GUNDUKAN tanah bertabur kerikil itu dikungkung kain putih. Sebagian terlihat kusam karena terkena tanah liat. Kain putih itu dipadu kain hijau berisi kaligrafi tulisan asma Allah.
Gundukan tanah tadi adalah makam Syekh Hamzah Fansuri, salah satu ulama legendaris Aceh. Makam ini berlokasi di Gampông Oboh, Kecamatan Rundeng. Jaraknya sekitar 14 kilometer dari Kota Subulussalam.
Makam terawat rapi dalam bangunan kecil. Sebuah sungai mengalir tak jauh dari sisi kiri makam.
Di tempat itu, tak hanya Syekh Hamzah Fansuri yang dimakamkan. Ada tiga makam lagi, yakni sahabat dan mertua Fansuri.
Suasana tenang terasa di tempat ini. Sesekali angin menyeruak dari sela barisan pohon sawit di sekeliling makam.
“Saya nggak tahu kalau makam Syekh Hamzah Fansuri juga ada di sini. Soalnya waktu ke Langkawi, Malaysia, di sana juga ada,” ujar Wakil Gubernur Aceh Muzakir Manaf saat berdiri di samping makam, Minggu dua pekan lalu. Hari itu, Mualem menyempatkan diri berziarah ke makam sebelum membuka Musabaqah Tilawatil Quran di Subulussalam.
Bersama Wali Kota Subulussalam Meurah Sakti, ia lalu menuju sebuah wadah penampung air dari cangkang kerang besar. Mualem kemudian membasuh mukanya.
***
SYEKH Hamzah Fansuri seorang cendekiawan, ulama tasawuf, dan budayawan terkemuka Aceh. Ia salah satu penyebar agama Islam di Aceh. Ali Hasjmy dalam Jembatan Selat Malaka menuliskan, Hamzah juga memiliki salah seorang saudara bernama Ali. Pada masa Sultan Alaiddin Malikussaleh memimpin Kerajaan Islam Samudera Pasai (1261-1289 Masehi), berduyun-duyun ulama Persia datang ke sana untuk mengajar di dayah-dayah.
Seorang di antaranya bernama Syekh Al Fansuri. Ali Hasjmy menuliskan, Al Fansuri merupakan nenek moyang Ali dan Hamzah. Ia tak menyebut jelas garis keturunan yang menuju ke Ali dan Hamzah.
Lalu, pada masa Sultan Alaiddin Riayat Syah memimpin Aceh Darussalam (1589-1604 Masehi), Ali dan Hamzah mendirikan dayah di Singkil. Ali, yang kemudian disebut Syekh Ali Fansuri mendirikan Dayah Lipat Kajang di Simpang Kanan. Adapun Syekh Hamzah Fansuri mendirikan Dayah Oboh di Rundeng.
Syekh Ali Fansuri mempunyai seorang putra bernama Abdurrauf Fansuri Al Singkili. Di kemudian hari ia dikenal sebagai Syekh Abdurrauf Syiah Kuala.
Masih menurut Ali Hasjmy, Syiah Kuala tidak setuju dengan “wahdatul wujud” yang dianut pamannya, Hamzah Fansuri, serta muridnya Syamsuddin Sumatrani. Sementara Syiah Kuala dan Syekh Nurruddin Ar-Raniry sama-sama menegakkan “isnainiyatul wujud”.
Namun, Ali Hasjmy tidak menuliskan dengan jelas tempat Fansuri lahir. Pada 1726, Francois Valentijn dalam bukunya Oud en Nieuw Oost-Indie (Hindia Timur Lama dan Baharu) pada bab mengenai “Sumatera”, menyebut Hamzah Fansuri sebagai seorang penyair yang dilahirkan di Fansur (Panchor). Nama Fansur merupakan sebutan orang-orang Arab terhadap Kota Barus. Kota kecil ini berada di pantai barat Sumatera yang terletak antara Sibolga, Sumatera Utara, dan Singkil, Aceh.
