaulatan Indonesia" yang masih sisa, Rakyat Aceh telah berperang dengan gagah perkasa selama lebih setengah abad melawan tentara kolonial Belanda, sehingga "Sisa Kedaulatan Indonesia" itu tidak pernah diserahkan kepada Belanda, sampaisampai Belanda terusir dari Tanah Aceh pada permulaan tahun 1942. Dalam Perang Aceh yang berlangsung hampir seratus tahun itu, kaum wanita aktif ikut bertempur, bahkan memimpin pertempuran menggantikan Pahlawan Pria yang syahid, baik suaminya maupun bukan. 

Perang Aceh telah menampilkan sejumlah Pahlawan-Pahlawan Wanita Indonesia yang besar, seperti Teungku Fakinah, Cutnyak Dhien, Cut Meutia, Pocut Baren, Tengku Fatimah, Pocut Meurah Intan dan lain-lainnya, yang kalau disebut semuanya deretan namanya akan terlalu panjang. H.C. Zentgraaff, seorang wartawan dan pengarang Belanda terkenal, Pemimpin Redaksi harian De Java Bode, dalam bukunya ATJEH (Aceh) telah menampilkan beberapa bab yang melukiskan kepahlawanan Wanita-Wanita Islam Indonesia dalam "perang kolonial" di Aceh. 

Setelah Zentgraaff menjelaskan bagaimana wanita-wanita bangsa lain di dunia, yang dengan harap-harap cemas menunggu suaminya pulang dari medan perang dan mereka tidak pernah ikut bertempur, maka pengarang Belanda terkenal itu menampilkan wanita-wanita Aceh sebagai berikut: "Hal ini terjadi dalam semua peperangan, di mana pun ia berkecamuk di atas bumi ini. Namun hal ini lebih hebat lagi dirasakan di Aceh, karena di sana para wanitanya sangat dekat dengan ataupun memang berada dalam kancah peperangan. Di sana mereka hidup bersama peperangan; jiwa mereka setiap hari mengikuti suami atau putera pada perjalanan-perjalanan yang mereka kenal keadaannya sampai kepada yang sekecil-kecilnya. 

"Mengenai wanita Aceh dapat diceritakan, bahwa perannya dalam peperangan sampai sekarang pun sukar untuk dinilai dan biasanya aktif sekali. Wanita Aceh gagah berani, adalah penjelma dendam kesumat terhadap kita yang tidak ada taranya serta tak mengenai damai. 

Jika ia turut bertempur, maka tugas itu dilaksanakannya dengan suatu enerji yang tak kenal maut dan biasanya mengalahkan prianya. la adalah pengemban dendam yang membara yang sampai-sampai ke liang kubur atau di hadapan maut pun masih berani meludah ke muka si "kaphe" (= kafir). 

"Rasanya tak ada seorang penulis roman manapun yang sanggup dan berhasil mengungkapkan daya khayalnya yang segila-gilanya seperti yang telah dibuktikan oleh wanita Aceh dalam kenyataannya " Zentgraaff melukiskan bagaimana hangatnya wanita-wanita Aceh menerima bibit bayi dari suaminya di medan perang, dan kemudian melahirkan kesayangannya di arena pertempuran yang dielu-elukan oleh dentuman suara meriam dan gemerincing pedang berlaga. Menulislah wartawan Belanda yang tajam penanya itu. 

Namun dari semua pemimpin perang kita, yang telah bertempur di setiap pojok dan lobang kepulauan Indonesia ini, kita akan mendengar bahwa tidak ada satu bangsa yang begitu bersemangat dan fanatik dalam menghadapi musuh, selain Bangsa Aceh dengan wanita-wanitanya yang jauh lebih unggul daripada semua bangsa lain dalam keberanian menghadapi maut. 

"Bahkan dalam mempertahankan sesuatu pendirian yang merupakan kepentingan nasional dan agama, para wanita, baik di belakang layar maupun secara terang-terangan telah memimpin perlawanan yang tak kalah unggulnya dari kaum pria. 

"la menuju ke tempat tidur pengantin dengan api berahi seorang wanita yang demikian panasnya, tetapi dengan nafsu demikian pula ia menuju medan perang; ia tidak pernah gentar mengikuti suami dan pasukan-pasukannya dalam pertempuran dalam perjalanan-perjalanan mengharungi rimbaraya dengan segala kekurangan dan bahaya yang tak luput dari intaian pasukan-pasukan marsose yang berada di mana-mana. 

