Koleksi: aceHTRend |
AMP - ADALAH Ibnu Khaldun yang mengatakan bahwa mereka yang ingin mengkaji sejarah memerlukan ilmu politik, mengetahui karakter-karakter alam, perbedaan bangsa, kawasan, akhlak dan tradisi serta prinsip-prinsip suatu bangsa, agama dan antropologinya. Sehingga seseorang yang bisa menguasai masa sekarang dapat membandingkannya dengan masa lalu, mendapati perbedaan dan persamaannya.
Dengan prinsip itulah seorang sejarawan bisa menilai suatu berita dengan kaidah-kaidah yang sudah dimilikinya yang melahirkan sebuah kebenaran dalam melihat sejarah. Jika tidak demikian, maka ia telah mendustakannya dan meninggalkannya (Khaldun: 2001)
Prinsip-prinsip inilah yang kemudian (pasca tahun 1953) dianut oleh Tengku Hasan Muhammad Tiro dalam melihat sejarah Aceh dan Indonesia sehingga menjadikannya seorang kritikus sejarah Indonesia pada satu sisi dan menjadikannya seorang peletak dasar nasionalisme Aceh disisi yang lain, hingga menjadi kekuatan lahirnya sebuah konsepsi tentang Aceh Merdeka.
Pasca kemerdekaan Indonesia, Tiro menganggap bahwa Aceh dan sejarahnya adalah bagian yang tak terpisahkan dengan Indonesia, menjadikannya bagian dari satu bangsa, satu bahasa dan satu tanah air. Dengan harapan, Indonesia memiliki “sejarah bersama” yang menjadi kekuatan dalam perumusan konsepsi sejarah Indonesia. Sehingga, “sejarah bersama” itu ditulis oleh para ahli sejarah masing-masing daerah di Indonesia dan bisa dikenal seluas-luasnya sebagai konsep nasionalisme duduk sama rendah tegak sama tinggi bukan sejarah yang sentralistik dan penuh distorsi (Tiro: 1948).
Awalnya, Tiro berharap bahwa Islam dan masyarakatnya yang berjuang habis-habisan mewujudkan kemerdekaan Indonesia bisa dijadikan sebagai sebuah falsafah dan ideologi dasar negara Indonesia, karena cita-cita untuk mendirikan Negara Islam di Indonesia bukanlah suatu hal yang baru, cita-cita itu sama tuanya dengan umur Islam di Indonesia. Pandangan Tiro, bahwa perjuangan melawan Belanda yang dilakukan oleh semua pahlawan di Indonesia berdasarkan landasan Islam. Maka, tidak bisa dinafikan cita-cita untuk mendirikan Negara Islam di Indonesia (Tiro: 1947). Inilah yang memotivasi Tiro menterjemahkan buku Assiyasatu Asyar’iyah karangan Guru Besar Fuad I University Cairo, Prof. Abdul Wahab Khallaf dengan judul dalam bahasa Indonesia Dasar-Dasar Negara Islam. Harapannya, menjadi rujukan awal konsepsi politik Islam di Indonesia.
Rentetan dan rangkaian peristiwa yang terjadi di Aceh era 1950-an telah melandasi lahirnya gerakan Darul Islam di Aceh yang menambah kompleksitas masalah Indonesia yang saat itu baru terwujud. Namun, terlepas dari kontroversi dan kepentingan apapun yang melatar-belakangi lahirnya Darul Islam di Aceh, kesamaan cita-cita yakni Islam menjadi satu alasan yang menyebabkan Tiro bergabung dan diangkat menjadi Duta Besar Darul Islam di Amerika. Tahun 1954 sebagaimana kita ketahui, Tiro yang sedang bekerja di New York mengirimkan protes kepada Indonesia yang sedang menumpas DI/TII. Jika kita analisa, saat surat protes itu dilayangkan Tiro masih memiliki keinginan untuk tumbuh bersama dengan Indonesia.
Hanya saja, Tiro tidak bisa membenarkan tindakan penumpasan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia mengatas-namakan nasionalisme dan patriotisme. Inilah yang kemudian melandasi Tiro merekonstruksi ulang konsepsi negara Indonesia dengan mengkritis secara tajam pandangan politik Soekarno dalam bukunya Demokrasi Untuk Indonesia yang terbit tahun 1958. Dalam buku itu juga, secara implisit Tiro yang sudah mendapat pendidikan hukum dan politik di luar negeri mengancam untuk memisahkan Aceh dari Indonesia, dimana hak self-determination itu sudah dijamin oleh Hukum Internasional, inilah titik awal lahirnya Gerakan Aceh Merdeka.
Pandangan dan rangkaian persepsi inilah yang tidak dilihat dan ditulis oleh kebanyakan penulis dan pengkaji sejarah khususnya terkait lahirnya Gerakan Aceh Merdeka, acap kali mereka memandang latar belakang lahirnya GAM adalah bagian yang berdiri secara terpisah dari proses transformasi pemikiran yang dialami oleh Tiro, lantas berkesimpulan bahwa faktor ekonomi dan kesejahteraan menjadi indikator utama lahirnya perlawanan. Cita-cita dan harapan Islam sebagai pemersatu yang telah lama menjadi mimpi Tiro untuk menjamin kelangsungan hidup bernegara di Indonesia sering luput dalam setiap kajian dan analisa tentangnya. Padahal Islam telah menjadi dasar pemikiran Tiro jauh sebelum DI/TII muncul.
Sebut saja Tim Kell, James T. Siegel, Edward Aspinall dan Kirsten E. Schulze yang tidak adil dalam melakukan analisanya terkait identitas politik yang dibentuk oleh Tiro. Monografi yang dikemukakan terkait dengan landasan pergerakan Aceh Merdeka melahirkan pandangan yang subjektif, pendekatan ilmu politik (khususnya politik Internasional), kawasan dan karakter yang menjadi unsur penting dalam kajian sejarah sebagaimana disebutkan Ibnu Khaldun dalam maha karyanya Muqaddimah, tidak digunakan secara objektif.
Sehingga, argumentasinya terlihat tidak utuh dalam mengeksplorasi paradigma dan alasan Tiro selaku subjek-aktor politik serta memisahkan dan memutuskan persepsi yang terjadi di era 40an, Orde Lama dan Orde Baru, seakan Tiro begitu lahir langsung melawan Indonesia dengan romantisme sejarah Aceh yang didambakannya. Ironisnya, banyak pandangan mereka dikutip oleh penulis Indonesia dalam melihat konflik Aceh kontemporer, khususnya Aceh Merdeka.
Padahal, ancaman memisahkan diri dari Indonesia yang dilontarkan Tiro tahun 1958 itulah kemudian di formulasikan oleh Tiro untuk meninjau kembali status Aceh (baca: sejarah) dalam Indonesia. Hal inilah yang menjadi dasar lahirnya konsep dan teori sejarah Aceh menurut Tiro, hingga kemudian secara eksplisit menjadi bagian dari instrumen politik dan menjelma menjadi kunci ideologi Aceh Merdeka. Kegagalan DI/TII di pentas internasional mengajarkan Tiro untuk tidak menjadikan Islam secara tegas sebagai aliran politik Aceh Merdeka. Maka dari itu, dokumen Resolusi PBB yang ditemukan Tiro meyakinkannya untuk menjadikan sejarah Aceh sebagai landasan awal perlawanan. Konsep sejarah itulah yang kemudian diramu hingga wujud menjadi nasionalisme Melayu dan Aceh.
Tulisan ini hanyalah pembuka untuk melihat konsep sejarah Aceh yang dijadikannya sebagai alat untuk melawan Indonesia, apa dan bagaimana konsep sejarah Aceh tersebut dan bagaimana Tiro menjadikan sejarah tidak hanya sebagai identitas tapi juga sebagai legalitas hingga ideologi Aceh Merdeka bisa diterima sebagian besar rakyat Aceh dan bertahan begitu lama? Lalu sampai pada peuneutöh bahwa, soë mantong djipeuteuwo seudjarah meumakna ka djidjak peulamiët droë bak gop.
Dengan prinsip itulah seorang sejarawan bisa menilai suatu berita dengan kaidah-kaidah yang sudah dimilikinya yang melahirkan sebuah kebenaran dalam melihat sejarah. Jika tidak demikian, maka ia telah mendustakannya dan meninggalkannya (Khaldun: 2001)
Prinsip-prinsip inilah yang kemudian (pasca tahun 1953) dianut oleh Tengku Hasan Muhammad Tiro dalam melihat sejarah Aceh dan Indonesia sehingga menjadikannya seorang kritikus sejarah Indonesia pada satu sisi dan menjadikannya seorang peletak dasar nasionalisme Aceh disisi yang lain, hingga menjadi kekuatan lahirnya sebuah konsepsi tentang Aceh Merdeka.
Pasca kemerdekaan Indonesia, Tiro menganggap bahwa Aceh dan sejarahnya adalah bagian yang tak terpisahkan dengan Indonesia, menjadikannya bagian dari satu bangsa, satu bahasa dan satu tanah air. Dengan harapan, Indonesia memiliki “sejarah bersama” yang menjadi kekuatan dalam perumusan konsepsi sejarah Indonesia. Sehingga, “sejarah bersama” itu ditulis oleh para ahli sejarah masing-masing daerah di Indonesia dan bisa dikenal seluas-luasnya sebagai konsep nasionalisme duduk sama rendah tegak sama tinggi bukan sejarah yang sentralistik dan penuh distorsi (Tiro: 1948).
Awalnya, Tiro berharap bahwa Islam dan masyarakatnya yang berjuang habis-habisan mewujudkan kemerdekaan Indonesia bisa dijadikan sebagai sebuah falsafah dan ideologi dasar negara Indonesia, karena cita-cita untuk mendirikan Negara Islam di Indonesia bukanlah suatu hal yang baru, cita-cita itu sama tuanya dengan umur Islam di Indonesia. Pandangan Tiro, bahwa perjuangan melawan Belanda yang dilakukan oleh semua pahlawan di Indonesia berdasarkan landasan Islam. Maka, tidak bisa dinafikan cita-cita untuk mendirikan Negara Islam di Indonesia (Tiro: 1947). Inilah yang memotivasi Tiro menterjemahkan buku Assiyasatu Asyar’iyah karangan Guru Besar Fuad I University Cairo, Prof. Abdul Wahab Khallaf dengan judul dalam bahasa Indonesia Dasar-Dasar Negara Islam. Harapannya, menjadi rujukan awal konsepsi politik Islam di Indonesia.
Rentetan dan rangkaian peristiwa yang terjadi di Aceh era 1950-an telah melandasi lahirnya gerakan Darul Islam di Aceh yang menambah kompleksitas masalah Indonesia yang saat itu baru terwujud. Namun, terlepas dari kontroversi dan kepentingan apapun yang melatar-belakangi lahirnya Darul Islam di Aceh, kesamaan cita-cita yakni Islam menjadi satu alasan yang menyebabkan Tiro bergabung dan diangkat menjadi Duta Besar Darul Islam di Amerika. Tahun 1954 sebagaimana kita ketahui, Tiro yang sedang bekerja di New York mengirimkan protes kepada Indonesia yang sedang menumpas DI/TII. Jika kita analisa, saat surat protes itu dilayangkan Tiro masih memiliki keinginan untuk tumbuh bersama dengan Indonesia.
Hanya saja, Tiro tidak bisa membenarkan tindakan penumpasan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia mengatas-namakan nasionalisme dan patriotisme. Inilah yang kemudian melandasi Tiro merekonstruksi ulang konsepsi negara Indonesia dengan mengkritis secara tajam pandangan politik Soekarno dalam bukunya Demokrasi Untuk Indonesia yang terbit tahun 1958. Dalam buku itu juga, secara implisit Tiro yang sudah mendapat pendidikan hukum dan politik di luar negeri mengancam untuk memisahkan Aceh dari Indonesia, dimana hak self-determination itu sudah dijamin oleh Hukum Internasional, inilah titik awal lahirnya Gerakan Aceh Merdeka.
Pandangan dan rangkaian persepsi inilah yang tidak dilihat dan ditulis oleh kebanyakan penulis dan pengkaji sejarah khususnya terkait lahirnya Gerakan Aceh Merdeka, acap kali mereka memandang latar belakang lahirnya GAM adalah bagian yang berdiri secara terpisah dari proses transformasi pemikiran yang dialami oleh Tiro, lantas berkesimpulan bahwa faktor ekonomi dan kesejahteraan menjadi indikator utama lahirnya perlawanan. Cita-cita dan harapan Islam sebagai pemersatu yang telah lama menjadi mimpi Tiro untuk menjamin kelangsungan hidup bernegara di Indonesia sering luput dalam setiap kajian dan analisa tentangnya. Padahal Islam telah menjadi dasar pemikiran Tiro jauh sebelum DI/TII muncul.
Sebut saja Tim Kell, James T. Siegel, Edward Aspinall dan Kirsten E. Schulze yang tidak adil dalam melakukan analisanya terkait identitas politik yang dibentuk oleh Tiro. Monografi yang dikemukakan terkait dengan landasan pergerakan Aceh Merdeka melahirkan pandangan yang subjektif, pendekatan ilmu politik (khususnya politik Internasional), kawasan dan karakter yang menjadi unsur penting dalam kajian sejarah sebagaimana disebutkan Ibnu Khaldun dalam maha karyanya Muqaddimah, tidak digunakan secara objektif.