Namun yang pasti, Syekh Hamzah Fansuri diakui sebagai salah seorang tokoh kaliber besar dalam perkembangan Islam di nusantara. Ia juga pujangga Islam yang menghiasi lembaran sejarah kesusastraan Melayu dan Indonesia.
Dalam buku Hamzah Fansuri Penyair Aceh, Ali Hasjmy menuliskan, selama hidup, Syekh Hamzah pernah mengembara untuk merajut ilmu. Lokasi-lokasi yang ia datangi seperti Banten (Jawa Barat), semenanjung Tanah Melayu, India, Parsi, dan Arab.
Hamzah Fansuri menguasai bahasa Arab, Urdu, Parsi, dan Melayu. Ia juga sangat mahir dalam bidang fikih, tasawuf, falsafah, mantik, ilmu kalam, sejarah, sastra, dan lain-lain.
Salah satu karya Fansuri yang terkenal ialah “Syair Perahu”. Cuplikannya seperti ini: “Inilah gerangan suatu madah/Mengarangkan syair terlalu indah/Membetuli jalan tempat berpindah/Di sanalah i'tikad diperbetuli sudah// Wahai muda kenali dirimu/Ialah perahu tamsil tubuhmu/Tiadalah berapa lama hidupmu/Ke akhirat jua kekal diammu//Hai muda arif budiman/Hasilkan kemudi dengan pedoman/Alat perahumu jua kerjakan/Itulah jalan membetuli insan”.
Syair ini diyakini sebagai salah satu bentuk syiar Islam ala Fansuri. Dengan bahasa indah dan perumpamaan sederhana, syair ini digunakan orang tua untuk menasihati anaknya agar taat kepada ajaran Islam. Dalam Syair Perahu, Hamzah menamsilkan jasad manusia layaknya perahu, yang melayari dunia penuh bahaya. Banyak batu karang dan gelombangnya. Karena itu, perahu harus dilengkapi segala macam perbekalan.
Selayaknya penyair sufi, sajak-sajak Fansuri penuh “rindu” terhadap sang khalik. Karyanya, kata Ali Hasjmy, sukar dipahami oleh orang yang tidak banyak mendalami karya ulama tasawuf.
Di bidang keilmuan, Hamzah telah mempelajari penulisan risalah tasawuf atau keagamaan yang sistematis dan ilmiah. Sebelum karya-karyanya muncul, masyarakat muslim Melayu mempelajari masalah agama, tasawuf, dan sastra melalui kitab-kitab yang ditulis di dalam bahasa Arab atau Persia.
Di bidang sastra, Fansuri juga memelopori pola penulisan puisi filosofis bercorak Islam. Ia juga orang pertama yang memperkenalkan sajak empat baris dengan skema a-a-a-a.
***
KETUA Majelis Permusyawaratan Ulama atau MPU Aceh, Tengku Ghazali Mohd. Syam, mengatakan, Hamzah Fansuri salah satu ulama karismatik Aceh di masa lampau. Di masa kini, kata dia, masih ada ulama-ulama Aceh yang selalu menjadi panutan umat.
Teungku Ghazali menyebutkan nama seperti Abuya Muda Waly, Abu Tumim, almarhum Abu Panton, Abu Krueng Kalee, Tengku Hasbi Nyak Dewa dari Aceh Selatan, Teungku Ali Pasie dari Aceh Timur, Tengku Baihaqi dari Singkil, Tengku Muhammad Akhmad dari Aceh Timur, dan beberapa ulama lainnya.
MPU sendiri, kata Ghazali, bahkan menjadikan para ulama masa kini itu sebagai rujukan dalam segala keputusan yang diambil. “Ulama dalam Islam adalah mereka yang memiliki pengetahuan serta wawasan tentang agama. Ia mengerti tentang ilmu dunia dan akhirat, dan selalu menjadi tempat belajar bagi yang lainnya,” ujar Ghazali.
Ulama karismatik, kata dia, bukanlah lahir dengan sendirinya, melainkan diberikan kemuliaan oleh Allah kepada orang tersebut.
