AMP - Pemerintah Indonesia melalui Menkopolhukam dan jajarannya berjanji menyelesaikan 11 kasus dugaan pelanggaran HAM di Papua, termasuk kasus Biak Numfor 1998 dan peristiwa Paniai 2014.
Penyelesaian hukum terhadap 11 kasus tersebut melibatkan Mabes Polri, TNI, Badan Intelijen Negara, Polda Papua, Komnas HAM, Kejaksaan Agung, Masyarakat Adat Papua, pegiat HAM dan pemerhati masalah Papua.
Dari 11 kasus dugaan pelanggaran HAM, Polda Papua dan Kodam XVII/Cenderawasih diberi kewenangan menyelesaikan empat kasus dugaan pelanggaran HAM, kata Kapolda Papua Irjen Paulus Waterpauw.
Adapun lima kasus akan ditangani secara hukum oleh Mabes Polri, Kejaksaan Agung, serta Komnas HAM, dan dua kasus lainnya yaitu kasus penyanderaan Mapenduma 1996 dan kerusuhan Biak Numfor 1998 akan diselesaikan melalui 'keputusan politik'.
"Ada yang sudah diperiksa, olah tempat kejadian perkara. Mudah-mudahan yang akan datang kita sudah sampaikan siapa terduga pelaku," ungkap Waterpauw saat ditanya apakah pihaknya sudah menetapkan tersangka dari empat kasus tersebut.
"Kami kebagian empat kasus, termasuk kasus hilangnya Aristoteles Masoka (10 November 2001), sopirnya Theys Eluay (aktivis Papua merdeka)," kata Paulus Waterpauw kepada wartawan usai rapat koordinasi di kantor Menkopolhukam, Rabu (18/05) sore.
Paulus Waterpauw menambahkan selain menyelidiki kasus hilangnya Aristoteles Masoka, mereka tengah menyelidi tewasnya aktivis Opinus Tabuni (8 Agustus 2008), kasus penangkapan Yawan Wayeni (3 Agustus 2009), serta kasus Kongres Rakyat Papua III (19 Oktober 2011).
Ditegaskan pula pihaknya sudah menyelesaikan secara hukum tiga kasus kekerasan yaitu penyerangan Mapolsek Abe (7 Desember 2000), penangkapan Mako Tabuni (14 Juni 2012) dan kerusuhan di depan kampus Universitas Cenderawasih (16 Maret 2006).
Dugaan pelanggaran HAM berat
Sementara itu Komisioner Komnas HAM Imdadun Rahmat mengatakan pihaknya diberi wewenang untuk menyelesaikan sejumlah kasus kekerasan di Papua yang diduga merupakan pelanggaran HAM berat.
"Yang masuk kategori (pelanggaran) HAM berat, yaitu kasus Wasior (2001) dan Wamena (2003), kasus Paniai (Desember 2014), dan masih usulan tapi belum disepakati betul yaitu kasus Biak berdarah (Juli 1998). Empat kasus ini yang kami tangani," kata Imdadun setelah rapat di kantor Menkopolhukam.
Peristiwa Wamena, 4 April 2003, diawali pembobolan gudang senjata Kodim 1702 Wamena, yang ditindaklanjuti upaya pengejaran oleh TNI terhadap terduga pelaku.
Dalam proses pengejaran, terjadi dugaan tindak kekerasan seperti penangkapan, penyiksaan, pembunuhan terhadap penduduk sipil, dan pembakaran gedung dan poliklinik setempat.
Sementara kasus Wasior, 13 Juni 2001, terjadi di Desa Wonoboi, Distrik Wasior, Manokwari, dipicu oleh terbunuhnya lima anggota Brimob dan seorang warga sipil.
Aparat Polres Manokwari kemudian melakukan penyisiran dan terjadi dugaan tindak kekerasan berupa pembunuhan, perampasan kemerdekaan, dan penyiksaan di Distrik Wasior.
Kedua kasus ini, menurut Kantor Menkopolhukam, tengah ditangani Komnas HAM dan Kejaksaan Agung.
Sejak awal para pegiat HAM menuntut agar berbagai dugaan pelanggaran HAM di Papua diselesaikan melalui peradilan HAM adhoc. Mereka juga menuntut kehadiran tim independen internasional untuk mengawasi proses hukumnya.
Dan ketika ditanya kenapa Komnas HAM dan pemerintah memutuskan 11 kasus kekerasan yang harus diselidiki, komisoner Komnas HAM Imdadun mengatakan, "Proses seleksi kasus itu sudah berlangsung di Jayapura, dan ketika dibawa ke sini sudah merupakan kesepakatan antara kepolisian, pemda, Komnas HAM Papua, serta civil society di sana."
Imdadun mengatakan, upaya penyelesaian 11 kasus dugaan pelanggaran HAM di Papua merupakan sebuah kemajuan. "Ini pertemuan keempat, lalu suasana yang terbangun sangat terbuka, teman-teman Papua diberi kesempatan untuk bebas mengajukan usulan, bebas bicara dan kesepakatan yang dibuat snagat demokratis."
Dia mengharapkan upaya hukum terkait dugaan pelanggaran HAM di Papua dapat menegakkan keadilan di wilayah itu.
"Dipulihkannya hak asasinya rakyat Papua, soal kemudian ada dampak politik, itu bonus," kata Imdadun.
'Dua persoalan berbeda'
Adapun anggota Dewan Adat Papua, Willem Bonay, yang merupakan anggota tim penyelesaian kasus HAM di Papua, mengatakan upaya hukum pemerintah ini merupakan persoalan yang berbeda dengan aspirasi tuntutan kemerdekaan Papua.
"Masalah aspirasi rakyat Papua yang ingin merdeka, harus diselesaikan dengan dialog pada jalurnya sendiri. Dan masalah pelanggaran HAM diselesaikan di jalur berbeda. Ini dua hal berbeda," kata Bonay.
"Kita tidak bilang kalau masalah HAM selesai, maka tuntutan kemerdekaan akan selesai pula," tambahnya.
Sementara, usai menggelar rapat, Menkopolhukam Luhut Panjaitan menyatakan optimis dapat menyelesaikan 11 kasus dugaan pelanggaran HAM di Papua ini selesai pada akhir tahun 2016.
"Kalau (kasus dugaan pelanggaran HAM) Papua saya optimis selesai akhir tahun 2016," kata Luhut kepada wartawan, Rabu malam.
Tuntutan pemisahan diri sebagian warga Papua terus disuarakan oleh para pendukungnya, termasuk melakukan kampanye di dunia internasional, diantaranya dengan menggulirkan referendum di Papua.
Pemerintah pusat sendiri menyatakan masalah Papua sudah selesai semenjak PBB menyatakan bahwa Papua adalah bagian dari Indonesia dalam Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969.
Presiden Joko Widodo telah melakukan berbagai terobosan politik untuk menyelesaikan masalah separatisme dengan antara lain membebaskan sejumlah tahanan politik tokoh-tokoh yang dikenal sebagai tokoh pendukung kemerdekaan Papua.
Melalui kunjungannya beberapa kali ke Papua, Jokowi juga telah meresmikan beberapa proyek infrastruktur seperti pembangunan jalan, perluasan bandara serta perbaikan pasar.
Dalam berbagai pernyataannya, Presiden juga menjanjikan untuk menyelesaikan masalah separatisme di Papua dengan dialog dan tidak mengedepankan lagi pendekatan keamanan.(BBC)
Penyelesaian hukum terhadap 11 kasus tersebut melibatkan Mabes Polri, TNI, Badan Intelijen Negara, Polda Papua, Komnas HAM, Kejaksaan Agung, Masyarakat Adat Papua, pegiat HAM dan pemerhati masalah Papua.
Dari 11 kasus dugaan pelanggaran HAM, Polda Papua dan Kodam XVII/Cenderawasih diberi kewenangan menyelesaikan empat kasus dugaan pelanggaran HAM, kata Kapolda Papua Irjen Paulus Waterpauw.
Adapun lima kasus akan ditangani secara hukum oleh Mabes Polri, Kejaksaan Agung, serta Komnas HAM, dan dua kasus lainnya yaitu kasus penyanderaan Mapenduma 1996 dan kerusuhan Biak Numfor 1998 akan diselesaikan melalui 'keputusan politik'.
"Ada yang sudah diperiksa, olah tempat kejadian perkara. Mudah-mudahan yang akan datang kita sudah sampaikan siapa terduga pelaku," ungkap Waterpauw saat ditanya apakah pihaknya sudah menetapkan tersangka dari empat kasus tersebut.
"Kami kebagian empat kasus, termasuk kasus hilangnya Aristoteles Masoka (10 November 2001), sopirnya Theys Eluay (aktivis Papua merdeka)," kata Paulus Waterpauw kepada wartawan usai rapat koordinasi di kantor Menkopolhukam, Rabu (18/05) sore.
Paulus Waterpauw menambahkan selain menyelidiki kasus hilangnya Aristoteles Masoka, mereka tengah menyelidi tewasnya aktivis Opinus Tabuni (8 Agustus 2008), kasus penangkapan Yawan Wayeni (3 Agustus 2009), serta kasus Kongres Rakyat Papua III (19 Oktober 2011).
Ditegaskan pula pihaknya sudah menyelesaikan secara hukum tiga kasus kekerasan yaitu penyerangan Mapolsek Abe (7 Desember 2000), penangkapan Mako Tabuni (14 Juni 2012) dan kerusuhan di depan kampus Universitas Cenderawasih (16 Maret 2006).
Dugaan pelanggaran HAM berat
Sementara itu Komisioner Komnas HAM Imdadun Rahmat mengatakan pihaknya diberi wewenang untuk menyelesaikan sejumlah kasus kekerasan di Papua yang diduga merupakan pelanggaran HAM berat.
"Yang masuk kategori (pelanggaran) HAM berat, yaitu kasus Wasior (2001) dan Wamena (2003), kasus Paniai (Desember 2014), dan masih usulan tapi belum disepakati betul yaitu kasus Biak berdarah (Juli 1998). Empat kasus ini yang kami tangani," kata Imdadun setelah rapat di kantor Menkopolhukam.
Peristiwa Wamena, 4 April 2003, diawali pembobolan gudang senjata Kodim 1702 Wamena, yang ditindaklanjuti upaya pengejaran oleh TNI terhadap terduga pelaku.
Dalam proses pengejaran, terjadi dugaan tindak kekerasan seperti penangkapan, penyiksaan, pembunuhan terhadap penduduk sipil, dan pembakaran gedung dan poliklinik setempat.
Sementara kasus Wasior, 13 Juni 2001, terjadi di Desa Wonoboi, Distrik Wasior, Manokwari, dipicu oleh terbunuhnya lima anggota Brimob dan seorang warga sipil.
Aparat Polres Manokwari kemudian melakukan penyisiran dan terjadi dugaan tindak kekerasan berupa pembunuhan, perampasan kemerdekaan, dan penyiksaan di Distrik Wasior.
Kedua kasus ini, menurut Kantor Menkopolhukam, tengah ditangani Komnas HAM dan Kejaksaan Agung.
Sejak awal para pegiat HAM menuntut agar berbagai dugaan pelanggaran HAM di Papua diselesaikan melalui peradilan HAM adhoc. Mereka juga menuntut kehadiran tim independen internasional untuk mengawasi proses hukumnya.
Dan ketika ditanya kenapa Komnas HAM dan pemerintah memutuskan 11 kasus kekerasan yang harus diselidiki, komisoner Komnas HAM Imdadun mengatakan, "Proses seleksi kasus itu sudah berlangsung di Jayapura, dan ketika dibawa ke sini sudah merupakan kesepakatan antara kepolisian, pemda, Komnas HAM Papua, serta civil society di sana."
Imdadun mengatakan, upaya penyelesaian 11 kasus dugaan pelanggaran HAM di Papua merupakan sebuah kemajuan. "Ini pertemuan keempat, lalu suasana yang terbangun sangat terbuka, teman-teman Papua diberi kesempatan untuk bebas mengajukan usulan, bebas bicara dan kesepakatan yang dibuat snagat demokratis."
Dia mengharapkan upaya hukum terkait dugaan pelanggaran HAM di Papua dapat menegakkan keadilan di wilayah itu.
"Dipulihkannya hak asasinya rakyat Papua, soal kemudian ada dampak politik, itu bonus," kata Imdadun.
'Dua persoalan berbeda'
Adapun anggota Dewan Adat Papua, Willem Bonay, yang merupakan anggota tim penyelesaian kasus HAM di Papua, mengatakan upaya hukum pemerintah ini merupakan persoalan yang berbeda dengan aspirasi tuntutan kemerdekaan Papua.
"Masalah aspirasi rakyat Papua yang ingin merdeka, harus diselesaikan dengan dialog pada jalurnya sendiri. Dan masalah pelanggaran HAM diselesaikan di jalur berbeda. Ini dua hal berbeda," kata Bonay.
"Kita tidak bilang kalau masalah HAM selesai, maka tuntutan kemerdekaan akan selesai pula," tambahnya.
Sementara, usai menggelar rapat, Menkopolhukam Luhut Panjaitan menyatakan optimis dapat menyelesaikan 11 kasus dugaan pelanggaran HAM di Papua ini selesai pada akhir tahun 2016.
"Kalau (kasus dugaan pelanggaran HAM) Papua saya optimis selesai akhir tahun 2016," kata Luhut kepada wartawan, Rabu malam.
Tuntutan pemisahan diri sebagian warga Papua terus disuarakan oleh para pendukungnya, termasuk melakukan kampanye di dunia internasional, diantaranya dengan menggulirkan referendum di Papua.
Pemerintah pusat sendiri menyatakan masalah Papua sudah selesai semenjak PBB menyatakan bahwa Papua adalah bagian dari Indonesia dalam Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969.
Presiden Joko Widodo telah melakukan berbagai terobosan politik untuk menyelesaikan masalah separatisme dengan antara lain membebaskan sejumlah tahanan politik tokoh-tokoh yang dikenal sebagai tokoh pendukung kemerdekaan Papua.
Melalui kunjungannya beberapa kali ke Papua, Jokowi juga telah meresmikan beberapa proyek infrastruktur seperti pembangunan jalan, perluasan bandara serta perbaikan pasar.
Dalam berbagai pernyataannya, Presiden juga menjanjikan untuk menyelesaikan masalah separatisme di Papua dengan dialog dan tidak mengedepankan lagi pendekatan keamanan.(BBC)
loading...
Post a Comment