"la menerima kandungan dari suaminya dalam peperangan dan di medan pertempuran pula ia melahirkannya, kadang-kadang antara dua buah peperangan dan semua itu selalu penuh dengan ketegangan-ketegangan. Kemudian ia berpindah dengan pasukan suaminya. Kebanyakan berjuang bersama-sama suaminya, kadang-kadang pula di sampingnya atau di hadapannya, dan di tangan yang kecil mungil itu keiewang dan rencong dapat berobah menjadi alat-alat senjata yang amat dahsyat. 

"Wanita Aceh yang berjuang atas dasar "Sabilillah" (Jalan Allah) menampik setiap kompromi; ia tidak akan mengkhianati wataknya sebagai seorang wanita dan hanya mengenai alternatif ini: membunuh atau dibunuh I" Dengan gaya bahasanya yang khas wartawan, H.C. Zentgraaff melukiskan bagaimana agung dan kesatria seorang Isteri Ulama yang tidak rela tubuhnya yang telah luka-luka parah dijamah tangan musuh, sekalipun hanya untuk mengobatinya : "Menurut hernat saya, tak ada satulukisan yang begitu menarik daripada kejadiankejadian dalam peperangan tentang perasaan benei seorang wanita yang tak kenal damai terhadap lawannya, selain kisah tentang tewasnya Isteri Teungku Mayet di Tiro pada tahun 1910. 

"Pada tahun 1909 dimulailah pengejaran terhadap anggota-anggota terakhir Ulama di Tiro yang terkenal di sekitar pegunungan Tangse. "Schmidt telah mengetahui jejak-jejak mereka dan dia mengikutinya seperti seekor anjing buruan. Akhir tahun 1910 hampir-hampir saja dia dapat menangkap pasukan lawan; dia menyerbu ke tempat-tempat ptersembunyian mereka. Teungku Mayet di Tiro dapat meiepaskan dirinya, tetapi isterinya jatuh ke tangan kita dalam keadaan luka parah. "Kêtika pasukan selesai melakukan pembersihan di daerah itu, barulah diketahui kehadiran wanita itu. la berseluar dan berbaju hitam, badannya tegap, berumur kira-kira tigapuluh tahun. la tertidur terlentang dengan luka-luka akibat tembakan di perutnya. Juga dalam penderitaan ini, ia menampakkan wajahnya yang gagah berani. Walau bagaimanapun sakit yang dideritanya, namun ia tidak mengerang dan tanpa bersuara ia menanti akhir hidupnya. 

"Schmidt mendekatinya dengan membawa air minum dan secara sopan dia bertanya dalam bahasa Aceh: apakah ia tidak ingin dibalut luka-lukanya ? - Bek karnat key, kaphee budok (jangan pegang ak, kafir keparat) jawab wanita itu dengan pasti, sambil membuang mukanya. la lebih menyukai maut daripada hidup di tangan seorang kafir; seekor anjing kafir." Tentang Pahlawan Cut Nyak Dhien, Zentgraaff menulis : "Sesudah suaminya, Teuku Umar Johan Pahlawan, syahid, Cutnyak Dhien lebih senang bergerilya di hutan-hutan daripada menyerah kepada musuhnya; ia telah bertahan demikian rupa, walaupun jumlah pengikutnya semakin mengecil. la menjadi tua, matanya buta, namun semua itu tidak menjadi penghalang untuk mematahkan semangatnya. 

la menderita kelaparan di hutan-hutan, sementara patroli marsose pemburunya dari satu ke lain medan gerilya. Pernah terjadi, sampai berminggu-minggu lamanya ia tidak mengecap sesuap nasi, dan harus makan umbut pisang Mar. Lebih kurang enam tahun ia bertahan dan bergerilya dalam keadaan demikian. Pada masa jayanya, ia berdiri di samping sederet nama-nama wanita paling hebat di daerahnya. 

Karena itu, orang dapat membayangkan berapa besar pengorbanan yang f^lah diberikannya untuk kepentingan bangsanya. "Karena sayang melihat penderitaannya, salah seorang pemuka rakyat menjumpai Veltman dengan tawaran akan menunjukkan tempat markas gerilya Cutnyak Dhien; dengan perjanjian agar pahlawan wanita itu dibiarkan hidüp serta diberikan penghormatan " "Veltman menerima tawaran itu sehingga dia dapat mengetahui markas gerilyanya. 

