AMP - Pemberlakukan Darurat Militer (DM) sudah berlalu selama 13 tahun. Sejumlah mantan aktivis era 1998 pun memperingatinya dengan menggelar aksi di Simpang Lima Banda Aceh, Kamis (19/05/2016).
Ada beragam kisah, pengalaman selama pemberlakuan DM. Bicara adanya korban kekerasan, pembunuhan, penculikan dan sejumlah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Itu sesuatu yang sudah dipastikan terjadi bila suatu daerah dalam kondisi perang atau konflik.
Masa DM semua dibungkam. Suara kritis dari masyarakat sipil pun dibungkam hingga media massa dikontrol oleh penguasa DM. Bahkan penguasa DM di Aceh pun memberlakukan penggunaan Kartu Tanda Penduduk (KTP) baru khusus untuk masyarakat.
KTP baru tersebut kemudian lebih dikenal dengan sebutan KTP Merah Putih yang ukurannya 6 kali lebih besar dari KTP biasa. Pada KTP Merah Putih juga dituliskan Pancasila.
Diberlakukan KTP Merah Putih untuk masyarakat Aceh saat itu untuk memudahkan membedakan pemberontak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan masyarakat sipil biasa. KTP Merah Putih yang ukuran tak muat dalam dompet itu pun harus dibawakan kemanapun oleh warga Aceh saat itu.
KTP Merah Putih pun saat itu bagi rakyat Aceh menjadi 'nyawa kedua’. Karena bila KTP tersebut tertinggal di rumah atau tidak memiliki, maka nyawa seseorang tak akan bisa selamat dan aparat negara langsung beranggapan itu adalah pemberontak.
“Selain pelanggaran HAM, seluruh rakyat Aceh kala itu juga diwajibkan menggunakan KTP Merah Putih, bahkan KTP ini menjadi nyawa kedua bagi rakyat Aceh,” kata Koordinator Kontras Aceh, Hendra Sahputra saat berorasi pada aksi memperingati 13 tahun pemberlakukan DM di Aceh.
Tak hanya itu, katanya, selama DM beberapa camat di kecamatan yang masuk dalam garis merah digantikan dengan oleh militer. Biasanya kecamatan camatnya dari militer karena masuk dalam wilayah rawan terhadap pemberontakan.
“Bantuan yang hendak dikirimkan ke Aceh juga harus dikoordinasikan dengan Jakarta melalui pemerintah,” ungkapnya.[habadaily.com]
Ada beragam kisah, pengalaman selama pemberlakuan DM. Bicara adanya korban kekerasan, pembunuhan, penculikan dan sejumlah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Itu sesuatu yang sudah dipastikan terjadi bila suatu daerah dalam kondisi perang atau konflik.
Masa DM semua dibungkam. Suara kritis dari masyarakat sipil pun dibungkam hingga media massa dikontrol oleh penguasa DM. Bahkan penguasa DM di Aceh pun memberlakukan penggunaan Kartu Tanda Penduduk (KTP) baru khusus untuk masyarakat.
KTP baru tersebut kemudian lebih dikenal dengan sebutan KTP Merah Putih yang ukurannya 6 kali lebih besar dari KTP biasa. Pada KTP Merah Putih juga dituliskan Pancasila.
Diberlakukan KTP Merah Putih untuk masyarakat Aceh saat itu untuk memudahkan membedakan pemberontak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan masyarakat sipil biasa. KTP Merah Putih yang ukuran tak muat dalam dompet itu pun harus dibawakan kemanapun oleh warga Aceh saat itu.
KTP Merah Putih pun saat itu bagi rakyat Aceh menjadi 'nyawa kedua’. Karena bila KTP tersebut tertinggal di rumah atau tidak memiliki, maka nyawa seseorang tak akan bisa selamat dan aparat negara langsung beranggapan itu adalah pemberontak.
“Selain pelanggaran HAM, seluruh rakyat Aceh kala itu juga diwajibkan menggunakan KTP Merah Putih, bahkan KTP ini menjadi nyawa kedua bagi rakyat Aceh,” kata Koordinator Kontras Aceh, Hendra Sahputra saat berorasi pada aksi memperingati 13 tahun pemberlakukan DM di Aceh.
Tak hanya itu, katanya, selama DM beberapa camat di kecamatan yang masuk dalam garis merah digantikan dengan oleh militer. Biasanya kecamatan camatnya dari militer karena masuk dalam wilayah rawan terhadap pemberontakan.
“Bantuan yang hendak dikirimkan ke Aceh juga harus dikoordinasikan dengan Jakarta melalui pemerintah,” ungkapnya.[habadaily.com]
loading...
Post a Comment