***
BERKACA pada puisi-puisi karya Fansuri yang lembut, Islam hadir di Aceh sejak dulu dalam wujud kedamaian. Islam di Aceh bukanlah yang mengumbar amarah, mengamuk, dan memukuli orang lain. “Di Aceh tidak begitu, kita di Aceh menjalankan Islam yang penuh kedamaian,” ujar Wakil Gubernur Aceh Muzakir Manaf kepada The Atjeh Times, September 2012. Hal itu pula yang dijelaskan Mualem kepada Konselor Politik Kedutaan Inggris, Ms. Julia Nolan yang mengunjunginya saat itu.
Islam di Aceh, kata Mualem, sudah ada sejak turun-temurun. Orang Aceh menganut agama Islam bukan karena mencontoh di sana sini, melainkan sudah ada sejak lama dan sampai sekarang masih menganutnya dengan baik. Karena faktor toleransi dan menghormati itulah, Aceh bisa bergaul dengan dunia internasional. Kemajuan Aceh di masa lalu, kata Mualem, juga disebabkan pemahaman dan pengamalan Islam yang benar.
***
UNTUK memuliakan ulama dan Islam di Aceh, Mualem mengatakan Pemerintah Aceh akan segera memugar dan memperindah kompleks makam Syekh Hamzah Fansuri di Subulussalam. Tidak hanya itu, Pemerintah Aceh juga akan memugar sejumlah makam ulama dan situs Islam bersejarah.
"Kita sedang menggagas konsep wisata religi. Semua makam dan situs wisata Islam akan kita benahi untuk mendukung program ini," ujar Mualem yang berdiri tak jauh dari makam Fansuri. Khusus makam Fansuri, kata dia, bakal menggunakan anggaran 2014.
Perhatian Pemerintah Aceh terhadap ulama bisa dikatakan besar. Saat baru terpilih sebagai wakil gubernur, Mualem berdoa bersama 170 ulama dari seluruh Aceh di Masjidil Haram, Mekah. "Kami berdoa agar Aceh berada dalam kemakmuran, kesejahteraan, dan kedamaian," ujar Mualem kepada The Atjeh Times melalui saluran telepon. Ia berharap seluruh ulama di Aceh tetap bersatu. Ulama Aceh harus terus bersilaturahmi agar Aceh terus terjaga dalam moral yang bermartabat.
Sebelum Abu Panton wafat, Mualem dan Doto Zaini juga secara bergantian menjenguk ulama karismatik Aceh itu saat dirawat di Rumah Sakit Loh Guan Lye di Penang, Malaysia, dan Rumah Sakit Herna Kota Medan. Saat berada di Malaysia, Mualem juga menjenguk Abu Daud Lhoknibong.
***
SELEPAS kunjungan Mualem, Minggu pekan lalu, kompleks makam Hamzah Fansuri di Oboh, Singkil, kembali senyap. Hanya beberapa peziarah berada di tempat itu.
Fansuri, terlepas dari kontroversialnya, telah begitu banyak memberikan sumbangan terhadap peradaban Islam nusantara. Meskipun paham sufinya ditentang beberapa kalangan, namanya tak lekang oleh zaman.
Karya-karyanya, baik puisi maupun yang lainnya, telah banyak menginspirasi generasi-generasi sesudahnya. Melalui puisi-puisinya itu pula Syekh Hamzah Fansuri menyebarkan dakwah islamiah.
Seperti sajak dalam Syair Burung Unggas yang ditulis Fansuri: “Unggas itu amat burhana/Daimnya nantiasa di dalam astana/Tempatnya bermain di Bukit Tursina/Majnun dan Laila ada di sana”. []
+++++++++++++++++
Beberapa Karya Fansuri
- Al Muntahi
- Syair Burung Unggas
- Zihatul Wahidin
- Asraarul Arifin Fi Bayani Ilmis Suluk wat-Tauhid
- Syaraabul Asyiqin
- Ruba’i Hamzah Fansury
- Zihatul Wahidin
- Syair Sidang Faqir
- Syair Perahu
- Sidang Ahli Suluk
Gundukan tanah tadi adalah makam Syekh Hamzah Fansuri, salah satu ulama legendaris Aceh. Makam ini berlokasi di Gampông Oboh, Kecamatan Rundeng. Jaraknya sekitar 14 kilometer dari Kota Subulussalam.
Makam terawat rapi dalam bangunan kecil. Sebuah sungai mengalir tak jauh dari sisi kiri makam.
Di tempat itu, tak hanya Syekh Hamzah Fansuri yang dimakamkan. Ada tiga makam lagi, yakni sahabat dan mertua Fansuri.
Suasana tenang terasa di tempat ini. Sesekali angin menyeruak dari sela barisan pohon sawit di sekeliling makam.
“Saya nggak tahu kalau makam Syekh Hamzah Fansuri juga ada di sini. Soalnya waktu ke Langkawi, Malaysia, di sana juga ada,” ujar Wakil Gubernur Aceh Muzakir Manaf saat berdiri di samping makam, Minggu dua pekan lalu. Hari itu, Mualem menyempatkan diri berziarah ke makam sebelum membuka Musabaqah Tilawatil Quran di Subulussalam.
Bersama Wali Kota Subulussalam Meurah Sakti, ia lalu menuju sebuah wadah penampung air dari cangkang kerang besar. Mualem kemudian membasuh mukanya.
***
SYEKH Hamzah Fansuri seorang cendekiawan, ulama tasawuf, dan budayawan terkemuka Aceh. Ia salah satu penyebar agama Islam di Aceh. Ali Hasjmy dalam Jembatan Selat Malaka menuliskan, Hamzah juga memiliki salah seorang saudara bernama Ali. Pada masa Sultan Alaiddin Malikussaleh memimpin Kerajaan Islam Samudera Pasai (1261-1289 Masehi), berduyun-duyun ulama Persia datang ke sana untuk mengajar di dayah-dayah.
Seorang di antaranya bernama Syekh Al Fansuri. Ali Hasjmy menuliskan, Al Fansuri merupakan nenek moyang Ali dan Hamzah. Ia tak menyebut jelas garis keturunan yang menuju ke Ali dan Hamzah.
Lalu, pada masa Sultan Alaiddin Riayat Syah memimpin Aceh Darussalam (1589-1604 Masehi), Ali dan Hamzah mendirikan dayah di Singkil. Ali, yang kemudian disebut Syekh Ali Fansuri mendirikan Dayah Lipat Kajang di Simpang Kanan. Adapun Syekh Hamzah Fansuri mendirikan Dayah Oboh di Rundeng.
Syekh Ali Fansuri mempunyai seorang putra bernama Abdurrauf Fansuri Al Singkili. Di kemudian hari ia dikenal sebagai Syekh Abdurrauf Syiah Kuala.
Masih menurut Ali Hasjmy, Syiah Kuala tidak setuju dengan “wahdatul wujud” yang dianut pamannya, Hamzah Fansuri, serta muridnya Syamsuddin Sumatrani. Sementara Syiah Kuala dan Syekh Nurruddin Ar-Raniry sama-sama menegakkan “isnainiyatul wujud”.
Namun, Ali Hasjmy tidak menuliskan dengan jelas tempat Fansuri lahir. Pada 1726, Francois Valentijn dalam bukunya Oud en Nieuw Oost-Indie (Hindia Timur Lama dan Baharu) pada bab mengenai “Sumatera”, menyebut Hamzah Fansuri sebagai seorang penyair yang dilahirkan di Fansur (Panchor). Nama Fansur merupakan sebutan orang-orang Arab terhadap Kota Barus. Kota kecil ini berada di pantai barat Sumatera yang terletak antara Sibolga, Sumatera Utara, dan Singkil, Aceh.
Namun yang pasti, Syekh Hamzah Fansuri diakui sebagai salah seorang tokoh kaliber besar dalam perkembangan Islam di nusantara. Ia juga pujangga Islam yang menghiasi lembaran sejarah kesusastraan Melayu dan Indonesia.
Dalam buku Hamzah Fansuri Penyair Aceh, Ali Hasjmy menuliskan, selama hidup, Syekh Hamzah pernah mengembara untuk merajut ilmu. Lokasi-lokasi yang ia datangi seperti Banten (Jawa Barat), semenanjung Tanah Melayu, India, Parsi, dan Arab.
Hamzah Fansuri menguasai bahasa Arab, Urdu, Parsi, dan Melayu. Ia juga sangat mahir dalam bidang fikih, tasawuf, falsafah, mantik, ilmu kalam, sejarah, sastra, dan lain-lain.
Salah satu karya Fansuri yang terkenal ialah “Syair Perahu”. Cuplikannya seperti ini: “Inilah gerangan suatu madah/Mengarangkan syair terlalu indah/Membetuli jalan tempat berpindah/Di sanalah i'tikad diperbetuli sudah// Wahai muda kenali dirimu/Ialah perahu tamsil tubuhmu/Tiadalah berapa lama hidupmu/Ke akhirat jua kekal diammu//Hai muda arif budiman/Hasilkan kemudi dengan pedoman/Alat perahumu jua kerjakan/Itulah jalan membetuli insan”.
Syair ini diyakini sebagai salah satu bentuk syiar Islam ala Fansuri. Dengan bahasa indah dan perumpamaan sederhana, syair ini digunakan orang tua untuk menasihati anaknya agar taat kepada ajaran Islam. Dalam Syair Perahu, Hamzah menamsilkan jasad manusia layaknya perahu, yang melayari dunia penuh bahaya. Banyak batu karang dan gelombangnya. Karena itu, perahu harus dilengkapi segala macam perbekalan.
Selayaknya penyair sufi, sajak-sajak Fansuri penuh “rindu” terhadap sang khalik. Karyanya, kata Ali Hasjmy, sukar dipahami oleh orang yang tidak banyak mendalami karya ulama tasawuf.
Di bidang keilmuan, Hamzah telah mempelajari penulisan risalah tasawuf atau keagamaan yang sistematis dan ilmiah. Sebelum karya-karyanya muncul, masyarakat muslim Melayu mempelajari masalah agama, tasawuf, dan sastra melalui kitab-kitab yang ditulis di dalam bahasa Arab atau Persia.
Di bidang sastra, Fansuri juga memelopori pola penulisan puisi filosofis bercorak Islam. Ia juga orang pertama yang memperkenalkan sajak empat baris dengan skema a-a-a-a.
***
KETUA Majelis Permusyawaratan Ulama atau MPU Aceh, Tengku Ghazali Mohd. Syam, mengatakan, Hamzah Fansuri salah satu ulama karismatik Aceh di masa lampau. Di masa kini, kata dia, masih ada ulama-ulama Aceh yang selalu menjadi panutan umat.
Teungku Ghazali menyebutkan nama seperti Abuya Muda Waly, Abu Tumim, almarhum Abu Panton, Abu Krueng Kalee, Tengku Hasbi Nyak Dewa dari Aceh Selatan, Teungku Ali Pasie dari Aceh Timur, Tengku Baihaqi dari Singkil, Tengku Muhammad Akhmad dari Aceh Timur, dan beberapa ulama lainnya.
MPU sendiri, kata Ghazali, bahkan menjadikan para ulama masa kini itu sebagai rujukan dalam segala keputusan yang diambil. “Ulama dalam Islam adalah mereka yang memiliki pengetahuan serta wawasan tentang agama. Ia mengerti tentang ilmu dunia dan akhirat, dan selalu menjadi tempat belajar bagi yang lainnya,” ujar Ghazali.
Ulama karismatik, kata dia, bukanlah lahir dengan sendirinya, melainkan diberikan kemuliaan oleh Allah kepada orang tersebut.
