Agus Salim (kiri), Soekarno (kanan) tahun 1949 | Sumber: Hulton-Deutsch Collection / Corbis |
| Oleh Ridwan Hd. |
Pidato Soekarno di tahun 1928 nampak mengusik pikiran Agus Salim. Soekarno berkata, �Ibumu Indonesia teramat cantik. Cantik langitnya dan cantik buminya. ...� terus dilanjutkan berbagai keunggulan dan keelokan tanah air, �... Maka tidak lebih dari wajibmu apabila kamu memperhambakan, memperbudakkan dirimu kepada ibumu Indonesia. Menjadi putera yang mengikhlaskan setiamu kepadanya.�
Pidato Soekarno di tahun 1928 nampak mengusik pikiran Agus Salim. Soekarno berkata, �Ibumu Indonesia teramat cantik. Cantik langitnya dan cantik buminya. ...� terus dilanjutkan berbagai keunggulan dan keelokan tanah air, �... Maka tidak lebih dari wajibmu apabila kamu memperhambakan, memperbudakkan dirimu kepada ibumu Indonesia. Menjadi putera yang mengikhlaskan setiamu kepadanya.�
Melalui harian Fadjar Asia yang terbit 28 Juli 1928, Agus Salim mengkritik pernyataan Soekarno itu. �Alasannya benar. Tujuannya baik.� kata Salim, �Tapi, atas nama Tanah Air, yang oleh beberapa bangsa disifatkan �dewi� atau �ibu�, bangsa Perancis dengan gembira menurutkan Lodewijk XIV, penganiaya dan pengisap darah rakyat itu, menyerang, merusak, membinasakan negeri orang dan rakyat bangsa orang, sesamanya manusia.�
Agus Salim juga menjelaskan beberapa negara selain Perancis yang melakukan hal yang sama karena sikap nasionalisme negara-negara Eropa yang cendrung pada Chauvisme, seperti yang dilakukan Austria kepada Prusia, Jerman dan Itali kepada negara-negara tetangganya. Atas nama cinta tanah air, beberapa negara Eropa merendahkan derajat negara lain, dengan menjajah. �Demikianlah kita lihat, betapa agama yang menghambakan manusia kepada berhala tanah air itu mendekatkan kepada persaingan berebut-rebut kekayaan, kemegahan, dan kebesaran, kepada membusukan, memperhinakan dan merusak tanah air orang lain.�
Menghamba dan membudakan diri kepada dewi dan ibu sebagai bentuk presonifikasi tanah yang kita pijak karena keunggulannya, seperti kesuburan, bentangan alam yang indah, dan sebagainya, bagi Agus Salim adalah berbahaya. Menghamba pada sifat kebendaan dunia bukanlah cara untuk mencapai derajat kesempurnaan. Dunia sifatnya tidak kekal, maka jika nyawa itu sudah tidak ada akan habis gunanya. �Demikian juga dalam cinta tanah air kita mesti menunjukkan cita-cita kepada yang lebih tinggi daripada segala benda dan rupa dunia, yaitu kepada hak, keadilan, dan keutamaan yang batasnya dan ukurannya telah ditentukan telah ditentukan oleh Allah Subhanahuwa Ta�ala.�
"Alangkah baiknya," Agus Salim menyimpulkan, "jika cinta kepada tanah air itu karena Allah semata. Bukan karena eloknya dunia. Berlandas cinta kepada Allah dapat menghindari dari: menyimpang dari jalan hak, keadilan, dan keutamaan itu, karena dorongan hawa nafsu.�
Agus Salim mencontohkan cinta tanah air itu pada kisah Nabi Ibrahim yang tertuang pada Surat Ibrahim ayat ke 37. Dari kisah di ayat tersebut, Agus Salim menjelaskan tentang Nabi Ibrahim yang berada di tanah yang tandus, tanpa air, dan juga tak ada kehidupan. Namun, karena ketakwaannya kepada Allah, Nabi Ibrahim berdoa untuk meminta kemuliaan pada tanah tersebut menjadi tanah yang diberkahi. Doa Nabi Ibrahim kini terkabul dengan Melihat Kota Mekkah yang kini ramai dikunjungi jutaan penduduk bumi, dan penuh dengan buah-buahan dari segala penjuru dunia. Padahal, tanah di sana tandus.
Melalui Harian Fadjar Asia itu juga yang terbit pada 18 Agustus 1928, Soekarno menanggapi pernyataan Agus Salim. �Sekali-kali tidak menimbulkan pada kita dugaan akan persaingan dan perceraian, dan memang tidak bermaksud persaingan dan perceraian itu. Bukankah begitu, saudara Haji Agus Salim?� kata Soekarno.
Soekarno lebih membawa pendapatnya itu untuk tujuan persatuan. Propaganda kecintaan pada tanah air yang didengungkan Soekarno lebih kepada ajakan untuk bersatu dari tiap-tiap golongan yang ada. Bukan bermaksud untuk mengajak kecintaan dengan tujuan perpecahan dengan bangsa lain seperti yang ditakutkan Agus Salim. Kemudian ia menganggap tulisan sanggahannya ini sebagai pelengkap, bukan bantahan dari pernyataan Agus Salim yang dianggap Soekarno �lupa mengemukakan� soal persatuan itu.
