Halloween Costume ideas 2015
loading...

Perang Aceh, Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje (Belanda Bejat dan Aceh Pungoe,)

Gambar Hindia Belanda yang dikejutkan oleh kedatangan zaman baru yang menyerbu sekitar 1870 dari Negeri Belanda melalui Terusan Suez merupakan pertanda kenyataan. Bukan Hindia saja yang berada dalam suasana tempo doeloe. Negeri Belanda sendiri pun baru pada paruh akhir abad ke 19 bangkit dengan hidup baru, Bagaimana dengan pelayaran kapal melalui Terusan Suez, yang baru lama kemudian memberi keuntungan kepada Hindia Belanda? Sempat memakan waktu dari tahun 1865 sampai 1876, sesudah mengalami bermacam-macam skandal, barulah terusan Laut Utara selesai. Masa pembuatan De Nieuwe Waterweg (Terusan Baru) bahkan merana dari tahun 1866 sampai 1886. Bila baru tahun 1974 dibuka garis tetap pelayaran kapal uap Belanda ke Hindia, penyebab penundaan ini adalah Negeri Belanda, bukan Hindia. Dengan menjadikan Den Helder dan Hellevoetsluis sebagai pelabuhan pangkalan, bagaimanakah jadinya kemungkinan pelayaran kapal uap di Batavia? Pemindahan angkutan ke kapal kecil dan dari sini ke kapal-kapal Sungai Rijn begitu besar biayanya dan banyak memakan waktu hingga sama saja jadinya dengan berlayar mengitari Tanjung Harapan.

Bila sesudah dua puluh tahun mayoritas liberal di parlemen baru daoar melaksanakan salah satu pokok programnya yang utama yaitu dihapuskannya Tanam paksa, hal ini merupakan kelambanan di Negeri Belanda dan bukan karena kelambanan kolonial di Hindia.

Saya telah menulis tentang besarnya jumlah krisis kabinet dan jumlah menteri jajahan yang lebih besar. Kalangan liberal yang harus memulai perbaikan, makin lama makin terpecah. Kemunduran golongan konservatif yang terus menerus dapat diimbangi karena tambahnya unsur konservatif yang sebanding di kalangan liberal. 

Memang terdapat perhatian yang lebih besar untuk masalah-masalah Hindia, terutama sejak Majelis Perwakilan harus mengesahkan anggaran belanja Hindia sejak tahun 1867, tetapi ahli-ahli Hindia Belanda yang berkaliber besar, antara saat turunnya W. van Hoevell pada tahun 1862 dan naiknya Ir. H. H. van Kol pada tahun 1897, tidak terdapat dalam Majelis, kecuali seorang tokoh. Tokoh pengecualian ini ialah Fransen van de Putte, tetapi dia telah menghabiskan tenaganya sebagai menteri. Selama tiga puluh tahun tidak terdapat lagi prakarsa dari Parlemen. Masalah kolonial menjadi pembicaraan seru pada pertengahan abad ke 19 berkat pembahasan yang seru dalam Parlemen (Van Hoevell) dan di luarnya (Multatuli). Sesudah itu masalah ini terdesak dalam bayangan soal-soal hak pilih dan pendidikan. Dan soal Aceh.

Perang Aceh sangat memberatkan tanggungan Hindia. Karena menelan banyak korban manusia dan sarana, sesudah tahun 1873 setiap kemajuan tertahan lama. Titik berat urusan Hindia berpindah ke Het Plein (Lapangan), kementerian jajahan, yang berkat sarana perhubungan yang lebih baik dapat mengendalikan kebijaksanaan atas seberang lautan. Barulah pada akhir abad ini. Parlemen mulai memainkan peranan lagi, hampir bersamaan waktunya dengan naiknya gubernur-gubernur jenderal seperti C. H. J. van der Wijck dan penasihatnya yang cemerlang, Snouck Hurgronje, yang menghendaki kebebasan yang lebih besar dalam kebijaksanaan mereka.

Pecahnya Perang Aceh pada tahun 1873 merupakan hadiah politik samawi bagi golongan konservatif di Parlemen. Karena penjelasan kurang, perdebatan yang wajar baru dapat berlangsung pada bulan April 1874 ketika pemerintah bersedia menyerahkan secara terbatas semua, ya hampir semua, dokumen: korespondensi antara Batavia dan Den Haag, nota diplomatik, perintah harian, artikel dari koran-koran Inggris, teks perjanjian. Majelis memutuskan untuk membahas berkas-berkas ini dalam komisi umum. Perdebatan dilangsungkan dari tanggal 16 sampai 20 April. Pada tahun 1881 buku putih pemerintah diumumkan dan tidak lagi merupakan rahasia. 

