Perang Aceh
PAUL
van 't Veer (1922-1979) adalah seorang wartawan yang berminat besar
pada sejarah dan sastra. Dia termasuk segelintir wartawan Belanda yang
dianggap paling mengenal dan ahli tentang Indonesia. Hal itu terlihat
dari sejumlah buku dan karangan lain hasil karyanya. Buku "Perang Aceh, Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje"
merupakan salah satu bukti tentang kecintaannya terhadap sejarah,
ketekunannya dalam meneliti, dan kecemerlangan intelektualnya.
Semuanya
itu terintegrasi secara mulus dalam gaya bahasa jurnalistiknya yang
lancar sehingga menjadikan buku tersebut sebuah karya tulis yang bukan
saja enak dibaca, tetapi juga perseptif dan analitis. Tanpa mengurangi
makna sumbangan yang berharga dari buku ini setelah membacanya dengan
teliti dan kritis sebagian pembaca barangkali akan memperoleh kesan
bahwa buku ini rupanya terutama diperuntukkan bagi orang Belanda.
Hal
itu antara lain jelas terlihat dari pendekatannya yang menempatkan
Perang Aceh dalam perspektif perpolitikan dan kemiliteran Belanda, baik
di dalam negeri maupun di Hindia Belanda serta dalam perkaitan
internasionalnya dengan beberapa negara Eropa. Sejalan dengan itu
dapatlah dimengerti kalau lukisan dan analisa tentang peranan pihak
Belanda jauh lebih teliti, kritis, detail, luas, dan mendalam daripada
gambaran perlawanan pihak Aceh.
Buku
ini melukiskan dengan cermat dan hidup percaturan politik dan militer
Belanda menjelang dan selama Perang Aceh, tetapi uraiannya tentang
perpolitikan dan kemiliteran Aceh di zaman itu kurang memadai sehingga
menimbulkan kesenjangan. Dari situ sekaligus tercermin kekuatan dan
kelemahan karya ini. Kesenjangan yang kita kemukakan berpautan erat
dengan dua pertanyaan pokok yang ingin dijawab oleh pengarang buku.
Pertanyaan
pertama (dalam buku ini tercantum sebagai pertanyaan kedua) bersifat
moral atau etis dan politik, yaitu: "Apakah perang ini dapat
dibenarkan?" Oleh karena yang menjadi agresor atau pencetus perang ini
adalah pihak Belanda, maka pertanyaan tersebut tertuju kepada mereka.
Pertanyaan kedua (pertama dalam buku ini) bersifat militer, yaitu:
"Apakah perang ini dilakukan dengan cara yang tepat?" Oleh karena yang
melakukan perang atau yang memerangi adalah Belanda, maka pertanyaan itu
juga tertuju kepada pihaknya.
Dengan
perkataan lain, dua pertanyaan pokok ini mempersoalkan pihak Belanda
dalam mencetuskan, melakukan, dan menyelesaikan Perang Aceh dari segi
moral, politik, dan militer. Ditinjau dari pihak Belanda, menurut
penulis buku ini, Perang Aceh adalah perang yang terbesar dan terberat
yang pernah dilakukan bangsa itu. Dilihat dari segi waktu perang ini,
yang menurut dia berlangsung dari tahun 1873 sampai 1942 lamanya dapat
dibandingkan dengan Perang 80 Tahun yang pernah dialami Belanda di Eropa
dahulu.
Dari
segi jumlah korban yang tewas (lebih dari 100.000 jiwa, sebagian besar
rakyat Aceh) perang ini merupakan peristiwa militer yang belum ada
bandingnya bagi Belanda. Oleh karena itu, dapatlah dipahami mengapa
perang ini berpengaruh besar dalam kehidupan politik dan militer Belanda
selama berpuluh tahun. Uraian yang kritis serta analisa yang tajam
tentang itu merupakan sumbangan yang berharga dari buku ini.
Dalam
Traktat London tahun 1824 yang ditandatangani Inggris dan Belanda, di
samping menyetujui pertukaran Bengkulu (dari Inggris kepada Belanda)
dengan Malaka (dari Belanda kepada Inggris), terdapat ketentuan bahwa
Belanda berjanji tidak akan mengusik kemerdekaan Aceh dalam usaha
perluasan kekuasaannya di Sumatera. Aceh yang merdeka kemudian dirasakan
sebagai gangguan oleh Belanda baik dari segi kelancaran perdagangannya
maupun dari segi keamanan kekuasaan kolonialnya di Nusantara.
