Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), seorang ulama dan sastrawan | Foto: gambar bebas Google Picture |
| Oleh Ridwan Hd. |
Nakalnya sudah terkenal di seluruh kampung Padang Panjang, Sumatera Barat. Adalah Malik nama anak Syeik Abdul Karim Amrullah yang nakal itu. Sampai-sampai ayahnya Malik berkali-kali berkata tentang dirinya, �ketika kecil ayah sudah alim�, sehingga kepada Malik bertanya,�Mengapa engkau belum alim?� Dalam hati Malik malah bertanya, �Apakah ayahnya dahulu tidak pernah bermain?�
Malik atau nama kecil dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) lahir dari ayah seorang ulama besar dan berpengaruh di Sumatera Barat yang akrab dipanggil Haji Rasul. Dalam otobiografinya di Kenang-kenangan Hidup jilid 1, Hamka bercerita bahwa sering kali ayahnya tak segan memukul dengan tongkat karena kenakalannya. �Nakalnya bukan buatan, membuat pusing orang kampung.� pengakuannya.
Haji Rasul pernah sangat berang ketika Malik ketahuan menipu anak-anak kampung dengan menjadi menteri cacar. Awalnya Malik melihat mentri cacar sedang mencacar anak-anak. Disuruh engkunya membuatkan kaca mata dari daun pandan untuk meniru mentri cacar yang berkaca mata. Lalu ia mengumpulkan anak-anak kira-kira sepuluh orang. Dikatakannya kepada mereka bahwa ia adalah mentri cacar dan ingin mencacar. �Heran, semuanya patuh saja menuruti perintah.� kata Hamka. Kemudian ditorehnya anak-anak itu dengan duri jeruk limau. Ada yang menangis kepedihan dan ada yang berdarah.
Keesok hari, Malik di ajak ibunya ke Surau dengan baju baru pemberian ayahnya. Baru saja sampai di atas Surau, mata ayahnya sudah berapi-api karena sudah mengetahui ulah si anak. Diambilah tongkat besar lalu meminta Malik menjulurkan kakinya untuk dipukul. Malik bersimpuh minta ampun. Tetapi ayahnya tetap ingin memukul. Malik terus bersimpuh minta ampun. Untungnya, ada dua orang lain yang ada di Surau itu menyaksikan dan menahan amarah ayah. �Dia sudah minta ampun, engku! Dia sudah minta ampun.� kata mereka. Pukulan tak jadi diterima Malik berkat kedua orang itu. �itulah, jangan nakal juga. Mujur ada orang yang memisahkan tadi, kalau tidak tentu hancur badanmu dipukul ayahmu.� ucap ibunya setelah disuruh pulang.
Malik kecil hanya senang bermain. Di suruh mengaji sulit sekali. Ketika umurnya memasuki 6 tahun, ia disuruh ayah belajar mengaji dengan kakaknya, Fatimah. Cara mengajar kakaknya tidak disukai Malik. Kalau Malik tidak bisa membaca seperti yang diajarkan kakaknya selalu mendapat cubitan. Cara mengajar sang kakak membuatnya kesulitan meyelesaikan bacaan mengaji Juzz Amma. Sudah tiga bulan tak rampung-rampung. �Untunglah ada satu penolong yang datang dengan tiba-tiba.� cerita Hamka.
Mengajinya mulai lancar ketika ada seorang anak perempuan bernama Chamsinah. Anak perempuan itu ikut mengaji bersama Malik tanpa ada cubitan. Semangat mengaji timbul kalau bisa mengaji berdua dengan Chamsinah. Kalau biasanya habis magrib berpetualang dahulu keliling kampung Padang Panjang, setelah adanya anak perempuan itu pikirannya hanya pergi mengaji hingga berhasil khatam.
Pada umur 7 tahun, Malik di masukan ke sekolah desa. Setahun kemudian berdiri sekolah diniyah di Padang Panjang yang pelaksanaan belajarnya sore hari. Malik juga dimasukan ke sekolah diniyah itu sore harinya untuk belajar bahasa arab. �Dalam usianya diantara 7 dengan 10 tahun, tidak ada lagi satu kampung keliling Padang Panjang yang tidak mengenal anak nakal itu.�
Ia selalu pergi ke sekolah pagi sekali, agar menyempatkan bermain. Selesai sekolah pukul 10, kembali bermain; bergelut, bertinju, cari-carian, banting-bantingan, hingga jelang sore. Selelesai sekolah Diniyah sore, sekitar pukul 5, kembali lagi bermain di jalanan sambil mengganggu anak-anak perempuan. Tuduhan sering diterima, �Si Malik nakal!�, �Si Malik jahat!�.
Senakal-anaklnya Malik, ia juga bisa berbuat baik. Orang buta yang sedang meminta-minta di sebuah pasar di Padang Panjang pernah mengetuk hati Malik. Ia mencoba membantu si buta itu dengan membimbing jalan atau ikut mencarikan uang sedekah. Ketika si buta mau memberinya bagian, Malik tak mau menerima. Ia senang sekali seharian bisa membantunya. Hingga suatu saat, ia kepergok sang ibu. Rasa malu si ibu melihat Malik memaksanya pulang. �Perbuatannya itu, memberi malu ayahnya.� ucap ibunya. Ia heran, padahal ayahnya sendiri dalam setiap pengajian disuruh membantu fakir miskin. Berat benar perasaan Malik meninggalkan si buta.
Pernah juga ketika terjadi pembagian beras saat masa sulit bahan pokok, ia melihat perempuan yang lemah tidak kuat berdesak-desakan. Di dekatinya perempuan itu, dan diminta surat pengambilan beras agar Malik saja yang mengambilkan. Belum selesai mendapatkan beras, ia ketahuan murid Ayahnya. Malik di suruh pulang. Tetapi ia tak mau sebelum selesai membantu perempuan ini. Sampai di rumah, ia kena marah. Perbuatannya dikatakan memberi malu ayahnya.
�Lantaran itu dan beberapa sebab yang lain, dia lebih suka banyak jalan. Bermain jauh-jauh, mengelak dari rumah. Banyak benar peraturan di rumah yang berlawanan dengan hatinya. Dia hendak berbuat baik menolong orang. Membela, tetapi di rumah dilarang. Rupanya ada beberapa fatwa yang diberikan ayahnya, tetapi dia sendiri tidak boleh melakukan.� cerita Hamka dengan menarik.
Setelah bulan puasa pada 1918 atau bertepatan umur 10 tahun, ayahnya baru pulang dari Jawa. Madrasah Sumatera Thawalib yang didirikan ayahnya mengalami perubahan sistem pendidikan, yaitu berubah menjadi sistem kelas seperti sekolah modern pada umumnya. Malik yang sebelumnya sudah masuk kelas 3 Sekolah Desa di suruh berhenti dan dimasukan ayahnya ke Sumatera Thawalib agar bisa fokus belajar agama. Sejak lahir, Haji Rasul memang berharap Malik dapat melanjutkan kiprahnya sebagai seorang ulama. Berbagai upaya ia lakukan agar Malik mendapat mendidikan agama yang baik.
Di Madrasah Sumatera Thawalib, Malik harus menghafal Matan Taqrib (Nahwu). Beberapa kaidah tentang nahwu dan sharaf mesti hafal. Malik yang baru 10 tahun harus duduk bersela di atas lantai, menghadap guru, mendengarkan penyampaian materi tentang kedudukan baris tiap-tiap kalimat, mengapa jadi baris atas (nasab), atau di depan (rafa�), atau baris bawah (djar) dan mati (djazam). Hafalan-hafalan itu sangat memusingkannya. Ketika berhadapan dengan guru yang agak keras, hampir semua pelajaran yang diberikan tidak ada yang masuk. Disuruhnya juga menghafal hadist empat puluh (Arba�in An Nawawiyah). Bagi yang tidak hafal di hukum berdiri lama-lama. Malik adalah anak yang selalu berdiri jika masuk pelajaran hafalan hadist.
Satu materi yang menarik hatinya adalah pelajaran Arudh, yaitu timbangan syair Arab. Syair-syair dalam pelajaran itu dengan mudah dihafalnya. Berbeda dengan pelajaran lain yang lebih banyak mengantuk. Kalau pun matanya melihat kitab, pikirannya jauh di tempat lain. Setiap selesai pelajaran langsung diletakkan kitab-kitab yang berat itu, �berat diangkat dan berat dipelajari.� Di letakkan di atas rak, dan tidak dipegang lagi. Ditengoknya pun tidak sampai hari berikutnya. Ia langsung berlari ke Pasar Usang untuk menonton film di bioskop, main layang-layang, menonton adu sapi, atau sepak bola. �Tidak ada waktu untuk menghafal. Main! Main yang perlu.� kata Hamka.
Bersambung ke MengenalHAMKA (Bagian 2): Pengembara Mencari Diri
loading...
Post a Comment