Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh melakukan
pemusnahan barang bukti kejahatan satwa bernilai miliaran rupiah yang
ditangani penegak hukum sejak 2013.
Sebanyak 3 ofsetan harimau, 2 ofsetan macan dahan, 2 gading, 1
ofsetan beruang, serta kulit kucing hutan dan beruang madu dibakar
bersama oleh para pejabat Pemerintah Aceh, Kejaksaan, dan Kepolisian di
Banda Aceh, Senin, 23 Maret 2016. Pembakaran ini simbol perlawanan
serius terhadap perburuan dan perdagangan satwa yang meningkat cukup
tajam di Aceh.
Kepala BKSDA Aceh Genman Suhefti Hasibuan menuturkan, kegiatan
pemusnahan ofsetan satwa liar ini merupakan momentum pemerintah dalam
memberantas jual beli satwa dilindungi baik hidup maupun mati.
“Pemerintah tidak akan mentolerir setiap pelanggaran hukum di bidang
kehutanan, terutama jual beli satwa liar ilegal,” tegasnya.
Barang bukti kejahatan satwa ini berasal dari sitaan masyarakat dan
juga kasus-kasus hukum yang ditangani Direktorat Kriminal Khusus Polda
Aceh yang tersebar di Aceh Tengah, Aceh Jaya, Aceh Tenggara, termasuk
dari Pengadilan Militer di Banda Aceh. Setidaknya, lebih dari 20 orang
telah divonis pengadilan sepanjang 2013-2016 dengan hukuman berkisar 4
bulan – 2,5 tahun penjara.
Menurut drh. Taing Lubis dari BKSDA Aceh, barang bukti ofsetan satwa
tersebut dibakar mengingat kondisinya yang tidak utuh dan bisa menjadi
sumber penyakit. Seperti ofsetan macan dahan yang semua bulunya rontok
dan menyisakan kulit. Sementara kondisi ofsetan harimau juga sudah tidak
utuh lagi karena ada bagian yang hilang seperti kulit dahi, hidung,
kumis, dan ekornya patah.
“Banyak asumsi bagian harimau itu berdaya magis. Makanya, kita bakar
untuk memastikan barang-barang itu musnah tak berbekas dan tidak
bernilai lagi,” kata Taing.
Tidak semua barang bukti tersebut dimusnahkan. Beberapa yang masih
bagus kondisinya dititipkan di Museum Aceh dan Visitor Centre Tahura
Pocut Meurah Intan di Aceh Besar yang akan digunakan sebagai bahan
penelitian dan pendidikan konservasi.
Salah satu yang diserahkan ke Museum Aceh adalah gading gajah Papa
Genk. Gajah Sumatera berumur 30 tahun itu mati dibunuh dengan cara
dipasang jerat tombak pada Juli 2013 di Sampoinet, Aceh Jaya. Kasus
Papa Genk menarik perhatian Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono waktu
itu, karena banyaknya protes pencinta satwa. Para pelaku sebanyak 14
orang tersebut telah divonis 4 bulan percobaan penjara.
“Kami senang mendapatkan gading “The Legend Papa Genk”. Ia memiliki
nilai sejarah karena kisah terbunuhnya sangat mengharukan. Diharapkan,
kisah Papa Genk bisa diabadikan di Museum Aceh sebagai pembelajaran
generasi muda agar peduli pada gajah sumatera yang sudah hampir punah,”
kata Afni, kurator dari Museum Aceh.
Museum Aceh juga mendapat titipan 1 ofsetan harimau sumatera dari
hasil penangkapan di Aceh Tengah tahun 2013 dan tulang rahang gajah yang
berasal dari kasus pembunuhan gajah di Aceh Barat pada 2014.
Untuk Tahura Pocut Meurah Intan dititipkan 2 ofsetan harimau
sumatera, 1 kepala harimau sumatera, 2 ofsetan kucing emas, 2 gading
sepanjang 2 meter lebih milik gajah Sadat dari Pusat Latihan Gajah
Saree yang mati karena sakit, 2 gading sitaan, ofsetan beruang madu,
kepala kijang muntjak, kepala burung julang, dan tulang belulang
harimau.
Barang bukti kejahatan tersebut berasal dari kasus yang pernah
ditangani pengadilan militer di Banda Aceh yang melibatkan 2 oknum TNI
di Aceh Tengah tahun 2013, kasus perdagangan ofsetan di Aceh Tengah
tahun 2014, dan kasus perdagangan yang terjadi di Aceh Tenggara tahun
2014.
WWF Indonesia mencatat, Aceh merupakan salah satu daerah asal
perdagangan satwa karena memiliki hutan cukup luas dengan spesies satwa
yang lengkap. Menurut Wildlife Crime Team WWF Indonesia, Novi Hardianto,
beberapa kasus penangkapan jual beli satwa dan organnya di Medan dan
Riau, satwa-satwa itu berasal dari perburuan di Aceh. Seperti kasus
penangkapan anak orangutan dan gading gajah di Pekanbaru beberapa waktu
lalu, yang barang buktinya berasal dari Aceh.
“Biasanya, dari Aceh mereka menjual ke Medan sebelum membawanya ke Jakarta, Batam, Malaysia atau Singapura,” kata Novi.
Perdagangan satwa liar melibatkan jaringan yang cukup luas dan saat
ini merupakan kejahatan cukup serius di seluruh dunia. Menurut data Global Financial Integrity,
Washington DC, perdagangan ilegal satwa menempati urutan kelima dengan
omset tertinggi setelah narkoba, pemalsuan barang, perdagangan manusia,
dan minyak. Kerugian Indonesia dari kasus perdagangan ilegal satwa ini
mencapai Rp9 triliun per tahun. “Ini menjadi masalah besar karena
menyebabkan penurunan populasi satwa yang sebagian besar hasil tangkapan
alam liar,” ujar Novi.(mongabay)
loading...
Post a Comment