AMP - Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia Kemenkumham Mualimin Abdi mengatakan pihaknya belum melakukan kajian terkait kemungkinan terjadinya pelanggaran HAM di Asrama Mahasiswa Papua, Yogyakarta, pada Jumat (15/7).
Di tempat itu, kepolisian diduga melakukan pengepungan dan kekerasan terhadap warga Papua yang bergabung dalam Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Papua Barat (PRPPB), yang berencana mengadakan long march dengan rute Asrama Mahasiswa Papua Kamasan I (Jalan Kusumanegara), Yogyakarta sampai titik nol kilometer.
"Nanti akan kami pikirkan (kajiannya)," ujar Mualimin ketika ditemui di Kantor Kemenkumham, Jakarta, Senin (18/7/2016).
Mahasiswa asal Papua masih cemas pasca-pengepungan yang dilakukan ratusan polisi di Asrama Papua Kamasan I, Jalan Kusumanegara, Yogyakarta, kemarin. Ruangan bagian depan asrama kosong, Ahad, 17 Juli 2016. Tak ada kursi yang ditempatkan di sana. Mahasiswa asrama biasanya menggelar ibadah Minggu di ruangan ini. “Kami biasanya ibadah di asrama. Tapi hari ini tidak ada ibadah karena khawatir terhadap aparat,” kata juru bicara Persatuan Rakyat Pembebasan Papua Barat, Roy Karoba, kepada Tempo. Patung Bunda Maria terlihat di halaman asrama. Ibadah misa yang biasanya dilakukan sekitar pukul 09.00 kali ini ditiadakan. Ahad pagi, satu mobil polisi masih patroli di sekitar asrama. Polisi juga sempat memarkir mobilnya di depan asrama. Seorang mahasiswa asal Papua lainnya yang ada di asrama menuturkan ada orang yang meneriakkan umpatan nama binatang dari luar asrama pada Ahad subuh. Karena masih cemas, mahasiswa Papua memutuskan untuk tidak mendatangi asrama. Dari 40 mahasiswa yang tinggal di asrama, hanya lima orang yang bertahan di tempat tersebut.
Dia bahkan mengaku belum membaca apapun mengenai kejadian di Yogyakarta itu.
"Belum, saya belum baca," kata Mualimin sambil berlalu.
Dugaan tindak kekerasan itu salah satunya disebutkan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta yang turut mengecam aksi pihak keamanan tersebut.
Peristiwa itu sendiri dimulai dari rencana warga Papua untuk berunjuk rasa memberikan dukungan kepada United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) agar menjadi anggota penuh Melanesia Spearhead Group (MSG) dan memperjuangkan hak menentukan nasib sendiri kepada warga Papua Barat.
Namun, menurut LBH, Kepolisian Daerah Yogyakarta menganggapi rencana itu dengan mengepung asrama agar "long march" urung dilaksanakan.
Selain melakukan pengepungan, lanjut LBH, polisi juga menyemprotkan gas air mata, menyita beberapa sepeda motor, melakukan penangkapan sewenang-wenang dan melakukan pemukulan terhadap warga Papua di asrama mahasiswa tersebut.
Hal itu diperparah dengan pembiaran aparat keamanan terhadap tindakan main hukum sendiri oleh kelompok tertentu yang dalam peristiwa itu mengumbar kalimat kebencian ("hate speech") dan cenderung rasialis.
"Tindakan kepolisian justru meruntuhkan bangunan NKRI yang adalah negara hukum dan demokrasi yang menjunjung tinggi HAM," ujar pengacara LBH Veronica Koman.
Untuk itu, LBH meminta pemerintah segera mengambil tindakan yang tegas bagi para pelaku yang diduga melakukan tindak kekerasan terhadap warga Papua di Yogyakarta.
Sebab, Indonesia adalah negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) yang tertuang dan dijamin oleh konstitusi, serta dituangkan dalam UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyatakan Pendapat di Muka Umum.
Lontaran nama-nama hewan dan kata-kata rasialis terdengar menggelegar di siang bolong. Teriakan-teriakan tersebut berasal dari anggota organisasi masyarakat yang mengepung Asrama Mahasiswa Papua Kamasan I di Jalan Kusumanegara, Yogyakarta, Jumat (15/7). Ada empat ormas yang mendatangi Asrama Mahasiswa Papua, yakni Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan TNI/Polri Indonesia, Pemuda Pancasila, Paksi Katon, dan Laskar Jogja. Total jumlah mereka sekitar 100 orang lebih. Mendengar deretan nama binatang dan ucapan rasialis dihamburkan, para mahasiswa Papua yang berada dalam asrama sontak kaget. Salah satu dari mereka berujar, “Sungguh, mereka katakan, teriakkan itu di depan saya punya mata dan telinga, kepada kami –mahasiswa Papua, masyarakat Papua.”
Ia gusar sekaligus sakit hati. Menurut para mahasiswa Papua itu, aparat Kepolisian yang berjaga di sekeliling asrama mendiamkan saja perilaku rasis tersebut. Ketika itu jumlah polisi tak kalah banyak. Salah seorang warga Yogya, Kindarto Boti, mengatakan Kepolisian mengerahkan pasukan sekitar tiga sampai empat truk. Warga lainnya berkata, para polisi datang bersenjata lengkap, bak hendak menangkap teroris. Tak cuma para polisi yang bersenjata, tapi juga anggota ormas yang mendatangi Asrama Mahasiswa Papua.
“Mereka membawa kayu, linggis, dan benda-benda tajam lain,” kata seorang mahasiswa Papua di Yogya yang meminta namanya tak disebut dengan alasan keamanan, kepada CNNIndonesia.com, Sabtu (16/7). Ucapan rasialis diterima para mahasiswa Papua di Yogya sejak Kamis (14/7), melalui pesan singkat atau SMS yang dikirimkan kepada rekan mereka yang menjadi narahubung Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Papua Barat (PRPPB).
LBH pun mendesak pemerintah dan aparat penegak hukum menegakkan jaminan kebebasan berkumpul, berserikat, berekspresi dan menyampaikan pendapat sesuai UUD 1945, tanpa terkecuali.[Konfron]
Di tempat itu, kepolisian diduga melakukan pengepungan dan kekerasan terhadap warga Papua yang bergabung dalam Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Papua Barat (PRPPB), yang berencana mengadakan long march dengan rute Asrama Mahasiswa Papua Kamasan I (Jalan Kusumanegara), Yogyakarta sampai titik nol kilometer.
"Nanti akan kami pikirkan (kajiannya)," ujar Mualimin ketika ditemui di Kantor Kemenkumham, Jakarta, Senin (18/7/2016).
Mahasiswa asal Papua masih cemas pasca-pengepungan yang dilakukan ratusan polisi di Asrama Papua Kamasan I, Jalan Kusumanegara, Yogyakarta, kemarin. Ruangan bagian depan asrama kosong, Ahad, 17 Juli 2016. Tak ada kursi yang ditempatkan di sana. Mahasiswa asrama biasanya menggelar ibadah Minggu di ruangan ini. “Kami biasanya ibadah di asrama. Tapi hari ini tidak ada ibadah karena khawatir terhadap aparat,” kata juru bicara Persatuan Rakyat Pembebasan Papua Barat, Roy Karoba, kepada Tempo. Patung Bunda Maria terlihat di halaman asrama. Ibadah misa yang biasanya dilakukan sekitar pukul 09.00 kali ini ditiadakan. Ahad pagi, satu mobil polisi masih patroli di sekitar asrama. Polisi juga sempat memarkir mobilnya di depan asrama. Seorang mahasiswa asal Papua lainnya yang ada di asrama menuturkan ada orang yang meneriakkan umpatan nama binatang dari luar asrama pada Ahad subuh. Karena masih cemas, mahasiswa Papua memutuskan untuk tidak mendatangi asrama. Dari 40 mahasiswa yang tinggal di asrama, hanya lima orang yang bertahan di tempat tersebut.
Dia bahkan mengaku belum membaca apapun mengenai kejadian di Yogyakarta itu.
"Belum, saya belum baca," kata Mualimin sambil berlalu.
Dugaan tindak kekerasan itu salah satunya disebutkan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta yang turut mengecam aksi pihak keamanan tersebut.
Peristiwa itu sendiri dimulai dari rencana warga Papua untuk berunjuk rasa memberikan dukungan kepada United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) agar menjadi anggota penuh Melanesia Spearhead Group (MSG) dan memperjuangkan hak menentukan nasib sendiri kepada warga Papua Barat.
Namun, menurut LBH, Kepolisian Daerah Yogyakarta menganggapi rencana itu dengan mengepung asrama agar "long march" urung dilaksanakan.
Selain melakukan pengepungan, lanjut LBH, polisi juga menyemprotkan gas air mata, menyita beberapa sepeda motor, melakukan penangkapan sewenang-wenang dan melakukan pemukulan terhadap warga Papua di asrama mahasiswa tersebut.
Hal itu diperparah dengan pembiaran aparat keamanan terhadap tindakan main hukum sendiri oleh kelompok tertentu yang dalam peristiwa itu mengumbar kalimat kebencian ("hate speech") dan cenderung rasialis.
"Tindakan kepolisian justru meruntuhkan bangunan NKRI yang adalah negara hukum dan demokrasi yang menjunjung tinggi HAM," ujar pengacara LBH Veronica Koman.
Untuk itu, LBH meminta pemerintah segera mengambil tindakan yang tegas bagi para pelaku yang diduga melakukan tindak kekerasan terhadap warga Papua di Yogyakarta.
Sebab, Indonesia adalah negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) yang tertuang dan dijamin oleh konstitusi, serta dituangkan dalam UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyatakan Pendapat di Muka Umum.
Lontaran nama-nama hewan dan kata-kata rasialis terdengar menggelegar di siang bolong. Teriakan-teriakan tersebut berasal dari anggota organisasi masyarakat yang mengepung Asrama Mahasiswa Papua Kamasan I di Jalan Kusumanegara, Yogyakarta, Jumat (15/7). Ada empat ormas yang mendatangi Asrama Mahasiswa Papua, yakni Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan TNI/Polri Indonesia, Pemuda Pancasila, Paksi Katon, dan Laskar Jogja. Total jumlah mereka sekitar 100 orang lebih. Mendengar deretan nama binatang dan ucapan rasialis dihamburkan, para mahasiswa Papua yang berada dalam asrama sontak kaget. Salah satu dari mereka berujar, “Sungguh, mereka katakan, teriakkan itu di depan saya punya mata dan telinga, kepada kami –mahasiswa Papua, masyarakat Papua.”
Ia gusar sekaligus sakit hati. Menurut para mahasiswa Papua itu, aparat Kepolisian yang berjaga di sekeliling asrama mendiamkan saja perilaku rasis tersebut. Ketika itu jumlah polisi tak kalah banyak. Salah seorang warga Yogya, Kindarto Boti, mengatakan Kepolisian mengerahkan pasukan sekitar tiga sampai empat truk. Warga lainnya berkata, para polisi datang bersenjata lengkap, bak hendak menangkap teroris. Tak cuma para polisi yang bersenjata, tapi juga anggota ormas yang mendatangi Asrama Mahasiswa Papua.
“Mereka membawa kayu, linggis, dan benda-benda tajam lain,” kata seorang mahasiswa Papua di Yogya yang meminta namanya tak disebut dengan alasan keamanan, kepada CNNIndonesia.com, Sabtu (16/7). Ucapan rasialis diterima para mahasiswa Papua di Yogya sejak Kamis (14/7), melalui pesan singkat atau SMS yang dikirimkan kepada rekan mereka yang menjadi narahubung Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Papua Barat (PRPPB).
LBH pun mendesak pemerintah dan aparat penegak hukum menegakkan jaminan kebebasan berkumpul, berserikat, berekspresi dan menyampaikan pendapat sesuai UUD 1945, tanpa terkecuali.[Konfron]
loading...
Post a Comment