Sehingga, argumentasinya terlihat tidak utuh dalam mengeksplorasi paradigma dan alasan Tiro selaku subjek-aktor politik serta memisahkan dan memutuskan persepsi yang terjadi di era 40an, Orde Lama dan Orde Baru, seakan Tiro begitu lahir langsung melawan Indonesia dengan romantisme sejarah Aceh yang didambakannya. Ironisnya, banyak pandangan mereka dikutip oleh penulis Indonesia dalam melihat konflik Aceh kontemporer, khususnya Aceh Merdeka.
Padahal, ancaman memisahkan diri dari Indonesia yang dilontarkan Tiro tahun 1958 itulah kemudian di formulasikan oleh Tiro untuk meninjau kembali status Aceh (baca: sejarah) dalam Indonesia. Hal inilah yang menjadi dasar lahirnya konsep dan teori sejarah Aceh menurut Tiro, hingga kemudian secara eksplisit menjadi bagian dari instrumen politik dan menjelma menjadi kunci ideologi Aceh Merdeka. Kegagalan DI/TII di pentas internasional mengajarkan Tiro untuk tidak menjadikan Islam secara tegas sebagai aliran politik Aceh Merdeka. Maka dari itu, dokumen Resolusi PBB yang ditemukan Tiro meyakinkannya untuk menjadikan sejarah Aceh sebagai landasan awal perlawanan. Konsep sejarah itulah yang kemudian diramu hingga wujud menjadi nasionalisme Melayu dan Aceh.
Tulisan ini hanyalah pembuka untuk melihat konsep sejarah Aceh yang dijadikannya sebagai alat untuk melawan Indonesia, apa dan bagaimana konsep sejarah Aceh tersebut dan bagaimana Tiro menjadikan sejarah tidak hanya sebagai identitas tapi juga sebagai legalitas hingga ideologi Aceh Merdeka bisa diterima sebagian besar rakyat Aceh dan bertahan begitu lama? Lalu sampai pada peuneutöh bahwa, soë mantong djipeuteuwo seudjarah meumakna ka djidjak peulamiët droë bak gop.
Tuah perdamaian Aceh dan hadirnya media teknologi telah memberi peluang kepada kita untuk mengkaji dan mengakses dokumen-dokumen GAM serta buku-buku dan tulisan yang ditulis oleh Tengku Hasan Tiro yang dulu saat konflik sangat dilarang untuk dibaca apalagi memilikinya, hal ini menjadi sumber penting dalam melihat motivasi dan ideologi perlawanan GAM secara objektif sehingga menjadi sintesis atas apa yang selama ini diasumsikan terkait lahirnya perlawanan GAM. Fakta-fakta tersebut mulai terkuak saat menginterpretasikan dokumen-dokumen sejarah tentangnya.
Dalam bagian pertama tulisan ini; Konsep Sejarah Aceh Hasan Tiro – Bagian 1 dan dalam artikel Hasan Tiro dan Gugatan Nasionalisme sudah dibahas secara implisit bahwa faktor ideologi menjadi alasan utama Tiro melakukan perlawanan kepada Indonesia. Sehingga, thesis dan argumen beberapa penulis tentang sejarah GAM dan Tengku Hasan Tiro yang berontak karena faktor ekonomi dan sosial sebagai faktor utama tidak memiliki sandaran ilmiah yang kuat, jauh dari nilai objektif dan sangat diragukan bahkan bertolak belakang dengan fakta-fakta dan sumber sejarah yang ada. Karena kenyataannya, penafsiran dan pertentangan ideologi dan konsepsi negara (baca: faktor ideologi) di masa awal Indonesia terbentuk menjadi alasan Tiro untuk melawan.
Selaras dengannya, sejarah Aceh pun tidak menjadi alasan utama Tiro untuk bangkit melawan Indonesia. Faktor pertentangan ideologi yang berimbas terhadap kehidupan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat Indonesia saat itu (Aceh khususnya) menuntut Tiro untuk menjadikan sejarah – sebagaimana ancaman Tiro pada tahun 1958 – sebagai instrumen politik untuk melawan Indonesia. Dalam tulisan ini, saya melompat dan tidak lagi membahas Nasionalisme Melayu yang dibangkitkan Tiro tahun 1961. Karena pola perlawanan yang dilakukan Tiro memiliki banyak persamaan dengan apa yang dilakukannya pada tahun 1954 dan 1961 bahkan sampai pada lahirnya Aceh Merdeka. Hanya saja, dalam Aceh Merdeka instrumen politik yang digunakan begitu beragam (khususnya Sejarah Aceh) menarik untuk dikaji sebagai salah satu konsep perlawanan dalam gerakan kontemporer di Indonesia.
Guna membuktikan konsep sejarah Aceh yang ditulis Tiro sebagai instrumen politik untuk melawan didasari oleh beberapa argumen; pertama, hampir dalam semua tulisannya sejarah Aceh selalu dibenturkan dan dipisahkan dengan sejarah Indonesia, dengan mengajukan beberapa alasan ilmiah Tiro mengkritik teori sejarah Indonesia dan memberi paradigam baru untuk melihatnya sebagai sebuah keragu-raguan hingga akhirnya “nasionalisme Indonesia” menjadi tabu dalam pandangan rakyat Aceh. Teori inilah yang membentuk rasa superiority complex masyarakat Aceh pasca perang dengan Belanda, Tiro membangkitkan kembali rasa bangsa teuleubeh melalui kesadaran sejarah, secara bersamaan hal ini menjadi pondasi identitas ke-Acehan yang pernah hilang akibat kolonialisasi Belanda dan konflik antara Aceh dengan Indonesia setelahnya (Tiro:1968).
Jika sebelumnya, banyak tokoh dan sejarawan Aceh menjadikan spirit sejarah untuk membangun kesadaran nasional dalam bingkai Indonesia dan sebagai upaya untuk melawan kembalinya kolonialisme Belanda dan Jepang, maka ditangan Tiro sejarah menjadi lebih tegas tidak lagi sebatas romantic historism tapi sudah berubah menjadi nilai (value), identitas (identity) dan harga diri (dignity) yang bersifat intangible (abstrak). Konstruksi sejarah seperti ini tidak dibangun sebelumnya, baik oleh penulis asing maupun penulis lokal, Aceh dan Indonesia (Afifa: 2013). Gagasan sejarah Aceh yang di konstruksi oleh Tiro telah menjadi anti thesis bagi banyak penulis sejarah yang menggabungkan teori dan fakta sejarah Aceh dengan lahirnya Indonesia. Sehingga, dalam pandangan Tiro orang yang menulis dan menggabungkan sejarah Aceh dengan Indonesia pasca kolonialisasi Belanda dianggapnya sebagai lost generation atau generasi yang buta politik dan pemerintahan (Tiro:1968). Teori sejarah Aceh yang dibangunkan Tiro membuka tabir bagi banyak generasi setelahnya untuk melihat kembali teori sejarah secara lebih luas dan dinamis.
Kedua, Tiro menyadari sebagai sebuah gerakan pembebasan, Aceh Merdeka memerlukan pondasi ideologis sehingga nantinya Indonesia tidak punya alasan untuk menjadikannya sebagai gerakan kriminal atau teroris. Hal inilah, yang membuat Tiro menjadikan sejarah Aceh sebagai pijakan ideologi dalam Aceh Merdeka (Tiro: 1984). Dalam hal ini, banyak peneliti dan pengkaji sering terjebak dengan berasumsi bahwa Tiro ‘kerasukan’ tugas sejarah atau menganggap Tiro sosok sekuler ataupun ashabiyah. Padahal, Tiro secara eksplisit menjelaskan dalam tulisan-tulisannya, bahwa sejarah Aceh adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dari Islam. Secara inheren Islam include dalam sejarah Aceh yang kedaulatannya sedang ia perjuangkan. Pandangan inilah yang menarik beberapa tokoh intelektual Aceh untuk bergabung dengan Aceh Merdeka bersama Tiro, sehingga menjadi bukti bahwa gerakan yang dibangun Tiro bukanlah kumpulan orang-orang kecewa atau para pengangguran. Paradigma atau asumsi seperti ini, entah tidak pernah dilirik oleh para pengkaji sejarah Aceh Merdeka dalam setiap proses heuristic nya atau memang mereka dibutakan untuk melihat fakta-fakta ini secara objektif.
Ketiga, sejarah Aceh disamping menjadi martir untuk membentuk identitas dan Nasionalisme Aceh juga dijadikan Tiro sebagai landasan yuridis untuk membenarkan perjuangannya secara Hukum Internasional. Resolusi Majelis Umum PBB yang lahir dalam kurun waktu 1960 sampai tahun 1974 khususnya mengenai kedaulatan dan jajahan (Independence and Colonial) serta Self-Determination memberikan kekuatan kepada Tiro untuk merumuskan lebih spesifik konsep sejarah Aceh sebagai teori untuk memerdekakan Aceh dari Indonesia, salah satu konsepnya adalah; Tiro mengajukan bukti-bukti ilmiah kepada PBB mengenai sejarah kedaulatan Kerajaan Aceh Darussalam serta pertentangannya dengan Belanda. Maka, bisa kita saksikan dalam setiap tulisannya Tiro selalu menulis sejarah Aceh Darussalam, karena baginya bukti Aceh Darussalam sebagai sebuah Kerajaan tidak bisa dipertengkarkan (undisputed history) oleh siapapun, berbeda dengan sejarah Samudra Pasai, Pedir, Linge, Isak, Lamuri, Benua atau lainnya yang bisa dipertengkarkan (a disputed history) dan masih memerlukan bukti pendukung lainnya untuk dijadikan sebagai argumen hukum (Tiro:1993)
Asumsi saya, setelah dikeluarkannya Resolusi Majelis Umum PBB itulah, pada tahun 1976 Tiro baru memberitahukan kepada publik internasional tentang perjuangannya melalui Re-Declaration Aceh Merdeka di Gunong Halimon. Lagi-lagi, Deklarasi Ulang ini adalah instrumen yang diciptakan Tiro untuk melengkapi instrumen utamanya (sejarah Aceh) dalam melawan Indonesia dan membuktikan kepada dunia bahwa Aceh Merdeka adalah sebuah national liberation (Gerakan Pembebasan Nasional) bukan organisasi teroris ataupun separatis, disamping itu Tiro juga menciptakan instrumen lainnya seperti lambang Buraq-Singa, Bendera Bintang Buleun dan pembentukan kabinet. Untuk menyelaraskannya, Tiro melakukan deklarasi ulang itu pada 4 Desember sebagai bentuk perjuangan lanjutan dalam menghadapi penjajahan, dikarenakan pada tanggal 3 Desember 1911, Tengku Chik Maat di Tiro sebagai simbol terakhir perlawanan Aceh dengan Belanda syahid dalam peperangan di Alue Bhot, Tangse. 4 Desember menjadi pembenaran perjuangan Aceh Merdeka secara Hukum Internasional. Inilah sebabnya, tahun 1976 (setelah semua instrumen dilengkapi) Tiro mendeklarasikan kembali Aceh Merdeka, ini menjadi jawaban kenapa Tiro tidak mendeklarasikannya pada tahun 1960an.
Tengku Hasan di Tiro telah berhasil menjadikan sejarah Aceh tidak hanya sebagai identitas dan harga diri, tapi beliau juga mampu menjadikan sejarah sebagai argumen hukum untuk melakukan perlawanan atas setiap bentuk penjajahan, yang hal ini tidak dimiliki dan mampu dilakukan oleh banyak sejarawan Aceh lainnya. Formulasi perlawanan baru yang dibangkitkan oleh Tiro menyadarkan kita bahwa sejarah Aceh bukanlah sekedar cerita usang yang tidak bermakna untuk masa depan, dan bukanlah sebatas kronika yang membosankan untuk dikaji ulang. Sejarah adalah asal-usul, deskripsi siapa dan bagaimana kita sebenarnya yang berdiri hari ini diantara masa lalu dan masa depan, rakyat dan pemerintah memiliki kewajiban yang sama untuk memikul dan merawat setiap bukti sejarah, karena hanya sejarah yang membedakan kita dengan generasi haramjadah. Baginya, sejarah telah menjadi marwah, karena marwah sama harganya dengan darah. (bersambung)
Dalam bagian pertama tulisan ini; Konsep Sejarah Aceh Hasan Tiro – Bagian 1 dan dalam artikel Hasan Tiro dan Gugatan Nasionalisme sudah dibahas secara implisit bahwa faktor ideologi menjadi alasan utama Tiro melakukan perlawanan kepada Indonesia. Sehingga, thesis dan argumen beberapa penulis tentang sejarah GAM dan Tengku Hasan Tiro yang berontak karena faktor ekonomi dan sosial sebagai faktor utama tidak memiliki sandaran ilmiah yang kuat, jauh dari nilai objektif dan sangat diragukan bahkan bertolak belakang dengan fakta-fakta dan sumber sejarah yang ada. Karena kenyataannya, penafsiran dan pertentangan ideologi dan konsepsi negara (baca: faktor ideologi) di masa awal Indonesia terbentuk menjadi alasan Tiro untuk melawan.
Selaras dengannya, sejarah Aceh pun tidak menjadi alasan utama Tiro untuk bangkit melawan Indonesia. Faktor pertentangan ideologi yang berimbas terhadap kehidupan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat Indonesia saat itu (Aceh khususnya) menuntut Tiro untuk menjadikan sejarah – sebagaimana ancaman Tiro pada tahun 1958 – sebagai instrumen politik untuk melawan Indonesia. Dalam tulisan ini, saya melompat dan tidak lagi membahas Nasionalisme Melayu yang dibangkitkan Tiro tahun 1961. Karena pola perlawanan yang dilakukan Tiro memiliki banyak persamaan dengan apa yang dilakukannya pada tahun 1954 dan 1961 bahkan sampai pada lahirnya Aceh Merdeka. Hanya saja, dalam Aceh Merdeka instrumen politik yang digunakan begitu beragam (khususnya Sejarah Aceh) menarik untuk dikaji sebagai salah satu konsep perlawanan dalam gerakan kontemporer di Indonesia.
Guna membuktikan konsep sejarah Aceh yang ditulis Tiro sebagai instrumen politik untuk melawan didasari oleh beberapa argumen; pertama, hampir dalam semua tulisannya sejarah Aceh selalu dibenturkan dan dipisahkan dengan sejarah Indonesia, dengan mengajukan beberapa alasan ilmiah Tiro mengkritik teori sejarah Indonesia dan memberi paradigam baru untuk melihatnya sebagai sebuah keragu-raguan hingga akhirnya “nasionalisme Indonesia” menjadi tabu dalam pandangan rakyat Aceh. Teori inilah yang membentuk rasa superiority complex masyarakat Aceh pasca perang dengan Belanda, Tiro membangkitkan kembali rasa bangsa teuleubeh melalui kesadaran sejarah, secara bersamaan hal ini menjadi pondasi identitas ke-Acehan yang pernah hilang akibat kolonialisasi Belanda dan konflik antara Aceh dengan Indonesia setelahnya (Tiro:1968).
Jika sebelumnya, banyak tokoh dan sejarawan Aceh menjadikan spirit sejarah untuk membangun kesadaran nasional dalam bingkai Indonesia dan sebagai upaya untuk melawan kembalinya kolonialisme Belanda dan Jepang, maka ditangan Tiro sejarah menjadi lebih tegas tidak lagi sebatas romantic historism tapi sudah berubah menjadi nilai (value), identitas (identity) dan harga diri (dignity) yang bersifat intangible (abstrak). Konstruksi sejarah seperti ini tidak dibangun sebelumnya, baik oleh penulis asing maupun penulis lokal, Aceh dan Indonesia (Afifa: 2013). Gagasan sejarah Aceh yang di konstruksi oleh Tiro telah menjadi anti thesis bagi banyak penulis sejarah yang menggabungkan teori dan fakta sejarah Aceh dengan lahirnya Indonesia. Sehingga, dalam pandangan Tiro orang yang menulis dan menggabungkan sejarah Aceh dengan Indonesia pasca kolonialisasi Belanda dianggapnya sebagai lost generation atau generasi yang buta politik dan pemerintahan (Tiro:1968). Teori sejarah Aceh yang dibangunkan Tiro membuka tabir bagi banyak generasi setelahnya untuk melihat kembali teori sejarah secara lebih luas dan dinamis.
Kedua, Tiro menyadari sebagai sebuah gerakan pembebasan, Aceh Merdeka memerlukan pondasi ideologis sehingga nantinya Indonesia tidak punya alasan untuk menjadikannya sebagai gerakan kriminal atau teroris. Hal inilah, yang membuat Tiro menjadikan sejarah Aceh sebagai pijakan ideologi dalam Aceh Merdeka (Tiro: 1984). Dalam hal ini, banyak peneliti dan pengkaji sering terjebak dengan berasumsi bahwa Tiro ‘kerasukan’ tugas sejarah atau menganggap Tiro sosok sekuler ataupun ashabiyah. Padahal, Tiro secara eksplisit menjelaskan dalam tulisan-tulisannya, bahwa sejarah Aceh adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dari Islam. Secara inheren Islam include dalam sejarah Aceh yang kedaulatannya sedang ia perjuangkan. Pandangan inilah yang menarik beberapa tokoh intelektual Aceh untuk bergabung dengan Aceh Merdeka bersama Tiro, sehingga menjadi bukti bahwa gerakan yang dibangun Tiro bukanlah kumpulan orang-orang kecewa atau para pengangguran. Paradigma atau asumsi seperti ini, entah tidak pernah dilirik oleh para pengkaji sejarah Aceh Merdeka dalam setiap proses heuristic nya atau memang mereka dibutakan untuk melihat fakta-fakta ini secara objektif.
