Presiden Jokowi menginstruksikan penyelidikan kuburan massal
anti-komunis pada tahun 1965-1966 yang digerakkan tentara dan didukung
oleh kelompok-kelompok agama. Masih banyak yang skepsis, upaya ini akan
berlanjut.
Presiden Joko Widodo diberitakan sudah menginstruksikan penyelidikan dan
pendataan kuburan massal korban pembunuhan berantai anti komunis
sekitar 1965-1966. Langkah ini dilakukan setelah pemerintah Indonesia
menyelenggarakan Simposium 1965, yang untuk pertama kalinya menghadirkan
wakil-wakil dari keluarga korban.
Debat soal kuburan massal ini dipicu oleh pernyataan Menteri Koordinator
Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukam) Luhut Pandjaitan. Luhut pada
simposium itu menegaskan lagi, pemerintah tidak akan meminta maaf soal
rangkaian pembunuhan dengan korban sedikitnya 500.000 orang itu.
Kemudian dengan provokatif Luhut meminta ditunjukkan bukt-buktii kalau
ada pembunuhanh dan kuburan massal.
Haris Azhar dari kelompok advokasi Kontras mengatakan kepada kantor
berita AP hari Rabu (27/04), dia sendiri terlibat dalam pemetaan 16
situs pemakaman massal hampir satu dekade lalu, terutama di Jawa Tengah.
Dan masih ada informasi tentang ratusan situs lain yang tersebar di
Bali dan Sulawesi.
Tokoh PKI DN Aidit berpidato di kampanye pemilu 1955
Namun Kontras masih belum berbagi informasi sensitif itu dan
meminta pemerintah mengumumkan lebih dulu rencana yang jelas dan
spesifik tentang penyelidikan yang akan dilakukan. Kontras menuntut
landasan hukum penyelidikan kuburan massal dan perlindungan data dan
lokasinya. Ada 30 sampai 40 kelompok di seluruh Indonesia yang memiliki
informasi itu, kata Haris Azhar.
"Dari sisi kami, kami memutuskan untuk tidak memberikan kepada mereka,
jika tidak ada agenda yang jelas tentang apa yang akan mereka lakukan
dengan data-data itu," kata dia.
Rangkaian pembunuhan anti komunis dimulai Oktober 1965, tak lama
pembunuhan beberapa jendral militer berhalauan kanan. Kubu militer di
bawah pimpinan Suharto kemudian melakukan aksi pembalasan
seluas-luasnya.
Suharto, yang saat itu tidak terlalu dikenal, kemudian berhasil naik
ke tampuk kekuasaan dan memerintah dengan rejim otoriter selama lebih
tigapuluh tahun, dengan bantuan negara-negara Barat yang anti komunis.
Pilar-pilar pemerintahan tangan besinya terutama adalah kelompok
militer, Golkar, dan kelompok-kelompok agama yang loyal kepadanya.
Partai Komunis Indonesia (PKI) yang diperkirakan memiliki sekitar 3 juta
anggota dan simpatisan, diberangus dan para anggotanya dikejar,
dibunuh, disiksa dan ditahan tanpa proses pengadilan. Keluarga mereka
mengalami penindasan selama puluhan tahun. Jutaan keluarga dan keturunan
anggota PKI dan simpatisannya menghadapi represi, stigma sosial dan
diskriminasi.
Beberapa tahun lalu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
sudah melakukan penyelidikan tentang kejahatan itu dan merampungkan
laporannya tahun 2012. Dalam rekomendasinya, Komnas HAM menyebutkan
telah terjadi pembunuhan dan kekerasan pada "skala yang sangat luas" dan
menyerukan penuntutanpada pelaku masih hidup.
Bisakah Presiden Jokowi mengungkap kebenaran pembunuhan massal 1965?
"Namun pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak
melakukan apa-apa. Bahkan laporan akhir Komnas HAM dilarang dipublikasi
untuk umum.
Meskipun ada skeptisisme pada terobosan baru yang dilakukan pemerintahan
Jokowi, penyelenggaraan Simposium 1965 di Jakarta juga disambut sebagai
suatu langkah awal ke arah yang benar.
Ini adalah langkah yang sangat penting bagi masa depan Indonesia," kata
Andreas Harsono, peneliti untuk Human Rights Watch (HRW). "Ini baru
perjuangan pembukaan."
Bedjo Untung, yang selamat dari pembantaian 1965 dan kini mengepalai
Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965 (YPKP 65), menyatakan bersedia
menyerahkan informasi yang diperlukan kepada pemerintah.
"Kita sudah punya bukti dan catatan dari kuburan massal di berbagai
tempat di Jawa dan Sumatera," kata Bedjo. "Kami akan menunjukkan bukti
bahwa kejahatan luar biasa terhadap kemanusiaan telah terjadi tahun
1965."(dw.com)
loading...
Post a Comment