PROPAGANDA pecah belah untuk Aceh yang dilakukan oleh tangan-tangan tidak terlihat meliputi banyak bidang yang kesemuanya merupakan sebuah rangkaian mata rantai. Di dalam tulisan pertama kita membicarakan perjalanan secara urutan waktu. Di sini kita bagikan perkara tersebut secara khusus menurut bagian-bagiannya. Kali ini kita ambil satu saja, yakni, bagaimana dan mengapa sekalian juru runding MoU Helsinki tercerai berai.
Di sini tidak kita sebutkan tentang sekalian orang Aceh di luar negeri yang bukan penduduk Indonesia dan mereka memang menentang MoU Helsinki sejak awal. Kita hanya membicarakan Aceh di dalam Republik Indonesia. Ini bukan tentang keyakinan akan sebuah arah kehidupan (ideologi, idealisme, nasionalisme), tetapi tentang apa yang telah, tengah, dan akan terjadi di negeri kita.
Bahkan, membawa ideologi dan semacamnya ketika berusaha memahami perkara ini akan membahayakan dan menyesatkan diri sendiri karena keyakinan akan sebuah arah kehidupan tersebut menuntun pengikutnya untuk membenarkan diri dan kafilah masing-masing. Maka, lupakan partai dan ideologi kita sejenak, lalu bukalah mata untuk melihat dunia sebagaimana warna aslinya.
MoU (Memorandum of Understanding) atau Penadatanganan Sebuah Kesepahaman pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, ibukota Finlandia, Eropa Utara, antara Pemerintah Negara Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka, merupakan sebuah rangkaian panjang dari arah politik di Asia Tenggara.
Walaupun ianya telah diusahakan jauh-jauh hari sebelum bencana maha dahsyat gempa dan tsunami Aceh yang terjadi pada 26 Desember 2004, tetapi malapetaka itu menjadi penyebab terjadinya penandatanganan kesepahaman (ataukah kesepakatan?), yang sebagian besar isinya diinginkan dan sebagian lagi tidak diinginkan oleh kedua belah pihak. Apabila Aceh dan RI tidak menghentikan perangnya di Aceh, maka bantuan tidak bisa diberikan, menjadi alasan yang dapat diterima oleh kedua belah pihak, ketika itu.
Perjanjian apa saja dibuat karena adanya dua belah pihak yang memiliki kepentingan sama dengan sejarah yang berbeda. Biasanya perjanjian akan batal apabila salah satu atau kedua belah pihak tidak memenuhi isi daripada perjanjian tersebut. Ketika itu terjadi, maka para penjanji akan menghadapkan diri mereka kepada penengah.
Dalam peristiwa MoU Helsinki, penengahnya adalah AMM (Aceh Monitoring Mission), kalau di dalam bahasa kita bisa diartikan ‘Pemantau Tujuan Aceh’ yang diketuai oleh bekas presiden Finlandia Martti Ahtisaari. Dan AMM telah dibubarkan setahun setelah MoU tersebut yang berarti induknya telah dibunuh.
Kabarnya, GAM juga telah dibubarkan? Lalu bagaimanakah kelanjutan perjanjian itu apabila salah satu pihak, bahkan penengahnya, tidak ada lagi? Sesungguhnya, sekalian juru runding, baik yang dahulunya atas nama GAM mahupun atas nama RI harus sering bermusyawarah terhadap pelaksanaan dari MoU Helsinki.
Apabila ada yang tidak dipenuhi dari butir MoU Helsinki, sudah semestinya para juru runding itu mengajukannya kepada penengah (apabila AMM telah tidak ada apakah bisa kepada Uni Eropa yang negara anggotanya terlibat dalam MoU Helsinki dan semua negara yang menjadi saksinya?).
Sekarang lihatlah, apakah sekalian juru runding tersebut masih berada di jalan yang sama. Misal, lihatlah, apakah juru runding atas nama Gerakan Aceh Merdeka kini masih dalam satu jalan politik, apakah semua mereka kini dalam satu partai politik?
Mengapa sampai mereka bisa berselisih, sementara di masa awal sekalian orang itu memiliki kepentingan bersama untuk membela Aceh, tetapi kemudian terjadilah perbedaan pendapat yang menjurus kepada memiliki kepentingan pribadi masing-masing sehingga membentuk atau menggabungkan diri ke dalam partai yang terpisah.
Perkumpulan rahasia (konspirasi) memiliki sebuah konsep, “Untuk menguasai sebuah opini publik, yang pertama dilakukan adalah mengacaukan opini publik itu.”
Di sinilah Aceh harus mempertanyakan, mengapa PNA bisa ada, sementara orang-orang di dalamnya memiliki tujuan yang sama dengan orang yang membentuk PA. Ini bukan untuk menyalahkan PA atau PNA, tetapi bagaimana awalnya itu bisa terbentuk, siapa yang mengarahkannya? Tidak ada satupun di dunia ini yang terjadi tanpa sebab. Maka perpecahan di antara sekalian juru runding tersebut merupakan hasil daripada usaha memecah belah yang dilakukan oleh pihak lain yang tidak ingin Aceh bangkit.
Sebelum kedua partai itu terbentuk, tujuan mereka hanya satu, yakni memperjuangkan kepentingan Aceh, tetapi setelah ada dua partai itu, maka tujuannya terbelah menjadi, pertama memperjuangkan kepentingan partai masing-masing. Kedua, baru memperjuangkan kepentingan Aceh.
Ini membuat musuh bersama mereka di kala masih bersatu, tidak lagi perlu terlalu khawatir karena arah serangan sudah berbalik. Bukan lagi menyerang mereka, tetapi sudah menyerang sesamanya. Sebagian besar waktu pejuang Aceh yang telah memiliki partai masing-masing itu akan tersita untuk memperkuat partainya daripada serangan partai lain tersebut. Maka memperjuangkan terlaksananya kelanjutan daripada MoU Helsinki menjadi urutan kedua.
Bagaimana itu bisa dilakukan jika sesama juru runding telah memiliki haluan berbeda. Lihatlah pula ke manakah kini Hamid Awwaluddin, Yusuf Kalla, dan SBY. Apabila mereka sudah bercerai-berai, lalu siapakah yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan MoU Helsinki itu sebenarnya, orang-orang kampung yang tidak mengerti politik antar bangsa (internasional)-kah?
Sesungguhnya, sekalian juru runding, pihak yang mengirimkan utusan, dan negara-negara yang terlibat sebagai saksi bertanggung jawab atas apa yang terjadi di Aceh sekarang.
Sepertinya Aceh sengaja digiring kepada ketidakpastian (destinasi) dalam banyak bidang. RI dan banyak negara di benua lain tidak menginginkan Aceh memiliki negara sendiri sebagaimana yang dicetuskan oleh Hasan Tiro. Hasan Tiro telah berusaha keras mencari alasan supaya bisa mengajukan tuntutan akan hadirnya kembali sebuah negara untuk Aceh yang merupakan negara sambungan dari Kesultanan Aceh Darussalam.
Secara tidak langsung itu bermakna sebuah negara Islam (?). Walaupun telah mengumpulkan bukti sejarah dan hukum dari berbagai asal yang dapat dipercaya, Hasan Tiro tidak bisa menyakinkan UN (United Nations) atau PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) untuk menyetujui sebuah negara kembali untuk Aceh, tetapi ia bisa meyakinkan sebagian besar orang Aceh untuk memperjuangkan haknya tersebut.
Pertimbangannya, seandainya PBB bisa diyakinkan, maka usaha Hasan Tiro akan berhasil secara pasti atau cepat tanpa perlu menimbulkan korban, dan sebaliknya, apabila ia hanya bisa menyakinkan masyarakat Aceh, maka keberhasilan dari tujuannya tidak bisa dipastikan atau keberhasilan akan datang lebih lama daripada yang diperkirakannya disertai dengan jatuhnya banyak korban.
Perbandingan Peristiwa
Pertama, yang terjadi adalah berkecamuknya perang di Aceh sementara tidak ada orang yang menuju PBB sebagai utusan atas nama Negara Aceh yang tengah dibentuk kembali. Artinya itu adalah peperangan yang tidak dicatat oleh PBB sebagai tuntutan kemerdekaan oleh sebuah bangsa tertindas, tetapi itu tercatat di tempat lain sebagai perlawanan sebagian orang terhadap sebuah negaranya sendiri.
Kedua, jika yang terjadi adalah sebaliknya, misal, ada beberapa orang ahli yang datang ke PBB atas nama negara Aceh yang tengah didirikan dengan jaminan ada sesekali perang di Aceh sebagai bentuk Aceh menginginkan Negara sendiri, dan organisasi dunia itu membuat kafilah khusus untuk mengurusnya, maka dalam hitungan tahun PBB akan mempertanyakan penguasaan Indonesia untuk Aceh.
Hasan Tiro menginginkan peristiwa yang kedua, tetapi itu tidak terjadi. Ia tidak menemukan orang di Aceh yang mampu melakukannya. Ada beberapa orang yang memiliki kemampuan untuk itu, namun tidak terlibat dalam menjalankan hasil pemikiran Hasan Tiro.
Aceh tidak bisa menyalahkan PBB yang tidak mendaftarkannya sebagai negara sendiri, tetapi harus melihat kemampuannya dalam mengirim perutusan serta berbahasa. Ini zaman berteknologi canggih yang setiap negara dimasukkan ke dalam sebuah persatuan dengan kendali teknologi.
Di masa sekarang, Aceh tidak bisa membuat negara sendiri walaupun memenangkan perang seperti Jengis Khan Yang Agung. Aceh butuh pengakuan negara lain, tetapi sampai beberapa tahun ini, jalan itu belum berhasil ditempuh. Oleh karenanya, peristiwa dengan curak pertama tadi, tidak membawa hasil sebagaimana diharapkan. Dan, MoU Helsinki telah mengakhiri itu semua (?).
MoU Helsinki bukan dilakukan oleh PBB, tetapi oleh sebuah organisasi yang dibentuk khusus untuk perdamaian tersebut dan dibubarkan setelahnya. Impian Hasan Tiro telah berakhir sekitar lima tahun sebelum ia meninggal secara wajar dalam usia tua. Kini, apakah yang bisa dilakukan oleh Aceh dan Indonesia untuk melaksanakan dari sekalian butir MoU Helsinki?
Indonesia memiliki cukup orang dan benda pendukung untuk menjalankan atau tidak menjalankannya. Aceh tidak memiliki cukup orang untuk menjalankan atau tidak menjalankannya. Itu terbukti sampai tahun 2013. Qanun Bendera, Himne dan Lambang Aceh serta pembagian hasil minyak dan gas bumi (migas) masih diperdebatkan sampai 2014.
Terjadi atau tidaknya aturan itu sebagaimana diinginkan oleh Aceh atau RI, tergantung kepada kecakapan sekalian perumus dan pelakunya, yakni kemampuan orang yang didudukkan oleh Aceh sebagai wakil rakyat dan siapa yang disiapkan oleh RI untuk mengurusnya.
Mahu tidak mahu, Aceh harus memahami sikap RI apakah bersedia atau tidaknya melaksanakan hal-hal yang berada di dalam penandatangan kesepahaman yang dilakukan dengan kata kuncinya ‘di dalam bingkai NKRI.’
Penting diingat bahwa perjanjian itu dilakukan di tingkat antar bangsa karena sepanjang sejarahnya, perkara Aceh selalu terkait dengan perkembangan dunia. Sekalian rakyat di Aceh berseru-seru siang dan malam, ‘Bersatulah wahai para juru runding MoU Helsinki.’*
Oleh Thayeb Loh Angen, aktivis kebudayaan, bekas polisi militer GAM, penulis novel Teuntra Atom
Tulisan terkait: Aceh dalam Propaganda Pecah Belah ((Bagian 1)
Di sini tidak kita sebutkan tentang sekalian orang Aceh di luar negeri yang bukan penduduk Indonesia dan mereka memang menentang MoU Helsinki sejak awal. Kita hanya membicarakan Aceh di dalam Republik Indonesia. Ini bukan tentang keyakinan akan sebuah arah kehidupan (ideologi, idealisme, nasionalisme), tetapi tentang apa yang telah, tengah, dan akan terjadi di negeri kita.
Bahkan, membawa ideologi dan semacamnya ketika berusaha memahami perkara ini akan membahayakan dan menyesatkan diri sendiri karena keyakinan akan sebuah arah kehidupan tersebut menuntun pengikutnya untuk membenarkan diri dan kafilah masing-masing. Maka, lupakan partai dan ideologi kita sejenak, lalu bukalah mata untuk melihat dunia sebagaimana warna aslinya.
MoU (Memorandum of Understanding) atau Penadatanganan Sebuah Kesepahaman pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, ibukota Finlandia, Eropa Utara, antara Pemerintah Negara Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka, merupakan sebuah rangkaian panjang dari arah politik di Asia Tenggara.
Walaupun ianya telah diusahakan jauh-jauh hari sebelum bencana maha dahsyat gempa dan tsunami Aceh yang terjadi pada 26 Desember 2004, tetapi malapetaka itu menjadi penyebab terjadinya penandatanganan kesepahaman (ataukah kesepakatan?), yang sebagian besar isinya diinginkan dan sebagian lagi tidak diinginkan oleh kedua belah pihak. Apabila Aceh dan RI tidak menghentikan perangnya di Aceh, maka bantuan tidak bisa diberikan, menjadi alasan yang dapat diterima oleh kedua belah pihak, ketika itu.
Perjanjian apa saja dibuat karena adanya dua belah pihak yang memiliki kepentingan sama dengan sejarah yang berbeda. Biasanya perjanjian akan batal apabila salah satu atau kedua belah pihak tidak memenuhi isi daripada perjanjian tersebut. Ketika itu terjadi, maka para penjanji akan menghadapkan diri mereka kepada penengah.
Dalam peristiwa MoU Helsinki, penengahnya adalah AMM (Aceh Monitoring Mission), kalau di dalam bahasa kita bisa diartikan ‘Pemantau Tujuan Aceh’ yang diketuai oleh bekas presiden Finlandia Martti Ahtisaari. Dan AMM telah dibubarkan setahun setelah MoU tersebut yang berarti induknya telah dibunuh.
Kabarnya, GAM juga telah dibubarkan? Lalu bagaimanakah kelanjutan perjanjian itu apabila salah satu pihak, bahkan penengahnya, tidak ada lagi? Sesungguhnya, sekalian juru runding, baik yang dahulunya atas nama GAM mahupun atas nama RI harus sering bermusyawarah terhadap pelaksanaan dari MoU Helsinki.
Apabila ada yang tidak dipenuhi dari butir MoU Helsinki, sudah semestinya para juru runding itu mengajukannya kepada penengah (apabila AMM telah tidak ada apakah bisa kepada Uni Eropa yang negara anggotanya terlibat dalam MoU Helsinki dan semua negara yang menjadi saksinya?).
Sekarang lihatlah, apakah sekalian juru runding tersebut masih berada di jalan yang sama. Misal, lihatlah, apakah juru runding atas nama Gerakan Aceh Merdeka kini masih dalam satu jalan politik, apakah semua mereka kini dalam satu partai politik?
Mengapa sampai mereka bisa berselisih, sementara di masa awal sekalian orang itu memiliki kepentingan bersama untuk membela Aceh, tetapi kemudian terjadilah perbedaan pendapat yang menjurus kepada memiliki kepentingan pribadi masing-masing sehingga membentuk atau menggabungkan diri ke dalam partai yang terpisah.
Perkumpulan rahasia (konspirasi) memiliki sebuah konsep, “Untuk menguasai sebuah opini publik, yang pertama dilakukan adalah mengacaukan opini publik itu.”
Di sinilah Aceh harus mempertanyakan, mengapa PNA bisa ada, sementara orang-orang di dalamnya memiliki tujuan yang sama dengan orang yang membentuk PA. Ini bukan untuk menyalahkan PA atau PNA, tetapi bagaimana awalnya itu bisa terbentuk, siapa yang mengarahkannya? Tidak ada satupun di dunia ini yang terjadi tanpa sebab. Maka perpecahan di antara sekalian juru runding tersebut merupakan hasil daripada usaha memecah belah yang dilakukan oleh pihak lain yang tidak ingin Aceh bangkit.
Sebelum kedua partai itu terbentuk, tujuan mereka hanya satu, yakni memperjuangkan kepentingan Aceh, tetapi setelah ada dua partai itu, maka tujuannya terbelah menjadi, pertama memperjuangkan kepentingan partai masing-masing. Kedua, baru memperjuangkan kepentingan Aceh.
Ini membuat musuh bersama mereka di kala masih bersatu, tidak lagi perlu terlalu khawatir karena arah serangan sudah berbalik. Bukan lagi menyerang mereka, tetapi sudah menyerang sesamanya. Sebagian besar waktu pejuang Aceh yang telah memiliki partai masing-masing itu akan tersita untuk memperkuat partainya daripada serangan partai lain tersebut. Maka memperjuangkan terlaksananya kelanjutan daripada MoU Helsinki menjadi urutan kedua.
Bagaimana itu bisa dilakukan jika sesama juru runding telah memiliki haluan berbeda. Lihatlah pula ke manakah kini Hamid Awwaluddin, Yusuf Kalla, dan SBY. Apabila mereka sudah bercerai-berai, lalu siapakah yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan MoU Helsinki itu sebenarnya, orang-orang kampung yang tidak mengerti politik antar bangsa (internasional)-kah?
Sesungguhnya, sekalian juru runding, pihak yang mengirimkan utusan, dan negara-negara yang terlibat sebagai saksi bertanggung jawab atas apa yang terjadi di Aceh sekarang.
Sepertinya Aceh sengaja digiring kepada ketidakpastian (destinasi) dalam banyak bidang. RI dan banyak negara di benua lain tidak menginginkan Aceh memiliki negara sendiri sebagaimana yang dicetuskan oleh Hasan Tiro. Hasan Tiro telah berusaha keras mencari alasan supaya bisa mengajukan tuntutan akan hadirnya kembali sebuah negara untuk Aceh yang merupakan negara sambungan dari Kesultanan Aceh Darussalam.
Secara tidak langsung itu bermakna sebuah negara Islam (?). Walaupun telah mengumpulkan bukti sejarah dan hukum dari berbagai asal yang dapat dipercaya, Hasan Tiro tidak bisa menyakinkan UN (United Nations) atau PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) untuk menyetujui sebuah negara kembali untuk Aceh, tetapi ia bisa meyakinkan sebagian besar orang Aceh untuk memperjuangkan haknya tersebut.
Pertimbangannya, seandainya PBB bisa diyakinkan, maka usaha Hasan Tiro akan berhasil secara pasti atau cepat tanpa perlu menimbulkan korban, dan sebaliknya, apabila ia hanya bisa menyakinkan masyarakat Aceh, maka keberhasilan dari tujuannya tidak bisa dipastikan atau keberhasilan akan datang lebih lama daripada yang diperkirakannya disertai dengan jatuhnya banyak korban.
Perbandingan Peristiwa
Pertama, yang terjadi adalah berkecamuknya perang di Aceh sementara tidak ada orang yang menuju PBB sebagai utusan atas nama Negara Aceh yang tengah dibentuk kembali. Artinya itu adalah peperangan yang tidak dicatat oleh PBB sebagai tuntutan kemerdekaan oleh sebuah bangsa tertindas, tetapi itu tercatat di tempat lain sebagai perlawanan sebagian orang terhadap sebuah negaranya sendiri.
Kedua, jika yang terjadi adalah sebaliknya, misal, ada beberapa orang ahli yang datang ke PBB atas nama negara Aceh yang tengah didirikan dengan jaminan ada sesekali perang di Aceh sebagai bentuk Aceh menginginkan Negara sendiri, dan organisasi dunia itu membuat kafilah khusus untuk mengurusnya, maka dalam hitungan tahun PBB akan mempertanyakan penguasaan Indonesia untuk Aceh.
Hasan Tiro menginginkan peristiwa yang kedua, tetapi itu tidak terjadi. Ia tidak menemukan orang di Aceh yang mampu melakukannya. Ada beberapa orang yang memiliki kemampuan untuk itu, namun tidak terlibat dalam menjalankan hasil pemikiran Hasan Tiro.
Aceh tidak bisa menyalahkan PBB yang tidak mendaftarkannya sebagai negara sendiri, tetapi harus melihat kemampuannya dalam mengirim perutusan serta berbahasa. Ini zaman berteknologi canggih yang setiap negara dimasukkan ke dalam sebuah persatuan dengan kendali teknologi.
Di masa sekarang, Aceh tidak bisa membuat negara sendiri walaupun memenangkan perang seperti Jengis Khan Yang Agung. Aceh butuh pengakuan negara lain, tetapi sampai beberapa tahun ini, jalan itu belum berhasil ditempuh. Oleh karenanya, peristiwa dengan curak pertama tadi, tidak membawa hasil sebagaimana diharapkan. Dan, MoU Helsinki telah mengakhiri itu semua (?).
MoU Helsinki bukan dilakukan oleh PBB, tetapi oleh sebuah organisasi yang dibentuk khusus untuk perdamaian tersebut dan dibubarkan setelahnya. Impian Hasan Tiro telah berakhir sekitar lima tahun sebelum ia meninggal secara wajar dalam usia tua. Kini, apakah yang bisa dilakukan oleh Aceh dan Indonesia untuk melaksanakan dari sekalian butir MoU Helsinki?
Indonesia memiliki cukup orang dan benda pendukung untuk menjalankan atau tidak menjalankannya. Aceh tidak memiliki cukup orang untuk menjalankan atau tidak menjalankannya. Itu terbukti sampai tahun 2013. Qanun Bendera, Himne dan Lambang Aceh serta pembagian hasil minyak dan gas bumi (migas) masih diperdebatkan sampai 2014.
Terjadi atau tidaknya aturan itu sebagaimana diinginkan oleh Aceh atau RI, tergantung kepada kecakapan sekalian perumus dan pelakunya, yakni kemampuan orang yang didudukkan oleh Aceh sebagai wakil rakyat dan siapa yang disiapkan oleh RI untuk mengurusnya.
Mahu tidak mahu, Aceh harus memahami sikap RI apakah bersedia atau tidaknya melaksanakan hal-hal yang berada di dalam penandatangan kesepahaman yang dilakukan dengan kata kuncinya ‘di dalam bingkai NKRI.’
Penting diingat bahwa perjanjian itu dilakukan di tingkat antar bangsa karena sepanjang sejarahnya, perkara Aceh selalu terkait dengan perkembangan dunia. Sekalian rakyat di Aceh berseru-seru siang dan malam, ‘Bersatulah wahai para juru runding MoU Helsinki.’*
Oleh Thayeb Loh Angen, aktivis kebudayaan, bekas polisi militer GAM, penulis novel Teuntra Atom
Tulisan terkait: Aceh dalam Propaganda Pecah Belah ((Bagian 1)
Sumber: peradabandunia.com
loading...
Post a Comment