Anggota konservatif Fabius-lah yang paling hebat mengecam petualangan liberal ini, yaitu perang. Dibandingkannya Aceh dengan perbuatan nekat Napoleon III di Meksiko, dan diingatkannya bagaimana akhirnya jadinya: Maximiliaan ditembak mati, Bazaine dijebloskan dalam penjara. Kaisar kemudian meninggal dunia dalam pembuangan ....

Kecaman itu mendapat sambutan baik, tetapi terlalu jauh dari kenyataan hingga kurang memuaskan. Lain halnya dengan pidato perdana anggota Majelis yang termuda, Abraham Kuyper, anggota anti revolusioner. Anggota yang berusia 37 tahun ini baru saja bebas tugas sebagai pendeta, Dalam politik, agama, dan jurnalistik (pemimpin redaksi majalah Standaard yang didirikannya sendiri) ia masih dalam usia yang bergelora semangatnya. Sejak gerakan April tahun 1853 kalangan Katolik memihak kaum liberal, kalangan anti revolusioner mendukung konservatif. Sikap menentang yang dikemukakan Kuyper dalam masalah Aceh jadinya sudah diduga, tetapi pidatonya mengandung sesuatu yang tidak dimiliki Fabius: ciri amarah yang sesungguhnya, mengutuk perang atas dasar susila.

"Orang memukul tong kosong," kata Kuyper. "Ada intrik, yang sekiranya bisa dikutip dari berkas-berkas ini, akan menjadi roman yang menarik hati." Menurut Kuyper, Read menderita penyakit khayalan, Loudon telah menjadikan kita korban sejarah, Arifin adalah bajingan tengik yang lecik, Fransen van de Putte menggeser tanggung jawabnya pada Loudon, ultimatum pada Aceh tidak adil. "Kalau di satu pihak orang tidak bisa merasa dirinya terikat pada syarat-syarat hukum internasional yang ketat, sedangkan Aceh adalah sebuah negara bumiputera, maka orang jangan memainkan siasat lain dengan menyatakan Aceh bertanggungjawab terhadap pelanggaran norma hukum yang berlaku bagi negara-negara Eropa." Tetapi mosinya bahwa tidak terbukti ultimatum 22 Maret adalah tidak dapat dielakkan, ditariknya kembali ketika Fransen van de Putte menjadikannya pertaruhan nasib kabinet.

Nada pidato Kuyper membuktikan bahwa terdapat kegelisahan di Negeri Belanda tentang kebenaran dilaksanakannya perang, yang tidak hanya di kalangan kaum Multatuli dan kalangan radikal lainnya. Pada tahun 1873 Pendeta J. H. Gunning di Den Haag menerbitkan buku dengan judul yang sarat makna, Acchin, een waarshuwing Dods aan ons (Aceh, suatu peringatan Tuhan kepada kita), sebuah khutbah tentang ekspedisi yang gagal itu. Ia mengutip di dalamnya bagaimana Tuhan menurut Josua VII menghukum anak-anak Israel dengan menimpakan kekalahan. Lebih daripada pencurian uang dan barang yang telah kita lakukan terhadap Hindia Timur, kata Gunning dalam khutbahnya. "Tidak kita berikan kepada mereka kehidupan yang ada dalam Yesus Kristus. Karena itu, di dalam dan di luar batas-batas jajahan kita tumbuh kehidupan yang bermusuhan dan berbalik melawan kita. Kita harus mengakui dan memberantas dosa-dosa terhadap tanah jajahan Hindia Timur. Sifat mementingkan diri dalam diri kita dan nenek moyang kita janganlah lagi kita pulasi dengan nama yang indah-indah, dan jangan kita lanjutkan. Keadilan untuk orang bawahan, dalam pemerintahan negara dan hubungan perdagangan pertama-tama ketidakadilan, pemulihan, ditegakkannya keadilan kembali, dengan langkah yang tetap, bersih, dan juga bermanfaat tujuannya. Kemudian kebebasan, pengabaran Injil yang tiada dihalang-halangi bagi mereka yang belum mengenalnya." 

Bila dalam khutbah pendeta ini masih terdengar pantulan perjuangan untuk kemerdekaan zending dan misi di Hindia Belanda, dalam koran Kuyper De Standaard bulan Juni 1873 terbit kronik Hindia yang lebih mempunyai titik politik, karangan-karangan ini ditulis oleh Mr. L. W. G. Keuchenius, kemudian pengacara di Batavia. Pada tahun 1866 terjadi krisis kabinet yang gawat akibat mosinya terhadap skandal berhentinya Mr. P. Meijer, menteri jajahan, sesudah dia mencalonkan diri untuk pengangkatan gubernur jenderal. Keuchenius dalam kronik-kroniknya mengutip Surat kepada Raja Multatuli tahun 1872 dan terang-terangan menganjurkan mengenai perang bahwa rakyat Belanda "tidak boleh membiarkan kekuasaannya di Hindia didasarkan atas ketidakadilan sehingga menjadi goyah."

Kini terbil pula brosur dengan nada itu dan dalam pers konservatif dilakukan kampanye yang hebat. Tetapi makin sengit orang menyerang peperangan, makin sengit pula ia dibela. Para penantangnya bukanlah satu-satunya golongan yang secara moral mempersoalkan hak bertindak. Para pendukung memiliki dua senjata propaganda yang ampuh: kegagahberanian Belanda dan kebejatan orang-orang Aceh.

Pada tanggal 18 Mei 1873 Raja Willem III mengadakan kunjungan belasungkawa kepada ayah Jenderal Kohler yang tewas, yang tinggal di Groningen. Peristiwa itu merupakan semacam peristiwa nasional. Kunjungan itu diabadikan, setidak-tidaknya tetap dalam kenangan, pada sebuah lito yang dibuat oleh J. W. Egenberger, yang memperlihatkan Raja bersama ajudan-ajudannya bersikap bagaikan dibuat-buat berdiri dekat si orang tua yang membungkuk beserta anak-anak sang jenderal. Penyair J. J. A. Gouverneur yang masih kita kenal hanya sebagai pencipta Prekibeen dalam buku kanak-kanak, yang ketika itu mengubah lirik bagi bencana-bencana nasional, antara lain menyanyikan baris-baris berikut pada kecapi hatinya:

Ada Tuhan yang mengilhami Anda,
Wahai Raja Willem, raja kmi
Suatu titik gemilang dalam hidup Anda,
Menyematkan satu bintang lagi di dada.

Bahwa Anda dalam rumah kecil, jauh dari benteng,
Mendatangi seorang ayah tua berhati tabah,
Menghiburi hatinya nan sedih menangisi,
Putra tewas di depan benteng Aceh.

Dan ini bukanlah satu-satunya bahasa puitis perang di Aceh. Untuk mengobarkan semangat dalam pengerahan tenaga tempur di Harderwijk terbit antara lain Militair Achinlied (Lagu Militer Aceh). Lagu yang memang dibutuhkan karena pengerahan hasilnya tidak seperti yang dikehendaki, walaupun uang persennya dinaikkan menjadi dua ratus gulden untuk ikatan hanya dua tahun, padahal biasanya empat atau enam tahun. Dari empat ribu orang fuselir yang direkrut, setengahnya berasal dari luar negeri, terutama dari Belgia, Jerman, dan Prancis. Dari segi kebangsaan angka-angka ini masih relatif baik. Bagi NIL (Tentara Hindia Belanda) sebagai legiun asing menurut saya tidak ada contoh yang lebih mencolok daripada tahun 1877. Pada tahun itu melalui Harderwijk dikirimkan 3.046 orang Eropa militer, yaitu hanya 884 orang Belanda banding 2.162 orang asing. Lagu Militer Aceh P. Haagsma lengkap dengan musik dapat diperoleh dengan harga 3 sen. Hasilnya untuk Palang Merah yang untuk pertama kali mengirimkan wakil ke Hindia. Sejak Haagsma yang menyayat hati tidak kurang dari 12 bait jumlahnya, antara lain sebagai berikut:

Ke Aceh, keraton! Sarang segala kejahatan,
Persekongkolan, pembajakan, dan khianat berkecamuk;
Tumpas semua selingkuh, hajar si laknat:
Dengan sang Tiga Warna Belabda "peradaban" tumbuh.

Tanda kutip pada kata perubahan seluruhnya menjadi tanggung jawab penyair yang menutupnya dengan:

Ke Aceh! Keraton! Itulah semboyan kita kini,
Kita gugur atau hidup, terserah Tuhan;
Tapi Aceh pasti jatuhm atau kami tak kembali lagi,
Menang atau mati, demi kehormatan Belanda.