***
BERKACA pada puisi-puisi karya Fansuri yang lembut, Islam hadir di Aceh sejak dulu dalam wujud kedamaian. Islam di Aceh bukanlah yang mengumbar amarah, mengamuk, dan memukuli orang lain. “Di Aceh tidak begitu, kita di Aceh menjalankan Islam yang penuh kedamaian,” ujar Wakil Gubernur Aceh Muzakir Manaf kepada The Atjeh Times, September 2012. Hal itu pula yang dijelaskan Mualem kepada Konselor Politik Kedutaan Inggris, Ms. Julia Nolan yang mengunjunginya saat itu.
Islam di Aceh, kata Mualem, sudah ada sejak turun-temurun. Orang Aceh menganut agama Islam bukan karena mencontoh di sana sini, melainkan sudah ada sejak lama dan sampai sekarang masih menganutnya dengan baik. Karena faktor toleransi dan menghormati itulah, Aceh bisa bergaul dengan dunia internasional. Kemajuan Aceh di masa lalu, kata Mualem, juga disebabkan pemahaman dan pengamalan Islam yang benar.
***
UNTUK memuliakan ulama dan Islam di Aceh, Mualem mengatakan Pemerintah Aceh akan segera memugar dan memperindah kompleks makam Syekh Hamzah Fansuri di Subulussalam. Tidak hanya itu, Pemerintah Aceh juga akan memugar sejumlah makam ulama dan situs Islam bersejarah.
"Kita sedang menggagas konsep wisata religi. Semua makam dan situs wisata Islam akan kita benahi untuk mendukung program ini," ujar Mualem yang berdiri tak jauh dari makam Fansuri. Khusus makam Fansuri, kata dia, bakal menggunakan anggaran 2014.
Perhatian Pemerintah Aceh terhadap ulama bisa dikatakan besar. Saat baru terpilih sebagai wakil gubernur, Mualem berdoa bersama 170 ulama dari seluruh Aceh di Masjidil Haram, Mekah. "Kami berdoa agar Aceh berada dalam kemakmuran, kesejahteraan, dan kedamaian," ujar Mualem kepada The Atjeh Times melalui saluran telepon. Ia berharap seluruh ulama di Aceh tetap bersatu. Ulama Aceh harus terus bersilaturahmi agar Aceh terus terjaga dalam moral yang bermartabat.
Sebelum Abu Panton wafat, Mualem dan Doto Zaini juga secara bergantian menjenguk ulama karismatik Aceh itu saat dirawat di Rumah Sakit Loh Guan Lye di Penang, Malaysia, dan Rumah Sakit Herna Kota Medan. Saat berada di Malaysia, Mualem juga menjenguk Abu Daud Lhoknibong.
***
SELEPAS kunjungan Mualem, Minggu pekan lalu, kompleks makam Hamzah Fansuri di Oboh, Singkil, kembali senyap. Hanya beberapa peziarah berada di tempat itu.
Fansuri, terlepas dari kontroversialnya, telah begitu banyak memberikan sumbangan terhadap peradaban Islam nusantara. Meskipun paham sufinya ditentang beberapa kalangan, namanya tak lekang oleh zaman.
Karya-karyanya, baik puisi maupun yang lainnya, telah banyak menginspirasi generasi-generasi sesudahnya. Melalui puisi-puisinya itu pula Syekh Hamzah Fansuri menyebarkan dakwah islamiah.
Seperti sajak dalam Syair Burung Unggas yang ditulis Fansuri: “Unggas itu amat burhana/Daimnya nantiasa di dalam astana/Tempatnya bermain di Bukit Tursina/Majnun dan Laila ada di sana”. []
+++++++++++++++++
Beberapa Karya Fansuri
- Al Muntahi
- Syair Burung Unggas
- Zihatul Wahidin
- Asraarul Arifin Fi Bayani Ilmis Suluk wat-Tauhid
- Syaraabul Asyiqin
- Ruba’i Hamzah Fansury
- Zihatul Wahidin
- Syair Sidang Faqir
- Syair Perahu
- Sidang Ahli Suluk
Acehpost.co
loading...
Post a Comment