AMP – Hasil kajian Institute for Development of Acehnese Society (IDeAS) dari publikasi terbaru BPS RI pada Senin (17/7/2017) menunjukkan Aceh mendapat predikat sebagai provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Sumatera.
Secara nasional, Aceh berada di peringkat ke-6 termiskin setelah Papua, Papua Barat, Maluku, NTT, dan Gorontalo. Padahal sebelumnya, Aceh masih berada pada posisi nomor 2 termiskin di Sumatera, dan nomor 7 di Indonesia.
Direktur IDeAS Munzami Hs mengatakan, periode Maret 2017 jumlah penduduk miskin di Aceh mencapai 872 ribu orang, bertambah sebesar 31 ribu jiwa dibandingkan September 2016 yaitu 841 ribu orang.
“Persentase tingkat kemiskinan Aceh sebesar 16,89 persen, naik 0,46 persen dibanding September 2016 sebesar 16,43 persen. Secara nasional, jumlah pengangguran mencapai 27,77 juta orang atau 10,64 persen,” katanya melalui siaran pers yang diterima Senin (17/7/2017).
Munzami Hs menambahkan, melonjaknya angka kemiskinan di Aceh menunjukkan bahwa kinerja pemerintahan di Aceh sangat buruk.
Dalam tiga tahun terakhir, katanya, kinerja pembangunan nyaris tak berdampak terhadap penurunan angka kemiskinan. Hal ini, kata Munzami, bisa kita lihat dari sajian data kemiskinan sejak 2014.
Secara nasional, Aceh berada di peringkat ke-6 termiskin setelah Papua, Papua Barat, Maluku, NTT, dan Gorontalo. Padahal sebelumnya, Aceh masih berada pada posisi nomor 2 termiskin di Sumatera, dan nomor 7 di Indonesia.
Direktur IDeAS Munzami Hs mengatakan, periode Maret 2017 jumlah penduduk miskin di Aceh mencapai 872 ribu orang, bertambah sebesar 31 ribu jiwa dibandingkan September 2016 yaitu 841 ribu orang.
“Persentase tingkat kemiskinan Aceh sebesar 16,89 persen, naik 0,46 persen dibanding September 2016 sebesar 16,43 persen. Secara nasional, jumlah pengangguran mencapai 27,77 juta orang atau 10,64 persen,” katanya melalui siaran pers yang diterima Senin (17/7/2017).
Munzami Hs menambahkan, melonjaknya angka kemiskinan di Aceh menunjukkan bahwa kinerja pemerintahan di Aceh sangat buruk.
Dalam tiga tahun terakhir, katanya, kinerja pembangunan nyaris tak berdampak terhadap penurunan angka kemiskinan. Hal ini, kata Munzami, bisa kita lihat dari sajian data kemiskinan sejak 2014.
“Pada September 2014 sebesar 16,98 persen, September 2015 sebesar 17,11 persen, September 2016 sebesar 16,43 persen dan terbaru periode Maret 2017 mencapai 16,89 persen,” ungkapnya.
Padahal, dari 10 provinsi di Sumatera, Aceh adalah provinsi yang memiliki APBD tertinggi.
Namun berbanding terbalik dengan kondisi kemiskinan dan pengangguran yang masih merupakan provinsi termiskin serta pengangguran tertinggi di Sumatera.
Kondisi ini, kata Munzami, merupakan PR utama bagi pemerintahan Irwandi – Nova yang baru saja dilantik. Tata kelola pemerintahan Aceh di bawah komando Irwandi harus pro-rakyat, fokus pembangunan dan harus mampu menjawab persoalan pengangguran dan kemiskinan.
“Ini merupakan ‘warning’ bagi pemerintah Aceh, mengingat dalam 5 tahun ke depan dana otsus Aceh masih 2 persen dari DAU nasional. Kalau pembangunan tidak mampu menjawab dua persoalan tersebut, maka 10 tahun lagi akan terjadi ‘turbulensi’ pengangguran dan kemiskinan yang lebih dahsyat lagi,” katanya.
Beberapa hal yang menjadi catatan IDeAS terkait solusi pengentasan pengangguran dan kemiskinan di Aceh antara lain; status KEK Arun Lhokseumawe harus segera diperjelas, mengingat sampai saat ini belum ada tanda-tanda akan dibentuknya Badan Pengelola KEK Arun pasca ditetapkannya PP Nomor 5 Tahun 2017 tentang KEK Arun pada 17 Februari 2017 lalu. “Dalam Pasal 5 PP tersebut diamanatkan bahwa gubernur Aceh menetapkan badan usaha pembangun dan pengelola KEK dalam jangka waktu 90 hari sejak PP tersebut diundangkan,” katanya.
Kedua, pengelolaan sisa dana Otsus harus lebih berorientasi pada peningkatan SDM dan membangkitkan roda ekonomi masyarakat Aceh, jangan setiap tahunnya dana otsus hanya tersedot untuk pembangunan fisik/infrastruktur.
“Ketiga, perluasan lapangan kerja, selain segera mengaktifkan KEK Arun, Pemerintah Aceh perlu melakukan pembangunan sektor industri berbasis keunggulan lokal agar dapat menghasilkan nilai tambah bagi perekonomian Aceh, khususnya revitalisasi sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan, karena sebagian besar tenaga kerja di Aceh bekerja di tiga sektor tersebut.[] beritakini
loading...
Post a Comment