AMP - Awal pemberlakukan status darurat militer langsung diwarnai dengan aksi
pembakaran sejumlah gedung sekolah di Nanggroe Aceh Darussalam. Memasuki
hari ketiga, serentetan kontak senjata antara TNI dan Gerakan Aceh
Merdeka pun semakin terdengar. Praktis situasi Aceh makin memanas.
Melihat perkembangan ini, memang kecil kemungkinan tidak terjadi
pertumpahan darah, termasuk korban dari warga sipil [baca: Sejumlah Mayat Ditemukan di Bireun].
TNI memang tak bisa menjamin hal itu, meski tetap berupaya untuk
meminimalkan korban sipil. "TNI pun tidak ingin banyak jatuh korban dari
warga sipil. Dan itu juga akan sangat mengganggu bagi jalannya
operasi," kata Panglima Daerah Militer Iskandar Muda Mayor Jenderal TNI
Endang Suwarya, saat berdialog dengan reporter SCTV Dandi Dwi Laksono di Banda Aceh, NAD, Rabu (21/5) malam.
Penguasa Darurat Militer Aceh ini menegaskan, niat TNI menggelar operasi ini adalah untuk kepentingan rakyat Serambi Mekah. Karenanya, Pangdam berharap masyarakat bisa membantu TNI selama menjalankan operasi. Itulah sebabnya, Endang menolak jika dikatakan TNI kecolongan karena aksi pembakaran ratusan gedung sekolah tersebut. Alasannya, TNI tak mungkin menempatkan prajuritnya di seluruh desa di Aceh yang ribuan jumlahnya. Pengamanan, kata Endang, tidak mungkin hanya dilakukan TNI, dan peranan warga sangat diperlukan dalam kondisi ini. Mantan Wakil Asisten Operasi Kepala Staf Angkatan Darat itu meyakinkan bahwa korban sipil dan aksi pengrusakan bisa berkurang apabila ada kerja sama antara masyarakat dan aparat keamanan. "Jadi, tidak ada istilah kecolongan," tegas lelaki berusia 52 tahun ini.
Rencana lain TNI untuk mengurangi aksi pengrusakan yakni dengan pemberlakuan jam malam di wilayah Aceh, khususnya di Bireun dan Pidie, Aceh Utara. Memang di dua daerah yang dikenal dengan basis GAM tadi, paling banyak terjadi aksi pembakaran. Tapi, kata Endang, waktu tepatnya masih dalam pembicaraan dan masih perlu dikoordinasikan dengan kesiapan aparat di daerah lain. Mantan Kepala Staf Kodam Iskandar Muda ini pun telah mengeluarkan maklumat tembak di tempat bagi para pelaku pengrusakan. Endang menjelaskan, maklumat itu dikeluarkan karena aksi pembakaran dianggap sebagai perbuatan biadab. "Itu kita perintahkan kepada prajurit untuk tembak di tempat. Mereka bukan siapa-siapa lagi, pasti pemberontak, GAM itu," kata Endang [baca: Gedung-Gedung Sekolah di Aceh Dibakar].
Menyoal pembatasan pemberitaan media, Endang mengatakan bahwa itu dilakukan supaya pers Indonesia memiliki rasa nasionalis dan membuat pers nasional yang bertanggung jawab. Sebab, Endang menilai, pemberitaan sejumlah media melampaui batas, sehingga dianggap bisa menimbulkan kerusakan atau desintegrasi. Sedangkan masalah pelaporan korban sipil, Endang mengaku tidak keberatan. "Saya rasa itu tidak masalah, itu koreksi bagi kami [TNI]. Itu bagus," kata dia.
Sementara pengamat militer Salim Said kepada reporter SCTV Rosianna Silalahi di Studio SCTV Jakarta berpendapat, operasi pemulihan keamanan di Aceh adalah ujian bagi TNI. Dalam hal ini, TNI harus bisa merebut hati rakyat karena perang di Aceh bersifat antigerilya. Salim yakin apabila TNI mampu meluluhkan hati rakyat Aceh, dalam hitungan tak lama GAM akan berhasil dilumpuhkan. Tapi sebaliknya, jika TNI gagal meraih simpati masyarakat Tanah Rencong, maka posisi TNI akan tersudutkan. "Ini [operasi militer] kontes antara TNI dan GAM rebutan hati rakyat Aceh. TNI gagal, berarti GAM yang menang," Salim berpendapat.
Mengomentari pernyataan Penguasa Darurat Militer yang akan membatasi peliputan media, Salim menilai hal tersebut terpulang pada kebijakan media masing-masing. Media bisa tetap memberitakan GAM kalau memang dianggap perlu dan itu tanggung jawab penerbit atau stasiun televisi itu. Media pun harus siap menerima sanksi, seperti penyitaan kaset [laporan wartawan] oleh Penguasa Darurat Militer karena dianggap bisa membahayakan operasi. "Itu memang satu kewenangannya [Penguasa Darurat Militer]," kata dia.
Aksi pembakaran gedung sekolah ini pun mendapat kecaman dari Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto. Panglima justru menantang GAM agar berani menghadapi pasukan TNI tanpa mengorban rakyat [baca: Panglima TNI Meminta GAM Jantan]. "Pertanyaan saya kepada GAM, mengapa rakyat yang dikorbankan? Hadapilah pasukan TNI. Katanya mereka [GAM] memperjuangkan rakyat Aceh. Kami [TNI] pun sama. Bersikaplah jantan, ksatria. Kami TNI siap," kata Endriartono.
Penilaian serupa juga dilontarkan Salim Said. Dengan membuat gedung sekolah tidak berfungsi, kata Salim, anak-anak [siswa] praktis tidak bisa sekolah, sehingga menimbulkan keresahan orangtua siswa. Dan GAM berharap, masyarakat akan semakin merasakan bahwa kesengsaraan itu buah dari operasi militer. "Secara teori perang gerilya, ini [aksi pembakaran] adalah bagian strategi perang GAM," Salim menegaskan [baca: Djali Yusuf: Membakar Sekolah, Strategi Lama GAM].
Lain lagi halnya dengan Tengku Imam Suja, seorang tokoh ulama Aceh yang dihubungi lewat telepon di Banda Aceh. Dia berpendapat bahwa aksi pembakaran gedung sekolah tersebut sebagai musibah terbesar bagi dunia pendidikan di Indonesia. Namun Imam Suja tidak bisa memastikan bahwa itu dilakukan kelompok GAM. Sampai detik ini, kata dia, pemerintah dan aparat keamanan masih belum bisa menjelaskan dan membuktikan. Aparat keamanan yang mengatakan bahwa aksi itu dilakukan GAM, menurut Imam, belum mempengaruhi masyarakat. Sebab, rakyat Tanah Rencong ingin pembuktian, supaya tidak ada keragu-raguan. Karenanya, saat ini masyarakat Aceh hanya mengetahui bahwa itu dilakukan oleh orang tak dikenal.
Imam Suja mengaku bisa memahami bahwa operasi militer pilihan terakhir pemerintah dengan alasan sejumlah pertemuan dan perundingan damai menemui kegagalan. Tapi dia berharap penyelesaian Aceh ini tanpa menimbulkan banyak korban dari pihak sipil. Imam Suja menyebutkan, sebelum pemerintah memberlakukan darurat militer, situasi di Aceh relatif aman. Tapi saat ini justru sebaliknya. "Saya melihat saja. Bukan saya saja, tapi masyarakat internasional pun. Apakah operasi militer ini bisa menyelesaikan persoalan Aceh?" kata dia obyektif.
Operasi militer memang kebijakan Jakarta untuk memberi pelajaran kepada GAM yang semakin bertingkah. Namun sejarah mengatakan menyelesaikan masalah Aceh dengan kekerasan tidak pernah berhasil. Buktinya, menjadikan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) selama sembilan tahun di masa Orde Baru justru hanya menghasilkan GAM yang semakin perkasa. Sebaliknya, operasi bersenjata pada 1989-1998 itu telah membuat orang-orang sipil menjadi korban.
Mahmud, sebut saja begitu, adalah satu di antara ratusan--atau mungkin ribuan--korban sipil penerapan DOM. Lelaki berpeci ini memaparkan pengalamannya saat dua kali ditangkap dan disiksa oleh kelompok yang diduga dari TNI. Mahmud pertama kali ditangkap di Medan, Sumatra Utara pada 1989. Dia hijrah ke Medan untuk menjadi nelayan. Saat itu, kata Mahmud, dia bersama rekan-rekannya diperiksa oleh sekelompok orang yang menggunakan sebuah truk. Dia pun langsung dibawa hanya karena memiliki kartu tanda penduduk Aceh. "Mata saya ditutup. Dimasukkan ke dalam sel. Saya yakin itu TNI, karena mereka memakai pakaian dan baju yang mirip seragam TNI," papar Mahmud.
Pada malam kedua di tahanan, Mahmud menjalani pemeriksaan oleh empat orang di sebuah ruangan. Di dalam, dia kaget karena dituding sebagai pembunuh Zakaria, prajurit TNI yang tewas di Aceh. "Mengaku kau yang tembak Zakaria di Aceh!" kata Mahmud mencontohkan hardikan sang interogator. Di sana, Mahmud dipukuli dengan kayu karena tak mengaku. Tak hanya dengan kayu, bagian paha Mahmud pun luka akibat sabetan sangkur [pisau]. "Saya dipukul sebanyak enam kali dengan kayu. Di paha dilukai dengan sangkur. Namun tetap jawaban saya satu. Ada apa Pak?" kata Mahmud.
Keesokan harinya, Mahmud pun kembali menjalani pemeriksaan. Seorang di antara pemeriksa itu diperkirakan berpangkat perwira. Dia pun dipaksa untuk mengaku sebagai pembunuh Zakaria. Mahmud tetap diam. Namun keesokan harinya, perwira tersebut meminta maaf karena terjadi kesalahan penangkapan. Setelah 15 hari, Mahmud baru dibebaskan.
Kejadian itu terulang lagi pada 1992. Dia ditangkap lagi dan dibawa ke sebuah pos. Mahmud kembali meyakini bahwa yang menangkapnya itu anggota TNI bukan GAM. Sebab, kata dia, saat itu belum begitu ramai tentang anggota GAM. Namun kali ini, dia lebih menderita. Tak hanya dipukuli, tapi dia pun direndam di sebuah sungai. "Saya direndam dari jam enam sore sampai pukul delapan pagi [besoknya]," aku Mahmud. Penyiksaan itu berlangsung selama tiga hari. Setelah itu, dia dilepas dengan catatan tidak bakal memberitahukan peristiwa penangkapannya itu.
Peristiwa tersebut tentu menjadi trauma tersendiri bagi Mahmud. Padahal, dia mengaku tak memiliki dan tak pernah berhubungan dengan GAM. Peristiwa lebih mengenaskan menimpa adiknya. Pada 2000, saudara kandungnya itu diculik. Namun dikabarkan, adiknya tengah membantu di tempat pengungsian. Kenyatannya hingga saat ini, keberadaan adiknya itu tak diketahui. Atas dasar pengalaman tadilah, Mahmud berpendapat bahwa darurat militer yang diterapkan saat ini hanya akan menambah daftar korban sipil.
Salim Said sangat percaya atas pengalaman yang dituturkan Mahmud. Menurut dia, itu sebagai bukti bahwa saat itu [DOM] tentara tak terkontrol. Karenanya, Salim mendukung atas dilibatkannya wartawan untuk melaporkan situasi di Aceh selama operasi militer berlangsung. "Ini akan menjadi bagian kontrol TNI," kata dia.
Di sisi lain, Salim berharap TNI bisa belajar dari pengalaman DOM Orde Baru. Dalam operasi militer ini, TNI harus bisa meyakinkan bahwa keberadaan mereka berbeda dengan waktu DOM. Apabila usaha ini berhasil, menurut Salim, nama TNI akan harum dan Negara Kesatuan RI bisa terselamatkan. "Sebaliknya kalau gagal, TNI akan hancur dan masa depan NKRI menjadi suram. Aceh akan dijadikan pelajaran bagi daerah-daerah lain yang ingin keluar dari NKRI. Ini show case yang harus dimenangkan TNI," kata Salim.(liputan6.com)
Penguasa Darurat Militer Aceh ini menegaskan, niat TNI menggelar operasi ini adalah untuk kepentingan rakyat Serambi Mekah. Karenanya, Pangdam berharap masyarakat bisa membantu TNI selama menjalankan operasi. Itulah sebabnya, Endang menolak jika dikatakan TNI kecolongan karena aksi pembakaran ratusan gedung sekolah tersebut. Alasannya, TNI tak mungkin menempatkan prajuritnya di seluruh desa di Aceh yang ribuan jumlahnya. Pengamanan, kata Endang, tidak mungkin hanya dilakukan TNI, dan peranan warga sangat diperlukan dalam kondisi ini. Mantan Wakil Asisten Operasi Kepala Staf Angkatan Darat itu meyakinkan bahwa korban sipil dan aksi pengrusakan bisa berkurang apabila ada kerja sama antara masyarakat dan aparat keamanan. "Jadi, tidak ada istilah kecolongan," tegas lelaki berusia 52 tahun ini.
Rencana lain TNI untuk mengurangi aksi pengrusakan yakni dengan pemberlakuan jam malam di wilayah Aceh, khususnya di Bireun dan Pidie, Aceh Utara. Memang di dua daerah yang dikenal dengan basis GAM tadi, paling banyak terjadi aksi pembakaran. Tapi, kata Endang, waktu tepatnya masih dalam pembicaraan dan masih perlu dikoordinasikan dengan kesiapan aparat di daerah lain. Mantan Kepala Staf Kodam Iskandar Muda ini pun telah mengeluarkan maklumat tembak di tempat bagi para pelaku pengrusakan. Endang menjelaskan, maklumat itu dikeluarkan karena aksi pembakaran dianggap sebagai perbuatan biadab. "Itu kita perintahkan kepada prajurit untuk tembak di tempat. Mereka bukan siapa-siapa lagi, pasti pemberontak, GAM itu," kata Endang [baca: Gedung-Gedung Sekolah di Aceh Dibakar].
Menyoal pembatasan pemberitaan media, Endang mengatakan bahwa itu dilakukan supaya pers Indonesia memiliki rasa nasionalis dan membuat pers nasional yang bertanggung jawab. Sebab, Endang menilai, pemberitaan sejumlah media melampaui batas, sehingga dianggap bisa menimbulkan kerusakan atau desintegrasi. Sedangkan masalah pelaporan korban sipil, Endang mengaku tidak keberatan. "Saya rasa itu tidak masalah, itu koreksi bagi kami [TNI]. Itu bagus," kata dia.
Sementara pengamat militer Salim Said kepada reporter SCTV Rosianna Silalahi di Studio SCTV Jakarta berpendapat, operasi pemulihan keamanan di Aceh adalah ujian bagi TNI. Dalam hal ini, TNI harus bisa merebut hati rakyat karena perang di Aceh bersifat antigerilya. Salim yakin apabila TNI mampu meluluhkan hati rakyat Aceh, dalam hitungan tak lama GAM akan berhasil dilumpuhkan. Tapi sebaliknya, jika TNI gagal meraih simpati masyarakat Tanah Rencong, maka posisi TNI akan tersudutkan. "Ini [operasi militer] kontes antara TNI dan GAM rebutan hati rakyat Aceh. TNI gagal, berarti GAM yang menang," Salim berpendapat.
Mengomentari pernyataan Penguasa Darurat Militer yang akan membatasi peliputan media, Salim menilai hal tersebut terpulang pada kebijakan media masing-masing. Media bisa tetap memberitakan GAM kalau memang dianggap perlu dan itu tanggung jawab penerbit atau stasiun televisi itu. Media pun harus siap menerima sanksi, seperti penyitaan kaset [laporan wartawan] oleh Penguasa Darurat Militer karena dianggap bisa membahayakan operasi. "Itu memang satu kewenangannya [Penguasa Darurat Militer]," kata dia.
Aksi pembakaran gedung sekolah ini pun mendapat kecaman dari Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto. Panglima justru menantang GAM agar berani menghadapi pasukan TNI tanpa mengorban rakyat [baca: Panglima TNI Meminta GAM Jantan]. "Pertanyaan saya kepada GAM, mengapa rakyat yang dikorbankan? Hadapilah pasukan TNI. Katanya mereka [GAM] memperjuangkan rakyat Aceh. Kami [TNI] pun sama. Bersikaplah jantan, ksatria. Kami TNI siap," kata Endriartono.
Penilaian serupa juga dilontarkan Salim Said. Dengan membuat gedung sekolah tidak berfungsi, kata Salim, anak-anak [siswa] praktis tidak bisa sekolah, sehingga menimbulkan keresahan orangtua siswa. Dan GAM berharap, masyarakat akan semakin merasakan bahwa kesengsaraan itu buah dari operasi militer. "Secara teori perang gerilya, ini [aksi pembakaran] adalah bagian strategi perang GAM," Salim menegaskan [baca: Djali Yusuf: Membakar Sekolah, Strategi Lama GAM].
Lain lagi halnya dengan Tengku Imam Suja, seorang tokoh ulama Aceh yang dihubungi lewat telepon di Banda Aceh. Dia berpendapat bahwa aksi pembakaran gedung sekolah tersebut sebagai musibah terbesar bagi dunia pendidikan di Indonesia. Namun Imam Suja tidak bisa memastikan bahwa itu dilakukan kelompok GAM. Sampai detik ini, kata dia, pemerintah dan aparat keamanan masih belum bisa menjelaskan dan membuktikan. Aparat keamanan yang mengatakan bahwa aksi itu dilakukan GAM, menurut Imam, belum mempengaruhi masyarakat. Sebab, rakyat Tanah Rencong ingin pembuktian, supaya tidak ada keragu-raguan. Karenanya, saat ini masyarakat Aceh hanya mengetahui bahwa itu dilakukan oleh orang tak dikenal.
Imam Suja mengaku bisa memahami bahwa operasi militer pilihan terakhir pemerintah dengan alasan sejumlah pertemuan dan perundingan damai menemui kegagalan. Tapi dia berharap penyelesaian Aceh ini tanpa menimbulkan banyak korban dari pihak sipil. Imam Suja menyebutkan, sebelum pemerintah memberlakukan darurat militer, situasi di Aceh relatif aman. Tapi saat ini justru sebaliknya. "Saya melihat saja. Bukan saya saja, tapi masyarakat internasional pun. Apakah operasi militer ini bisa menyelesaikan persoalan Aceh?" kata dia obyektif.
Operasi militer memang kebijakan Jakarta untuk memberi pelajaran kepada GAM yang semakin bertingkah. Namun sejarah mengatakan menyelesaikan masalah Aceh dengan kekerasan tidak pernah berhasil. Buktinya, menjadikan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) selama sembilan tahun di masa Orde Baru justru hanya menghasilkan GAM yang semakin perkasa. Sebaliknya, operasi bersenjata pada 1989-1998 itu telah membuat orang-orang sipil menjadi korban.
Mahmud, sebut saja begitu, adalah satu di antara ratusan--atau mungkin ribuan--korban sipil penerapan DOM. Lelaki berpeci ini memaparkan pengalamannya saat dua kali ditangkap dan disiksa oleh kelompok yang diduga dari TNI. Mahmud pertama kali ditangkap di Medan, Sumatra Utara pada 1989. Dia hijrah ke Medan untuk menjadi nelayan. Saat itu, kata Mahmud, dia bersama rekan-rekannya diperiksa oleh sekelompok orang yang menggunakan sebuah truk. Dia pun langsung dibawa hanya karena memiliki kartu tanda penduduk Aceh. "Mata saya ditutup. Dimasukkan ke dalam sel. Saya yakin itu TNI, karena mereka memakai pakaian dan baju yang mirip seragam TNI," papar Mahmud.
Pada malam kedua di tahanan, Mahmud menjalani pemeriksaan oleh empat orang di sebuah ruangan. Di dalam, dia kaget karena dituding sebagai pembunuh Zakaria, prajurit TNI yang tewas di Aceh. "Mengaku kau yang tembak Zakaria di Aceh!" kata Mahmud mencontohkan hardikan sang interogator. Di sana, Mahmud dipukuli dengan kayu karena tak mengaku. Tak hanya dengan kayu, bagian paha Mahmud pun luka akibat sabetan sangkur [pisau]. "Saya dipukul sebanyak enam kali dengan kayu. Di paha dilukai dengan sangkur. Namun tetap jawaban saya satu. Ada apa Pak?" kata Mahmud.
Keesokan harinya, Mahmud pun kembali menjalani pemeriksaan. Seorang di antara pemeriksa itu diperkirakan berpangkat perwira. Dia pun dipaksa untuk mengaku sebagai pembunuh Zakaria. Mahmud tetap diam. Namun keesokan harinya, perwira tersebut meminta maaf karena terjadi kesalahan penangkapan. Setelah 15 hari, Mahmud baru dibebaskan.
Kejadian itu terulang lagi pada 1992. Dia ditangkap lagi dan dibawa ke sebuah pos. Mahmud kembali meyakini bahwa yang menangkapnya itu anggota TNI bukan GAM. Sebab, kata dia, saat itu belum begitu ramai tentang anggota GAM. Namun kali ini, dia lebih menderita. Tak hanya dipukuli, tapi dia pun direndam di sebuah sungai. "Saya direndam dari jam enam sore sampai pukul delapan pagi [besoknya]," aku Mahmud. Penyiksaan itu berlangsung selama tiga hari. Setelah itu, dia dilepas dengan catatan tidak bakal memberitahukan peristiwa penangkapannya itu.
Peristiwa tersebut tentu menjadi trauma tersendiri bagi Mahmud. Padahal, dia mengaku tak memiliki dan tak pernah berhubungan dengan GAM. Peristiwa lebih mengenaskan menimpa adiknya. Pada 2000, saudara kandungnya itu diculik. Namun dikabarkan, adiknya tengah membantu di tempat pengungsian. Kenyatannya hingga saat ini, keberadaan adiknya itu tak diketahui. Atas dasar pengalaman tadilah, Mahmud berpendapat bahwa darurat militer yang diterapkan saat ini hanya akan menambah daftar korban sipil.
Salim Said sangat percaya atas pengalaman yang dituturkan Mahmud. Menurut dia, itu sebagai bukti bahwa saat itu [DOM] tentara tak terkontrol. Karenanya, Salim mendukung atas dilibatkannya wartawan untuk melaporkan situasi di Aceh selama operasi militer berlangsung. "Ini akan menjadi bagian kontrol TNI," kata dia.
Di sisi lain, Salim berharap TNI bisa belajar dari pengalaman DOM Orde Baru. Dalam operasi militer ini, TNI harus bisa meyakinkan bahwa keberadaan mereka berbeda dengan waktu DOM. Apabila usaha ini berhasil, menurut Salim, nama TNI akan harum dan Negara Kesatuan RI bisa terselamatkan. "Sebaliknya kalau gagal, TNI akan hancur dan masa depan NKRI menjadi suram. Aceh akan dijadikan pelajaran bagi daerah-daerah lain yang ingin keluar dari NKRI. Ini show case yang harus dimenangkan TNI," kata Salim.(liputan6.com)
loading...
Post a Comment