Hal
itu mendorongnya untuk menaklukkan Aceh sebagai daerah kekuasaannya.
Dengan cerdik Belanda berhasil mengajak Inggris menyetujui Traktat
Sumatera pada tahun 1871 yang antara lain menghapus ketentuan yang
menjamin kemerdekaan Aceh dalam Traktat London tahun 1824. Sebagai
imbalan Inggris memperoleh koloni-koloni Belanda di pantai Guinea dengan
membayar nilai-nilai barang yang ada di sana. Traktat Sumatera membuka
pintu bagi Belanda untuk mencaplok Aceh.
Multatuli,
seorang tokoh moralis Belanda yang terkenal dengan buku karangannya Max
Havelaar, melihat bahwa motif utama Belanda dengan Traktat Sumatera itu
adalah untuk meluaskan kekuasaannya ke Aceh. Hal itu antara lain
diamatinya dari kelakuan Gubernur Jenderal James Loudon yang
berkedudukan di Buitenzorg.
Dalam
bulan Oktober 1872 Multatuli menerbitkan surat terbukanya yang berjudul
Surat kepada Raja, yang mengandung ramalan, sebagaimana dikutip oleh
penulis buku ini, yang berbunyi: "Gubernur Jenderal Anda, Tuanku, dengan
bermacam dalih yang dicari-cari, paling-paling berdasarkan alasan
provokasi yang dibuat-buat, bersikap memaklumkan perang kepada Sultan
Aceh dengan tujuan merampas kedaulatan kesultanan itu. Tuanku, perbuatan
ini tidak berbudi, tidak luhur, tidak jujur, tidak bijaksana" (halaman
24).
Pada
tanggal 26 Maret 1873 melalui seorang komisaris yang dikirim ke Aceh
surat pernyataan perang yang ditandatangani Gubernur Jenderal James
Loudon diserahkan kepada Sultan Aceh. Maka, meletuslah perang Belanda di
Aceh. Ramalan Multatuli bukan saja ternyata benar, tetapi juga kritik
tajamnya yang mempertanyakan kebenaran moral atau etis dan politik dari
perang itu rupanya terus hidup mewarnai perpolitikkan Belanda selama
peristiwa berdarah itu berlangsung berpuluh tahun. Sebagian besar buku
ini bercerita tentang perang itu sendiri.
Ada
dua macam perang yang dilukiskan dan dianalisanya. Di Aceh, pembaca
diajaknya mengikuti perang yang "benar-benar" melalui jalannya satu
pertempuran ke pertempuran lain. Di luar medan laga itu, terutama di
Negeri Belanda, kita disuguhinya gambaran yang mengasyikkan tentang
"perang kertas" atau polemik yang tajam mengenai kebijaksanaan militer
yang perlu diambil dalam melakukan dan menyelesaikan perang yang
sesungguhnya. "Hampir tidak ada orang Belanda yang memainkan peranan
utama dalam Perang Aceh yang tidak merasa terpaksa mempertahankan
kebijaksanaannya di depan umum" (halaman 97).
Hal
itu telah berperan besar dalam memperbanyak karya tulis tentang perang
ini. Menurut Van 't Veer sampai 1945 tidak ada peristiwa dari sejarah
kolonial Belanda yang menggugah begitu banyak tulisan seperti Perang
Aceh. Ada sekitar 150 buku atau brosur yang seluruhnya membahas perang
tersebut, dan itu belum termasuk karya-karya tulis seperti buku-buku
pedoman dan artikel-artikel majalah yang tak terhitung banyaknya.
Apa
yang disebut "perang kertas" itu adalah polemik tajam antara penganut
garis lemah dan pentolan Garis keras dalam kebijaksanaan militer dalam
perang. Di kubu garis lemah terdapat Jenderal Van Swieten sebagai salah
seorang tokoh utamanya, sedangkan di kubu garis keras terdapat Jenderal
Verspijck, Snouck Hurgronje, dan Jenderal Van Heusz. Penganut garis
lemah tidak dapat membenarkan cara-cara kekejaman yang luar biasa dan
bumi hangus dalam perang, sedangkan pihak garis keras berkeyakinan bahwa
Aceh tidak bisa ditaklukkan dengan bujukan.
Garis
keras mendapat angin ketika Teuku Umar, yang pernah bekerja sama dengan
Belanda kembali melakukan perlawanan. Jenderal Van Heutsz dan Snouck
Hurgronje memanfaatkan pembelotan Teuku Umar itu untuk melaksanakan
garis keras mereka. Maka, perang Belanda di Aceh menjadi semakin
berdarah. Kekejaman Belanda dengan pasukan marsose-nya semakin
menjadi-jadi. Bukan saja lawan bersenjata yang dibunuh, melainkan
terkadang juga kaum wanita dan anak-anak yang tak berdaya.
Antara
tahun 1899 dan 1909, yang terkenal sebagai "sepuluh tahun berdarah",
tercatat 21.865 orang Aceh yang tewas atau sekitar empat persen dari
penduduk, sedangkan di pihak Belanda hanya 508 orang. Satu per satu kubu
perlawanan orang Aceh dihancurkan. Rumah-rumah dibumihanguskan.
Daerah-daerah tertentu menjadi sunyi sepi ditinggalkan bertahun-tahun
oleh mereka yang berhasil lolos. Bahkan ribuan yang menyingkir jauh
sampai ke Pulau Penang. Di samping ada yang menyerah, banyak pula yang
melawan sampai titik darah terakhir.
Salah
satu kisah keberanian perlawanan Aceh yang luar biasa diperlihatkan
oleh keluarga Teungku Cik Di Tiro, Syekh Saman. Ulama besar ini tewas
pada tahun 1891, tetapi perjuangan diteruskan oleh anak-anak dan
cucu-cucunya. Dalam tahun 1896 tewas pula anak tertua dari lima
putranya. Empat lainnya dan dua cucunya gugur dalam perlawanan antara
tahun 1904 dan 1909. Dalam menghadapi kubu perlawanan keluarga ulama
besar ini Belanda betul-betul menemukan salah satu contoh terbaik dari
keberanian orang Aceh yang luar biasa. "Tidak satu pun dari
pemimpin-pemimpin pemberontakan itu yang menyerah hidup-hidup" (halaman
220).
Sebenarnya
dengan patahnya kubu perlawanan besar terakhir yang dipimpin oleh
ulama-ulama di Tiro tersebut pada permulaan dekade kedua abad ini
Belanda telah berhasil memenangkan perangnya di Aceh. Tetapi apakah
rakyat Aceh merasa telah ditaklukkan? Rupanya, tidak. Paling kurang
masih banyak yang tidak merasa begltu. Mereka memang kalah perang,
tetapi tidak merasa takluk. Hal itu antara lain terbukti dari masih
bermunculannya perlawanan berdarah, meskipun dalam skala kecil-kecil,
sesudah kubu perlawanan besar terakhir dilumpuhkan Belanda.
Bahkan
dalam bulan Februari dan Maret 1942, menjelang mendaratnya Jepang,
terjadi lagi gerakan pemberontakan dengan metode gerilya lama. Belanda
segera mengirimkan pasukan marsose yang selama perang mereka di Aceh
telah membuktikan keampuhannya sebagai pasukan "kontragerilya" yang
efektif. Itulah sebabnya mengapa penulis buku yang diresensi ini sampai
menyimpulkan bahwa "Perang Acek"' berlangsung selama 69 tahun dan baru
berakhir pada tahun 1942. Tentang kapan berakhirnya perang tersebut
memang ada beberapa pendapat yang berbeda dengan apa yang dikemukakan
oleh Van 't Veer.
Salah
satu pendapat yang cukup kuat ialah yang mengemukakan bahwa perang itu
sebenarnya sudah berakhir setelah Belanda berhasil melumpuhkan kubu
perlawanan besar orang Aceh terakhir yang dipimpin oleh ulama-ulama di
Tiro pada permulaan dekade kedua abad ini, tahun 1910-1913. Dengan itu
Belanda praktis telah memenangkan perangnya dan menjadikan Aceh salah
satu bagian dari daerah jajahannya di Nusantara ini. Bahwa masih terjadi
perlawanan kecil-kecilan sesudah itu, sebagian ahli sejarah Aceh
barangkali menganggapnya sebagai masalah keamanan di dalam salah satu
wilayah kekuasaan kolonial, bukan bersiht kelanjutan perang.
Pendapat
seperti ini tentu didasarkan pada definisi "perang" yang rupanya
berbeda dengan definisi yang dianut oleh penulis buku ini. Meskipun buku
ini mengandung beberapa kelemahan yang sebagian telah dikemukakan, pada
dasarnya ia merupakan karya yang berharga dalam menambah pengetahuan
kita. Uraiannya kritis, analisanya tajam, gaya bahasanya enak sehingga
asyik membacanya. Betapapun juga buku ini melihat permasalahan yang dikajinya dari perspektif perpolitikan dan kemiliteran Belanda.[]
Sumber: asalasah.com/
loading...
Post a Comment