Menurut Soekarno, Agus Salim lupa mengatakan bahwa rasa kebangsaan kini sedang berapi-api di dalam hati sanubari kaum Nasional Indonesia. Rasa kebangsaan menurut dirinya bukan kebangsaan yang agresif dan menyerang. Tidak seperti kebangsaan seperti di Eropa. �Tidak diarahkan ke luar, tetapi ialah diarahkan ke dalam.� jelas Soekarno.
Soekarno menjelaskan maksud nasionalisme dalam pandangannya. �Ia bukanlah nasionalisme yang timbul dari kesomboongan bangsa belaka; ia adalah nasionalisme yang melebar �nasionalisme yang timbul daripada pengetahuan atas susunan dunia dan riwayat , ia bukanlah jingo-nasionalismeatau chauvinisme, dan bukanlah suatu copie atau tiruan daripada nasionalisme barat. Nasionalisme kita ialah suatu nasionalisme yang menerima rasa hidupnya sebagai suatu wahyu dan menjalankan rasa hidupnya itu sebagai suatu bakti.�
Kemudian melanjutkan, �Nasionalisme kita adalah nasionalisme yang membuat kita menjadi perkakas Tuhan, dan membuat kita menjadi hidup dalam roh �sebagai yang saban-saban dikhotbahkan oleh Bipin Chandra Pal, pemimpin India yang besar itu. Dengan Nasionalisme yang demikian ini maka kita insaf dengan seinsaf-insafnya, bahwa negeri kita dan rakyat kita adalah sebagian daripada negeri Asia dan rakyat Asia. Kita kaum pergerakan nasional Indonesia, kita bukannya saja merasa menjadi abdi atau hamba dari pada tanah tumpah darah kita, akan tetapi jugalah merasa menjadi abdi dan hamba Asia, abdi dan hamba semua kaum sengsara, abdi dan hamba dunia...�
Soekarno juga banyak mencontohkan karakter nasionalisme dari para pempimpin Islam, seperti Moestafa Kamil, Amanoellah Khan, Arabi Pasha, dengan berbagai pernyataan cintanya pada tanah air.
Agus Salim kembali menanggapi melalui Harian Fadjar Asia yang terbit 20 Agustus 1928. Ia menegaskan tidak bermaksud untuk menunjukkan perpecahan atas tidak sependapatnya pada konsep nasionalisme Soekarno. Baik dari kalangan Nasionalis Sekuler yang diwakilkan Soekarno melalui Partai Nasionalis Indonesia (PNI) dan kalangan Islam yang diwakilkan Agus Salim melalui Partai Sarekat Islam (PSI), memiliki kesamaaan, yaitu sama-sama cinta pada tanah airnya. Sama-sama memiliki tujuan, yaitu kemuliaan bangsa dan kemerdekaan tanah air. Juga sama-sama pada tempat bergerak, yaitu negeri yang sedang terjajah oleh bangsa asing. Hanya saja, bagi Agus Salim, berbeda dalam asas dan niat. �Asas kita adalah agama, yaitu Islam. Niat kita Li�llaahi Ta�aala.� kata Salim.
Dalam penjelasannya, Agus Salim berusaha tetap mempertemukan kesamaan dalam perjuangan antar pergerakan. Kritiknya pada pidato Soekarno di awal tidak bermaksud mengganggu persatuan yang telah ditetapkan dalam pergerakan antara PSI dan PNI.
Dalam penjelasannya juga, Agus Salim sangat menghormati pandangan Soekarno dan mau menerima perbedaan pendapatnya. Ia hanya ingin mengemukakan menurut pandangannya sesuai asas dari PSI yang berideologi Islam, bahwa persatuan memang perintah Allah.
Dengan berlandas niat kepada Allah, akan terjaga dari sifat-sifat congkak dan sombong atas kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh tanah air. Jika sifat itu merasuk, seperti yang ditakuti Agus Salim, dapat memunculkan perendahan pada bangsa lain. Dengan niat karena Allah, rasa sombong itu bisa dijaga. Begitu juga apapun kekurangan yang ada pada negeri, seperti pada kisah Nabi Ibrahim tadi, cinta pada tanah air tetap terjaga.
Agus Salim menyimpulkan, �Kita merasa amat perlu mengemukakan ini sebab bergerak menuntut kemerdekaan bangsa dan tanah air yang dalam penghambaan, bukan perkara mudah dan bukanlah perkara yang memberi keyakinan akan mendapatkan untung dengan seketika, tetapi sebaliknya banyak sekali perdaya dunia yang bermancam-macam yang dapat menyesatkan dia. Hanya pengakuan batas-batas Allah yang dapat menjaga kesucian pergerakan keutamaan itu.�
loading...
Post a Comment