Cutnyak Dhien yang dalam keadaan tidak berdaya lagi, karena matanya telah buta, kurus oleh penderitaan dan kelaparan, menjadi sangat marah karena ia jatuh ke tangah orang-orang "kaphee" ia meraba rencongnya dan menikam orang Aceh yang telah menunjukkan tempat markas gerilyanya " Dengan keindahan bahsa sastrawan, Zentgraaff melukiskan kehebatan seorang Pahlawan Wanita yang lain, yaitu Isteri Teungku di Barat, seorang Ulama Pahlawan, Zentgraaff mengagumi wanita itu dengan tulisannya : "Dan adakah peristiwa yang lebih gemilang dengan irama yang hanya dapat dinyanyikan seorang ahli syair kenamaan, daripada kematian Isteri Teungku di Barat, salah seorang Ulama terkenal di sebeiah Timur Laut Aceh ? la diburu-buru bersama pasukan suaminya, hingga terpojok ke suatu tempat yang berbahaya sekali, yang rahasianya hanya diketahui oleh marsosemarsose waktu itu. 

Tibalah babak terakhir cerita sedih ini: Teungku dan Isterinya serta beberapa perajuritnya terjepit di antara gunung-gunung. "Dalam sekejap mata saja semua mereka itu telah siap sedia bertempur menghadapi segala kemungkinannya, sementara wanita itu berdiri di samping suaminya; sebutir peluru mengenai lengan kanan Teungku, tetapi dia menyerahkan karabennya kepada isterinya yang kini berdiri di mukanya sebagai pelindung dan sekaligus juga sebagai korban dengan pengabdian keagungan yang tiada bertara. "Demikianlah, ia berdiri di depan suaminya. 

Sebuah peluru yang bertuliskan "maut" menembusi tubuh wanita itu, kemudian tubuh suaminya. Kedua-duanya roboh dan tak berapa lama setelah suaminya, gugur pula pahlawan wanita itu. 

Kedua mereka itu menempuh syahid, suatu akhir yang telah membawa mereka ke dunia kebahagiaan yang sukar untuk dinilai "Wanita-wanita semacam ini ratusan jumlahnya, mungkin ribuan, dan keberanian mereka turut menimbulkan keagungan pada pasukan kita " Pemberontakan dan perlawanan yang terus menerus terjadi di Tanah Aceh sampai-sampai ke tahun tigapuluhan dan empatpuluhan, selalu juga dijiwai dan didorong oleh kaum wanita. Zentgraaff dengan ketajaman mata wartawannya dapat melihat kenyataan tersebut, seperti yang ditulisnya : "Wanita Aceh tidak pernah merasa gusar dalam mempertaruhkan seluruh pribadinya untuk mempertahankan sesuatu yang dipandangnya kepentingan nasional dan agama. Perwiraperwira kita yang camping pun mempercakapkannya dengan perasaan kagum dan hormat. 

"Perlu diingat, batiwa sifat mereka itu belum lagi berobah: mereka sanggup besok memperlihatkan kegagahannya serupa, yang menjadi kenangan-kenangan para pemimpin pasukan kita pada masa-masa yang silam. "Beberapa tahun yang lalu, tahun 1933, seorang dari tigabelas orang pria yang memberontak di daerah Lhong (Aceh Besar datang melapor kepada Kepala Kampungnya (Keuchik). 

Karena dia menyerah, maka isterinya tidak sudi kelihatannya lagi dan dia dipencilkan dari masyarakat kampungnya, sehingga terpaksalah pria itu hidup menyendiri dalam sebuah gubuk di ladangnya. 

Ketika ditanyakan seorang kolonel dan pejabat Pemerintah Belanda kepada isterinya, sang isteri meludah di tanah, dan dengan perasaan geram ia berkata : "Suamiku? Aku tak punya suami!" Dan waktu disebut nama suaminya itu, ia berkata: "Itu bukan laki-laki " Pocut Meurah Intan termasuk dalam leretan nama ribuan Pahlawan Wanita Indonesia di Tanah Aceh, yang telah bertempur selama puluhan tahun berkecamuknya "Perang Mempertahankan Kemerdekaan dan Kedaulatan" di ujung paling barat Tanah Air Indonesia.

Dikutip Dari Buku karya: H. AMRAN ZAMZANY S.E.(PERSATUAN EX TP RESIMEN II ACEH DIVISI SUMATERA. Ketua Umum)  
loading...

Post a Comment

loading...

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget