Kongres pertama Boedi Oetomo di Yogyakarta | Foto: KITLV |
| Oleh Ridwan Hd. |
Lima tahun setelah penetapan hari kelahiran Budi Utomo sebagai hari kebangkitan nasional Hadji Samahoedi akhirnya bersuara. Ia menuturkan kepada Tamar Djaja, salah seorang jurnalis dari Himpunan Pengarang Islam, bahwa Sarekat Dagang Islam didirikan oleh dirinya pada 16 Oktober 1905. Penuturannya itu dilakukan ketika ia datang ke Jakarta menghadiri pertemuan para veteran Sarekat Islam pada 1953 saat umurnya telah menginjak 75 tahun. Sejak lepas dari jabatan Ketua Sarekat Islam hingga Indonesia Merdeka, ia tidak aktif lagi di dunia pergerakan.
Lima tahun setelah penetapan hari kelahiran Budi Utomo sebagai hari kebangkitan nasional Hadji Samahoedi akhirnya bersuara. Ia menuturkan kepada Tamar Djaja, salah seorang jurnalis dari Himpunan Pengarang Islam, bahwa Sarekat Dagang Islam didirikan oleh dirinya pada 16 Oktober 1905. Penuturannya itu dilakukan ketika ia datang ke Jakarta menghadiri pertemuan para veteran Sarekat Islam pada 1953 saat umurnya telah menginjak 75 tahun. Sejak lepas dari jabatan Ketua Sarekat Islam hingga Indonesia Merdeka, ia tidak aktif lagi di dunia pergerakan.
Timur Jaylani dalam tesisnya di Institute of Islamic studies, McGill University pada April 1959 dengan judul The Sarekat Islam Movement; It's Contribution to Indonesian Nationalism, menuliskan bahwa Hadji Samanhoedi memilki saksi dan bukti pendukung penuturannya. Para saksi itu adalah Suwandi dan Raden Gunawan. Kedua orang ini terlibat dalam pertemuan 16 Oktober 1905 di rumah Hadji Samanhoedi untuk menggagas organisasi penghimpun para pedagang muslim. Mereka semua masih hidup dan ikut hadir pada pertemua itu. Selain itu, ada bukti lain dari kebenaran pernyataan Hadji Samanhudi ini, yaitu foto-foto pertama Sarekat Dagang Islam berdiri.
Penuturan Hadji Samanhoedi yang dipublikasi oleh Tamar Djaja dan juga menjadi tesis Timur Jaylani menjadi rujukan utama para sejarawan pendukung berdirinya Sarekat Dagang Islam di tahun 1905. Lalu muncul tuntutan agar Sarekat Dagang Islam seharusnya menjadi pelopor kebangkitan nasional. Tuntutan itu sudah dimulai sejak Kongres Mubaligh Islam Indonesia di Medan pada 1956 agar hari kebangkitan nasional menjadi 16 Oktober.
Berbeda dengan Deliar Noer, sejarawan Muslim melalui disertasinya di Cornell University yang berjudul The Modernist Muslim Movement In Indonesia, menyatakan tidak sepakatnya. Deliar Noer bercerita dalam catatan kaki, ia membantah kesimpulan Tamar Djaja atas penuturan Hadji Samanhoedi.
Deliar Noer juga mengaku melakukan wawancara dengan Hadji Samanhoedi, termasuk para tokoh penting Sarekat Islam seperti Abdoel Moeis (Wakil Ketua Sarekat Islam 1916-1923), Syaikh Awad Sjahbal (teman rapat Samanhoedi), Ki Ahmad Bermawi (Pendiri SI di Palembang tahun 1913), dan Raden Gunawan. Begitu juga data-data dari berbagai surat kabar yang terbit sekitar waktu berdirinya Sarekat Islam ia teliti. Nampak, Deliar Noer lebih memilih sikap berdasar data-data tertulis seperti publikasi media atau catatan resmi yang dikeluarkan oleh badan hukum dari pada sekedar pengakuan.
Sesuai akta badan hukum pemerintah Hindia Belanda, Deliar Noer menyimpulkan, Sarekat Islam yang berawal dari Sarekat Dagang Islam dengan tokoh pendirinya Hadji Samanhoedi berdiri pada 11 November 1911.
Versi menarik lagi dari Takashi Sirashi dengan bukunya Zaman Bergerak, Radikalisme Rakyat di Jawa 1912 � 1916, yang juga hasil disertasi dari Cornell Unniversty tahun 1990. Takashi lebih banyak mengambil data tertulis dari catatan DA. Rinkes, pejabat penasehat pemerintah Hindia Belanda urusan Bumiputera. Ia juga banyak mengambil data dari arsip inventaris Pemerintahan Hindia Belanda langsung.
Menurut Takashi, Sarekat Dagang Islam yang dikomando oleh Samanhoedi adalah cabang dari Sarkat Dagang Islamijah Bogor yang didirikan RM Tirto Adhi Soewirjo tahun 1909. Awalnya mereka adalah para pedagang batik di Lawean, Solo, yang mendirikan kelompok ronda bernama Rekso Roemekso. Niatnya hanya menjaga keamanan dari para kecu yang sering mencuri batik produksi mereka. Seiring waktu, ketika Cina berhasil dalam revolusinya menurunkan Kaisar Puyi tahun 1911, orang-orang Cina di Solo menunjukkan sikap angkuh. Konflik pun terjadi antara Rekso Roemekso dengan organisasi dagang orang-orang Cina yang memiliki nama Kong Sing.
Konflik tersebut membuat Residen Solo saat itu mempertanyakan status legalitas Rekso Roemekso. Jika tidak ada legalitasnya bisa dianggap sebagai organisasi liar yang harus diberantas. Atas ancaman itu, teman dekat Samahoedi yang bernama Djojomargoso dari pegawai kepatihan meminta tolong kepada Martodharsono yang merupakan teman dari Tirto. Tirto tak hanya sebagai pendiri Sarekat Dagang Islam di Bogor, tetapi juga pimpinan redaksi surat kabar Medan Prijaji dan dekat dengan kalangan pemerintah Hindia Belanda.
Ketika ada penyelidikan, Martodharsono mengatakan kepada penyidik bahwa Rekso Roemekso adalah Sarekat Dagang Islam cabang dari Sarekat Dagang Islam yang ada di Bogor yang didirikan Tirto. Lalu, Djojomargoso melalui Martodharsono juga meminta bantuan Trito membuatkan anggaran dasar organisasi. Namuni yang terjadi, Tirto menyusun Anggaran Dasar dengan nama Sarekat Islam bertanda tangan pada 9 November 1911. Meski sudah berbentuk organisasi modern, menurut Takashi, langkah geraknya masih seperti organisasi ronda sebelumnya hingga Tjokroaminoto bergabung menjadi anggota.
Deliar Noer juga menyebut nama Tirto dalam bukunya. Ia mengatakan jika Tirto memang diminta Samanhoedi membuatkan anggaran dasar organisasi. Tapi tidak menyebutkan ada nama Rekso Roemekso. Samanhoedi kenal dengan Tirto ketika sedang berkunjung ke Bogor dalam rangka dagang.
Dibalik perdebatan tentang waktu berdirinya Sarekat Dagang Islam, baik Deliar Noer, Timur Jaylani, dan Takashi Shiraisi tetap sepakat bahwa Boedi Utomo tak layak sebagai pelopor kebangkitan nasional karena sifatnya yang tertutup, hanya menerima anggota dari kalangan orang Jawa saja. Bahkan, setelah Dr. Soetomo tidak lagi memimpin setelah 6 bulan berdiri, anggota Boedi Utomo hanya dikuasai oleh para priayi.
Menariknya lagi, Takashi lebih menyebut nama RM Tirto Adhi Soewirjo sebagi pelopor kesadaran nasional. �Ia adalah archetypepemimpin pergerakan dekade berikutnya dan bumiputera pertama yang menggerakan �bangsa� melalui bahasanya, yaitu bahasa yang ditulisnya dalam meda prijaji.� tulisnya.
Dari catatan Takashi, Tirto menjadi wartawan surat kabar sejak 1903 di usia 21 tahun. Ia mendirikan surat kabar Soenda Berita yang didanai oleh Bupati Cianjur RAA Prawiradiredja. Soenda Berita adalah surat kabar yang didanai, dikelola, dan diterbitkan murni oleh bumiputera. Saat itu, surat kabar kebanyakan masih dikolela atau didanai oleh kalangan Eropa ataupun Cina.
Pada 1906, ia juga terlibat mendirikan organisasi Sarekat Prijaji yang bertujuan memajukan pendidikan anak-anak priayi. Kemudian pada 1907, Tirto menerbitkan surat kabar mingguan bernama Meda Prijaji. Pada 1909, Medan prijaji berubah menjadi surat kabar harian. �Tirtoadhisoerjo menciptakan gaya jurnalistik tersendiri dalam Medan Prijaji dengan bahasa yang penuh sindiran dan penggunaan kata-kata Jawa dan Belanda.� tulis Takashi. Meski bernama Medan Prijaji, surat kabar ini tak hanya untuk kalangan priayi, tetapi dibaca oleh semua kalangan dengan bahasa melayu, dan menjadi surat kabar populer hingga 1911.
Peran membangun kesadaran �bangkit� melalui surat kabar ini dianggap Takashi sebagai bumiputera pertama yang menggerakan bangsa melalui bahasa. Kesimpulan Takashi juga sejalan dengan Pramoedya Ananta Toer yang kemudian menuliskan biografi lengkap Tirto pada buku Sang Pemula.
Sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara justru menulis Tirto sebagai tokoh antagonis. Ia melihat Tirto jauh dari tokoh yang berjuang untuk bangsanya. Di dalam buku Api Sejarah, Ahmad Mansyur menyimpulkan dari kedekatan dengan RAA Prawiradiredja yang mendanai surat kabarnya, Soenda Berita. Sedangkan RAA Prawiradiredja adalah bupati yang berjasa kepada pemerintah Hindia Belanda dalam menjalankan tanam paksa di Cianjur. Karena program tanam paksa itu, RAA Prawiradiredja mendapat penghargaan mulia dari pemerintah dan menjadi bupati terkaya di Pulau Jawa.
Begitu juga dengan Tirto, ia sendiri lahir dari keluarga yang terkenal sukses dalam memungut pajak rakyat untuk pemerintah Hindia Belanda. Jasa keluarga ini menjadikan modal dirinya bisa sangat dekat dengan para petinggi pemerintah. Kedekatan Tirto dengan penguasa Hindia Belanda juga diakui Takashi dengan menuliskan, �Keberhasilan Tirtoadhisoerjo sebagai redaktur-penerbit pertama sebagian karena hubungannya dengan Gubernur Jenderal Van Heutsz, yang memberinya perlindungan dari ganguan birokrasi...�
Di dalam bukunya itu juga Ahmad Mansyur menjelaskan bahwa Sarekat Dagang Islamijah yang didirikan Tirto di Bogor tahun 1909 adalah organisasi sempalan yang disponsori pemerintah Hindia Belanda untuk menyaingi Sarekat Dagang Islam pimpinan Samanhoedi di Solo. Perbedaannya, Sarekat Dagang Islamijah di Bogor terdaftar resmi secara legalitas di notaris pemerintah, sedangkan Sarekat Dagang Islam di Solo belum tercatat meski jumlah anggotanya lebih besar. Ahmad Mansyur termasuk sejarawan yang mendukung Sarekat Dagang Islam berdiri pada 16 Oktober 1905.
Apapun perdebatan sosok yang layak menjadi pelopor kebangkitan bangsa, keputusan pemerintah pada Kabinet Hatta tahun 1948 menetapkan Budi Utomo sebagai organisasi pelopor kebangkitan memang layak digugat kembali. Kemudian mencari pendapat yang kuat antara memilih Hadji Samanhoedi atau RM. Tirto Adhi Soerjo sebagai tokoh yang pantas, ataukah tak perlu ada hari kebangkitan nasional sama sekali?
loading...
Post a Comment