Ketiga, sejarah Aceh disamping menjadi martir untuk membentuk identitas dan Nasionalisme Aceh juga dijadikan Tiro sebagai landasan yuridis untuk membenarkan perjuangannya secara Hukum Internasional. Resolusi Majelis Umum PBB yang lahir dalam kurun waktu 1960 sampai tahun 1974 khususnya mengenai kedaulatan dan jajahan (Independence and Colonial) serta Self-Determination memberikan kekuatan kepada Tiro untuk merumuskan lebih spesifik konsep sejarah Aceh sebagai teori untuk memerdekakan Aceh dari Indonesia, salah satu konsepnya adalah; Tiro mengajukan bukti-bukti ilmiah kepada PBB mengenai sejarah kedaulatan Kerajaan Aceh Darussalam serta pertentangannya dengan Belanda. Maka, bisa kita saksikan dalam setiap tulisannya Tiro selalu menulis sejarah Aceh Darussalam, karena baginya bukti Aceh Darussalam sebagai sebuah Kerajaan tidak bisa dipertengkarkan (undisputed history) oleh siapapun, berbeda dengan sejarah Samudra Pasai, Pedir, Linge, Isak, Lamuri, Benua atau lainnya yang bisa dipertengkarkan (a disputed history) dan masih memerlukan bukti pendukung lainnya untuk dijadikan sebagai argumen hukum (Tiro:1993)
Asumsi saya, setelah dikeluarkannya Resolusi Majelis Umum PBB itulah, pada tahun 1976 Tiro baru memberitahukan kepada publik internasional tentang perjuangannya melalui Re-Declaration Aceh Merdeka di Gunong Halimon. Lagi-lagi, Deklarasi Ulang ini adalah instrumen yang diciptakan Tiro untuk melengkapi instrumen utamanya (sejarah Aceh) dalam melawan Indonesia dan membuktikan kepada dunia bahwa Aceh Merdeka adalah sebuah national liberation (Gerakan Pembebasan Nasional) bukan organisasi teroris ataupun separatis, disamping itu Tiro juga menciptakan instrumen lainnya seperti lambang Buraq-Singa, Bendera Bintang Buleun dan pembentukan kabinet. Untuk menyelaraskannya, Tiro melakukan deklarasi ulang itu pada 4 Desember sebagai bentuk perjuangan lanjutan dalam menghadapi penjajahan, dikarenakan pada tanggal 3 Desember 1911, Tengku Chik Maat di Tiro sebagai simbol terakhir perlawanan Aceh dengan Belanda syahid dalam peperangan di Alue Bhot, Tangse. 4 Desember menjadi pembenaran perjuangan Aceh Merdeka secara Hukum Internasional. Inilah sebabnya, tahun 1976 (setelah semua instrumen dilengkapi) Tiro mendeklarasikan kembali Aceh Merdeka, ini menjadi jawaban kenapa Tiro tidak mendeklarasikannya pada tahun 1960an.
Tengku Hasan di Tiro telah berhasil menjadikan sejarah Aceh tidak hanya sebagai identitas dan harga diri, tapi beliau juga mampu menjadikan sejarah sebagai argumen hukum untuk melakukan perlawanan atas setiap bentuk penjajahan, yang hal ini tidak dimiliki dan mampu dilakukan oleh banyak sejarawan Aceh lainnya. Formulasi perlawanan baru yang dibangkitkan oleh Tiro menyadarkan kita bahwa sejarah Aceh bukanlah sekedar cerita usang yang tidak bermakna untuk masa depan, dan bukanlah sebatas kronika yang membosankan untuk dikaji ulang. Sejarah adalah asal-usul, deskripsi siapa dan bagaimana kita sebenarnya yang berdiri hari ini diantara masa lalu dan masa depan, rakyat dan pemerintah memiliki kewajiban yang sama untuk memikul dan merawat setiap bukti sejarah, karena hanya sejarah yang membedakan kita dengan generasi haramjadah. Baginya, sejarah telah menjadi marwah, karena marwah sama harganya dengan darah. (bersambung)
Penulis: Haekal Afifa, Ketua Institut Peradaban Aceh & Pegiat di Hasan Tiro
Centre, Penerjemah Buku Aceh Bak Mata Donja, Penulis dan penikmat sanger
dan berdomisili di Banda Aceh
Dikutip: acehtrend.co
loading...
Post a Comment