Dalam sajak ini kepahlawanan dan kerja peradaban kuat mengikat. Seperti juga di satu pihak belum pernah "dasar susila" politik kolonial Belanda begitu sungguh-sungguh dan untuk Negeri Belanda begitu seru dipersoalkan pengalamannya dibandingkan dengan pada awal Perang Aceh, begitu sengit pula tiada taranya tuduhan serangan yang dilancarkan terhadap "kebejatan-kebejatan" orang Aceh. Sampai sekian jauh sesungguhnya para penyokong dan penentang politik kolonial Belanda sama sependapat dalam satu hal: orang Jawa adalah "bangsa yang terlembut di bumi", seperti dinyatakan oleh Sicco Roorda van Eysinga dalam Syair Kutukan-nya, dan bangsa Jawa menjadi teladan bagi semua bangsa di Nusantara yang tidak diketahui orang. Bagaimana tentang orang Aceh yang ternyata tidak tergolong di dalamnya?

Aceh bukan Jawa, tetapi juga bukan Siak. Aceh bisa bertahan dan cukup makmur tanpa Belanda turun tangan. Aceh memiliki hubungan ekonomi dan politik internasional pada tahun 1873 paling tidak terdapat seorang pemimpin dengan kecerdasan pengetahuan dunia yang unggul, yaitu Perdana Menteri Habib Abdurrahman Zahir. 

Dalam tulisan ini ~ yang menggambarkan Aceh sebagai fokus setengah abad politik kolonial, nasional, dan internasional ~ sedikit yang akan dapat kita bicarakan tentang negeri dan rakyat Aceh sendiri. Tetapi jelaslah bahwa dalam seluruh lingkungan pengaruh yang untuk mudahnya disebut Hindia Belanda, tidak sebuah pun terdapat kerajaan pada abad kesembilan belas yang dapat dibandingkan dengan Aceh. Suatu perang lebih dari setengah abad lamanya, dengan seratus ribu orang mati dan setengah milyar gulden abad ke 19 yang tinggi nilainya telah membuktikan itu. Sekarang hal itu kita ketahui, tetapi pada tahun 1873 tidak; apalagi di Negeri Belanda, bahkan di Jawa pun orang tidak mempunyai suatu gambaran manusia bagaimana orang-orang Aceh itu.

Dalam bacaan perang masa itu orang Aceh cukup banyak diberi sifat-sifat yang buruk. Pengkhianatan dan kemunafikan sudah pastilah karena pengkhianatan Singapura. Lalu ditambahkan lagi: kelicikan, fanatisme, ketagihan madat, dan kemerosotan akhlak dalam arti seksual.

Perdagangan Aceh dengan luar negeri dalam hal ini Pinang, terdiri dari ekspor tiap tahun sekitar 140.000 pikul merica, kira-kira sembila ribu ton, jadi merupakan sebagian besar dari keseluruhan perdagangan dunia dalam hasil bumi ini. Di samping itu impor tiga ratus sampai empat ratus peti candu, di samping barang-barang tekstil, senjata, dan apa yang ketika itu disebut "barang-barang kelontong". Taksiran kasar Aceh mempunyai setengah juta orang penduduk. Untuk seluruh Jawa dengan dua puluh juta penduduk pada waktu itu, impor candu 1.400 peti. Ini angka resmi dari Kantor Pengendalian Candu Pemerintah. Impor yang sesungguhnya di Jawa kiranya lebih tinggi. Namun, dapatlah disimpulkan bahwa penggunaan candu di Aceh tinggi sekali, setidak-tidaknya jika dibandingkan dengan di Jawa. Bahwa penggunaannya di Aceh untuk tiap kepala dari penduduk adalah juga setengah dari penggunaan di Cina, tidak menjadi perhatian. Jawa yang menjadi tolok ukur, jadi Aceh "ketagihan candu". Kendatipun demikian, menurut sumber yang sama pada waktu itu, ketagihan candu benar-benar dalam peristiwa perorangan, tidak sering terjadi dan, bila hal ini terjadi, masyarakat Aceh sendiri menilainya sama buruknya dengan penilaian masyarakat Eropa. Di samping itu, semua kegiatan isap candu ini ternyata tidaklah sampai berakibat merusakkan tenaga rakyat seperti yang umumnya dinyatakan. Bahkan orang boleh bertanya mana yang lebih "celaka": mengisap candu yang dilakukan oleh orang Aceh atau minum alkohol yang biasanya dilakukan oleh fuselir-fuselir Eropa NIL?

Selain mengisap candu, dalam bacaan perang Belanda biasanya disebut-sebut juga dua keburukan tabiat khusus orang Aceh. Pertama mengudung mayat musuh; hal ini tidak terdapat di tempat lain di Nusantara. Di negeri-negeri yang penduduknya kebanyakan beragama Islam hal ini merupakan kebiasaan kuno, yang tidak saja dulu dan sekarang dilakukan terhadap orang "kafir", tetapi juga pada sesama mukmin. Memotong anggota kemaluan bertujuan merenggutkan musuh yang tewas dari salah satu kenikmatan dalam surga, sekiranyalah kebetulan masih juga dia dapat masuk ke sana. Dalam buku-buku tentang Aceh, kebiasaan itu digolongkan 'sifat kebinatangan'. Tidak pernah secara saksama diuraikan, tetapi memang termasuk di dalam bagian cerita rakyat lisan, yang tidak sedikit mengurangi minat orang masuk dinas militer di Harderwijk. Salah satu hiburan menarik dalam kehidupan di Timur adalah justru kehidupan seksual yang nikmat yang diharapkan orang - dan yang sesungguhnya adakalanya memang bisa didapat. Dalam tangsi dan perkemahan berlaku hubungan seksual liar dengan wanita-wanita Indonesia. Dan bahkan banyak pula anggota militer Eropa melakukan hubungan yang agak tetap dengan nyai piaraannya. Dan sekarang datang pula cerita seperti itu!
Dalam gambaran tentang orang Aceh dengan berbagai sifat keburukan itu, seperti dilukiskan oleh para penyokong karya peradaban Belanda, tidak boleh pula ketinggalan 'kebinatangan'. Pada umumnya dengan itu dimaksud tindakan homofil, terutama sekali suka berbuat mesum dengan anak-anak, yang ternyata adakalanya memang terjadi di kalangan pemuka feodal. Anak-anak berias cantik-cantik memainkan peranan besar dalam pesta-pesta tari Aceh.

Sejauh mana segala kebiasaan ini banyak tersebar, tentu saja tidak dapat diselidiki. Yang pasti adalah bahwa kalangan Muslim ortodoks sangat menentangnya. Banyak anjuran yang dilakukan orang Aceh untuk melakukan perang suci, jihad, terhadap kaum kafir, mengutuknya dan ketika pihak Belanda berhasil memperoleh beberapa kemenangan, para ulama dan pemuka menjelaskan bahwa kekalahan yang diderita oleh rakyat Aceh ini adalah akibat pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum Islam dan ajaran-ajaran Quran ini. Jadi, dalam hal ini pun: Perang Aceh merupakan siksaan Tuhan! Kekuatan perlawanan Aceh, bersama dengan dimaklumkannya jihad, dalam pandangan orang Belanda tentu saja merupakan sifat jahat pula, yaitu fanatisme. Seorang yang sopan, yang tidak mengisap candu, tidak berbuat mesum dengan anak-anak dan tidak mengudung musuhnya, tentunya tidak akan melawan begitu fanatik! Pengalaman dalam menghadapi tenaga yang mengilhami perjuangan Islam di Jawa biasanya lain sekali.

Masih pada tahun 1882 seorang perwira Belanda dalam sebuah kumpulan Schetsen uit de Atjeh-oorlog (Corat-coret dari Perang Aceh), yang sebelumnya dan sesudahnya banyak pula terbit, menulis tentang orang Aceh: "Kami ingin meyakinkan Anda bahwa karena sifat kebinatangan mereka dan tindakan-tindakan mereka yang tidak berperikemanusiaan, mereka tidak berhak lagi mengharapkan sikap menenggang dari kita."

Untuk masa waktu yang lama demikianlah gambaran umum yang sangat tersebar luas dalam karangan-karangan Belanda mengenai manusia Aceh. Baru sesudah terbit telaah yang mendalam pertama tentang negeri dan bangsa, karya Snouck Hurgronje yang cemerlang pada tahun 1893, yakni De Atjehers (Bangsa Aceh), mulailah terjadi perubahan. Dalam tahap akhir sementara pertempuran, yang disebut Perang Aceh keempat, musuh dianggap sebagai lawan yang terhormat. Tetapi ketika itu ia pun sudah hampir terkalahkan dan masih lama lagi baru kita sampai sejauh itu. []

Paul van't Veer, Perang Aceh, Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje, diterjemahkan oleh Tim Grafitipers, Jakarta: PT. Grafiti Pers, 1985, halaman 51-57.
 
Dikutip: acehget.blogspot.co.id
loading...
Labels:

Post a Comment

loading...

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget