AMP - Ia dikenal dengan sebutan ‘Teungku Dalem Panyang’ dan ada yang menyebutnya ‘Mualem Panyang’. Namanya adalah Sulaiman. Sekitar tahun 1999, sesekali kami melihatnya melintas di Paloh dayah, lalu menghilang. Ia selalu naik di dudukan belakang sepeda motor. Itu biasa. Yang tidak biasa adalah bersamanya ada kain sarung yang membungkus sebuah barang langka, saat itu. Senapan api penggempur, M 16. Itu luar biasa.
Ia bukan orang Paloh Dayah, tetapi orang Paloh Punti. Paloh Dayah dan Paloh Punti bertetangga. Ianya di bagian barat daya dan selatan Paloh Dayah. Tempat tinggal Muallm Panyang ini di selatan Paloh Dayah, selang beberapa bukit dari perbatasan.
Dalam waktu singkat, ia mulai terkenal, bukan karena terpilih menjadi bupati atau gubernur, tetapi karena ada suara baru yang sesekali terdengar karena dia. Suara M 16 memuntahkan peluru secara bertubi-tubi dengan sekali tarik pemicu (otomatis). Ada 32 butir peluru di dalam setiap magazine. Jika pengamannya dibuka dan digeser kepada banyak peluru, maka ketika pemicunya ditekan, sekalian peluru keluar secara bertubi-tubi, kalau tidak dilepaskan, maka dalam beberapa detik, ke 32 peluru itu keluar sampai habis.
Itulah yang dilakukan oleh Mualem Panyang. Saat itu ia masih melakukannya sendiri, belum ada banyak senjata dan belum ada tentara-tentara GAM (Gerakan Aceh Merdeka) sebagaimana yang dikenal orang setelahnya. Memang ada, tetapi tidak sepertinya. Hampir setiap hari kami mendengar suara letusan-letusan bedil itu. Di simpang line pipa, Blang Kumbang, di Blang Panyang, Trieng Kuneng, dan lainnya. Semua dilakukan oleh orang yang sama bersama pendukungnya. Awalnya menakutkan, tetapi kemudian menjadi hal biasa.
Saat itu, orang-orang Aceh yang mendapatkan cara pikir GAM dan baru pulang (sebagian dipulangkan –red) dari Malaysia, sering mengadakan ceramah-ceramah di kampung-kampung. Maka sekalian orang seperti tersihir dengan ucapan itu. Tukang ceramah datang dengan beberapa orang yang memakai baju jaket tebal dan besar.
Sekalian orang diyakinkan bahwa di balik jaket itu adalah bedil-bedil untuk berjaga-jaga jika ada pasukan TNI yang datang menyerang. Tidak ada seorang pun yang benar-benar melihat bahwa ada bedil di dalam jaket itu, seperti di dalam kain sarung Sulaiman.
Waktu berjalan. Pada 1999, para pemuda yang telah dipengaruhi oleh ceramah-ceramah tersebut, beramai-ramai ikut latihan 'tentara.' Sebelumnya di pegunungan selatan Aceh Utara, telah dilatih sebuah kafilah khusus untuk menjadi pelatih orang-orang ini. Maka muncullah para ‘tentara’ baru. Saat itu lagu terkenal yang mereka nyanyikan saat berbaris dan berlari di jalan sepi kampung-kampung adalah ‘Ana Lusyen’.
Ana lusyen, lusyen 'Arabi. 'Arabi Sumatra. Sumatrani. Sumatra merdeka.
Lagu yang diciptakan di gurun padang pasir Libya.
Satu lagu lagi, berjudul ‘Aceh Beuhe Lam Prang’
Aceh beuhe lam prang, dara dengon agam, musoh kabeh geucang, … (dan seterusnya).
Begitulah, dalam kabupaten Aceh Utara saja, ada seribuan orang yang menjalani latihan pada tahap itu. Dan terus bertambah pada tahap selanjutnya. Sebagian dari mereka ikut membantu orang-orang seperti Sulaiman. Anehnya, sekalian orang-orang yang telah dilatih itu sebagian besar bercerai berai kembali karena tidak ada yang harus dilakukan. Mereka ingin berperang, tetapi senjata tidak ada.
Kembali pada Sulaiman. Beberapa orang yang telah dilatih dan ada yang tidak berlatih gaya ketentaraan, bergabung dengan Sulaiman, saat itu bedil sudah bertambah. Pelontar granat, SP, dan sebagainya sudah ada. Pemasukan peluru lancar. Maka sekalian penduduk bukan lagi mendengar tembakan M 16, sudah ada suara lain, termasuk granat. Sesekali suara-suara itu berbalasan, bukan lagi dari satu pihak. Pasukan keamanan RI sudah ditambah oleh Jakarta.
Sebagian besar pasukan keamanan RI yang bertugas di seputaran Lhokseumawe dan bagian barat Aceh Utara telah mengenal dengan baik, apakah penyerangan terhadap mereka dilakukan oleh Sulaiman dan anggotanya atau bukan. Sulaiman membuat sebuah irama khusus tentang keberadaan dirinya. Ia menjadi kafilah penyerang dari GAM yang paling ditakuti. Ia dapat nama baru, 'Rambo Aceh'.
Peperangan seperti itu bukan terjadi di sekitar mukim Paloh saja, di banyak tempat, bukan di Aceh Utara dan Lhokseumawe saja, di tempat lain juga semakin banyak. Perang tidak terkendali lagi, dan tidak ada seorang pun saat itu dapat menduga bagaimana akhirnya. Sulaiman sudah banyak anggota, senjata di bawah pimpinannya termasuk yang terbanyak di wilayah Samudera Pase (Aceh Utara dan Lhokseumawe –red). Setiap anggotanya mendapat didikan baik sehingga mampu memimpin pertempuran secara sendiri dan menjadi tokoh di kemudian hari.
Pada pengepungan ke sekian kali di Paya Cot Trieng, Mukim Paloh Timu, Lhokseumawe, dan kali itu menjadi pengepungan terbesar oleh sebuah negara besar terhadap pasukan gerilya dalam sejarah dunia yang terjadi pada awal abad XXI. Pengepungan Paya Cot Trieng, tahun 2002. Helikopter, tank, truk, dan sekalian jenis senjata dibawa. Dan, saat itulah, Sulaiman meninggal dunia terkena tembakan dari sebuah helikopter.
(Sementara kita cukupkan di sini, lain kali kita sambung ini sejarah.)
Ia bukan orang Paloh Dayah, tetapi orang Paloh Punti. Paloh Dayah dan Paloh Punti bertetangga. Ianya di bagian barat daya dan selatan Paloh Dayah. Tempat tinggal Muallm Panyang ini di selatan Paloh Dayah, selang beberapa bukit dari perbatasan.
Dalam waktu singkat, ia mulai terkenal, bukan karena terpilih menjadi bupati atau gubernur, tetapi karena ada suara baru yang sesekali terdengar karena dia. Suara M 16 memuntahkan peluru secara bertubi-tubi dengan sekali tarik pemicu (otomatis). Ada 32 butir peluru di dalam setiap magazine. Jika pengamannya dibuka dan digeser kepada banyak peluru, maka ketika pemicunya ditekan, sekalian peluru keluar secara bertubi-tubi, kalau tidak dilepaskan, maka dalam beberapa detik, ke 32 peluru itu keluar sampai habis.
Itulah yang dilakukan oleh Mualem Panyang. Saat itu ia masih melakukannya sendiri, belum ada banyak senjata dan belum ada tentara-tentara GAM (Gerakan Aceh Merdeka) sebagaimana yang dikenal orang setelahnya. Memang ada, tetapi tidak sepertinya. Hampir setiap hari kami mendengar suara letusan-letusan bedil itu. Di simpang line pipa, Blang Kumbang, di Blang Panyang, Trieng Kuneng, dan lainnya. Semua dilakukan oleh orang yang sama bersama pendukungnya. Awalnya menakutkan, tetapi kemudian menjadi hal biasa.
Saat itu, orang-orang Aceh yang mendapatkan cara pikir GAM dan baru pulang (sebagian dipulangkan –red) dari Malaysia, sering mengadakan ceramah-ceramah di kampung-kampung. Maka sekalian orang seperti tersihir dengan ucapan itu. Tukang ceramah datang dengan beberapa orang yang memakai baju jaket tebal dan besar.
Sekalian orang diyakinkan bahwa di balik jaket itu adalah bedil-bedil untuk berjaga-jaga jika ada pasukan TNI yang datang menyerang. Tidak ada seorang pun yang benar-benar melihat bahwa ada bedil di dalam jaket itu, seperti di dalam kain sarung Sulaiman.
Waktu berjalan. Pada 1999, para pemuda yang telah dipengaruhi oleh ceramah-ceramah tersebut, beramai-ramai ikut latihan 'tentara.' Sebelumnya di pegunungan selatan Aceh Utara, telah dilatih sebuah kafilah khusus untuk menjadi pelatih orang-orang ini. Maka muncullah para ‘tentara’ baru. Saat itu lagu terkenal yang mereka nyanyikan saat berbaris dan berlari di jalan sepi kampung-kampung adalah ‘Ana Lusyen’.
Ana lusyen, lusyen 'Arabi. 'Arabi Sumatra. Sumatrani. Sumatra merdeka.
Lagu yang diciptakan di gurun padang pasir Libya.
Satu lagu lagi, berjudul ‘Aceh Beuhe Lam Prang’
Aceh beuhe lam prang, dara dengon agam, musoh kabeh geucang, … (dan seterusnya).
Begitulah, dalam kabupaten Aceh Utara saja, ada seribuan orang yang menjalani latihan pada tahap itu. Dan terus bertambah pada tahap selanjutnya. Sebagian dari mereka ikut membantu orang-orang seperti Sulaiman. Anehnya, sekalian orang-orang yang telah dilatih itu sebagian besar bercerai berai kembali karena tidak ada yang harus dilakukan. Mereka ingin berperang, tetapi senjata tidak ada.
Kembali pada Sulaiman. Beberapa orang yang telah dilatih dan ada yang tidak berlatih gaya ketentaraan, bergabung dengan Sulaiman, saat itu bedil sudah bertambah. Pelontar granat, SP, dan sebagainya sudah ada. Pemasukan peluru lancar. Maka sekalian penduduk bukan lagi mendengar tembakan M 16, sudah ada suara lain, termasuk granat. Sesekali suara-suara itu berbalasan, bukan lagi dari satu pihak. Pasukan keamanan RI sudah ditambah oleh Jakarta.
Sebagian besar pasukan keamanan RI yang bertugas di seputaran Lhokseumawe dan bagian barat Aceh Utara telah mengenal dengan baik, apakah penyerangan terhadap mereka dilakukan oleh Sulaiman dan anggotanya atau bukan. Sulaiman membuat sebuah irama khusus tentang keberadaan dirinya. Ia menjadi kafilah penyerang dari GAM yang paling ditakuti. Ia dapat nama baru, 'Rambo Aceh'.
Peperangan seperti itu bukan terjadi di sekitar mukim Paloh saja, di banyak tempat, bukan di Aceh Utara dan Lhokseumawe saja, di tempat lain juga semakin banyak. Perang tidak terkendali lagi, dan tidak ada seorang pun saat itu dapat menduga bagaimana akhirnya. Sulaiman sudah banyak anggota, senjata di bawah pimpinannya termasuk yang terbanyak di wilayah Samudera Pase (Aceh Utara dan Lhokseumawe –red). Setiap anggotanya mendapat didikan baik sehingga mampu memimpin pertempuran secara sendiri dan menjadi tokoh di kemudian hari.
Pada pengepungan ke sekian kali di Paya Cot Trieng, Mukim Paloh Timu, Lhokseumawe, dan kali itu menjadi pengepungan terbesar oleh sebuah negara besar terhadap pasukan gerilya dalam sejarah dunia yang terjadi pada awal abad XXI. Pengepungan Paya Cot Trieng, tahun 2002. Helikopter, tank, truk, dan sekalian jenis senjata dibawa. Dan, saat itulah, Sulaiman meninggal dunia terkena tembakan dari sebuah helikopter.
(Sementara kita cukupkan di sini, lain kali kita sambung ini sejarah.)
Sumber: peradabandunia.com
loading...
Post a Comment