Mimbar klasik penuh ukiran berdiri kokoh di atas keramik
putih persegi. Ukiran-ukiran kecil bermotif bunga memenuhi dinding
mimbar terbuat dari kayu itu, bak riasan inai di jemari pengantin dara baro.
Konstruksinya berwarna cokelat yang
diplitur mengkilap. Di dalamnya, tersandar tongkat sepanjang dua hasta
yang biasa digunakan para khatib ketika berkhutbah. Dulu, di salah satu
sisinya terdapat nama Sultan Mansur Syah, kakek buyut Sultan Iskandar
Muda.
“Yang membedakannya dengan sekarang
cuma warnanya saja, kalau dulu warnanya itu ada tiga macam yaitu hijau,
kuning dan merah,” tutur Darmawan memulai ceritanya soal sejarah Masjid
Indrapurwa di Lamguron, Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar itu pada
Selasa (29/02/16).
Menurut sejarah yang didengar dari
orangtuanya, sekitar 1 mil dari masjid itu, dulu berdiri Benteng Indra
Purwa di sebelah Barat Pulau Tuan. Ketika direbut oleh Islam, di
sekeliling benteng dibangun kuta
(sebutan untuk benteng-benteng kecil) yaitu Kuta Keuboek, Kuta
Puntoeng, Kuta Muqaddim dan Kuta Madat. Akibat abrasi, benteng terpaksa
dipindahkan ke selatan pulau yang dekat dengan daratan.
“Setelah hancur lagi, akhirnya kali
ketiga dipindahkan ke daratan yang sekarang di bangun masjid di
atasnya,” ujar pria yang mengaku mengalir darah keturunan Sultan Mansur
Syah itu.
Aceh pada masa sebelum dikuasai
Islam, dulunya ada tiga titik kerajaan Hindu di Aceh. Selain Idra Purwa,
dua Indra lain tersebar di titi kberbeda, Indra Patra dan Indra Puri.
Benteng Indra Patra terletak di
Pantai Desa Ladong, Kecamatan Masjid Raya, Aceh Besar. Bangunan
berarsitektur Hindu ini masih berdiri tegap menghadap laut,tak roboh
oleh tsunami 2004. Di dalamnya ada dua stupa kecil berbentuk kubah.
Selain itu, disana juga terdapat sumur yang pernah dipakai untuk prosesi
penyucian diri umat Hindu.
Kerajaan Indra Puri mempunyai sejarah
yang hampir sama dengan Indra Purwa. Pada masa Sultan Iskandar Muda, di
area seluas 33.875 meter ini juga dibangun masjid. Bangunan suci umat
Islam ini terletak di poros jalan Banda Aceh-Medan, Desa Pasar
Indrapuri, Kecamatan Indrapuri, Aceh Besar dan didirikan usai ketiga
Kerajaan Hindu tersebut ditaklukkan oleh Islam. Di bawah pondasinya, ada
tiga Pura Hindu yang diruntuhkan.
Nuansa Hindu bercampur Islam cukup
kental terlihat dari arsitektur masjid tersebut. Ismawardi (48), juru
kunci merangkap bilal di Masjid Tuha Indrapuri itu mengatakan masjid itu
pernah direnovasi dari bentuk dasar pada akhir 1990 dan rampung pada
1994. Namun nilai-nilai Hindu masih tersusupi di antara ornamen dan gaya
konstruksinya. “Dulu atapnya terbuat dari daun rumbia, setelah
direnovasi diganti dengan seng,” imbuhnya.
Pakar sejarah Aceh, Dr. Husaini
Ibrahim, melihat, cikal bakal Kerajaan Aceh Lhee Sagoe erat kaitannya
dengan kerajaan Hindu itu. Menurutnya, ketika masa pemerintahan Sultan
Iskandar Muda (1607-1636), sang sultan memiliki sistem pemerintahan yang
membagi Kerajaan Aceh ke dalam tiga daerah, yaitu daerah inti, takluk
dan asal. Bersamaan dengan itu juga, benteng bekas kerajaan Hindu yang
termasuk dalam wilayah inti dilakukan proses islamisasi untuk dibangun
masjid di atasnya.
“Sistem pemerintahan Iskandar Muda
diperkuat oleh penerusnya,” terang Husaini. Namun, saat Sri Ratu
Naqiatuddin memegang tampuk kerajaan, ia mengubah dasar sistem
pemerintahan dengan membentuk tiga mukim yang disebut “sagoe” (segi),
yaitu Mukim XXV di Indra Purwa, Mukim XXVI di Indra Patra dan Mukim
XXVII di Indra Puri.[]
loading...
Post a Comment