Halloween Costume ideas 2015
loading...

Tengku Tapa, Pahlawan Gayo yang Tak Mendapat Tempat Layak dalam Khasanah Sejarah Aceh

AMP - “Anjing dan Pribumi dilarang masuk”,  begitulah bunyi kalimat yang tertulis di poster yang dipajang oleh Belanda di dekat pintu restoran-restoran mewah di berbagai tempat di nusantara yang diperuntukkan untuk kaum kulit putih, pada masa penjajahan silam.

Itu adalah cara dari kaum penjajah pada masa itu untuk menunjukkan superioritasnya atas jajahan. Taktik ini dimaksudkan untuk membuat bangsa terjajah merasa wajar dan bisa menerima perlakuan diskriminatif yang mereka terapkan.

Munculnya poster seperti itu adalah puncak dari kerja keras kaum penjajah dalam menanamkan doktrin bahwa bangsa penjajah adalah ras yang lebih unggul sehingga sudah sewajarnya mendapatkan hak istimewa yang tidak didapatkan oleh kaum terjajah. 

Doktrin bisa berjalan sukses hanya jika dilakukan dengan cermat dengan strategi yang jelas dan terpola. Itulah yang dilakukan oleh bangsa penjajah itu ketika akan menguasai pribumi dulu. Langkah awal mereka hancurkan dulu rasa kebanggaan pribumi, sejarah kebesaran mereka, entah itu keberanian atau ketinggian budaya nenek moyang di masa lalu disembunyikan atau dimanipulasi.

Apa yang dilakukan oleh Belanda ini bukanlah hal baru, taktik yang sama bisa kita telusuri dalam semua sejarah penjajahan di setiap era dalam sejarah peradaban umat manusia. Bagaimana kaum Arya yang datang dari utara menaklukkan India yang dihuni oleh ras Dravidia, menciptakan sistem kasta, menjadikan Tuhan-tuhan kaum Dravidia sebagai pembantu tuhan-tuhan Arya yang kemudian berhasil membuat kaum Dravidia percaya bahwa mereka lebih inferior dari Arya. Demikian pula taktik yang digunakan kaum kulit putih ketika mereka memperbudak kaum kulit hitam.

Ketika kebanggaan telah dihilangkan, maka menerima diskriminasi adalah sebuah keniscayaan.

Lalu apa hubungan cerita ini dengan judul tulisan ini?

Begini, setelah kejatuhan Keraton Kesultanan Aceh pada tahun 1873, Aceh dilanda perang berkepanjangan yang banyak melahirkan pahlawan yang begitu gigih dan ditakuti oleh Belanda.

Tengku Tapa dari Gayo yang dalam beberapa literatur dikatakan berasal dari Telong (maksudnya tentu Burni Telong) Redelong adalah salah seorang pahlawan besar yang sangat ditakuti oleh Belanda itu. Bersama Pang Pren asal Bebesen dan Pang Ramung asal Kebayakan, dalam kurun waktu tahun 1898 sampai tahun 1900, Tengku Tapa benar-benar membuat kehidupan pasukan Belanda di wilayah pesisir timur Aceh sedemikian sulit .

Selain memiliki strategi perang yang hebat, Tengku Tapa juga seorang jago propaganda yang membuatnya memiliki banyak pengikut di Pesisir. Salah satu strategi propaganda Tengku Tapa adalah dengan cara menghidupkan kembali legenda Malem Dewa yang hidup di masyarakat.

Catatan resmi militer Belanda menyebutkan “Teungkoe Tapa, de bedriegelijke herrijzen Malim Dewa, de z.g. onkwetsbare held uit de Atjehsche hikayat, had zich een enorme aanhang weten te verschaffen door den heiligen oorlog te prediken”  yang kalau diartikan ke dalam bahasa Indonesia kira-kira berarti ; “Teungku Tapa, menipu rakyat Aceh dengan cara membangkitkan kembali legenda Malim Dewa, yang dalam hikayat Aceh disebut sebagai pahlawan tak terkalahkan, tipuan ini terbukti mampu membuatnya mendapatkan pengikut dalam jumlah besar (karena para pengikut itu) merasa sedang melakukan perang suci”

Ya memang begitulah kenyataanya, selain dikenal dengan namanya sebagai Tengku Tapa, orang-orang Aceh di pesisir juga mengenalnya sebagai “Teungku Malim Diwa”.

Sementara mengenai pasukan Tengku Tapa sendiri apakah perlawanannya berada langsung di bawah komando Kesultanan atau merupakan pasukan mandiri sebagaimana umumnya pejuang asal Gayo, setidaknya untuk di Gayo sendiri ada dua pendapat.

Menurut Fauzan Azima, salah seorang tokoh pejuang GAM terkemuka asal Gayo, Tengku Tapa adalah panglima kerajaan Aceh, sementara Menurut Syirajuddin, anggota DPRK Aceh Tengah dari PAN, Tengku Tapa adalah anggota dari kelompok Muslimin, satu kelompok pejuang mandiri yang banyak diikuti oleh para Pang asal Gayo yang tidak terikat komando pada kerajaan Aceh.

Tapi terlepas dari dua pendapatan ini, yang jelas perlawanan Tengku Tapa yang mendapat banyak simpati dari masyarakat ini terbukti benar-benar membuat pasukan Belanda yang begitu ditakuti di seluruh nusantara ini mengalami kejatuhan moral.

Begitu parahnya kejatuhan moral pasukan Belanda yang diakibatkan rasa takut terhadap serangan Tengku Tapa, sampai-sampai menurut Yusra Habib Abdul Gani, intelektual Gayo yang saat ini menjabat sebagai Direktur pada “Institute for Ethnics Civilization Research” yang bertempat di Denmark, Belanda mempropagandakan Tengku Tapa sudah meninggal dunia. Propaganda ini tidak hanya dilakukan sekali, tapi enam kali.

“Jumlah propaganda Tengku Tapa, mengalahkan Tengku Hasan Tiro yang dipropagandakan oleh telah meninggal oleh pemerintah Orde Baru sebanyak lima kali”, sebut Yusra

Karena begitu besarnya kerugian materil maupun moril yang diderita oleh Belanda akibat perlawanan Tengku Tapa. Belanda pun tidak mau tanggung-tanggung dalam usaha menumpas perlawanan pahlawan Gayo ini. Untuk menghadapi Tengku Tapa, Belanda langsung mengutus Jenderal terbaiknya, Jendral J.B. van Heutsz yang kelak akan menjadi Gubernur Militer Aceh dan bahkan akhirnya menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia. Nama jenderal inilah yang banyak disebut oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Novel “Anak Semua Bangsa”, salah satu dari tetralogi Pulau Buru-nya yang melegenda. Settingan novel itu memang dibuat pada masa pemerintahan J.B. van Heutsz sebagai gubernur Jenderal.

Tapi nyaris tak ada orang yang tahu, salah satu ujian yang harus dihadapi oleh van Heutsz sebelum menjadi orang nomer satu di nusantara adalah menghadapi perlawanan seorang pahlawan asal Redelong.

Gubernur Militer Belanda di Banda Aceh mengutus Jendral J.B. van Heutsz  dan pasukannya ke Idi pada tanggal 6 Juli 1898 hingga 24 Juli 1898 dengan sandi operasi “Het bedwingen van Teungkoe Tapa beweging” yang secara harfiah bisa diartikan sebagai “Gerakan untuk menjinakkan Tengku Tapa”

Bahkan ketika Snouck Hurgronje menulis  & Het Gajoland en Zijne Bewoners&,  penasehat militer Belanda terkait kultur dan masyarakat Aceh ini secara khusus menyebutkan nama Tengku Tapa sebagai musuh yang sangat ditakuti Belanda.

Melihat begitu besarnya kepahlawanan Tengku Tapa, sekilas tentulah terlihat aneh, mengapa Pahlawan dengan nama sebesar itu namanya nyaris tak pernah dibahas dalam pembahasan sejarah Aceh arus utama. 

Perlakuan para pemangku kebijakan sejarah di Aceh terhadap fakta sejarah Tengku Tapa yang sangat kuat ini begitu berbeda dengan “fakta” sejarah tidak jelas yang ditemukan dalam Hikayat Raja-Raja Pasee.

Terhadap “fakta” sejarah  yang menyatakan bahwa nama “Gayo berasal dari kata Kayo”, sebuah “fakta sejarah” yang bahkan oleh Snouck Hurgronje, seorang kafir yang berpura-pura masuk Islam pun dianggap tak lebih berharga dari sampah ini. Bahkan seorang tokoh sekaliber Ali Hasjmy dan sejarawan Junus Djamil pun merasa perlu turun tangan dan membuat seminar di Takengen untuk menguatkan “fakta” sejarah ini.

Akhirnya sekarang kita sama-sama tahu “fakta” yang oleh Snouck Hurgronje dipandang nilainya tak lebih berharga dari sampah ini menjadi seolah-olah tak terbantahkan, sampai masuk menjadi materi dalam buku ajar sejarah untuk siswa SLTA di seluruh Indonesia.

Sementara itu, dalam pembahasan sejarah arus utama di Aceh, Tengku Tapa hanya pernah beberapa kali disebut, tapi itupun bukan sebagai peran utama.

Tercatat, Hazil dalam bukunya yang berjudul “Teuku Umar dan Tjut Nja Din Sepasang Pahlawan Perang Atjeh” yang diterbitkan oleh penerbit Djambatan, di Jakarta pada tahun 1952 menyebut nama Tengku Tapa pada halaman 141-142. Kemudian Said, M juga pernah menyebut Tengku Tapa pada halaman 615 bukunya yang berjudul “Atjeh Sepandjang Abad” yang diterbitkan oleh Waspada di Medan pada tahun 1961.

Baru pada tahun 2006, seorang intelektual sekaligus pejuang Kemerdekaan asal  Gayo Lues, almarhum AK Yacobi yang berperan sebagai editor, atas dukungan mantan Bupati Bener Meriah Ruslan Abdul Gani meluncurkan buku khusus tentang Tengku Tapa yang diterbitkan oleh penerbit Yayasan “Seulawah RI 001” Jakarta. Buku ini diberi judul “Wali Teungku Tapa, Wali dan Kurir Sultan Aceh Melawan Belanda”

Jadi dari kenyataan di atas, teranglah sudah tak bisa tidak, kalau Gayo ingin dihargai dengan semestinya. Kitalah orang Gayo sendiri yang harus memulainya.

Mengharapkan pemerintah provinsi untuk mengambil inisiatif untuk menempatkan Tengku Tapa pada posisi sejarah yang seharusnya jelas sebuah penantian sia-sia.

Pilihan pemangku kebijakan di provinsi yang mengutamakan penguatan sejarah “nama Gayo berasal dari kata Kayo” daripada menguatkan bukti kepahlawanan seorang Tengku Tapa kiranya cukup jadi pelajaran. Kemudian, bagaimana ketika Saman terkenal, mereka membuat tari kreasi bernama “Reutoh Duek” yang dimanipulasi sebagai Saman dan kemudian melalui seorang  “budayawan” , sejarah Saman juga dibelokkan menjadi bukan asli Gayo, bahkan belakangan kopi Gayo pun mulai dikaburkan.

Tapi ini kan pemerintahan baru yang wakilnya berasal dari Gayo?

Sudahlah, jangan naif. Pemilihan anggota RPJM dan sekarang orang-orang yang ada di ring satu pemerintahan yang baru ini jelas menunjukkan bagaimana sikap mereka sebenarnya terhadap Gayo.  Yang terjadi, pemerintahan ini malah terlihat berniat menguatkan pandangan masyarakat bahwa Gayo itu memang inferior dengan cara mempropagandakan bahwa orang Gayo itu tak kompeten dan tak profesional, sehingga dari sekian ratus ribu orang Gayo yang masih hidup, tak satupun yang layak menjadi anggota RPJM.

Bahkan melalui seorang “Pion” yang berkomentar di media sosial, kita melihat indikasi kalau pimpinan Aceh yang baru yang terkenal sebagai ahli propaganda ini berniat membenturkan Gayo dengan suku minoritas lain.

Sementara wakilnya, Nova Iriansyah, memang benar secara darah dia asli Gayo, tapi harap kiuta semua paham kalau dalam karir profesional dan politiknya dia nyaris sama sekali tak bersentuhan dengan Gayo. Penulis yang selama 13 tahun tinggal di Banda Aceh pun tak pernah sekalipun bertemu dengannya dalam acara masyarakat Gayo.

Artinya, Nova adalah sosok ideal untuk sebuah propaganda. Secara darah dia Gayo, sehingga keberadaan sosoknya membuat pemerintah bisa mengklaim sudah mengakomodir Gayo tapi dalam prakteknya dia sama sekali tidak memposisikan diri sebagai pembela kepentingan Gayo.

Sikap Nova terhadap Gayo bisa kita baca dnegan jelas melalui pernyataan terbarunya dalam acara makan malam dengan seluruh anggota keluarga besarnya. Dalam pernyataannya itu,  wakil gubernur ini terang-terangan memberi kode keras  bahwa dia sama sekali tidak memposisikan Gayo secara istimewa dengan mengatakan “apabila lima tahun kedepan, dirinya harus memikirkan Aceh secara keseluruhan, sehingga seperti kata Pak Irwandi harus menyatukan semua kelompok, dan menjadi milik seluruh rakyat Aceh.”

Artinya jelas, di hadapan keluarga besarnya ini Nova sebenarnya sedang mengatakan bahwa Gayo itu hanyalah segelintir sangat kecil dari Aceh, bukan seluruh rakyat Aceh, sehingga mengharapkan pemerintah provinsi mengambil inisiatif untuk mengangkat kepentingan Gayo seperti pengungkapan sejarah Tengku Tapa ini jelas layaknya pungguk yang merindukan bulan dan mengharapkan bunyi saat bertepuk sebelah tangan.

Jadi kalau kita tidak ingin orang lain memanipulasi sejarah kita yang berakibat pada lemahnya karakter anak-anak muda kita karena meyakini segala penjelasan dalam sejarah mainstream yang menyatakan Gayo berasal dari kata penakut sebagai fakta.

Sudah saatnya kita melupakan pemerintah Provinsi, sudah saatnya kita mulai mendesak pemerintah di kabupaten-kabupaten Gayo untuk mulai menaruh perhatian pada pembentukan karakter generasi muda Gayo dengan cara mengenalkan kembali karakter Gayo yang asli, karakter pejuang yang salah satunya direpresentasikan oleh Tengku Tapa.

Karena beliau berasal dari Redelong, seperti yang sudah dicontohkan oleh mantan bupati Ruslan Abdul Gani, kiranya pemerintah Bener Meriah lah yang paling pantas untuk mengambil inisiatif untuk membuat seminar tentang Tengku Tapa, mengabadikan nama beliau untuk nama jalan-jalan protokol di Bener Meriah, bahkan mengusulkan kepada pemerintah pusat untuk mengangkat beliau sebagai pahlawan nasional.

Dan ini semua perlu dilakukan dengan segera, karena perlu diketahui pula.  Karena kurangnya catatan sejarah tentang Tengku Tapa, belakangan sudah mulai beredar cerita yang mengaburkan kaitan pahlawan besar ini dengan Gayo dengan mengatakan bahwaTengku Tapa sebenarnya bukan orang Gayo (logikanya tentu saja, mana cocok pahlawan seberani beliau berasal dari bangsa yang asal namanya saja berasal dari kata TAKUT)

Sebagai penutup, mengacu pada kepada alinea pembuka tulisan ini, Penjajahan hanya berhasil ketika bangsa penjajah bisa meyakinkan bahwa bangsa yang dijajahnya adalah bangsa yang berkarakter lemah, sehingga mereka percaya bahwa bangsanya memang pantas dijajah.[lintasgayo]
loading...
Labels:

Post a Comment

loading...

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget